Bukan Sugih Si Melarat

2205 Kata
“Mana Arya Mir?” tanya Sugih saat baru terbangun dari tidur lelapnya. Seperti dua bulan yang sudah berlalu, setiap dia pulang menjalani ritual kelambu gaib tentulah Sugih akan menghabiskan harinya dengan tidur panjang tanpa melakukan aktivitas lainnya. “Arya ke langgar,” jawab Mirna tanpa berani menatap mata suaminya. Brakkk. “Kurang ajar! Kenapa kamu izinkan dia pergi ke sana? Apa kurang jelas kalimatku tadi pagi!” bentak Sugih disertai gerakan tangannya menggebrak meja. Gerak tangan Mirna yang sedang mengupas singkong pun terhenti. Sekilas dia melihat sorot mata Sugih yang terlihat menahan amarah padanya. Dia meletakan pisau dan singkong di wadah yang ditaruh di bawah meja. Mirna menarik napas dalam-dalam dari hidung dan menghembuskannya secara perlahan sembari menatap lekat wajah suaminya. “Mas ... bisa kita bicara dari hati ke hati. Aku ingin bicara dengan suamiku yang penyayang dan penuh kelembutan. Bukan Mas Sugiharto yang kini sudah sukses dengan kedai Mie ayam baksonya,” sindir Mirna dengan suara lembut diiringi dengan senyuman agar suaminya tak menangkap kedongkolan hati Mirna yang mulai merasakan sedikit demi sedikit perubahan yang ada pada suaminya. “Maksud kamu apa Mir? Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu padaku. Kamu menyindirku,” tebak Sugih. Mirna memang tidak menangkap kilat amarah dari wajah suaminya. Namun, dia bisa menilai kalau Sugih tersinggung akan perkataannya tadi. Mirna meraih tangan Sugih, digenggamnya tangan kasar dan kekar yang kini sudah jarang mengusap pipinya dengan disertai kalimat cinta yang mendayu. Entah kenapa Mirna lebih bahagia dengan kehidupan keluarga mereka sebelum suaminya mengenal Nyai Saras. Kini semua terasa berbeda, tidak dia dapatkan kelembutan dan tatapan cinta dari sosok Sugih yang dulu setiap hari membanjirinya dengan sejuta perhatian meski dikata orang mereka hidup melarat dan sengsara. “Mas ... jujur aku kehilangan kamu yang dulu. Aku lebih bahagia saat hidup kita serba susah, tapi cintamu selalu membuat aku dan Arya ceria,” aku Mirna dengan menatap dalam mata suaminya. Namun, Sugih langsung saja menepis genggaman tangan Mirna. “Persetan dengan cinta! Cinta yang kamu bilang itu tidak dianggap oleh Emak bapakmu! Mereka gila harta, sepasang tua bangka yang memuji dunia mana mengerti akan cinta!” teriak Sugih memekakkan telinga Mirna. Mirna menutup telinganya dengan kedua telapak tangan. Seumur hidupnya menjadi istri Sugih, baru kali ini suaminya membentak dia serta menghina kedua emak dan bapaknya dengan berteriak lantang hingga suaranya menggema di rumah mereka. Kepala Mirna menggeleng dengan tetes air mata yang mulai membasahi wajahnya. Dia tidak mengerti kenapa suaminya berubah begitu drastis seperti ini, bahkan melihat Mirna menangis pun Sugih bukannya iba. Dia malah membuang muka sambil bertolak pinggang. “Nangis terus ... kamu kira air matamu itu berharga apa,” decih Sugih sambil melangkah keluar rumah. Rumah mereka memang masih sebuah gubuk tua lama yang belum diperbaiki. Sugih tidak ingin para warga curiga jika dia langsung membangun rumah. Padahal usaha Mie ayam bakso yang dijalani baru hitungan bulan saja. Sementara Mirna menyerahkan semuanya pada Sugih, dia tak ingin meminta lebih. Baginya nyawa Arya yang terselamatkan saja sudah lebih dari cukup meskipun saat mendapati amarah suaminya yang seperti ini Mirna justru menyesal kenapa dia terburu-buru mengizinkan suaminya melakoni ritual kelambu gaib yang entah ritual seperti apa yang dijalani Sugih dan Nyai Saras setiap malam Kamis Pahing. “Masih mau nangis, Mir,” tegur Sugih yang mendapati Mirna masih sesenggukan saat dia kembali masuk ke rumah. “Kamu berubah Mas, kamu bukan Mas Sugihku yang dulu,” isak Mirna dengan suara terbata-bata. Kata-katanya bukan malah menjadikan Sugih sadar dan meminta maaf pada Mirna, Sugih justru tertawa pongah masih dengan bertolak pinggang menatap Mirna tanpa belas kasihan. “Aku memang bukan Sugih si melarat lagi Mir! Bukannya kamu tahu, beli mobil dan beli rumah sekarang pun itu hal yang mudah buat aku ... kecil Mir kecil,” ucap Sugih begitu sombong dengan kekehan tawa yang dirasa Mirna begitu meledek dirinya. “Kamu mau beli kalung emas? Kamu mau gelang atau kamu mau c*****t dari sutra pun aku belikan.” “Cukup!” potong Mirna dengan berurai air mata. “Aku tidak butuh semua hal yang Mas Sugih katakan. Aku tidak butuh harta, aku tidak gila dengan emas permata. Aku ini bukan pemuja kemewahan dunia makanya aku memilih kamu sebagai suamiku, Mas!” teriak Mirna yang kini sudah tidak bisa menahan semua tumpukan kalimat yang ingin dia ungkapkan di depan suaminya. “Aku menyesal telah menggadaikan suami sebaik Mas Sugih dengan uang dan kemewahan yang ditawarkan Nyai Saras si Siluman itu! Harusnya aku tidak mengizinkanmu menikah dengan setan yang kini mengubahmu jadi gelap mata. Awwww, sa-kit ....” Mirna memegang perutnya yang seketika merasakan seperti ditendang keras hingga dia terhuyung dan hampir jatuh terjerembab ke tanah kalau Sugih tidak menahannya. Sementara mata Sugih menangkap kehadiran Nyai Saras yang tiba-tiba datang dan mengirimkan pukulan gaib ke perut Mirna. “Mir ... sudah Mir sudah.” Sugih menuntun Mirna untuk duduk di kursi. Nyai Saras berdiri dengan kilatan mata merah menatap ke arah Mirna. “Ajari istrimu untuk sopan padaku, Sugih!” geram Si Nyai membuat tubuh Sugih bergetar ketakutan. Belum sempat Sugih menjawab, pintu terbuka oleh Arya. “Assalamualai-kum u-lar Pak! Awas ular!” teriak Arya melihat ular besar seukuran dengan rumahnya dengan kepala tepat menghadap ke kedua orang tuanya. Sugih dan Mirna menoleh seketika mendapati Arya berdiri di ambang pintu dengan tubuh bergetar dan telunjuk tepat mengarah pada Nyai Saras. “Hi-lang.” Arya tergagap saat ular yang dilihatnya lenyap seketika. Sugih pun kembali menoleh ke tempat Diana tadi Nyai Saras berdiri. Kosong, hilangnya ular bersamaan dengan hilangnya si Nyai. Arya berlari menghampiri Mirna yang masih mengaduh sakit dengan memegang perutnya. “Mimi kenapa Mi? Mimi dipatuk ular?” tanya Arya begitu mengkhawatirkan Mirna. Dia kembali menengok ke belakang untuk memastikan kalau ular besar bermata merah menyala itu benar-benar hilang dari rumahnya. “Ular a-pa, Ya,” gagap Mirna bertanya pada sang putra yang dua kali menyebut kata ular. “Ular besar ... di sini, matanya menyala merah. Besarnya seperti rumah ini, tinggi sekali. Seram Mi,” beber Arya membuat Mirna bergidik ngeri sambil memutar kepala menanyakan kebenaran hal tersebut pada Sugih tanpa suara. Bibir Sugih bergerak tanpa suara menyebut kata Nyai hingga Mirna sadar kalau mungkin ular yang dilihat Arya adalah perwujudan dari Nyai Saras. Hanya saja kini dia mulia bertanya-tanya kenapa Nyai Saras datang ke rumah mereka. Apa ada hubungannya sakit perut yang dia rasakan dengan si Nyai. “Mi ... Mimi tidak apa-apa?” tanya Arya lagi. Mirna merangkum wajah putranya yang bentar lagi genap berusia delapan tahun. “Mimi tidak apa-apa Arya, ini sakit perut biasa,” jawab Mirna tidak ingin membuat Arya terus mengkhawatirkannya. “Apa yang ular itu lakukan di rumah kita Pak,” sambung Arya kembali bertanya meskipun kini pertanyaannya dia tujukan pada sang Bapak. “Ba-pak ti-dak lihat ular, Ya,” gagap Sugih menjawabnya dengan satu kebohongan. “Mungkin Arya salah lihat,” imbuh Mirna menguatkan kebohongan yang diucapkan Sugih. “Tidak Mi, tidak mungkin aku salah lihat. Ularnya besar sekali, kepalanya seperti ini menghadap Mimi dan Bapak dengan mata besar berwarna merah.” Arya memperagakan kepala ular dengan tangannya. Dia masih mencoba meyakinkan kedua orang tuanya kalau apa yang dia lihat itu satu kebenaran. “Sudah lah, Arya bawa Mimi ke kamar dulu. Bapak mau beli obat buat Mimi,” sela Sugih yang tidak ingin pembahasan tentang ular yang dilihat Arya semakin melebar. “Satu lagi ... Arya tidak usah bilang sama siapapun lihat ular besar di rumah ini. Nanti kamu dikira bohong dan garang,” tambah Sugih agar perihal tentang ular tidak usah dibahas hingga keluar rumah. Arya mengangguk saja tidak ingin menentang perkataan sang Bapak. Dia menuntun Mirna menuju kamar dengan berbagai tanya yang berkecamuk di d**a bocah kecil yang belum banyak dosa. Tanya yang sama pun mengganggu pikiran Mirna ... kalau saja benar ular yang dilihat Arya itu Nyai Saras, buat apa dia muncul ke rumah ini. Apakah si Nyai yang memukul perutnya hingga terasa begitu nyeri. Apa Nyai Marah karena dia sudah mengatakan hal yang jelek tentangnya hingga dia seketika datang. Kalau benar itu terjadi, Mirna kini harus mulai menjaga ucapan dan tindakan agar dirinya tetap aman berada di antara Sugih dan istri gaibnya. “Mi ... tadi aku benar loh lihat ular besar.” Arya kembali membahas tentang ular setelah Mirna berbaring di ranjang. “Iya, Ya. Mimi percaya. Hanya mungkin itu roh leluhur yang sedang berkunjung sehingga yang bisa melihat cuma kamu yang hatinya masih suci dan belum banyak dosa,” kata Mirna dengan mengusap kepala putranya. “Benarkah seperti itu, Mi?” Mirna mengangguk dengan senyum agar Arya percaya. “Tapi aku pernah dengar cerita Anwar, dia bilang ada orang nyupang ular. Kata Anwar, nyupang itu kerja sama dengan setan yang nantinya harus masih tumbal buat makan setannya. Itu benar ya Mi?” Kening Mirna mengerut mendengar tanya sang putra. Tentu saja apa yang dikatakan Arya bukan sesuatu hal yang salah, mengingat di Desa Situnggalih, Marga Mulyo dan sekitarnya memang banyak warga yang menurut orang-orang memilih jalan salah untuk hidup dengan bergelimang harta. Namun, bukan satu hal yang bijak untuk mengiyakan perkataan Arya. “Mimi tidak tahu Arya, Mimi dan Bapak ini hanya bekerja apa adanya. Mimi tidak mengerti hal begituan. Sudah ... sini Arya temani Mimi berbaring.” Mirna menepuk sisi kosong di ranjang. Arya berangsur naik dan membaringkan dirinya di samping Mirna. Arya terpaksa memilih diam meskipun bocah sepertinya tentulah menyimpan rasa penasaran yang jauh lebih besar. Kala dia tidak mendapatkan jawaban yang tidak memuaskan dari Mirna, biar nanti dia bertanya pada Abah Latif sore nanti saat ke langgar. “Mir ....” Sugih membuka pintu dan mendapati Mirna dan Arya sedang tidur berpelukan. Dia membawa jamu di tangan untuk mengobati keram perut yang dirasakan Mirna. Namun, melihat anak dan istrinya terlelap, Sugih kembali memikirkan kejadian demi kejadian yang baru dilewatinya. Semua kata-kata Mirna terngiang kembali ... benarkah dirinya kini berubah? Sedetik kemudian dia memikirkan perkataan Nyai agar Mirna bersikap sopan padanya, kemudian dalam bayang Sugih terekam kembali adegan Arya yang ketakutan menunjuk ke arah Nyai dengan menyebut kata ular. Harusnya sebelum memutuskan untuk menerima tawaran Nyai, Sugih sudah bisa menebak hal ini pasti akan terjadi. Orang mungkin tidak akan tahu dan curiga dengan kemajuan usahanya. Namun, Arya dan Mirna sudah satu paket dalam hidupnya. Mau tidak mau mereka berdua akan terkena imbas dari pilihannya menerima tawaran untuk menjadi suami Nyai. Sesal menyeruak dalam batin Sugih .... dia membenarkan Mirna yang berkata hidup melarat mereka lebih terasa bahagia dibandingkan dengan sekarang. “Sugih! Tak ada yang perlu kau sesali. Kau suamiku, kemewahan akan menjadi milikmu.” Suara Nyai yang diakhiri dengan tawa menggema terdengar jelas di telinga Sugih. Netranya berputar memindai ke setiap sudut kamar untuk mencari sosok dari si pemilik suara. Tidak ada ... hanya suara yang datang dan terdengar sudah cukup membuat Sugih kembali meremang takut, apalagi saat mengingat Arya yang melihat ular sangat besar dengan mata merah. “Ular ...,” desis Sugih. Dia mengusap wajahnya kasar. Semua sudah kepalang tanggung, tidak mungkin dia mundur dari perjanjian. Penyesalan hanya akan membawa kemurkaan Nyai padanya. Biarlah kini dia menikmati proses menjadi orang kaya agar tidak dipandang hina oleh siapapun. “Mas ....” Mata Mirna terbuka, dia perlahan bangkit dan duduk bersandar di kepala ranjang. “Sebentar Mir, ini jamu keram perut biar perutmu tidak sakit lagi.” Sugih mengambil jamu yang dia letakan di meja kamar saat melihat Mirna sedang tidur. Tak lupa dia membawa air putih di gelas. “Minumlah dulu.” Dia menyodorkan jamu pada Mirna. Perlahan Mirna meneguknya hingga habis tanpa sisa, kemudian langsung menyambar gelas air mineral di tangan Sugih. “Jamu apa sih Mas, tidak enak,” keluh Mirna yang merasakan pahit, sepat dan anyir berbaur jadi satu di jamu yang dia minum. “Jamu keram perut, aku beli di Mbok Jamilah tadi papasan di jalan.” Sugih mengambil gelas kosong bekas jamu dan air putih untuk diletakan kembali ke meja. “Sebelum tidur dia ngomong apa?” tanya Sugih yang menunjuk Arya dengan dagunya. “Dia masih membahas ular Mas,” cicit Mirna tak ingin suaranya membuat Arya terbangun. “Itu membuat aku bertanya apa ... siluman ular,” tebak Mirna tanpa menyebutkan nama Nyai. Sugih mengangkat bahu, bukan karena dia mengelak jawaban Mirna. Namun, lebih tepatnya dia sendiri tidak tahu sosok asli dari Nyai Saras itu seperti apa, karena matanya hanya bisa melihat si Nyai tak ubahnya dengan wanita biasa yang memiliki kecantikan dan kemolekan tubuhnya begitu sempurna sebagai wanita. Hanya saja dia tidak mungkin mengatakan hal itu di depan Mirna. Sekarang ... sebisa mungkin Sugih harus bisa menjaga perasaan istrinya. “Sudah Mir, tidak usah dibahas dulu ... kamu istirahat saja. Aku mau ke pasar, besok kita dagang,” putus Sugih tak ingin terus membahas hal ini. “Aku minta maaf sudah menyakitimu, jangan bosan untuk mengingatkan aku,” sambung Sugih diakhiri dengan sebuah kecupan di kening Mirna dan membantu istrinya kembali berbaring. “Tidurlah, jangan pikirkan yang tidak-tidak,” pesan Sugih sembari mengusap pipi sang istri. Mirna mengedipkan mata dengan senyum manisnya untuk melepaskan kepergian Sugih. Entah apa yang akan terjadi dalam rumah tangga mereka ke depannya. Mirna hanya bisa berharap Sugih tetap menjadi suami dan bapak yang lembut dan penuh kasih sayang pada dia dan Arya. Sebuah harapan yang mungkin akan susah terealisasi melihat baru berapa bulan saja sikap Sugih perlahan berubah
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN