Melow-Drama

2520 Kata
Bella tak bisa berhenti berpikir, suaminya ke mana? Ini sungguh ganjil karena Pandu bahkan bersantai. Lelaki itu bersama istrinya malah pergi ke rumah Oma. Arabella memijit keningnya. Sama sekali tak bisa berkonsentrasi. Bahkan hingga saat tiba di depan sekolah Arasha, ia masih sibuk dengan pekerjaannya sendiri. "Bunda!" Gadis kecil itu mengagetkannya. "Arasha kan manggil dari tadi!" serunya. Ia sudah bergerak untuk membuka sabuk pengaman. Arabella langsung membantunya lalu ikut turun dari mobil. "Lain kali Arasha maunya diantar sama Ayah dan Bunda loh!" tuturnya. Ia sangat bersemangat. Arabella tersenyum kecil. Ia mengecup kening Arasha lalu membiarkan gadis itu berlari masuk ke dalam sekolah. Arabella menghela nafas. "Ada yang menganggu?" tanya manajernya. Perempuan berusia empat puluh tahun dan tidak berniat untuk menikah itu menganggu ketermenungannya. Maksudnya tentu saja bukan menganggu. Hanya ingin menyadarkan Arabella dari lamunannya. Karena sebentar lagi, direktur production house mereka akan mengadakan rapat. "Enggak," ia berpura-pura memijit keningnya. "Pusing, Bel?" "Enggak. Cuma....," ia mengurungkan diri untuk bercerita. Belajar kalau urusan rumah tangganya adalah urusannya. Tak boleh siapapun tahu bahkan kedua orangtuanya. Ia mengeluarkan ponselnya lantas mengirimi suaminya pesan. Setidaknya ia harus bertanya kapan lelaki itu pulang. Meski ia sadar betul kalau akhir-akhir ini, suaminya jarang membalas pesannya. Menelepon pun hampir tak pernah lagi. Bella jadi tak paham. Perasaan, tak ada yang salah dengan rumah tangga mereka. Tapi kenapa terasa begitu ganjil? "Cuma apa?" Bella menggelengkan kepalanya. "Besok aku ada jadwal?" tanyanya. Lebih baik mengalihkan pembicaraan ini. Manajernya mengerutkan kening sembari membuka ipad-nya untuk melihat jadwal Bella. "Lumayan padat seperti biasa. Kita juga ada jadwal syuting sampai tengah malam." Arabella mengeluh. "Arasha akan marah sepertinya." Manajernya tertawa. Ini lah resiko menjadi artis. Harusnya Bella tahu. Dan lagi, ini memang dunianya. Ia bahkan tidak berniat meninggalkannya. Karena saking cintanya pada dunia pekerjaan ini. Namun anehnya, ia sama sekali tak ingin Arasha ikut menjadi artis. Meskipun gadis kecilnya tumbuh dengan sangat cantik. Saat makan siang, Arabella menelepon supirnya. Supir perempuan yang juga pengasuh Arasha. "Ah ya, Buk. Arasha dibawa Opanya hari ini." "Oh tadi sama Papa juga dijemputnya, Neng?" "Iya, Buk. Katanya nanti kalau mau jemput Arasha, jemput aja ke rumah dinas." Arabella mengiyakan. Ia setidaknya tenang hari ini karena Papanya menjemput. Maka sebelum berangkat lagi untuk pekerjaan selanjutnya, ia menghubungi Papanya. "Arasha aman, Pa?" Ia tersenyum kecil saat bertanya. Papanya tampak senang karena meladeni Arasha di taman bermain yang ada di salah satu mall besar di Jakarta. Mumpung ia bisa meluangkan waktu bersama cucunya, jadi ia bawa saja. Tadi juga ikut ke gedung kementerian. Lalu sekarang bersama istrinya membawa Arasha bermain. Hanya Arabella yang tinggal di Jakarta. Sementara anak-anaknya yang lain tinggal di Bandung. Keluarga Papa Arabella pun hanya tinggal di rumah dinas di sekitar Jalan Pegangsaan, Jakarta. Rumah permanen tentu saja di Bandung. Meski berkiprah lama sebagai politikus senior di Jakarta, Papa Arabella sama sekali tak berniat membuat rumah di Jakarta. Ia lebih suka kota kelahirannya, Bandung. "Aman. Mina bilang kalau syutingmu akan sampai tengah malam? Kalau begitu suruh suamimu saja yang menjemput Arasha." "Ah ya, nanti aku minta Bang Fajri ke sana. Papa dan Mama sehat?" Setidaknya ia harus bertanya keadaan mereka meski kerap bertemu. Setelah itu, ia mematikan telepon dan kembali melanjutkan perjalanan menuju lokasi berikutnya. "Bel," panggil Mina, manajernya. Bella sibuk dengan ponselnya. Ia harus mengirim pesan lagi pada suaminya. Meminta tolong lelaki itu untuk menjemput Arasha di rumah Papanya. "Eung-oh, kenapa, Kak?" "Ada sesuatu yang terjadi di rumah?" tanyanya pelan dan sama sekali tak berani melihat ke arah Arabella. Arabella tak menangkap kegelisahan itu. Perempuan itu masih sibuk dengan ponselnya. Benaknya juga bertanya-tanya tentang ke mana suaminya hari ini? Kenapa tak satu pun pesannya dibalas bahkan sejak kemarin? Apa begitu susah membalas pesannya? "Apa yang terjadi?" ia malah bertanya balik. "Eh-oh, enggak," jawabnya canggung. Tapi lagi-lagi terlewat oleh Arabella. Perempuan itu tak terlalu memerhatikan keanehan pada Mina. "Cuma siapa tahu yaaaaa--" "Akhirnya dibalas," gumamnya. Arabella masih fokus dengan pesannya. Tapi kali ini ia tersenyum kecil karena suaminya membalas pesannya. Oke, honey Meski hanya dua kata itu. Tak apalah. Ia cukup senang dengan kata sayang itu. Walau mungkin Bella tak menyadari keganjilannya. "Bella baik-baik saja?" tanya sang istri. Ia bahkan tak berani menghubungi anak bungsunya. Takut menangis. Bahkan kini matanya berkaca-kaca melihat kelakuan cucu cantiknya yang asyik bermain di taman bermain. Mencoba berbagai wahana. Terdengar helaan nafas dari suaminya. "Sepertinya belum tahu dan jangan sampai pernah tahu." "Kalau begitu jangan berbuat apapun." "Aku tidak bisa diam kalau ada yang menyakiti gadis kecilku," tuturnya tajam. Baginya, Arabela yang sudah berkepala tiga itu tetap saja anak gadisnya. Gadis paling manis yang ia punya. Mengingat semua kakak-kakak Arabella adalah laki-laki. "Dia seharusnya belajar dari apa yang mereka usahakan bersama untuk mendapat restuku dulu," lanjutnya lalu melangkahkan kaki saat melihat cucunya hampir terjatuh dari sebuah perosotan. Istrinya hanya diam. Ia tak berani membayangkan apa yang akan terjadi malam nanti. @@@ "Gue? Lebih memilih diselingkuhi dari pada berurusan sama ibu mertua." Kata-kata itu terngiang-ngiang dibenak Davira. Selingkuh itu sama pahitnya. Mungkin lebih pahit? Ia juga tak akan kuat. Meski bagi Emi, ini adalah kenyataan yang lebih pahit. Maksudnya, kalau dengan suami berselingkuh maka itu cukup untuk menjadikan alasan untuk meninggalkan. Tapi kalau ribut karena ibu mertua? "Lo tahu. Kita gak bisa milih ibu mertua ketika udah suka sama anaknya. Tapi untuk urusan pelakor, kita masih bisa mencegahnya. Setidaknya, itu yang gue pahami. Meski yaah amit-amit." Davira menghela nafas. Ia memejamkan matanya berkali-kali. Berusaha untuk tidur meski terasa sia-sia. Ingatan buruk ketika tak sengaja dilabrak ibu Gavin saat masih berpacaran dulu membuatnya masih sangat sakit hati. Ia bukan lagi dihina tapi direndahkan di depan orang banyak. Bahkan Davira sangat trauma tiap melihat tempat itu sampai sekarang. Jangan kan melihat, jika namanya terlintas pun ia tak kuat. Tiba-tiba membuat peluh keluar begitu saja. Ia ternyata trauma sangat dalam hanya karena itu. Tapi kenapa masih mau bertahan hingga sekarang? Satu-satunya alasan adalah Gavin. Tapi baru kini ia sadari jika menjadikan Gavin sebagai alasan terasa sangat salah. "Cinta, Vira?" Bahkan banyak orang yang menertawakannya kala itu. Cinta memang sesuatu yang indah tapi tidak semua orang memiliki kenangan baik tentang cinta. Bagi orang yang memiliki kenangan buruk tentang cinta, apakah mereka bahkan berpikir untuk melanjutkan atau terua memperjuangkan cinta ke dalam sebuah hubungan. Terasa sangsi dan sulit diterima. "Perasaan sentimentil yang sangat melukai. Kalau tidak tepat menaruh sasarannya maka terluka adalah jawaban, Vira. Lo yakin sama Gavin hanya karena cinta? Terus kalau pada suatu saat dia gak cinta lagi sama lo, masih bisa lo menyebutnya cinta?" Davira bahkan tak pernah membayangkan itu. Maksudnya, Gavin terlihat sangat sempurna di matanya. Satu-satunya lelaki aneh yang berani mendekatinya dengan cara yang sungguh romantis. Ia jadi ingat saat pertama kali bertemu Gavin di salah satu ruang sidang. Davira datang menemani mahasiswinya dalam sebuah kasus pelecehan yang dilakukan salah satu oknum dosen di kampusnya. Sangat sulit membuktikan pembenaran dari kasus pelecehan. Tapi alih-alih membicarakan kasus itu, mari bicarakan bagaimana Davira berhadapan dengan seorang jaksa muda yang sangat keren saat itu. Gavin memang cerdas dengan segala cara dan kata-katanya. Dan Davira yang turut menjadi salah satu saksi, berhasil membius Gavin saat itu. Tak heran kalau usai persidangan, tiba-tiba Gavin memanggil namanya. Namun karena Davira tak menoleh, Gavin berlari hingga berhasil mencegatnya di depan ruang sidang. Kening Davira mengerut heran saat itu. Maksudnya, untuk apa pengacara ini tiba-tiba datang dan mencegatnya? "Gavin Prasetijo," tuturnya saat itu dengan tangan terulur. Namun Davira bergeming. Maksudnya, ia sama sekali tak tertarik pada seseorang yang memiliki latar belakang hukum sepertinya. Ia saja tak memilih untuk menjadi praktisi. Ia malah memilih menjadi ilmuwan hukum yang berkiprah di bidangnya sendiri. Meski menghadiri sebuah sidang adalah kewajiban untuknya sendiri. Karena dengan begitu, ia bisa memplejari banyak kasus untuk diceritakan di depan kelas. "Ada apa?" Davira yang Gavin kenal dulu juga begitu dingin. Bukan gadis yang mudah didekati. Setelah mengenal cukup lama, ia baru paham kalau Davira memiliki latar belakang keluarga yang kurang harmonis. Itu membuatnya tak berani berekspektasi tinggi dalam sebuah hubungan. Karena takut bernasib sama seperti ibunya. Namun Gavin berhasil memberikan kehangatan dan rasa cinta yang tak pernah Davira terima sebelumnya. Hidup Davira memang terasa hampa dengan segala caranya. Tapi kehadiran Gavin membuatnya menjadi lebih hangat. "Berkenalan? Tidak boleh? Atau sudah punya pacar?" Gavin langsung ditinggalkan saat itu. Namun waktu lah yang membuat kebekuan pada Davira mencair. Hingga keduanya bersama-sama berjuang untuk meraih restu ibu Gavin yang terlampau susah. Perempuan itu mempunyai selera tinggi. Sekalipun Davira cerdas dan memiliki pekerjaan yang cukup mapan, Davira sama sekali tak masuk ke dalam kriterianya. Karena apa? Status sosial itu lebih penting. Davira kan bukan berasal dari keluarga yang berada. Latar belakang keluarganya bahkan dibilang b****k oleh ibu Gavin. Cuma karena wajah dan otaknya saja yang membuat hidup Davira beruntung. Lebih beruntung lagi karena mendapatkan anaknya. Dan ibu Gavin percaya kalau Davira menikah dengan Gavin hanya karena hartanya. Sebab Gavin itu kan anak tunggal. Harta kedua orangtuanya tentu saja akan diwariskan pada Gavin dan ia tak pernah sudi jika sampai hartanya jatuh ke tangan Davira bahkan anak-anak yang mungkin lahir dari rahimnya. Membayangkannya saja tak sudi. "Kamu kenapa?" tanya Gavin. Ia terkaget karena begitu bangun, ia melihat Davira penuh dengan peluh. Perempuan itu tak menjawab karena sibuk mengatur nafasnya. Gavin membantunya duduk dan memegang keningnya. Takut istrinya sakit. Karena Davira itu memang tipe perempuan yang mudah stres. Ada beban pikiran sedikit pun sudah sakit. Bukan karena mentalnya lemah. Tapi Gavin tahu sendiri bagaimana perjuangan Davira hingga tiba pada titik ini. "Vir! Vira!" panggilannya. Ia mencoba menepuk-nepuk pipinya. Perempuan itu tersadar. Ia terlalu banyak memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk. Ia tak sanggup jika keluarga kecilnya juga hancur. Ia sudah tak bisa percaya lagi pada cinta kalau begini. "Kamu gak apa-apa? Vir?" Davira menggeleng. Meski wajahnya tak bisa berbohong sama sekali. Wajah itu terlihat pucat seperti kapas. Gavin menghela nafas. Satu hal yang tidak pernah ia sukai dari dulu sampai sekarang adalah Davira tak pernah jujur akan perasaannya. Ia selalu menyimpan banyak rahasia yang terjadi pada dirinya sendiri. Bahkan sekalipun mereka telah menikah. "Kalau ada sesuatu, tolong jangan simpan sendiri. Apa gunanya aku kalau bukan menjadi tempatmu berbagi?" Lelaki itu mulai mengeluh usai mengambil segelas air putih untuk Davira. Ia melihat Davira yang meneguk air dengan cepat. Seperti kehausan. "Aku gak apa-apa, Mas." Gavin menghela nafas. Ia juga lelaki biasa yang tak bisa membaca isi hati perempuan. Lelaki itu mengusap kepala Davira dengan sayang. Belum setahun menikah tapi kenyataan yang menimpa mereka begitu rumit. "Kalau kamu mengkhawatirkan kita yang gak bisa memiliki anak, maka aku gak masalah. Aku menikahimu bukan semata-mata untuk mempunyai anak. Kita bisa memilikinya dengan cara lain, Vira." Ia jujur. Namun kata-kata itu sama sekali tak menghibur Davira. Bukannya tak bersyukur tapi keadaan ini memang membuatnya frustasi. Siapa yang senang berada di posisinya? Ia rasa tak akan ada. Bahkan berpikir pun mungkin tak mau. "Atau kamu butuh liburan? Heum?" tanya Gavin dengan senyuman tipis. Ia tak keberatan meninggalkan kantornya demi Davira. Tapi istrinya malah menggelengkan kepala. "Aku gak bisa tinggalin mahasiswaku." "Yaah! Kamu curang!" serunya sambil menyentil hidung Davira. Keduanya tertawa. @@@ Namun keceriaan tadi pagi tentunya hanya berlangsung sebentar. Karena saat ibu Gavin tiba di rumah mereka, suasana berubah menjadi tidak menyenangkan. Ini lebih mencekam dibandingkan masa sidang tesis Davira. Karena ia sama sekali tak berkutik dan tidak diberikan kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya sedikitpun. Termasuk saat pemeriksaan kesuburan akan dilakukan hari ini. Sejujurnya, ia ingin Gavin juga melakukan hal yang sama. Biar adil. Karena selama ini, di dalam masyarakat, jika sesuatu yang terjadi dan berhubungan dengan ketidakhamilan seseorang maka yang kerap disalahkan adalah perempuan. Padahal belum tentu perempuan menjadi penyebab sepenuhnya tentang alasan kenapa pasutri belum mendapatkan anak. Apalagi untuk kasus Davira. Ketika dokter menanyakan jumlah saudaranya, Davira mengatakan kalau ia memilih empat saudara. Itu jelas banyak dibandingkan Gavin yang hanya sendiri. Tapi keganjilan itu tak bisa dijadikan patokan karena medis tentu berbicara tentang hasil pemeriksaan bukan hanya sekedar persangkaan manusia. "Terhitung sepuluh bulan pernikahan." Ini sebetulnya sangat cepat. Davira juga merasa aneh. Ia tentu banyak membaca sebelum melakukan sesuatu. Namun desakan ibu mertua membuatnya harus berulang kali mengalah. Memangnya ada yang bisa mengalahkan ibu mertua? Ada. Siapa? Tuhan ketika mencabut nyawanya. Tapi Davira mengelus d**a. Ia tak boleh berdoa sesuatu yang buruk. Sebetulnya masih terlalu dini untuk memeriksa hingga seakurat ini. Namun Davira hanya bisa pasrah. Gavin terus menemaninya setiap pindah-pindah ruangan. Sesekali menciumi tangannya. Ia memang pria yang manis yang sangat menyayangi Davira. Hingga membuat Davira takut kehilangannya. Karena Gavin menjadi alasan bagi Davira untuk mau membuka hati demi cinta. Sebekumnay, Davira memang dikenal dingin dan sangat berlogika. Tapi Gavin mengajarkannya bahwa ada hal-hal yang membutuhkan perasaan bukan hanya logika pikiran. Seperti saat Gavin mengajak Davira untuk menonton sebuah persidangan seorang nenek tua yang mencuri coklat untuk cucunya. Hakim tidak menggunakan asas kepastian hukum tapi keadilan dengan hati. Sebab baik-buruknya sesuatu lebih pandai ditentukan melalui hati. Hingga pemeriksaan terakhir, Gavin selalu ada di sampingnya. Ia sebetulnya keberatan membiarkan Davira mengalami ini semua. Ia merasa gagal membahagiakannya. Karena ini seperti tak ada bedanya dengan sebelum mereka menikah. Batin Davira terus menderita. Tapi ia juga egois karena saking cintanya pada perempuan ini. Tahu kenapa ibu Gavin akhirnya merestui? Itu karena Gavin yang rela bersujud di kaki ibunya. Ia berjanji akan melakukan apapun untuk ibunya asal diizinkan untuk menikahi Davira. Memang tidak mudah. Karena setelah itu, ia diabaikan oleh ibunya sendiri. Tapi saat ia hampir mati dalam sebuah kecelakaan, ibunya lah yang berlari dan mendonorkan darah untuknya. Perempuan itu tidak membencinya justru sangat menyayanginya. Saking sayangnya, menginginkan semua hak terbaik untuk Gavin termasuk urusan jodoh meski mungkin pilihannya tak disukai Gavin. "Insya Allah, hasilnya akan baik-baik aja, percaya," bisik Gavin yang berusaha menghibur Davira. Mereka sudah keluar dari ruang pemeriksaan dan diizinkan untuk istirahat sebentar. Nanti dokter akan menghubungi Gavin jika hasilnya sudah keluar. "Kalau periksa kayak gini dari kemarin-kemarin kan enak," celetuk ibu Gavin begitu masuk ke dalam mobil. Davira hanya diam sembari duduk di belakang. Ia masih perempuan asing yang dinikahi Gavin bukan perempuan yang berstatus sebagai menantu dimata ibu mertuanya ini. Memang benar kata orang kalau seorang perempuan yang menjadi istri dan datang ke keluarga suami itu ibarat tamu. Ia merasa asing dan takut kemungkinan tak bisa beradaptasi. Karena memang tidak mudah. Apalagi bagi Davira. Beberapa hari kemudian, mereka kembali untuk mengambil hasil tes pemeriksaan. Davira menyempatkan diri di tengah-tengah jadwal perkuliahannya yang padat. Ia menyusul dengan taksi saat pergi ke rumah sakit. Gavin menunggunya di depan ruang dokter yang memeriksa Davira saat itu. Tak lama, ibu dan ayah mertua Davira juga tiba. Mereka datang dengan mobil yang terpisah dari Gavin. Gavin berangkat sendirian dari kantornya tadi. "Kelebihan hormon androgen pada wanita atau polycystic ovary syndrome (PCOS) menjadi penyebab paling umum masalah mandul yang disebut infertilitas anovulasi." Davida sudah tak mendengar lagi penjelasan dari dokter yang intinya ia adalah seorang perempuan mandul. Matanya terasa berkunang-kunang. Gavin langsung menangkapnya saat ia akan ambruk dari kursi. Suasana menjadi agak kacau karena Davira kehilangan kesadaran diri. Lalu Davira dibawa ke ruang rawat. Dokter yang memeriksa Davira itu hanya termangu menatapnya. Ia tahu bagaimana perasaan itu. "Terima kasih, dokter. Sisanya saya transfer lagi," tutur ibu Gavin yang kemudian datang ke ruang rawat Davira paling akhir. Ini adalah melow-drama yang paling memuakkan. Tapi melihat dirinya juga terlibat, ia merasa tak ada bedanya dengan perempuan tua itu. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN