Tuhan itu Siapa

2110 Kata
Hari terus berlalu dan setiap perputaran waktu membawa Arya lupa akan kemunculan ular besar di dalam rumahnya. Sugih pun kini tidak pernah lagi melarang Arya pergi ke langgar dengan syarat Arya tidak boleh membawa kalimat-kalimat bahasa Arab yang dia pelajari untuk diucapkan di rumah. Sugih merasa badannya terus memanas setiap kali Arya membaca buku dengan tulisan Arab di sampingnya. Itu membuat Arya nderes Juz Amma yang dibawanya dari langgar dengan sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan Sugih. Apalagi selama liburan sekolah, setiap hari hampir seluruh waktu Arya dihabiskan di sana saat beristirahat dari membantu Mimi dan bapaknya di kedai. “Mi ... bapak belanja dulu ke pasar, Arya temani Mimi dulu ya,” pesan Sugih sebelum dirinya berangkat. Mirna mengangguk, sedangkan Arya hanya diam dan melirik takut ke arah jam yang sudah menunjukkan waktu asar akan segera tiba. “Mi, aku nanti salat asar jam setengah empat.” Takut-takut Arya mendekat dan berbisik pada Mirna setelah melihat Sugih keluar dari kedai melalui pintu belakang. Mirna yang sedang merapikan mangkuk yang baru selesai dia cuci pun berbalik melihat putranya yang sudah memasang wajah memelas agar Arya diizinkan ke langgar olehnya. “Kamu berangkat saja, kalau sudah segera pulang sebelum bapak datang, jangan main-main di sana ya,” kata Mirna membuat Arya menghembuskan napas lega. “Mimi baik ... terima kasih ya Mi.” Arya memeluk satu lengan Mirna dan bergelayut manja pada Miminya. “Sini ... Mimi mau tanya sama Arya.” Mirna menuntun Arya, dia duduk dan menepuk bangku kosong di sebelahnya. Dengan gerak cepat Arya pun duduk di samping Miminya. “Coba Arya tanya sama Ustadz siapa itu?” “Abah Latif Mi,” sahut Arya cepat. “Nah iya, Arya tanya sama Abah Latif. Kalau asar, sama waktu lain Arya ke langgar itu bisa tidak dikerjakan di rumah. Biar kalau bapak melarang Arya ke sana ... Arya bisa tetap melakukan apa yang menjadi kewajiban Arya,” nasihat Mirna karena dia tahu Arya kerap uring-uringan kalau tidak mendapat izin dari Sugih. Kadang Mirna harus turut serta membantu Arya kabur ke langgar saat pembeli sedang banyak dan waktu absen Arya ke langgar sudah tiba. “Baik, Mi. Nanti Arya tanya sama Abah ... Maaf Mi, Arya mau tanya, kalau Mimi sama bapak itu agamanya apa sih?” Mata Arya menatap lekat kedua bola mata Mirna. Satu pertanyaan yang sebenarnya sudah sangat ingin dia tanyakan sedari dulu. Guru di sekolah Arya pun mengajarkan hal yang apa dengan apa yang diajarkan Abah Latif. Namun, dia tidak melihat ada satu pun tempat salat yang dibangun di desa ini kecuali langgar milik Abah Latif, itu pun belum ada satu tahun berdiri dan baru beberapa warga terdekat saja yang kerap datang berkunjung ke sana untuk ikut salat bersama. “Mimi lupa ... nanti Mimi lihat di KTP. Waktu bikin KTP borongan sama warga lain biar gratis,” aku Mirna yang membuat satu pertanyaan muncul lagi di kepala Arya. “Terus Tuhan Mimi sama Bapak siapa?” tanya Arya dan berganti Mirna yang menatap sang putra dengan kening berkerut. Bukan karena dia bingung kenapa anaknya bertanya seperti itu, tapi lebih tepat karena dia sendiri tidak tahu siapa Tuhannya. “Menurut Arya, Tuhan itu siapa?” tanya Mirna agar pikirannya sedikit tercerahkan dan bisa tahu Tuhan macam apa yang dimaksud sang putra. Dia tidak sekolah, baca tulis pun bisa karena ada program berantas buta aksara yang masuk ke desa. Dia baru belajar membaca saat sedang hamil Arya, dulu belum ada sekolah di desa mereka. Kakaknya Mayang yang menempuh sekolah dasar harus bolak-balik ke kecamatan setiap hari. Sementara untuk Mirna hal itu jelas membuang waktunya karena dia lebih senang membantu Parjo dan Tuti di ladang dan sawah daripada membuang waktu dan tenaga untuk bersekolah. “Tuhan itu yang menciptakan aku, Mimi, Bapak dan seluruh alam semesta ini. Dia yang harus kita puja dan agungkan Mi,” kata Arya dengan bahasa sederhana yang dia miliki. “Maksud Arya seperti roh leluhur yang kerap membantu kehidupan kita?” “Bukan Mi, bukan roh leluhur.” “Tapi Mimi dan Bapak kerap memuja dan mengagungkan mereka, berarti itu Tuhan Mimi?” Arya menggeleng, dia tidak mengerti bagaimana cara menjelaskan pada sang Mimi apa itu hakikat Tuhan yang sebenarnya. Namun, dia juga tidak bisa membenarkan pemikiran Mirna yang menyamakan Tuhan dengan roh para leluhur. Sayup-sayup suara Amir yang mengumandangkan azan terdengar, Arya pun bergegas mengakhiri pembicaraannya dengan Mirna. “Mi, nanti kita sambung lagi, Arya ke langgar dulu, nanti langsung pulang kok," pamitnya langsung menarik telapak tangan kanan Mirna untuk dicium dan segera mengucapkan salam sebelum mengambil sepeda miliknya yang tergeletak di belakang kedai bakso dan mengayuhnya cepat menuju langgar. Setelah kepergian Arya banyak pertanyaan yang mulai memenuhi benak Mirna. Namun, kedatangan pembeli membuat dia mengenyahkan dulu tanya tentang Tuhan yang masih cukup mengganggu pikirannya. Hari ini kebanyakan pembeli memilih membeli bakso dan mie ayam dengan dibungkus untuk dibawa ke sawah atau pun ke halaman rumah majikan untuk menunggu upah panen yang mereka dapatkan. Mirna tak cukup kesulitan tanpa Arya karena kehadiran Arya sangat dibutuhkan untuk membuatkan pesanan air minum yang diminta pembeli yang makan di tempat. “Bibi ... aku lapar, aku belum makan. Bibi bagi makanan buatku, tak apa makanan sisa pun.” Seorang gadis dengan pakaian kumal dan sebagian bajunya pun koyak menyentuh hati Mirna. “Sebentar ya, Nak. Bibi ambil nasi dulu.” Dengan cekatan Mirna memasukan nasi ke dalam plastik, kemudian dia pun menyiapkan satu bungkus bakso untuk si gadis kecil yang sedari tadi mengusap perutnya. “Ini Nak, kamu bawa pulang ya. Makan di rumah sama ibumu,” kata Mirna meminta si bocah segera pergi. “Terima kasih Bibi ... terima kasih,” ucap Lestari kecil yang langsung memasang wajah ceria mendapat makanan yang cukup untuk dia, ibu serta adiknya. Lestari adalah anak yatim di Situnggalih yang tinggal bertiga dengan ibu dan adiknya. Keadaan Suminih yang lumpuh sejak dua tahun lalu membuat Lestari dan keluarganya hanya bisa mengharapkan belas kasihan dari para warga yang bergantian memberi mereka makan. Tak berapa lama setelah kepergian Lestari, Arya pun kembali ... matanya memindai ke dalam kedai. Arya tentu takut kalau Sugih sudah kembali lebih dulu dari pasar dan mendapatinya kabur saat diminta menemani Mirna di kedai. “Arya ... kamu itu mirip maling mengendap seperti itu,” tegur Mirna membuat Arya meringis memasang wajah lugunya. “Aku takut bapak sudah pulang Mi,” akunya dengan menggaruk lengan tangan. “Motornya tidak ada, berarti Bapak belum pulang. Ini juga tinggal sedikit lagi, sebelum magrib sudah tutup dan kamu bisa aman ke langgar.” “Hore, aku tidak perlu kabur-kaburan lagi ya Mi,” sorak Arya memamerkan giginya. “Gigi ompong kok bangga dipamerin, kamu mau makan tidak,” tawar Mirna karena sedari tadi siang dia tidak melihat Arya maka atau pun minum. “Aku puasa Mi ... ini hari Senin, sebentar lagi juga bulan Ramadhan. Jadi, Arya mau membiasakan puasa,” jawab sang putra yang semakin hari semakin membuat Mirna tak mampu mensejajari jalan pikiran Arya. “Puasa itu lelakon tidak makan ya, Ya?” “Betul sekali. Tidak makan dan tidak minum dari terbit fajar sampai terbenam matahari, waktu magrib Mi,” jawab Arya sederhana sesuai dengan apa yang dia ketahui. Ilmu sederhana yang mampu dengan cepat dia serap dan terapkan dalam kehidupan sehari-harinya. Namun, hal itu kerap membuat Mirna merasa takjub karena apa yang diketahui Arya tentulah jauh lebih banyak dari apa yang dia ketahui selama ini. “Kamu tidak lapar, Ya?” “Lapar sih Mi, tapi kan ditahan.” Arya mengusap perutnya yang rata, cacing di perutnya pun sudah berdendang meminta makan sedari siang. Namun, libur sekolah membuat Arya bisa lebih banyak beristirahat sehingga dia tidak terlalu lelah hari ini. “Mir ... bakso Mir lima bungkus buat kuli panggul nih.” “Siap Bu.” Mirna dan Arya pun cekatan melayani pembeli yang datang beruntun hingga semua dagangan mereka langsung habis sebelum Sugih kembali dari pasar. “Alhamdulillah, habis Mi. Aku mau baringan dulu ah,” ucap syukur Arya yang langsung berbaring di ranjang yang ada di kedai mereka. Namun, baru sejenak dia berbaring ... suara motor Sugih terdengar. Sudah sebulan Sugih membeli motor yang dia pakai untuk pulang pergi ke pasar membawa belanjaannya. Semua belanjaan dia tuliskan di pagi hari untuk diserahkan Mirna pada bakul warung tempat mereka belanja dan dijemput sore harinya. Hal itu agar apa yang Sugih butuhkan untuk kedainya semua ada. Kalau dia lupa mencatat, terkadang yang Sugih butuhkan tidak tersedia dan dia harus ke pusat kecamatan untuk mendapatkan sisa bahan-bahan yang kurang. “Mir ... Mirna! Mir ....” Sugih setengah berteriak memanggil Mirna yang sedang membereskan kedai sebelum ditutup. “Iya, Mas. Kenapa,” sahut Mirna berlari ke belakang kedai diikuti Arya. “Loh, Mas ... tangan kamu kenapa?” “Iya tangan Bapak kenapa itu merah-merah, Bapak jatuh,” sambung Arya yang juga penasaran dengan sekujur lengan Sugih yang kemerahan seperti tersengat sesuatu. “Arya kamu ke depan dulu bereskan perabotan, Bapak mau bicara dengan Mimi kamu,” suruh Sugih dengan sorot mata yang tidak ingin dibantah. Arya perlahan mundur meskipun jujur dia penasaran apa yang sebenarnya terjadi dengan sang bapak hingga semua tangannya memerah mirip seperti gigitan serangga, bekas cambukan atau malah tersengat sesuatu yang panas. “Mas ... kamu kenapa?” Mirna mengulangi pertanyaannya dengan gerakan tangan yang hendak memegang salah satu lengan Sugih. “Harusnya aku yang bertanya apa yang kamu lakukan saat aku pergi!” hardik Sugih yang malah menatap marah pada istrinya. “Maksud Mas Sugih apa? Aku tidak melakukan apapun, aku hanya melayani pembeli sampai Mie ayam dan bakso habis semua,” jawab Mirna. “Bohong! Tidak mungkin Nyai menyiksaku seperti ini, dia berbisik kalau kamu kembali menghamburkan harta Nyai!” geram Sugih dengan suara yang ditahan agar Arya tidak mendengar kemarahannya. “Nyai,” desis Mirna seraya kembali mengingat apa yang dia lakukan hingga membuat suaminya mendapat perlakuan seperti ini dari junjungan Sugih. “Mas ... maafkan aku, aku lupa,” aku Mirna yang baru ingat kalau dia memberi makanan untuk Lestari kecil. “Tadi Lestari minta makan, aku cuma kasih dia nasi dan sebungkus bakso Mas,” cicit Mirna merasa bersalah saat memandangi lengan sang suami yang dipenuhi dengan bekas merah. Dia lupa pesan dari Sugih agar tidak memberi sedekah apapun tanpa sepengetahuan Sugih. “Kamu menyiksaku Mir, kamu lihat ini.” Sugih mendekatkan lengannya tepat di depan mata Mirna. “Ini menyakitkan Mir, sangat sakit,” geram Sugih dengan menahan luapan amarahnya. “Bisa-bisanya kamu lupa. Kamu harus ingat kalau gerak-gerik kita dipantau Nyai. Kita tidak bisa seenak sendiri mengeluarkan harta tanpa sepengetahuan Nyai. Kamu tahu aku mau beli motor saja izin dulu pada dia,” bisik Sugih menahan suaranya agar tidak terlalu lantang. Sugih tidak ingin Arya tahu tentang ritual dan perjanjian sesatnya dengan si Nyai. Cukup dia dan Mirna saja yang tahu hal ini. “Maaf Mas, aku lupa ... aku kasihan melihat Lestari menahan lapar,” desis Mirna menyesali perbuatannya. Jujur, dia tidak terlalu menyesal membantu Lestari, justru yang dia sesalkan adalah harta yang dia miliki tidak bisa digunakan untuk membantu sesama yang membutuhkan. Kekayaan macam apa kalau dia tidak bisa menikmatinya dengan berbagi. Seandainya waktu bisa diputar, tentulah dia lebih memilih hidup melarat tapi bebas membantu dan memberi pada siapa pun. “Tak usah kau peduli dengan orang lain. Pikirkan saja bagaimana tersiksanya aku kalau kamu menentang perintahku. Ini rasa perih dan sakitnya setengah mati pir, panas,” keluh Sugih kembali mendekatkan lengannya ke wajah Mirna. “Maaf Mas,” sesal Mirna, kata maaf yang tidak berarti apapun di mata Sugih. “Kamu suruh Arya beli salep bakar, aku bereskan ini dulu. awas jangan ulangi lagi!” ancam Sugih dengan tatapan mengintimidasi. “Iya, Mas,” jawab Mirna sebelum menuju depan kedai. “Mi ... bapak kenapa?” tanya Arya begitu Mirna muncul di hadapannya. “Sudah nanti Mimi jelaskan, kamu beli salep bakar buat Bapak. Biar Mimi yang bereskan ini,” suruh Mirna. Dia merogoh uang dari laci gerobak, kemudian memberikan uang pada Arya. “Cepat ya, jangan lama-lama. Nanti bapak marah,” pesan Mirna yang langsung ditanggapi Arya dengan sebuah anggukan dan gerak cepat lari menuju sepedanya yang disimpan di belakang kedai. “Ya, cepat ya.” “Siap, Pak.” Arya mengayuh sepedanya menuju ke arah langgar. Di sana ada toko grosir yang bukan hanya menjual aneka kebutuhan sehari-hari, tapi juga beberapa jenis salep dan obat yang dibutuhkan sebagai pertolongan pertama. Sebelum sepeda Arya naik ke badan jalan aspal, dia menengok sejenak pada bapaknya. Namun, apa yang dilihat matanya membuat Arya diam tidak berkutik. “Bapak .... Astagfirullah la adzim ya Allah itu apa.” Badan Arya bergetar, badannya turun dari sepeda. Matanya tak beralih menatap Sugih. “Bapak!” teriak Arya. Brruuuugghhhh ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN