Manusia Setengah Hewan

2062 Kata
“Mi ... aku mau main dulu boleh?” tanya Arya setelah bangun dari tidur siangnya. Main yang dimaksud Arya tentunya main ke langgar. Namun, kini dia harus pintar-pintar beralasan supaya masih bisa tetap bolak-balik ke langgar Abah Latif. Entah kenapa saat berada di sana Arya merasa hatinya jauh lebih tenteram dan damai sehingga Arya merasa ada sesuatu yang hilang jika tidak berkunjung ke sana dan melewatkan salat lima waktu yang kini sudah rutin dia lakukan. Desanya memang terpencil, dari pusat kecamatan saja mesti ditempuh dua jam perjalanan belum lagi menuju kota kabupaten yang memerlukan waktu dua hingga tiga jam perjalanan tergantung ketersediaan angkutan. Untuk menuju jalan besar yang membawa warga ke pusat kecamatan, mereka harus melewati hutan Leuweung Suwung setiap harinya. Hanya ada angkutan mobil pick up milik pedang di pasar yang sering menjadi tumpangan para warga. Jarak dari Situnggalih dengan desa lainnya pun terpisah hamparan sawah dan luasnya hutan Leuweung Suwung hingga desa tempat tinggal Arya menjadi desa yang paling tertinggal di antara desa dan kelurahan lain. “Assalamualaikum, Amir,” sapa Arya setelah turun dari sepedanya. Tono, Bayu dan Elang belum sampai ke langgar karena rumah mereka memang paling dekat dengan langgar. Ketiga teman dekat Arya itu akan datang kalau sudah mendengar suara azan, begitu juga dengan Arya. Hanya saja sore ini rasa penasaran dari bocah kecil yang usianya belum genap delapan tahun membawa dia tiba lebih awal ke tempatnya menimba ilmu agama. “Waalaikum salam, tumben belum azan sudah datang. Teman yang lain belum datang, Ya.” Amir yang sedang membuat mainan dari tanah liat menghentikan gerakan tangannya sejenak. “Aku mau ketemu Abah, Mir. Abah ada?” Arya menengok ke arah rumah gurunya yang dipanggil Abah. “Ada di belakang, paling di kandang.” “Aku, ke sana ya Mir.” Amir hanya mengangguk dan membiarkan Arya menuju kandang. Sampai di kandang, Mata Arya tak juga menangkap sosok pria yang dicarinya. Matanya terus memindai ke dalam kandang kambing untuk memastikan kalau di dalam sana tak ada Abah yang dia cari. “Ehem, cari apa,Ya?” Arya terlonjak kaget dan mengusap dadanya mendengar deheman yang diikuti sebuah pertanyaan dari orang yang sedang dia cari. “Abah, kaget nih aku,” katanya masih dengan mengusap d**a. “Aku cari Abah, kata Amir di kandang. Jadi langsung saja ke sini,” sambung Arya yang langsung mengulurkan tangannya meraih tangan Abah Latif untuk dicium. “Tumben kamu cari Abah, biasanya juga cari si Amir. Sini duduk.” Abah Latif menuntun Arya duduk di sebuah gubuk panggung yang tak jauh dari kandang. Gubuk dimana Abah Latif duduk dan memperhatikan anak-anak yang berlatih silat dipandu Amir si bungsu dan Amrun si sulung yang sudah sekolah SMP kelas tiga, sedangkan anak kedua Abah Latif dan Umi Sopiah, Azizah dititipkan di pesantren saat lulus sekolah dasar dan sebelum mereka sekeluarga pindah ke Situnggalih. “Abah ... apa siluman ular itu benar ada?” tanya Arya ketika mereka sudah dalam posisi duduk yang nyaman. Namun, sebuah pertanyaan yang dilontarkan Arya membuat pria yang dipanggilnya Abah berpikir sejenak. Arya adalah bocah laki-laki yang memiliki rasa penasaran lebih besar dibandingkan ketiga temannya. Oleh sebab itu, Abah Latif tidak ingin asal menjawab tanya Arya agar tidak menanamkan persepsi yang salah di otak muridnya. “Sebelum Abah jawab, Abah mau tanya dulu ... menurut Arya siluman ular itu ada atau tidak?” “Yah, kok aku nanya malah ditanya lagi,” protes Arya disertai dengan gerakan tangan kanan yang mulai menggaruk rambutnya. “Aku sih tadinya tidak percaya kalau siluman ular, babi siluman, burung hantu siluman itu ada, tapi ....” Arya menggantung ucapannya dengan mata yang menatap lekat ke wajah gurunya. Sungguh susah lidahnya berkata kalau dia melihat ular yang sangat besar ada di dalam rumahnya. Apalagi bapaknya bilang kalau Arya tidak boleh menceritakan pada siapapun karena akan dikira kalau omongannya nanti hanya sebuah karangan. “Tapi apa? Arya ini murid Abah yang cerdas. Abah yakin Arya tidak perlu bertanya pada Abah, karena kamu sendiri pasti sudah tahu jawabannya. Kamu ini hanya ingin meyakinkan kalau apa yang ada di otak Arya itu benar, begitu?” Ragu-ragu Arya mengangguk, dia memang yakin kalau apa yang dilihatnya itu bukanlah ular sesungguhnya. Tidak mungkin ada ular yang besarnya lebih dari ukuran manusia normal ada di rumahnya tanpa diketahui oleh siapa pun. Ditambah lagi ular yang dia lihat tiba-tiba saja menghilang dari hadapannya. “Arya lihat siluman ular dimana?” “Kok Abah tahu,” kaget Arya tak mengira kala Abah Latif mengajukan pertanyaan tersebut. “Abah itu sudah lebih dari setengah tahun kenal Arya. Kamu hanya akan bertanya sesuatu yang kamu lihat langsung, bukan kata Tono, kata Bayu dan kata teman-temanmu yang lainnya. Sekarang, Arya cerita sama Abah ... apa yang sebenarnya Arya lihat?” Arya tertunduk dengan memainkan jemarinya. Perlahan bibirnya mulai bergerak menceritakan apa yang dia lihat di dalam rumahnya saat baru pulang dari langgar setelah menunaikan salat zuhur berjamaah. Sementara Arya bercerita, Abah Latif memilih untuk menyimak tanpa memotong satu pun kalimat Arya. Dalam benak Abah Latif terpikir kalau benarlah alasan sang Kiyai mengirimnya ke desa ini. sebuah desa yang hampir semua penduduknya awam dengan agama dan masih melakukan pemujaan dan perjanjian dengan setan. Saat sang Kiyai dan rombongan mengantarkannya ke desa ini. Sepanjang perjalanan mereka dikejutkan dengan banyaknya manusia yang tidak semestinya. Mata awam mungkin melihat mereka sama-sama manusia, tapi di mata sang Kiyai dan beberapa ustad yang memiliki mata batin yang tajam. Situnggalih ini tak ubahnya desa dimana manusia dan manusia setengah hewan hidup berdampingan. Manusia setengah hewan yang digambarkan sang Kiyai adalah manusia yang memilih menjadi b***k bangsa siluman. Tubuh mereka manusia, tapi kepalanya ular, babi hutan, burung hantu, dan banyak yang diikuti tuyul di belakang mereka. Abah Latif yang mata batinnya ditutup sebelum masuk ke desa ini hanya berharap doa dari sang kiyai dan para rekannya agar bisa mampu mengemban tugas untuk mengenalkan para penduduk Situnggalih pada Tuhan sang pemilik alam semesta ini. Tugas yang tidak mudah dengan beban yang tentu saja akan sangat berat untuk diemban. Namun, demi tersebarnya kebaikan ... keluarga Abah Latif dan Umi Sopiah siap bekerja sama untuk melaksanakan tugas dari Kiyai mereka. “Begitu ceritanya Abah ... Bapak dan Mimi bilang aku salah lihat, tapi itu tidak mungkin. Arya melihat dengan jelas, Bah,” tutup Arya mengakhiri ceritanya. Abah Latif mengusap pucuk kepala Arya dengan jemarinya. Suatu kekhawatiran menyeruak pada salah satu muridnya yang selama ini paling aktif bertanya saat pose belajar. “Jadi apa yang aku lihat itu siluman ular bukan?” tanya Arya saat Abah Latif tak kunjung memberi tanggapan akan ceritanya. “Abah belum kenalan sama siluman ular, Ya,” gurau Abah Latif disertai senyuman jahil menggoda Arya yang wajahnya terlihat begitu tegang. “Abah tidak bilang kalau Arya salah lihat. Mungkin apa yang Arya lihat memang benar ular yang sangat besar ada di dalam rumah Arya. Bukankah Abah sering bilang kalau Allah itu bukan hanya menciptakan kita para manusia yang menempati bumi ini. Selain hewan dan tumbuhan ... ada juga jin, setan dan para makhluk yang tidak terlihat mata semua orang. Hanya orang-orang yang terpilih saja yang bisa melihat penampakan bangsa seperti itu. Jadi wajar kalau Bapak dan Mimi Arya tidak melihatnya, mungkin menurut Allah hati Arya masih suci dan bersih sehingga mata Arya bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat Mimi dan Bapak,” terang Abah Latif dengan bahasa sederhana yang diharap bisa dengan mudah dicerna Arya. “Arya jangan lupa berdoa setiap melihat makhluk seperti itu. Minta tolong sama Allah agar Arya, Mimi dan Bapak mendapat perlindungan dari Nya. Percayalah Arya, Allah akan selalu ada untuk membantu Arya dengan cara yang paling baik. Jadi sekarang Arya tidak perlu takut, oke anak pintar.” Arya mengangguk, tapi sedetik kemudian pertanyaan yang baru pun dia lontarkan. “Kenapa ular itu ada di rumah Arya, Abah? Apa dia mau makan kami?” Kali ini Abah Latif pun terkekeh mendengar pertanyaan polos dan lugu dari Arya. Mana mungkin ada ular siluman yang langsung memakan korbannya dengan cara yang sama seperti cara makan ular yang sebenarnya. “Abah juga tidak tahu kenapa ular itu masuk ke rumah Arya. Mungkin dia ingin mengajak Arya main bola,” gurau si Abah yang akhirnya membuat Arya tertawa setelah sedari tadi wajahnya terlihat begitu tegang. “Mana ada ular main bola Abah.” “Nah, gitu dong. Tertawa ... biar gantengnya kelihatan. Sudah ya ... pertanyaan lainnya disimpan saja dulu. Tuh lihat, Abang Amrun sudah mau menabuh kentong. Sudah waktunya salat asar, Arya ambil wudu. Abah mandi dulu, tuh badan Abah kotor.” Abah Latif memperlihatkan pakaian kotor yang melekat di badannya. Arya pun mengangkat ibu jari tangan kanannya sebelum turun dari gubuk panggung dan berjalan menuju langgar. Tanya dalam benaknya belumlah usai, satu pertanyaan dijawab, tanya lainnya segera datang. Namun, bocah kecil itu sudah mengerti kalau setiap tanya tak harus dijawab dalam satu waktu. Arya memang belum genap delapan tahun, tapi kesulitan hidup orang tuanya membuat dia berpikir lebih dewasa dibandingkan dengan ketiga teman lainnya. Arya sudah mengerti arti berbagi sebelum dia belajar di langgar ini. Dia sudahlah terbiasa menahan lapar hingga menghadapi bulan puasa yang akan tiba malah membuatnya begitu semangat. Saat teman sepermainannya masih bermanja dan mudah meminta barang yang mereka inginkan. Saat itu Arya justru harus belajar menahan diri agar tidak ikut merengek dan meminta sesuatu yang tidak terlalu penting. Makan pun terkadang hanya dengan nasi dan garam ... maka mobil mainan dan lainnya hanya ada dalam angan yang tak terlalu ingin dia miliki. Usai salat asar Arya langsung pulang ke rumah. Sudah satu jam setengah dia meninggalkan rumah, tentu yang dia takutkan sang Bapak tahu kalau dirinya masih pergi ke langgar. “Ah ... kenapa tidak aku tanya pada Abah kenapa Bapak melarangku ke langgar,” gumam Arya di tengah kayuhan sepedanya. “Arya!” Kayuhan sepeda Arya berhenti seketika mendengar satu suara memanggilnya. Tuti melambaikan tangan dari arah warung Bi Neneng. Arya pun memutar sepedanya untuk menghampiri neneknya yang dipanggil Emak. “Arya dari langgar?” “Iya Emak, ini mau pulang. Sudah sore belum mandi,” kata Arya dengan senyum polosnya. “Ini ciki buat kamu, sana pulang! Terus mandi ya.” Tuti memberikan plastik kresek berisi Snack yang disebutnya ciki. “Terima kasih, Emak. Arya pulang ya,” pamit Arya yang meraih tangan Tuti untuk dicium. “Assalamulaikum Emak.” Arya kembali mengayuh sepedanya ke arah rumah. Salam yang selalu dia lontarkan selama ini memang belum pernah dibalas oleh kedua orang tuanya, maupun nenek dan kakeknya. Namun, Arya tak berkecil hati untuk tetap membiasakan dirinya mengucapkan salam yang bisa jadi sebuah doa untuk orang yang diberi salam olehnya. Dimana saat Arya mengucapkan salam, dia mendoakan keselamatan untuk Mimi-bapaknya, juga untuk Emak dan Pak Jo panggilan sayang dari Arya untuk Kakeknya Parjo. “Arya! Kamu dari mana?” Suara berat dan tegas Sugih yang sedari tadi sudah menunggunya pulang membuat Arya bingung harus menjawab tanya sang bapak. “Bapak sudah bilang kalau kamu tidak perlu ke langgar lagi! Bapak tidak suka kamu belajar jadi dukun di sana,” sambung Sugih yang membuat Arya diam menutup rapat mulutnya. “Pak ... tadi Arya izin buat main. Tuh lihat dia bawa ciki, itu dari siapa Ya?” tanya Mirna yang muncul dari dalam rumah saat mendengar suara lantang suaminya yang hendak memarahi Arya. “Dari Emak, Mi,” jawab Arya tanpa berani mengangkat dagunya. “Sudah, sana dibawa masuk. Terus kamu mandi, baru dimakan cikinya.” Arya berjalan masuk ke dalam rumah dengan wajah yang tertunduk. “Assalamualaikum,” desisnya lirih sebelum masuk ke dalam rumah dan bergegas untuk mandi tanpa tahu apa yang terjadi di luar rumah antara Mimi dan Bapaknya. “Terus saja kamu bela dia, Mir. Aku tidak suka dia pergi ke langgar lagi. Jangan-jangan dia di sana belajar santet dan ilmu setan lainnya,” gerutu Sugih dengan suara ditekan agar amarahnya tidak lagi meluas seperti siang tadi. “Dia belajar ngaji, Mas. Dia belajar Bener di sana ... memangnya apa yang mendasari tuduhan Mas yang mengira dia belajar ilmu santet?” “Aku sudah bilang tadi pagi dia baca mantra dan itu membuat badanku panas seketika dan telingaku terasa di tiup panasnya napas naga. Kalau bukan mantra setan, tidak mungkin aku menjadi seperti itu.” “Nanti usai Arya mandi aku tanyakan padanya mantra apa yang sudah dia baca. Kalau benar itu mantra setan, maka aku sendiri yang akan melarangnya ke langgar,” putus Mirna sebelum kembali masuk ke dalam rumah dan meninggalkan suaminya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN