Ditembak Mertua

2576 Kata
Pandu tak perlu menoleh untuk memastikan bahwa orang yang ia lihat baru saja lewat di sebelah kanannya adalah seseorang yang sangat ia kenal. Sahabatnya juga semenjak di DPR bertahun-tahun silam. Ia sudah lama mengenal lelaki itu bahkan saat santer dikabarkan akan menikahi salah satu artis papan atas sembilan hingga hampir sepuluh tahun lalu. "Kalau kamu ngelakuin itu..." "Aku sudah mati duluan ditangan Ayahmu," potongnya dan itu membuatnya Fasha tertawa. Keduanya baru saja keluar dari sebuah bioskop yang sengaja disewa Pandu agar bisa menonton berdua dengan Fasha. Perempuan di sebelahnya ini sedang banyak maunya tapi Pandu tak keberatan untuk menuruti semua keinginannya. Keduanya berjalan sembari menghela nafas. "Aku heran sama lelaki-lelaki kayak gitu. Kalau dia dapat istri yang emang jelek dan gak bisa menyenangkan hatinya sih gak masalah. Silahkan kalau memang tidak puas. Lah ini? Bella secantik itu. Sebaik itu. Bahkan anaknya pun cantik tapi masih aja gak puas. Itu sih namanya gak bersyukur." Pandu berdeham. "Jangan keras-keras. Nanti kedengaran banyak orang." Fasha menghembuskan nafasnya. Memang benar. Tapi ia hanya tak bisa menahan diri untuk tak berkomentar. Bingung sih dengan pola pikir lelaki semacam itu. Sudah memiliki keluarga yang sempurna tapi masih mencari perkara. "Kamu gak nyoba nasehati dia, Pan? Kalau nyesal itu sudah pasti belakangan. Kalau Bella mau, dia pasti bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik." "Aku tidak mau terlalu mencampuri urusan orang lain. Apalagi di kantor kan hanya urusan pekerjaan." "Tapi kalian lama berteman. Lama saling mengenal." Pandu mengangguk-angguk. Memang benar. "Kamu ingat kata-kata Opa, soal harta, tahta dan wanita?" "Aku gak dengar itu dari Opa. Yang diceramahi Opa semacam itu kan kalian para lelaki." Nada suaranya terdengar jengkel. Pandu terkekeh. Istrinya sering kumat begini. Gak ada salah pun bisa jadi salah. Yaya memang wanita selalu benar apalagi dalam kondisi-kondisi tertentu. "Ya memang aku, sayang. Tapi ngomongnya santai aja. Yang selingkuh kan bukan aku," tuturnya. Fasha mengerucutkan bibirnya. Ia hanya terbawa kesal saja. "Kalau mertuanya sampai tahu, apakah akan sama dengan cara Ayah?" Pandu hanya berdeham. Ia tak berpikir akan sekejam itu. Tapi ia cukup mengenal ayah Arabella yang sangat tegas itu. Posisinya sebagai menteri pun belum tergantikan meski sudah sangat tua. Bahkan banyak yang ingin mengusungnya sebagai calon presiden di masa mendatang. Tapi lelaki tua itu menolak semua pinangan dari berbagai parpol. Alasannya hanya satu, ia tak mau dimanfaatkan para penguasa partai politik untuk memuluskan langkah mereka menjadi parpol penguasa. Kebanyakan dari mereka hanya ingin memanfaatkan namanya. Bukan benar-benar ingin memajukan Indonesia. "Pak Raymizard itu berkelas. Dia punya cara yang lebih elegan pastinya." Fasha mengangguk-angguk. "Dan lagi, Pan. Karir Fajri akan hancur dalam sekejab. Karena bagaimana pun reputasinya sekarang, tidak bisa ditampik kalau namanya naik berkat Arabella dan ayah mertua." Pandu mengangguk-angguk. Memang benar. Dalam hal ini, berbeda dengan Pandu. Maksudnya karena Pandu memang sudah lama terkenal sejak jadi dosen dan pengusaha. Ia sudah berkarir di dalam politik juga cukup lama meski baru mencalonkan diri pada periode ini. Namun branding-nya berbeda jauh. Pandu besar karena usahanya sendiri. Bukan seperti Fajri. "Tapi aku kasihan sama Arabella. Maksudnya, sebagai sesama perempuan. Aku paham perasaannya." Pandu tersenyum kecil. Ia membuka pintu agar Fasha bisa masuk. "Jangan terlalu dipikirkan. Selama belum terjadi sesuatu yang lebih buruk." "Jangan sampai terjadi kalau yang itu." Pandu terkekeh. Fasha akhir-akhir ini memang sensitif. Tapi wajar lah. Namanya juga perempuan dan kasusnya perselingkuhan. Jelas-jelas tidak bisa ditoleransi. Karena ketika seseorang sudah berada dalam satu ikatan perkawinan maka kesetiaan adalah janji pada Tuhan. "Padahal Arasha lucu sekali. Aku hendak berpikir menjadikannya menantu kalau sudah hamil sejak dulu." Pandu tergelak mendengar itu. Istrinya bahkan baru mengandung tapi sudah banyak sekali keinginannya. Bahkan sudah sampai jauh ke sana. Astaga. Usia Arasha bahkan sudah delapan tahun.. "Istirahat lah," tutur Pandu. Ia sengaja mengatur kursi agar Fasha bisa berbaring dengan leluasa. Perempuan itu sering mengeluh ini-itu. Tapi jangan terlalu sering dan salah mengeluh. Karena khawatirnya tidak bersyukur dengan keadaan. Kadang kan sering disalah-artikan menjadi seperti itu. "Tapi aku gak bisa berhenti berpikir tentang itu. Kamu tahu kan, Pan. Aku jelas-jelas lihat ceweknya jauh sekali dibandingkan dengan Arabella. Cantiknya saja buatan. Alisnya dilukis udah kayak Sinchan. Hidungnya kayak operasi gitu. Jerawatnya kayaknya banyak tuh tapi ditutup sama tebelnya make up. Dibandingkan sama Kak Bella yang jelas-jelas cantik tanpa harus make up atau apapun. Wajah mulut kayak pantatnya Lara sama Larin." Pandu tersenyum kecil. "Namanya juga penganggu, Sha. Kalau ratu, jelas berbeda tingkatannya sama benalu." Fasha menghembus nafas kuat. Ya memang benar akan berbeda kelasnya. Bagai langit dan bumi. "Tapi anehnya, kebanyakan cowok akhirnya jatuh sama yang kayak gitu. Lebih memilih mengejar benalu padahal ada ratu di rumahnya sendiri." Fasha masih terdengar sewot. Ia memang seringkali baper alias terlalu bawa perasaan akan sesuatu. Sementara itu, kedua orang yang dibicarakan sudah dalam satu mobil yang sama. Hendak pulang. Tapi saat melihat nama ayah mertua di layar ponselnya, ia menepuk kening. Benar-benar hampir lupa. "Kamu turun di sini aja. Naik taksi. Sorry, aku harus buru-buru." Si perempuan menatapnya dengan tak percaya. Setelah kencan tadi kenapa ia tiba-tiba dibuang seperti ini. "Ayolah beyyb! Kita bahkan baru saja berkencan tadi!" "Sorry," ia menghela nafas. "Aku harus menjemput Arasha di rumah mertuaku. Mana mungkin aku membawamu." "Jadi kamu masih belum berbicara dengan istrimu?" tukasnya. Ia mencebikan bibir. Tentu saja kesal karena lelaki ini terus ingkar janji. Fajri hanya bisa memijit keningnya. Ia belum punya keberanian. Sementara perempuan ini terus menagih. "Jangan sampai aku yang berbicara dengan istrimu lebih dulu." Fajri menghela nafas. "Nanti ku pikirkan. Sekarang turun lah dulu. Sorry," tukasnya sekali lagi. Ia susah meminggirkan mobilnya ke dekat trotoar agar perempuan ini bisa turun dulu. Pintu terbuka meski dengan dengusan kesal karena diusir tiba-tiba. Setelah ia turun, Fajri mengemudikan mobilnya dengan cepat. Meninggalkan perempuan itu dengan ternganga. @@@ Batal syuting karena hujan yang sangat lebat di lokasi syuting. Para kru sudah membuat tenda namun suara derasnya hujan masih tertangkap dan kondisi daratan yang licin menjadi kendala. Syuting terakhir pun terpaksa ditunda lagi. "Kita harusnya cek BMKG." "Gue udah ngecek pagi tadi tapi di sana gak tertulis akan hujan lebat." "Harusnya begitu. Tapi ini kan kota hujan," keluh kru yang lain yang mengundang helaan nafas. Benar juga. Sementara iru, Arabella sudah bersiap-siap untuk pulang karena syuting sudah tidak mungkin lagi. Perempuan itu pamit pada semua kru. Kemudian naik ke dalam mobil dengan cepat. "Kita ke rumah bokap, Bel?" tanya manajernya. Mereka baru jalan jam sembilan malam. Kalau dilihat di maps, jalanan Bogor menuju Jakarta tidak terlalu padat. Berbeda dengan arus sebaliknya. "Kayaknya langsung pulang aja deh. Bang Fajri pasti sudah jemput Arasha," tuturnya. Ia sebetulnya tidak begitu bersemangat. Pesannya yang meminta agar Fajri menjemput Arasha memang dibalas. Tapi pertanyaan lainnya tak kunjung dibalas. Bahkan saat Arabella mengirimi pesan bertanya apakah lelaki itu sudah makan siang atau belum. Mengingatnya membuat Arabella sedih sekali. Oke, ia salah. Selama ini, ia mungkin sibuk sekali dengan pekerjaannya hingga tak sempat mengurus suaminya seperti awal-awal menikah dulu. Tapi ia mengira kalau Fajri akan paham. Toh saat mereka pacaran dulu, lelaki itu juga tak masalah kalau mereka bahkan hampir tak pernah bertemu selama beberapa bulan. Arabella menarik nafas dalam. Kalau memakai perumpamaan itu memang sangat jauh rasanya. Karena situasi saat ini jelas jauh berbeda. Lantas apa yang harus ia lakukan? Berubah? Iya kan? Memangnya ada pilihan lain? "Kenapa, Bel?" Manajernya heran karena ia tampak gelisah. Arabella mencoba memejamkan matanya namun memang terasa percuma. Karena ia sulit menyembunyikan kegundahannya. "Enggak," tuturnya lalu berpikir sejenak. "Kak," panggilnya. Manajernya yang duduk di samping supir itu berdeham. "Kalau minggu depan, ada yang bisa dikurangi pekerjaannya?" "Kenapa? Kamu mau meluangkan waktu untuk Arasha?" "Ya. Aku takut dia ngambek. Beberapa bulan terakhir sepertinya aku terlalu sibuk." "Baru sadar heh?" Arabella tersenyum tipis. Sepertinya ia hampir lupa pada posisinya. Apa karena itu, suaminya bosan? Karena ia hampir tak pernah lagi memerhatikan? Ia menarik nafas. Setidaknya ia memang harus mengurangi pekerjaan sebelum suaminya semakin jauh berubah. "Bellaaaaa!" Ia terkekeh. Tadi berniat memejamkan mata tapi terbangun lagi dengan sebuah telepon. Ternyata itu adalah panggilan video dari kedua sahabatnya, Shinta dan Shanti. "Lagi di mana hei? Gelap amat!" Bella terkekeh. "Gue masih di jalan. Dari Bogor tadi mau syuting gak jadi." "Yaaaaah! Kirain di dekat rumah. Kita lagi parkirin mobil gak jauh dari rumah lo." "Pada abis ngapain?" "Biasa, cewek-cewek hang out. Biar suami-suami yang jagain anak!" seru Shanti. Bella terkekeh. Mereka sudah lama tak keluar karena masing-masing juga sibuk. Shinta sibuk dengan pekerjaannya sebagai desainer baju. Shanti sibuk dengan karir ibu rumah tangga dan juga penyanyi. Tapi sekarang Shanti lebih banyak di rumah. Ia menikah tak jauh berbeda dengan Arabella tapi perempuan itu sudah memiliki tiga orang anak. Sementara Shinta masih berusaha keras bersama suaminya agar segera memiliki anak. Rezeki setiap orang memang berbeda-beda. "Bulan depan aja gimana? Aku mungkin nyempatin waktu." "Iya deeh! Yang sibuk!" Bella terkekeh. Ia memang sangat sibuk hingga tidak sadar kalau terlalu sibuk. Meski ibunya juga sering membicarakan hal ini. Namun karena merasa kalau suaminya tak pernah komplain, hal ini tak pernah ia pikirkan lebih jauh lagi. Tapi melihat kenyataan sekarang, sepertinya memang ada hal yang harus ia ubah sebelum orang lain yang berubah. Sisa perjalanan pulangnya, ia ditemani suara berisik Shanti dan Shinta. Mereka memang riuh bin rusuh. Tapi kedua orang itu lah teman seusianya dari awal berkarir hingga sekarang. Meski masing-masing telah berumah tangga namun jalan-jalan bersama dengan sesama perempuan tetap menjadi hal yang sering mereka prioritaskan. Seorang istri dan juga seorang ibu tentu berhak untuk bisa beristirahat sejenak dari rutinitas. Meski tak bisa disebut sebagai istirahat secara utuh juga. Hampir dua jam kemudian, Arabella tiba di rumah. Mobil suaminya sudah terparkir. Ia tersenyum tipis. Seharusnya memang sudah pulang. Ia yakin kalau suaminya pasti menjemput anak mereka dengan cepat. Karena kalau tidak, Papanya akan curiga. Lelaki itu tentu tahu bagaimana kinerja DPR. Apa yang dilakukan dan hal-hal di luar itu. Jika ada sesuatu yang ganjil maka tidak seharusnya terjadi dan jangan sampai terjadi. Arabella membuka pintu dengan pelan. Ia takut mengganggu orang-orang yang sudah beristirahat. Kemudian berjalan pelan menaiki tangga. Begitu membuka pintu kamar, melihat suaminya sudah terlelap. Ia tersenyum kecil. Lalu masuk ke dalam kamar mandi dan segera membersihkan diri. Ia keluar beberapa menit kemudian dengan wangi. Namun tujuannya bukan tempat tidur melainkan kamar gadis kecilnya. Ia tentu saja rindu. Meski tadi pagi sempat mengantarnya ke sekolah. "Arasha itu senang kalau Bunda dan Ayah sering antarin Arasha ke sekolah sama-sama." Arabella tersenyum kecil kalau ingat itu. Saat membuka kamar gadis kecilnya, Arasha tentu saja sudah pulas. Ia mengecup keningnya, memeriksa selimutnya dan keluar dari kamarnya. Tidak mau berlama-lama karena takut mengantuk. "Kamu tidak tidur?" Arabella tentu kaget. Ia kira suaminya sudah tidur. Padahal Arabella baru saja mengunci pintu kamar. Perempuan itu mengembangkan senyumnya. Meski tampak lelah karena perjalanan seharian ini tapi Arabella selalu tampak tegar di depan Fajri. Dalam keadaan apapun dan hal ini terkadang membuat sisi manusiawi dari Fajri terbangun lalu merasa bersalah. "Akan tidur. Belum tidur? Aku kira tadi udah tidur." Lelaki itu menghela nafas. Jelas kalau gerak tubuhnya tampak gelisah. Hal yang sama sekali tak bisa ia sembunyikan. Namun sayangnya, Arabella melewatkan itu. Karena perempuan itu hanya berpikir tentang menjadi istri yang lebih baik untuk Fajri. Sialnya, senyum yang terlalu tulus itu membuat Fajri kehilangan redupnya. "Gak ada yang pengen kamu bicarakan?" tanyanya. Ia justru sibuk menelisik ekspresi wajah milik Arabella. Benaknya bertanya-tanya, apakah itu benar-benar tulus atau perempuan ini hanya ingin menyembunyikan segalanya? Kening Arabella tampak mengerut. Ia sedang memasukkan kakinya ke dalam selimut lalu menatap Fajri dengan pandangan yang sulit dimengerti. "Apa yang mau dibicarakan?" Ia malah bertanya balik. Fajri menghembuskan nafas. Seolah-olah baru saja terbebas dari sesuatu. Ia agaknya menyadari kalau Arabella sepertinya tak tahu apapun yang terjadi. Namun tak ada jaminan andai ia tidak lupa kalau Arabella adalah seorang aktris yang sangat handal. Perempuan ini bisa saja berakting bukan? "Ada apa, hon?" tanyanya. Perempuan itu mengelus keningnya. Hal yang sudah lama sekali tak terjadi. Karena akhir-akhir ini, yang kerap melakukan ini bukan perempuan di depannya ini. Melainkan..... @@@ Ia tergesa-gesa mengendarai mobilnya. Hampir lupa kalau ia bukan lah lelaki lajang sejak sepuluh tahun terakhir. Tapi kehidupan yang akhir-akhir ini menggila memang kerap membuatnya lupa diri. Fajri membunyikan klakson saat mobilnya tiba di depan gerbang rumah dinas milik mertuanya. Sang satpam segera tersadar dan berlari membuka gerbang yang masih manual itu. Maklum lah, itu rumah dinas lama. Usai memarkirkan mobilnya, Fajri bergerak turun. Ia agak gugup sebetulnya. Karena sejak dulu pun, mertuanya memang sangat mengintimidasi. Meski sempat lama bersitegang karena hubungannya menjadi sulit, ia akhirnya bisa mengambil hatinya. Setidaknya sampai akhirnya memberikan mereka cucu yang sangat cantik. Namun semuanya memang lebih mirip Arabella secara fisik. Yang mirip dengannya hanya cara Arasha tersenyum atau ekspresi-ekspresi tertentu. "Anu, den. Dipanggil Bapak di ruang kerjanya," tutur Mbok Ati. Perempuan itu langsung menyambutnya dengan kata-kata itu begitu membuka pintu. Ini jelas terasa aneh. Karena biasanya, ibu mertuanya yang akan membuka pintu lalu menawarinya makan. Namun kali ini ibu mertuanya tak terlihat. Andai ia sadar diri, apa yang ia harapkan dari apa yang terjadi dalam dirinya sendiri. Fajri menarik nafas dalam. Ini jelas bukan sesuatu yang baik. Karena biasanya lelaki itu akan mengajaknya mengobrol di ruang keluarga atau sambil melihat Arasha yang mungkin sedang diajari mavam-macam oleh ibu mertuanya yang sangat perhatian. Namun mengingat semua ini jelas kalau Fajri mulai goyah dengan hatinya sendiri. Banyak hal yang berkecamuk di dalam d**a dan membuatnya tak bisa berpikir jernih. Sesuatu yang buruk mungkin akan menimpanya setelah ini. Tapi..... "Sudah datang?" Itu sapaan ayah mertuanya saat ia membuka pintu ruang kerja itu dengan pelan. Fajri mengangguk pelan. "Maaf agak malam, Pa," tuturnya pelan. Ia tak berani mengatakan alasannya karena kebohongan lah yang akan keluar dari mulutnya. Tahu dosa apa yang paling besar dari seseorang yang berselingkuh? Tentu saja kebohongan. Kebohongan-kebohongan akan terus muncul dari seseorang yang selalu mencoba menyembunyikan kebenaran di dalam hidupnya dan atas apa yang ia lakukan. "Pekerjaan apa yang membuatmu selarut ini? Gedung DPR bahkan sudah tutup." Itu sindiran keras sebetulnya. Lelaki itu sibuk menyusun buku-buku tebalnya ke dalam kemari buku yang sudah lumayan tua. Ada banyak sekali buku di dalamnya. Dulu, Fajri kerap membaca buku hanya untuk mengajak bicara sang ayah mertua. Tapi begitu lama menikah dan lama mendapatkan anaknya? Hahaha. Tertawa saja. Mulutnya tak ubahnya dengan banyak politikus lain. Hanya manis dijanji. "Apa rencanamu dalam periode mendatang?" Fajri tergagap. Ia bahkan baru saja duduk di sofa panjang. Meski sepi, justru ruangan ini membuatnya semakin terintimidasi. "Eung...." "Sebagai lelaki, harus ambisius apalagi ada tanggung jawab yang kamu pegang di pundakmu, Fajri." Tutur katanya mungkin santai. Tapi Fajri dapat merasakan keanehan yang sangat ganjil. Fajri berdeham meski ia agak kagok. "Rencananya, Fajri akan kembali mencalonkan diri, Pa. Mungkin sudah saatnya bisa naik ke jabatan yang lebih tinggi juga." "Jabatan seperti apa?" tanya sang papa mertua. Lelaki itu membalik badannya semabri menatap Fajri dengan tajam. Hal yang membuat Fajri tergagap. Ia benar-benar merasa kalau ada sesuatu yang sangat ganjil dengan tatapan itu. Namun tak sedikit pun berani bertanya. Ah jangan kan bertanya. "Wakil atau ketua DPR." "Kamu harusnya kejar juga posisi di dalam parpolmu." Fajri terdiam. Memang benar. Ia hanya anggota biasa di dalam partai politiknya. "Kamu bisa melakukannya tanpa Arabella, Fajri? Untuk bisa naik ke titik yang kamu inginkan itu?" Mungkin itu terdengar santai. Tapi sebetulnya tidak sama sekali. Jantung Fajri justru hampir lepas. Ia mencoba menerka-nerka dengan apa yang dimaksudkan oleh Papa mertuanya. Meski lelaki itu sedang memunggunginya dan tak melihatnya sama sekali. "Ya kamu tahu lah, Fajri. Arabella mungkin akan semakin sibuk dan tak sempat menemanimu untuk belusukan ke daerah-daerah untuk mempromosikan namamu kembali." Aaaah. Fajri menghela nafas lega. Ia kira sesuatu yang ia sembunyikan mungkin sudah tercium. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN