"Jangan ikut campur. Biar kan lah. Aku pun ibunya sakit hati karena anakku diperlakukan begitu."
Raymizard menarik nafas dalam. Ia memang berupaya menekan emosinya. Kalau bukan karena cucunya, ia akan bongkar saja perselingkuhan ini. Meski mungkin harus mengorbankan hati anaknya. Tapi jika tersakiti semakin dalam, tak ada jaminan juga dan bukan kah akan sama saja?
"Kalau Arabella tahu suatu hari nanti...."
"Pada akhirnya akan tahu," tutur istrinya. "Insting perempuan itu kuat. Ia akan tahu kalau ada yang aneh dari suaminya."
Raymizard mengangguk-angguk. Memang benar. "Mungkin instingku juga benar," tuturnya pelan. Istrinya menoleh. Mereka telah masuk ke dalam rumah usai melepas cucunya dibawa pulang sang menantu tadi. "Keraguanku menerimanya sebagai menantu sedari dulu masih tak pudar hingga sekarang."
Istrinya bergeming. Ia bukannya tak punya naluri. Kalau dari sisinya, yang terpenting adalah kebahagiaan anaknya. Namun jika suatu saat memang harus berpisah, barangkali memang jodohnya hanya sampai saat ini. Kalau ada yang perlu disesali, tentunya ada banyak. Tapi percuma saja. Karena waktu tak akan pernah kembali. Dari sisi suaminya, ya mungkin bisa disebut sebagai insting lelaki? Kadang kan buaya bisa mengenal buaya lainnya.
"Reaksi apa yang akan Arabella buat kalau sampai tahu?"
"Tidak percaya," tutur istrinya pelan. Ia sangat mengenal anak perempuan satu-satunya itu. Bukan keras kepala tapi Arabella memang gigih terhadap sesuatu. Jika memang perempuan itu belum melihatnya secara langsung, ia tidak akan percaya. "Ia hanya akan percaya kalau melihat dengan mata kepalanya sendiri."
Dan Raymizard hanya bisa mengepalkan tangannya. Ia sudah setua ini dan hanya berharap kalau menantunya akan menjaga Arabella dengan baik. Namun kejadian seperti ini malah membuatnya was-was sendiri. Bagaimana mungkin ia merelakan anak dan cucunya dijaga lelaki yang kesetiaannya tidak terjaga? Itu sungguh mustahil untuk meminta ketulusan dari seseorang yang telah berkhianat. Iya kan?
Sementara itu, pagi hari di rumah Arabella tampak berbeda. Maksudnya, biasanya Arabella yang akan berangkat lebih dahulu atau suaminya. Tapi kali ini tidak. Mungkin karena Fajri merasa bersalah dengan apa yang terjadi, lelaki itu membatalkan janji sarapan pagi yang sudah dibuat. Perempuan yang sudah datang ke restoran biasanya mereka sarapan tentu saja memaki tanpa henti. Kesal setengah mati karena diperlakukan seperti ini. Dan lagi, bukan kah itu salahnya? Kenapa mau menjadi yang kedua? Bukan kah hidup itu banyak pilihan? Kenapa memilih untuk menjadi bodoh?
"Belum berangkat, hon?" tanya Arabella. Ia kira suaminya sudah berangkat. Arabella menuruni tangga bersama Arasha. Gadis kecil itu sangat bersemangat melihat Ayahnya sudah duduk di meja makan. Ia paling suka kalau ayah dan ibunya ada di rumah. Bahkan lebih bahagia lagi kalau mereka mau menyempatkan waktu untuknya.
"Yeeey! Ayah nganterin Arasha ke sekolah hari ini kan?"
Ia susah menagih dengan ceria. Padahal Fajri mengatakan itu berhari-hari lalu hanya untuk menghibur hatinya. Bukan benar-benar mengantar. Namun melihat keceriaannya mengubah pikiran Fajri lagi. Kenapa baru sekarang ia merasa bersalah? Selama ini, ia hanya memikirkan kesenangannya sendiri.
"Kalau kamu gak bisa, gak apa-apa, hon. Biar aku aja," tutur Arabella. Perempuan itu bergerak memanggang roti dengan cepat karena suaminya sudah menunggu di meja makan. Kini sibuk memangku Arasha yang tampak manja. Maklum lah, bagaimana pun Arasha memang kurang perhatian semenjak dua tahun terakhir di mana kedua orangtuanya semakin sibuk.
"Gak apa-apa, aku aja kalau kamu sibuk."
Arabella menahan senyumnya. Sebetulnya agak-agak kecewa dengan sebutan 'kamu' dari Fajri. Biasanya lelaki itu memanggilnya dengan panggilan sayang yaitu 'Ara'. Berhubung memang tidak ada yang memanggilnya Ara. Namun sekarang tidak. Hanya kamu dan kamu. Tapi Arabella enggan berkomentar karena ia tak mau ribut. Terkadang mereka sering adu pendapat apalagi jika menyangkut pekerjaan Fajri. Lelaki itu hanya akan kembalikan kata-katanya jika diprotes. Karena jelas, Arabella jauh lebih sibuk dibandingkan dengannya. Tapi perempuan itu juga punya alasan kenapa ia bekerja sekeras itu. Bukan sekedar materi sebetulnya.
"Makan," tuturnya usai menaruh beberapa roti bakar di atas meja. Ia juga menuangkan s**u. Namun Arabella tercenung melihat sesuatu yang berwarna merah di dekat kerah kemeja suaminya aah maksudnya di kulitnya yang....
"Kamu gak sarapan?"
Pertanyaan itu membuyarkan kekagetan di wajah Arabella. Ia masih bisa tersenyum meski jelas merasa aneh.
"Eung ya," jawabnya kagok. Kemudian mengambil duduk. Lalu ia berdeham. Ia hendak mengalihkan pembicaraan menuju sebuah kecurigaan. Namun Arabella tak setega itu. "Kemarin Pandu dan Asha mampir sebentar ke rumah."
"Oh?"
Reaksinya tidak ganjil. Tampak biasa saja. Seolah tak ada yang terjadi. "Mereka mampir saat pagi, pas aku mau antar Arasha ke sekolah."
Fajri mengangguk-angguk seolah tak ada masalah. Maksudnya, tidak menerka ke arah mana Arabella akan berbicara. Tidak paham di mana titik salahnya.
"Kamu rapat ke mana kemarin? Karena Pandu bilang gak ada rapat apapun di DPR," tuturnya cepat. Ia menghindari Fajri yang barangkali mau menatapnya. Arabella sibuk dengan rotinya sambil tersenyum kecil, mengelap sudut bibir gadis kecilnya yang berlepotan cokelat. Padahal ia ingin sekali melayangkan sendok itu pada mata Fajri. Andai ia punya nyali untuk itu.
"Oh rapat komisi," sahutnya yang jelas-jelas berbohong. Arabella mendongak. Langsung menatap ke arah Fajri yang kini sibuk meladeni Arasha. Sekaligus mencari perlindungan dari tatapan milik Arabella saat ini.
"Bukannya kamu sama Pandu satu komisi?"
Telak. Fajri terbatuk-batuk. Ia lupa kalau Arabella mungkin tahu tentang pekerjaannya di DPR. Mungkin karena sedari dua tahun terakhir ia kerap merendahkan Arabella di dalam kepalanya. Maksudnya, meskipun ayah Arabella seorang menteri, Arabella bahkan tidak kuliah. Sejak lulus SMA, perempuan itu sibuk syuting dan itu menjadi hobinya. Sementara Fajri sibuk kuliah. Ya disaat Fajri susah uang dulu pun, Arabella yang membantu dengan jerih payahnya sendiri. Andai Fajri tidak lupa. Tapi posisi Arabella yang katanya hanya seorang perempuan lulus SMA dan tidak cerdas, tidak seperti kebanyakan perempuan di anggota DPR atau perempuan-perempuan yang Fajri kenal, kerap membuat Fajri merasa kecil hati. Padahal ijazah itu tak menentukan kecerdasan. Justru kecerdasan akan kerdil jika dimiliki oleh seseorang yang tidak berakhlak. Apalagi menyebut diri sendiri cerdas hanya berdasarkan ijazah. Malang sekali pemikirannya.
"Aku ada rapat di luar. Pandu memang tidak ikut," bohongnya.
Arabella hanya termangu. Jelas saja, instingnya mengarahkan ke arah yang berbeda ditambah....
"Ada rambut, hon," tuturnya pelan. Fajri kaget karena saat ia akan naik ke dalam mobil, Arabella tiba-tiba menghampirinya dan berdiri dekat sekali dengannya. Kenapa perempuan itu bersikap seperti itu? Tahu?
Hanya ingin memastikan penglihatannya kalau kemerahan dileher itu bukan disebabkan oleh sesuatu benda atau gigitan binatang. Meski setelah itu, Arabella jelas terkejut. Feeling-nya benar-benar tidak enak saat melihat itu. Meski ia merelakan lelaki itu pergi mengantar Arasha setelahnya. Namun yang namanya kecurigaan, tak akan hilang begitu saja.
@@@
"Kok gue merinding ya?" tuturnya lantas melempar ponselnya ke atas meja. Manajernya geleng-geleng kepala.
"Gue tahu nyari duit gampang tapi gak dilempar gini juga kale ah!" omel manajernya. Perempuan itu menyingkirkan ponselnya dari dekat piring-piring. Takut ada yang pecah.
"Iiissh!" desisnya. Ia kan sedang fokus pada sesuatu.
"Apa yang bikin lo merinding?" tanya manajernya. Sementara itu, kaki Inshira sampai naik ke atas bangku. Keduanya sedang makan di sebuah restoran di salah satu mall di Jakarta.
"Itu pelakor. Bener-bener banyak yang gak tahu malu."
"Dari kalangan artis juga banyak."
"Yang paling gak sadar diri kalau dari bawahannya terus ngambil pacar atau suami majikannya. Itu sungguh tak termaafkan!" tuturnya menggebu.
Anindya tertawa. Jelas lucu dengan kelakuan Inshira. Gadis cantik tapi agak pendek. Walau begitu, ia sungguh lucu dan ceria. Siapapun akan betah berada di dekatnya. Ia memang orang yang tidak membosankan.
"Terus yang paling santer sekarang adalah--"
"Yang baru menikah dan dikabarkan cerai?"
Inshira mengangguk-angguk.
"Temen lo tuh."
Ia nyengir. Ya memang benar sih. Ia juga kaget saat mendengar kabar itu. Padahal kabar ta'arufnya yang menghebohkan publik itu memang sangat santer diberitakan. Lalu ditambah lagi, suaminya memang da'i kondang. Tapi yaa entah apa yang terjadi di dalamnya, Inshira juga tak pernah tahu. Masyarakat luar hanya bisa menilai dengan sudut pandangnya sendiri. Entah benar atau tidak tapi kesimpulan yang mereka simpulkan agaknya ngeri juga. Maksudnya, sesuatu yang mungkin jauh dari fakta dan berpotensi menimbulkan fitnah. Ada banyak kabar miring pula yang turut bertebaran.
"Padahal dia bahagia banget loh waktu ta'aruf."
"Tapi lo udah nonton video di mana mereka menceritakan proses ta'arufnya dan banyak menimbulkan pro dan kontra?"
Inshira menggeleng. Ia tak perlu sekepo itu. Maksudnya, ada banyak hal lain yang harus ia kerjakan selain mengurusi hidup orang lain. Kehidupannya sendiri lebih berharga.
Anindya justru menggebu-gebu. Karena awalnya ia kagum berat sama sang da'i tapi setelah menonton video mereka ta'aruf itu akhirnya membuatnya berada di posisi kontra. Maksudnya, menurut pendapatnya proses ta'aruf mereka itu tak benar-benar ta'aruf seperti yang ia tahu. Walau yah, ia juga kurang tahu bagian mendalam dari proses ta'aruf itu sendiri. Tapi akan berbeda di masing-masing orang dan tergantung tingkat kepahamanannya.
"Emang apa isinya?"
"Jadi mereka kenalan lewat medsos gitu. Hanya karena si cewek bikin balasan di postingannya. Lalu kenalan lah via pesan gitu di medsos."
"Apa yang salah? Mungkin kan sama-sama gak kenal."
"Gue belum selesai ceritanya."
Inshira terkekeh mendengar dumelan bernada senewen itu.
"Maksud gue, sekalipun ta'aruf secara langsung yaa setidaknya bisa menghindari hal-hal yang menyebabkan bertemu langsung. Bahkan mereka pernah jalan berdua ke bioskop dan survei rumah sebelum menikah. Urgh menurut gue agak gimana ya. Apalagi kan seorang da'i harusnya bisa menjadi contoh yang baik untuk masyarakat luas. Ada banyak kok da'i lain di luar sana yang mungkin juga bertemu jodohnya melalui media sosial tapi gak seintim itu. Kalau alasannya mereka sih biar bisa mengobrol secara langsung. Tapi kalau gak ada mahram di salah satu atau keduanya, bukan kah yang ketiganya tetap setan?"
Inshira mengangguk-angguk. Bisa jadi benar.
"Ya oke lah, da'i juga manusia dan kita tak boleh mengkerdilkannya karena bisa jadi bukan kurang pemahamannya melainkan penerapannya yang masih sulit. Kadang kan kita udah tahu menutup aurat itu adalah kewajiban tapi kita enggan gitu loh melakukannya. Padahal kalau udah dihitung dosa ya tetap berdosa."
Inshira mengangguk-angguk lagi. Ya memang benar.
"Lalu ini banyak banget kabar simpang siurnya. Keluarganya juga pada ember sehingga menimbulkan banyak spekulasi negatif di tengah-tengah masyarakat."
"Gaya amat tata bahasa lo."
Anindya mendengus. Inshira malah nyengir. Ia kan benar. Anindya lagi benar alias waras saat bicara begini.
"Eh omong-omong cowok sableng waktu itu ada ngehubungi elo?"
Kening Inshira mengerut. Keduanya sudah berjalan menuruni eskalator. Hendak berangkat lagi ke lokasi pemotretan. Pekerjaan yang jadwalnya memang lumayan padat bagi Inshira adakah pemotretan.
"Cowok sableng mana yang lo maksud?"
Anindya terbahak. "Itu yang aneh dan katanya saudara kembarnya Kak Dina. Presenter acara kemarin," tukasnya yang membuat Inshira ber-aha ria.
"Tuh orang agak rada-rada kali ya. Saudara kembarnya sendiri aja bilang kalau gak usah diladenin soalnya memang kuper gitu. Kurang perhatian."
"Tapi mayan loh, Shir."
"Lo lagi nyuruh gue selingkuh?"
Anindya terbahak. "Susah emang sama lo."
Inshira hanya menghela nafas. Ia menutup pintu mobil kemudian mobil segera melaju.
"Gue tuh ya begini. Sekalinya cinta mati ya selamanya cinta mati."
"Tapi hati-hati loh."
"Kenapa?"
"Jangan sampai salah cinta," tuturnya. "Gue niruin Bang Ando yang minggu kemarin ngisi seminar online. Dia bilang untuk hati-hati dalam mencintai karena kalau sampai salah mencintai, bukan cuma kita yang merugi tapi bisa jadi Allah tidak meridoi!"
Inshira mengerucutkan bibir. "Mungkin itu berlaku untuk seseorang yang dikhianati."
Anindya malah tertawa. "Maksudnya bukan itu dodol. Tapi cintailah seseorang yang memang harus dicintai dengan tidak melupakan cinta-Nya kepada pemilik semesta. Kalau punya suami ya cintai lah suami sendiri bukan suami orang!"
"Ya kalo itu sih gendeng namanya!"
Anindya terbahak. Suara dentingan ponsel mengalihkan perhatian Inshira. Sementara Anindya masih aysik dengan candaannya sendiri.
Bibu, lagi di mana?
Kening Inshira mengerut. Pesannya sih datang dari si pacar. Tapi ini kok 'bibu'? Bibu siapa?
Bibu siapa, sayang?
Ia membalasnya dengan cepat. Namun sialnya, tak ada balasan lagi setelahnya. Sementara Inshira jelas sudah berpikir ke mana-mana.
@@@
Arabella tidak bodoh. Ia yakin kalau memang ada sesuatu yang sangat tidak beres namun jujur saja, ia sendiri tak berani memikirkannya lebih jauh. Semakin jauh dipikirkan rasanya malah semakin sakit. Bagaimana tidak? Ia ingat terakhir kali bermesraan dengan suaminya. Bulan lalu? Itu pun suaminya tak begitu bersemangat dan membuatnya juga bertanya-tanya. Ada apakah? Namun alasan lelaki itu.
"Aku lelah."
Kalau ditanya apakah Arabella kecewa? Tentu saja. Tapi ia bisa apa ketika suaminya lelah? Ia mencoba memaklumi. Tak mau bersikap kekanakan dengan marah hanya karena masalah kecil seperti itu. Tapi mengingat tadi? Membuatnya bisa merangkai apa yang mungkin terjadi di belakangnya? Meski ia tak mau percaya lebih dahulu. Maksudnya, Arabella lama di dunia hiburan. Ia tidak mau percaya pada sebuah desas-desus hanya karena itu viral dan orang banyak membicarakannya. Ia lebih suka mencari faktanya. Dan untuk hal ini?
"Kak!" panggilnya. Mina yang duduk di kursi depan itu menoleh. Mereka sedang dalam perjalanan sebetulnya. "Hari ini ada yang bisa ku batalkan jadwalnya?"
Kening Mina mengerut. Itu permintaan tak biasa. Kalau pun meminta, Arabella meminta itu karena Arasha dan bukan untuk urusan lain.
"Kamu ada janji sama Arasha?"
Perempuan itu bertanya balik semabri mengecek jadwal Arabella hari ini. Saking banyaknya jadwal, ia tak pernah hapal. Karena setiap hari selalu datang banyak tawaran. Arabella juga tak berniat menghentikannya. Jadi Mina hajar saja. Siapa tahu rezeki kecuali jika harus keluar jauh dari Jabodetabek. Arabella akan penuh pertimbangan karena ia memikirkan Arasha dan suaminya.
"Ada?" tagihnya. Ia enggan berbohong sebetulnya.
"Aku bisa batalkan yang siang. Bagaimana?"
"Tidak ada jadwal lagi setelahnya?"
Mina mengangguk-angguk. "Meski besok atau lusa, jadwalmu akan lebih padat."
"Ya," sahutnya. Tak masalah. Yang penting hari ini ia tak perlu berlama bekerja.
Menjelang jam sebelas siang, ia kembali diantar pulang ke rumah. Bukan menjemput Arasha. Ia justru meminta pengasuh Arasha untuk membiarkan Arasha bermain dengan Adel dan Adeeva jika memang mau. Ia juga meminta agar si Neng, pengasuh anaknya itu untuk ikut menemani Arasha saja. Sementara Arabella sibuk mencari sesuatu. Haah entah lah. Baju kotor pun ia obrak-abrik saking tak tahu jelas apa tujuannya melakukan ini. Namun tentu saja tak menemukan apapun. Hanya kekosongan.
Saat mengecek ruang kerja suaminya, ia juga tak menemukan apapun. Apa yang ia harapkan ketika tak ada apapun seperti ini. Namun begitu melihat jam di dinding, ia tiba-tiba terpikir sesuatu. Tanpa tendeng aling, ia memesan taksi dengan cepat. Ia terbirit-b***t membawa tas dan barang penting lainnya lalu meminta sang supir taksi untuk mengantarnya ke gedung DPR. Lumayan jauh memang. Apalagi menjelang jam makan siang begini. Ia mencoba menganggu Pandu saat sudah dalam perjalanan.
"Eung...sorry, Pan, Bang Fajri ada di kantor?" tanyanya.
Pandu yang hendak meninggalkan bangkunya pun ototmatis menoleh ke arah Fajri yang sedang terburu-buru beranjak dari kursinya.
"Ya ada, Bel. Ada apa?"
Pandu punya firasat buruk tentang hal ini. Oke, ia sudah terlalu sering membahas persoalan ini dengan istrinya yang akan melahirkan sebentar lagi. Tapi ini lebih pelik menurutnya karena menyangkut keutuhan rumah tangga.
"Oh-oh enggak. Gue pikir udah keluar, makasih Pan."
"Baru keluar kok, Bel!" serunya. Ia buru-buru mengucap itu karena takut Bella menutup teleponnya dan benar.....ia berhasil menahan jemari Bella. "Biasanya.....," Pandu menghela nafas. Ia hampir membocorkan sesuatu.
"Biasanya apa, Pan?"
"Ini kan jam makan siang, Bel," tuturnya. Tiba-tiba Pandu merasa ragu. Ia bukannya mau melindungi Fajri. Nalurinya pun mengatakan untuk jujur saja pada Bella. Namun ia juga takut jika harus telribat lebih jauh lagi. Bukan kah lebih bijak jika ia tak berbicara apapun? Kalau pun Bella sudah tahu atau belum tahu, biar lah itu yang menjadi urusannya. Ia juga mengatakan hal itu pada Fasha. Karena khawatir istrinya tak bisa menahan diri untuk mengatakan apa yang ia ketahui. "Biasanya pada keluar. Tadi dia udah keluar sih."
"Oooh. Oke," seru Bella. "Makasih, Pan," tuturnya. Ia hampir lupa mengatakan itu. Pandu berdeham kemudian memijit keningnya. Ini kan urusan rumah tangga temannya, kenapa ia yang ikut pusing kepala? Meski dalam hati, ia memaki Fajri. Karena bisa-bisanya lelaki itu melakukan itu. Astagaaa! Pandu tak paham dengan apa yang ada di dalam kepalanya.
Sementara Arabella pasrah di jalan. Ia harusnya memikirkan ini sejak tadi dan bukannya sekarang. Tapi apa boleh buat? Nasi sudah menjadi bubur. Jalan terakhir yang bisa ia lakukan hanya lah menelepon Fajri dan lelaki itu tak sengaja mengangkatnya karena ia memang sedang menunggu telepon dari seseorang di jam-jam seperti ini.
"Assalamualaikum, honey sedang di mana?" sapanya ceria meski hatinya sangat perih. Bayangan merah tadi pagi kembali menghiasi kepalanya.
@@@