Gulat Siang

2304 Kata
Sugih masuk dan membanting pintu rumahnya. Dia berjalan cepat menuju kamar untuk memeriksa peti kayu tempat dia menyimpan uang. “Sinar kebenaran. Tuhan. Allah. Dasar k*****t b******n kau Latif! Hendak kau cuci otak anakku agar membangkang. Tidak akan aku biarkan dia pergi lagi ke langgar setan dan belajar mantra j*****m seperti itu.”Terus saja mulutnya bergerak dan mengomel tak jelas mengeluarkan aneka umpatan dan sumpah serapah yang dikeluarkan untuk Abah Latif. Sugih mengangkat peti uang miliknya yang tergeletak di lantai tanah kamar Sugih dengan keadaan tertutup. Dia segera membukanya dan memeriksa semua uang serta perhiasan yang tersimpan di dalamnya. “Utuh,” monolog Sugih. Setelah memastikan tidak ada yang berkurang, Sugih pun kembali menyimpannya di lemari. “Aku percaya Nyai akan menjaganya,” gumam Sugih dengan gerakan tangan yang akan menutup pintu lemari. “Astaga, Nyai ....” Sugih terlonjak kaget mendapati Nyai ada di balik pintu lemari. Dia mundur selangkah melihat mata Nyai memancarkan sinar merah, wajahnya terlihat garang sehingga kecantikannya bias dan yang terlihat wajah marah yang menyeramkan. “Aku tidak suka pria berpeci hitam itu mendekati rumahmu!” geram Nyai dengan suara menggelegar hingga membuat Sugih menutup kedua telinganya dengan telapak tangan. “Cepat bangun rumah dan siapkan satu kamar khusus untukku,” sambungnya sebelum menghilang dari hadapan Sugih. Tawa Nyai membahana meskipun sosoknya tak lagi tertangkap mata Sugih. Tawa mengerikan yang membuat semua bulu kuduk Sugih berdiri. Saat tawa Nyai menghilang baru lah Sugih mengusap dadanya, Nyai memang berparas cantik bak bidadari. Namun, itu tidak pernah mengurangi rasa takut yang Sugih rasakan di setiap kehadirannya. Dia bergegas menuju kedai untuk kembali membuat adonan bakso dan menanyakan pada Mirna perihal tanah milik Bu Suha yang ada di belakang kedai mereka. Langkah lebar Sugih terasa ringan mengangkat kakinya menuju ke kedai tempat usahanya yang semakin hari semakin berkembang. Namun, saat matanya menangkap sosok Tuti ada di depan kedai, kakinya kini terasa berat untuk dibawa maju ke depan. Tuti memang sudah tidak sesering dulu yang kerap menghina kemelaratan yang melekat pada dirinya setiap saat. Hanya saja mulut pedasnya masih juga suka mengeluarkan kata-kata yang sering merendahkan dia di hadapan anak dan istrinya. Seperti sekarang, Tuti sedang berkacak pinggang di depan kedai karena mendengar gegernya maling kesurupan di rumah Sugih. “Lagian maling itu ngarep apa sih dari gubuk lapuk di rumah kalian. Terus kata orang itu maling kesurupan. Jangan bilang kalau dia kesurupan jin peliharaan suamimu. Emak toh ragu kalau usaha kalian ini polosan, pasti lah Sugih nyembah Ki Broto dan minta siluman Leuweung Suwung buat membantu usaha kalian,” tuduh Tuti tanpa tedeng aling-aling. Tuduhan yang disampaikan di depan Arya sehingga dalam otaknya kini mengembang banyak tanya. “Mi, Ki Broto itu siapa,” cicit Arya bertanya pada Mirna dengan menarik ujung baju yang dikenakan sang Mimi. “Ki Broto itu kuncen alas Leuweung Suwung Arya, dia itu-” “Cukup Mak!” sela Sugih dengan kalimat yang ditekan agar tidak berteriak di hadapan ibu mertuanya. Tuti berdecih dengan bibir monyong mendapati Sugih memotong kalimatnya. “Emak boleh menghina aku, tapi tolong Emak jangan memfitnah aku di hadapan Arya,” sambungnya dengan melewati Tuti yang sedang berdiri di depan pintu kedai dengan bersedekap. “Arya, ayo bantu bapak di belakang,” ajak Sugih menarik tangan anaknya. “Halah, Sugih ... baru bisa usaha kecil seperti ini saja kamu sudah berani melawan Emak. Lagian berjualan bakso, tapi rumahmu tetap gubuk toh. Kagak ada bagus-bagusnya. Mending kamu itu cerai saja sama dia Mir, juragan Ringgo dari Margamulyo sekarang duda. Kamu pasti senang menjadi istrinya.” Tuti sengaja mengeraskan suaranya agar Sugih yang berada di belakang kedai Sia mendengar. Mirna yang sudah kebal dengan omongan sang Emak lebih memilih diam dan fokus meracik bumbu ayam untuk taburan atas Mie ayamnya. Percuma saja dia berbicara, semua pasti akan terdengar salah di telinga Tuti. Diam lebih baik meskipun tetap akan mendapat omelan dari Emaknya. “Gimana Mir, mau tidak kamu kawin sama juragan Ringgo,” ulang Tuti dengan suara yang ditingkatkan dua oktaf lebih tinggi hingga Sugih merasa jengah dengan kelakuan ibu mertuanya. “Pak ... kok ibu disuruh nikah lagi sama Emak?” Arya yang sedari tadi diam kini mulai bersuara. Jemarinya masih lincah mengusap bawang putih untuk dimasukkan ke adonan bakso yang diracik Sugih. “Tidak usah dengarkan Emak, Arya kan tahu Emak selalu begitu sama Bapak,” tanggap Sugih masih berusaha menahan emosinya agar tidak meluap dan berkata-kata kasar pada ibu mertuanya. “Iya sih ... terus Ki Broto itu siapa Pak?” tanyanya mengingat satu nama yang disebutkan Tuti. “Bapak tidak kenal Arya, sudah lupakan saja.” Arya kembali menunduk memperhatikan adonan bakso yang yang dibuat Sugih, setelah semua bumbu racikan dan bahan siap untuk mengaduknya semakin rata, Sugih memasukan ke mesin penggilingan sederhana sebelum mencetaknya menjadi bulatan-bulatan bakso. Sementara di depan Kedai Tuti masih belum lelah membahas harta juragan Ringgo. “Mir ... kamu diam saja sih. Jadi, kamu mau tidak menikah dengan juragan Ringgo,” bentak Tuti yang sudah hilang kesabaran melihat Mirna sedari tadi hanya menutup mulutnya. “Aku masih punya suami Mi,” jawab Mina singkat. “Suami melarat saja bangga. Mending cerai Mir,” decih Tuti dengan nada merendahkan Sugih. “Maaf Mak, Mirna mau basuh dan potong-potong ayam dulu di belakang,” pamitnya sambil membawa mangkuk kecil yang berisi racikan bumbu yang dia buat tadi. Telinganya sudah tak mampu menahan semua omongan Tuti hingga Mirna memilih segera kabur dari hadapan Emaknya. “Halah, kamu belum apa-apa sudah sok kaya. Emak lagi ngomong ditinggal. Lagian Mir kalau kamu nikah sama juragan Ringgo, kagak bakal kamu susah-susah kerja begini." Tuti kembali berdecih sebelum membalik badannya meninggalkan kedai. Tuti sebenarnya ingin melihat keributan yang disampaikan orang-orang tentang maling kesurupan. Hanya saja belum sampai ke rumah Mirna dia sudah berpapasan dengan Mirna dan Arya yang hendak ke kedai. Tuti pun mengurungkan niatnya, dan memilih menginterogasi putrinya di kedai itu. “Alhamdulillah, Emak sudah pulang. Aku kasihan kalau Emak marah mulu sama bapak. Padahal buat Arya, bapak itu paling hebat ... paling rajin dan menjadi contoh supaya Arya tidak suka bermalas-malasan.” Sugih menarik kedua sudut bibirnya hingga membentuk senyuman yang tampak begitu manis di mata Arya. “Kamu sedang ngerayu bapak?” “Tidak ... aku ngomong sesuai fakta kok. Memang di mata aku bapak itu rajin dan hebat.” Arya kembali memuji sang bapak. “Hanya saja kalau boleh minta Arya mau ....” Arya melirik sang bapak yang sudah mulai mencetak bakso menggunakan sendok dan langsung dimasukkan ke panci dengan air mendidih. “Kamu mau minta apa?” Sugih melirik sekilas sang putra tanpa menghentikan gerakan tangannya. “Aku mau tetap belajar ke langgar, Pak,” cicit Arya dengan ragu-ragu. “Tidak! Kalau itu tidak bisa bapak kabulkan, bapak tidak mau kamu belajar jadi dukun,” tegas Sugih dengan rahang yang terlihat mengeras. “Abah Latif itu ustad, bukan dukun, Pak,” ralat Arya. “Apapun namanya, bapak tidak suka kamu belajar merapalkan mantra yang dia ucapkan. Bapak tidak ingin kamu tersesat dan salah jalan, kamu anak bapak dan Mimi satu-satunya. Bapak lakukan ini karena bapak sayang Arya.” Tatapan mata Sugih membuat Arya merasa terintimidasi. Tidak mungkin dia membantah karena sudah jelas sebuah bantahan yang akan keluar dari mulutnya malah akan membuat bapaknya mungkin lebih marah. Biarlah dia mengalah dan tidak ke langgar meskipun hatinya pasti akan merindu belajar bersama teman-teman lainnya. Semua bahan bakso dan mie ayam sudah siap, jam sepuluh pagi kedai pun dibuka. Arya tampak lelah berbaring di ranjang, sedangkan Sugih dan Mirna duduk di depan kedai sembari berbincang membahas harga tanah yang diminta Pak Munir tadi pagi. “Uang dari mana Mas kalau harga tanahnya saja setara lima kuintal gabah per meternya,” keluh Mirna. Jual beli tanah di desa mereka memang masih mengukur dengan harga padi kering. “Belum lagi uang buat bangun rumahnya, bukan kah kita cuma kerja seperti ini saja. Aku juga tidak pernah tahu berapa uang yang kita hasilkan setiap harinya,” sambung Mirna. “Nanti lah, malam Kamis pahing bulan ini aku katakan pada Nyai. Nyai yang meminta aku segera membangun rumah, tentu dia yang akan memenuhi segalanya. Percayalah.” Sugih menarik satu tangan Mirna dan menggenggamnya. Dia mencium mesra punggung tangan sang istri. “Aku kangen bergulat siang dan pagi denganmu, Mir,” goda Sugih. Mirna sontak menarik tangannya, kedua pipinya merona merah dan terasa menghangat. Memang sejak membuka kedai bakso mereka sudah jarang bergulat di ranjang pagi atau siang hari. Keseluruhan hari mereka dihabiskan di kedai dan saat malam datang barulah keduanya bisa bersantai di rumah. Itu pun seringnya Sugih dan Mirna sudah kelelahan sehingga tidak ada tenaga untuk memulai pergulatan malam. “Ada Arya Mas ... malu kalau dia lihat,” desis Mirna menunjuk Arya yang sedang berbaring dengan pandangan matanya. “Iya, aku juga tahu. Ya sudah, aku pulang dulu ke rumah. Mau aku hitung dulu uang buat beli tanah, nanti kamu langsung saja ke Pak Munir dan berikan, kalau dapat pengurangan harga ya syukur. Kalau tidak pun sudah memang harganya segitu untuk tanah yang ada di pinggir jalan.” “Baik Mas ... Mas tidak mau makan dulu,” tawar Mirna karena sedari pagi mereka memang belum makan. “Tidak usah, kamu makan duluan saja. Biar aku nanti belakangan.” Sugih melirik Arya yang masih berbaring malas-malasan di ranjang yang berada di dalam kedai. “Ya, temani Mimi. Bapak pulang dulu ke rumah.” “Baik pak,” sahut Arya cepat. Dia bangkit dari ranjang dan segera berjalan mendekati bangku dimana Mirna duduk. Sementara Sugih langsung pulang ke rumahnya. Sudah dua kali Nyai memerintahkan dia segera membangun sebuah rumah. Rumah yang harus menyertakan satu kamar khusus untuk Nyai. Sebelum junjungannya marah karena keinginannya lama terpenuhi, Sugih harus segera mengabulkannya meskipun entah cukup atau tidak uang yang dimilikinya untuk membeli tanah sekaligus membangun rumah. Begitu tiba di rumah, Sugih langsung masuk dan mengunci kamar depan. Dia menuju ke kamar dan mengeluarkan peti tempat menyimpan uang dan perhiasan. Cukup lama Sugih membereskan lembar demi lembar rupiah yang dijadikan satu dan diikat dengan karet per lima juta. “Enam puluh juta,” gumam Sugih setelah menghitung sebagian uang di peti untuk membayar tanah milik Munir dan Nasuha. Dia memasukan uang sebanyak enam puluh juta ke dalam kantong plastik hitam, kemudian kembali menyimpan peti kayu ke lemari tanpa menghitung sisanya. “Mas ... sudah selesai?” Mirna masuk kamar dan muncul dengan gaya dan gerak gemulai. “Loh Mir, kamu di sini ... kedainya?” “Ada Arya, Mas. Kamu bilang kangen bergulat siang, kan. Aku pun sama,” desah Mirna dengan suara parau. Jemari lentiknya merayap ke rahang Sugih. Perlahan dia membuka satu persatu kancing baju suaminya dan mendorong Sugih hingga telentang di atas ranjang. Mirna naik dan duduk tepat di atas paha Sugih, tangannya menarik resleting celana yang dikenakan suaminya. “Mir ... kedainya bagai- Hhhmmppfftthh.” Mirna membungkam bibir suaminya, dia bergerak erotis melucuti semua pakaian yang melekat di badannya tanpa turun dari atas paha Sugih, dua bukit kembar yang menggantung di hadapan Sugih membuatnya langsung menyambar pucuk cokelat yang bulat dan besar. Bibir Sugih mencecapnya bak bayi besar yang sedang menyusu, sedangkan tangan kirinya memilin dan meremas satu bukit lain yang sangat sayang untuk dianggurkan. Desahan, erangan dan pekikan nikmat keluar dari bibir keduanya. Mereka tidak peduli ada yang menangkap dengar pergulatan mencari kenikmatan dunia di siang hari yang tentu saja banyak warga yang biasanya berlalu lalang di depan dan samping rumah mereka yang hendak pulang pergi ke sawah yang ada di belakang rumah Sugih. Setelah satu ronde yang cukup menguras tenaga, Sugih pun merasa teramat lelah hingga matanya terpejam dan terlelap di ranjang dan membiarkan Mirna turun dari ranjang terlebih dulu. Sementara di kedai, Arya terus memindai jarum jam yang berputar dan sebentar lagi menunjukan waktu salat zuhur. Abah Latif memang sudah mengajari Arya untuk salat sendirian di rumah, tapi dia yang terbiasa melakukan salat bersama teman-temannya tentulah lebih bahagia saat bisa pergi ke langgar tanpa sepengetahuan sang bapak. Arya keluar dari kedai dan berdiri menghadap jalanan menuju rumahnya. Sepertinya tidak nampak tanda-tanda kalau Sugih akan segera datang, perlahan dia mendekat pada Mirna dan bergelayut manja pada lengan Miminya. “Kenapa, Nak?” tanya Mirna mengusap pucuk kepala Arya. “Mi ... bapak belum datang. Boleh tidak aku main ke langgar sebentar?” Mirna menggeleng, dia tidak mau mengambil resiko yang malah akan membuat Arya terkena omelan dari Sugih. “Sebentar saja Mi, tidak sampai sepuluh menit Arya langsung balik lagi ke kedai,” rengek Arya mencoba membujuk Mirna yang sekarang tidak bergeming menanggapi rayuan putranya. “Mi ... aku mohon, bapak sepertinya masih lama kok,” rengek Arya tak menyerah hingga Mirna menghembuskan napas kasarnya. “Baiklah ... jangan lama-lama,” pesan Mirna dengan sorot mata tajamnya. “Terima kasih Mimi, Arya sayang Mimi.” Arya menarik tangan kanan Mirna untuk dicium sebelum berlari ke langgar karena dia tidak membawa serta sepedanya ke kedai. Di kamar Sugih mulai membuka matanya saat mencium wangi bunga sedap malam yang menusuk hidungnya. Wangi tubuh Nyai begitu terasa dekat, tapi Sugih tak mendapatkan sosoknya ada di kamar ini. Sugih bangkit dari ranjang dengan perlahan, dia merasa badannya begitu lemas. Kakinya terasa berat melangkah menuju kamar mandi. Guyuran air membuat badan Sugih terasa lebih segar. Setelah berpakaian Sugih langsung menyambar uang di dalam kantong plastik hitam untuk dibawa ke kedai. Namun, saat memutar pegangan pintu, barulah Sugih sadar kalau pintu rumahnya dikunci. “Terus tadi Mirna masuk lewat mana?” monolog Sugih bertanya pada dirinya sendiri. Dia berjalan cepat menuju pintu belakang untuk memastikan kalau pintu belakang juga terkunci. “Ini dikunci sejak tadi pagi,” gumamnya dengan mencoba membuka pintu belakang rumah berkali-kali. Dia segera kembali ke pintu depan dan merogoh anak kunci di saku celananya. Klik. Pintu terbuka dan Sugih pun semakin bertanya-tanya dari pintu mana Mirna masuk karena cuma ada satu kunci yang dikaitkan dengan tali rapia dan ada di saku celananya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN