Madu Siluman

2292 Kata
“Mas ... mukamu pucat sekali.” Mirna langsung menghampiri Sugih begitu masuk ke kedai. Beberapa pembeli terlihat sedang menikmati mie ayam di meja yang disediakan Sugih untuk pembeli yang ingin makan di tempat. “Aku lapar, mau makan dulu ... kamu urus saja pembeli. Arya ke mana?” Mirna langsung gelagapan saat Sugih bertanya keberadaan Arya. Pasalnya dia tidak menyangka Sugih datang terlebih dulu sebelum Arya kembali dari langgar. “Arya mana Mir,” ulang Sugih dengan sorot mata curiga melihat Mirna salah tingkah dan tidak langsung menjawab tanyanya. “Bapak.” Suara Arya terdengar dari pintu belakang disertai dengan Mirna yang menghempaskan napas lega dengan sembunyi-sembunyi. “Oh, dia di belakang. Aku ke sana dulu.” Sugih melewati para pembeli untuk masuk ke dalam bagian belakang kedai. Dia menggelar tikar dan duduk di belakang kedai ditemani hembusan angin sepoi-sepoi yang cukup mengurangi terik panas matahari yang menyengat di masa panen desa Situnggalih. “Ya, ambilkan makan buat Bapak, badan Bapak lemas sekali,” perintah Sugih setelah duduk bersandar di dinding kedai yang terbuat dari anyaman bambu. “Siap Pak ... Arya juga belum makan.” Arya segera masuk ke dalam kedai. Dia mengambil dua piring, sangku nasi dan lauk, kemudian dibawa keluar dan diletakkan di hadapan Sugih. “Aku ambil minum dan Bakso dulu ya Pak,” pamitnya kembali masuk kedai dan meminta Mirna membuat satu mangkok bakso untuk dia dan Sugih. “Mie mau bakso sama kuahnya saja, tidak pedas. Aku lapar, mau makan sama bapak di belakang.” “Wah, Arya mau makan sama bakso juga, ini Ibu beli bakso buat Elang,” sambar Juju-ibunya Elang, teman sepermainan Arya. “Iya Bu, kalau makan sama bakso tuh lebih lahap, suka tidak sadar jadi makan banyak.” Arya terkekeh. Dia segera menerima mangkuk bakso yang diulurkan Mirna. “Arya makan dulu ya Bu Juju,” pamitnya membawa mangkuk bakso ke belakang. Sementara Mirna langsung melayani pesanan bakso Juju. “Lah, bapak sudah makan sih, ini baksonya.” Arya duduk di depan Sugih dengan meletakkan mangkuk bakso dan teko air. “Bapak makan sama tempe, sambal saja enak, Ya. Kamu saja yang makan baksonya,” suruh Sugih sebelum melanjutkan makan dan menghabiskan nasi di piringnya yang hanya tinggal beberapa suap saja. Sugih selesai makan terlebih dulu, dia langsung menuju ke depan kedai untuk membantu Mirna. Sudah tidak ada pembeli di sana, hanya ada Mirna yang sedang mencuci mangkuk, sumpit dan sendok. “Mir, setelah cuci itu kamu ke rumah Bu Suha saja dulu.” Sugih mengeluarkan kantong plastik hitam yang dimasukkan ke baju dan digondol tepat di depan dadanya. “Iya Mas. Ini sudah selesai kok. Mas Sugih tadi kenapa? Aku lihat mukamu pucat, terus juga hitung uangnya cukup lama?” tanya Mirna tanpa menghentikan aksinya membilas mangkuk yang sudah dicuci dengan sabun. “Salah kamu toh Mir. Siang-siang minta gulat.” Mirna berhenti sejenak dan melirik suaminya yang duduk menghadap dirinya yang sedang berjongkok di samping kanan gerobak. “Minta gulat Mas?” tanyanya dengan kening mengernyit. Dia bangkit membawa semua mangkok dan kawan-kawannya yang sudah bersih, kemudian memilih duduk di depan suaminya yang belum juga mengeluarkan suara karena sama bingungnya dengan Mirna. “Mas ... kok diam sih, aku minta gulat gimana?” ulangnya bertanya dengan menggoyang lengan Sugih. “Kamu kan nyusul aku ke rumah, terus ngajakin aku gulat. Masa sih lupa.” Mirna melongo dengan mengulang semua ucapan Sugih. “Kamu punya kunci cadangan?” Mirna menggeleng. “Kunci kan cuma ada satu Mas, dibawa kamu tadi.” “Nah terus kamu masuk dari mana, aku ingat pintu depan dikunci sebelum masuk kamar dan menghitung duit, tapi tiba-tiba kamu ke kamar dan ngerayu aku buat gulat siang,” beber Sugih menceritakan apa yang dia alami tadi dan tentu saja Mirna yang tidak merasa menyusul suaminya semakin dibuat bingung oleh Sugih. “Aku dari tadi di kedai sama Arya Mas, kalau kamu tidak percaya tanya saja dia.” Mirna menunjuk Arya yang sedang menaruh sangku nasi di rak. “Ya, dari tadi Mimi di sini sama kamu? Tidak nyusul bapak ke rumah?” teriak Sugih bertanya pada Arya. “Tidak Pak, Mimi di sini terus, kan kedai ramai pak. Banyak yang dari sawah datang beli bakso dan Mie,” jawab Arya kemudian dia kembali keluar untuk duduk di tikar. Cuaca panas musim panen hanya bisa diredam dengan semilir angin yang dihembuskan pepohonan. Ah ... di desa Arya listrik pun belum masuk, untuk mandi saja mereka masih mengandalkan pompa manual, jangankan kipas angin ... televisi saja hanya dimiliki para juragan. Sebelum ada langgar, Arya dan teman-temannya begitu sering bertandang ke rumah Margono untuk sekedar menonton televisi di sana. Namun, sejak mengenal Abah Latif dan kegiatan fisik di langgar. Mereka pun beralih ke sana untuk belajar silat, mengaji dan bermain di sana bersama Amir yang seusia dengan mereka. Kembali ke Mirna dan Sugih yang masih saling bertatapan bingung dan mencoba menebak siapa yang sebenarnya bergulat dengan Sugih di kamar. “Mas ... mungkin tidak kalau itu Nyai,” cicit Mirna menebak wanita yang menyerupai dirinya dan mengajak Sugih bergulat di kamar mereka. Dadanya terasa nyeri saat mengatakan itu. Wanita mana yang bisa ikhlas membayangkan suami mereka bercinta dengan orang lain meskipun Mirna merasa lucu menyadari dirinya cemburu dengan sosok siluman tak kasa mata. “Kalau itu Nyai kenapa juga dia mesti menyamar sebagai kamu Mir.” Sugih bergidik, tapi wangi bunga sedap malam yang sempat tercium inderanya membuat dia setuju dengan tebakan Mirna. “Enak ya Mas, kamu dapat uang banyak, dapat istri dua, ritual kelambu gaib juga jangan-jangan kamu ke sana buat bergulat dengan Nyai,” tebak Mirna dengan sorot mata tajamnya. Sugih tak menjawab, tebakan Mirna memang benar. Namun, dia tidak ingin semakin menyakiti hati istrinya. “Sudah lah, tidak usah ambil hati ucapanku, Mas. Ini uangnya?” Sugih mengangguk dan mendorong kantong plastik hitam berisi uang mendekat pada Mirna. “Aku ke Bu Suha dulu, kamu kan lemes habis ena-ena sama yang kasih uang,” sindir Mirna sambil menyambar kantong plastik dan berjalan cepat keluar kedai dan menyeberang jalan menuju rumah Nasuha. “Aku cemburu, tapi pantaskah aku cemburu,” gumam Mirna menahan gejolak rasa yang mulai mengganggunya. Apalagi saat dia teringat Suaminya bilang Nyai meminta Sugih membangun rumah dan menyediakan satu kamar khusus untuknya. Itu berarti Mirna harus semakin berlapang d**a berbagi cinta dan tubuh suaminya dengan sosok siluman yang menjadi istri kedua Sugih. Mirna mengusap lengannya bergantian saat bulu kuduknya terasa meremang. Ada rasa ngeri juga mengingat suaminya bersetubuh dengan siluman. “Siluman punya penyakit kelamin kayak tlembuk tidak ya,” monolog Mirna mengingat penyakit kelamin yang diderita beberapa wanita di desanya yang memilih menjadi wanita pekerja seks dan oleh warga Situnggalih para pekerja seks tersebut dipanggil tlembuk. “Mir, kamu kenapa. Kok jalan sambil melamun, bergidik-gidik terus lagi,” tegur Nasuha. Tanpa sadar langkah Mirna sudah tiba di belakang rumah Nasuha. Seperti biasanya Nasuha memang lebih suka duduk di belakang rumah yang lebih adem karena masih banyak pepohonan rimbun. “Tidak Bu, aku merinding bawa uang ini. Maklum Bu, baru punya uang sebanyak ini,” aku Mirna sambil mengulurkan kantong plastik hitam yang dibawanya. “Kata mas Sugih ada enam puluh juta Bu, sesuai harga yang diminta Bapak,” sambungnya sebelum duduk di samping Nasuha. Nasuha membuka kantong plastik hitam dan terperangah melihat tumpukan uang yang ada di dalamnya. Dia segera mengembalikannya pada Mirna. “Sebentar Mir, Ibu susul Bapak di sawah dulu. Di situ kok,” tunjuk Nasuha ke hamparan sawah yang tidak jauh dari belakang rumahnya. “Uangnya banyak, ibu tidak berani hitung sendirian. Ibu juga tidak pernah punya uang sebanyak itu loh Mir. Kamu mau nunggu di dalam?” “Tidak usah, Bu. Aku tunggu di sini saja,” tolak Mirna cepat. “Di sini lebih adem, Bu. Ibu saja suka sekali midangan di sini sendiri.” “Ya sudah, ibu susul Bapak dulu ya. Sebentar kok Mir.” Nasuha bergegas melangkah lebar menuju sawah untuk memanggil suaminya. Mirna yang ditinggal sendiri kembali termenung mengingat cerita yang dibeberkan Sugih. Entah kenapa dia merasa tidak terima kalau si Nyai mendatangi Sugih dengan wajah menyerupai dirinya. Mirna menengok ke belakang, dimana ada jendela rumah Nasuha yang memantulkan bayangan dirinya. Seketika dia berdiri dan memindai pantulan tubuhnya dari kaca jendela. Cantik, wajah polos tanpa make up dengan hidung yang mancung dan dua mata bulat memanjang. Matanya turun ke bawah memperhatikan dua gundukan kenyal yang kerap menjadi mainan malam Sugih. Payudaranya menggantung indah, bulat, kencang dan ukurannya melebihi p******a milik wanita desa seusianya. Mirna juga mengusap perutnya yang ramping, tubuhnya masih berlekuk indah meskipun sudah melahirkan dan menyusui Arya. Namun, saat netranya kembali menatap kaca Mirna terlonjak kaget melihat bayangan wanita cantik berdiri di belakangnya dengan seringai senyum yang sulit Mirna artikan. Jantungnya berdebar kencang, Mirna menahan napas saat senyum wanita tersebut terasa mengejeknya. Perlahan Mirna membalik badan untuk memastikan siapa yang berdiri di belakangnya. Zonk. Tidak ada siapapun di belakangnya. Badan Mirna berputar dengan sorot mata yang bergerak liar mencari sosok wanita yang dilihatnya melalui kaca. “Tadi dia di sini, kok hilang,” gumam heran Mirna. Dia kembali berdiri menghadap kaca, tidak ada siapa-siapa. “Mir ... kamu cari apa,” tegur Bu Suha yang sudah kembali datang dengan diikuti Munir di belakangnya. Sontak Mirna kembali membalik badannya untuk memastikan itu benar-benar Nasuha yang datang. “Tidak, Bu,” bohong Mirna saat netranya beradu pandang dengan Nasuha. Mirna kembali duduk di tempatnya semula meskipun rasa penasaran mulai mengganggu pikirannya. Seperti itukah wajah Nyai Saras? Tanya itu terus berputar saat membayangkan wanita cantik yang tadi dilihatnya. Siapa lagi makhluk tak kasa mata yang menampakkan diri padanya kalau bukan madunya, Madu Siluman penguasa Leuweung Suwung. Wanita cantik dengan mata tajam dan panjang, bulu mata lentik serta alis yang terlukis cantik. Hidung mancung, bibirnya pun terlihat sensual dan yang membuat Mirna merasa rendah diri adalah saat dia melihat p******a yang menyembul karena si nyai memakai kemben dengan dilapisi baju luar memanjang berlukis bunga. Mirna jadi teringat lukisan putri Cina cantik yang suka ada di pasar. Secantik itu kah Nyai Saras? Tubuhnya yang berlekuk indah pasti akan membuat Sugih begitu memujanya. Pikiran itu mau tidak mau kembali membuat Mina dilanda cemburu. “Mir, kamu malah melamun sih, dari tadi ibu ngomong tidak dijawab,” tegur Nasuha sembari menepuk paha Mirna dan sontak membuat Mirna gelagapan karena ketahuan melamun. “Maaf Bu, aku tidak dengar. Ibu ngomong apa?” tanya Mirna setelah berhasil mengusir bayangan sosok Nyai Saras yang dilihatnya dari kaca jendela rumah Nasuha. “Itu, kata Bapak ,Sugih setuju beli tanahnya sesuai harga yang Bapak pasang.” Mirna memutar kepalanya untuk menghadap Munir. Dia mengulurkan plastik hitam yang berisi uang enam puluh juta. “Ini Pak, ada enam puluh juta. Kata Mas Sugih, kalau dikasih potongan harga, ya syukur Pak. Kalau tidak pun, harga di pasaran memang segitu.” “Bapak terima dulu Ya Mir, kami hitung dulu uangnya.” Munir membawa uang dari tangan Mirna dan menghitungnya dibantu oleh Nasuha. Mirna hanya memperhatikan saja, dia baru tahu uang enam puluh juta sebanyak itu. Dia tidak pernah tahu berapa uang yang dimiliki Sugih. Berapa uang yang mereka hasilkan setiap hari dari berjualan bakso dan Mie ayam di kedai. Sugih melarang Mirna menghitungnya, dia pun sungkan untuk bertanya. Namun, saat melihat tumpukan uang yang sedang dihitung Nasuha, Mirna pun penasaran dengan jumlah uang yang dimiliki suaminya. “Ini pas Mir, ada enam puluh juta,” kata Munir setelah selesai menghitung semua uang dari Mirna dan memasukannya kembali ke kantong plastik hitam. “Sebentar Mir, bapak ambil surat tanahnya dulu.” Munir beranjak masuk ke dalam rumah. Itu membuat Nasuha bergeser mendekat pada Mirna. “Mir, ini uang hasil jualan selama ini?” tanya Nasuha penasaran. Pasalnya dia menghitung berapa penghasilan Mirna setiap hari hingga dalam kurun waktu kurang dari empat bulan Mirna sudah memiliki banyak uang. “Iya, Bu. Itu hasil menghemat juga Bu, Arya jadi jarang jajan karena dia cuma makan saja, Bu. Apalagi aku dan Mas Sugih,” aku Mirna. Jujur, dia takut kalau Nasuha curiga dan berpikir yang macam-macam. Namun, ketakutannya langsung sirna saat melihat senyum Nasuha disertai tepukan di pundaknya. “Ibu bangga sama kalian. Mungkin dagang bakso dan Mie itu jodoh usaha kamu dan Sugih. Semoga kalian semakin sukses ya Mir.” “Iya, Bu. Terima kasih. Ini juga berkat Ibu, Ibu sudah mengizinkan kami pinjam tanah, sudah mendoakan dan mendukung usaha kami dari nol. Mirna dan mas Sugih berhutang banyak sama Ibu dan Bapak,” balas Mirna bersamaan dengan keluarnya Munir dari dalam rumah. “Ini Mir, surat tanahnya. Nanti Sugih bisa balik nama ke balai desa.” Munir menyerahkan surat tanah miliknya pada Mirna. “Bapak mau ke kecamatan Bu, mau taruh uang di bank. Biar tidak kita pakai,” lanjut Munir dengan memandang Nasuha. “Ini buat Arya Mir, kita transaksi tanpa calo. Jadi, anggap saja ini potongan harga buat kamu.” Munir menyerahkan satu ikat uang pada Mirna yang diambilnya dari kantong plastik hitam. “Ini lima juta Pak, apa tidak terlalu banyak?” “Tidak Mir, bapak malah terima kasih kamu sudah membeli dengan harga yang bapak tawarkan.” Munir pun memasukan uang ke dadanya, dia menuju gudang dan mengeluarkan sepeda motor bebek untuk membawanya menuju bank. Setelah kepergian Munir, Mirna pun langsung berpamitan pada Nasuha. Dia harus segera kembali ke kedai. Hanya saja langkah cepatnya terhenti saat sekelebat bayangan terasa mengikutinya. Mirna menengok ke jendela rumah Nasuha yang berada di samping kirinya. Tidak ada apapun yang dia lihat, dia pun berputar dan memindai ke segala arah. Nihil. Mirna tidak menemukan siapa pun, tapi dia yakin ada seseorang yang mengintai dan mengikutinya meskipun Mirna tidak tahu itu siapa. Mirna pun memutuskan segera melebarkan langkahnya menuju kedai dengan perasaan takut yang tidak lagi bisa dia enyahkan. “Sugih milikku Mirna.” Braaakkkkkk “Mas Sugih ....”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN