Maling

2200 Kata
“Mi ....” Arya menarik Mirna menjauh dari kerumunan, semakin lama matanya nanar tak tega menatap maling yang berguling di lantai dan menjadi tontonan warga. Tak berapa lama seorang dukun tetua desa datang untuk menyembuhkan si maling yang dikira kesurupan padahal di mata Arya jelas si maling sedang berjuang melepaskan dirinya dari lilitan ular besar yang tempo hari pernah di lihatnya di dalam rumah. “Mi ... maling itu bukan kesurupan, tapi ular besar membelit tubuhnya,” bisik Arya yang membuat Mirna kembali melirik pada maling yang masih berguling dan meronta di atas tanah. “Ular seperti apa Arya. Mimi tidak lihat apapun,” elak Mirna karena bukan hanya dia, semua orang yang ada di sana pun sepertinya tidak melihat ular. Tidak mungkin juga orang-orang hanya diam kalau memang si maling yang ternyata warga desa Margamulyo yang bernama Toto itu sedang dibelit ular seperti kata Arya. “Dukun saja tidak bilang ada ular Arya, kamu jangan mengada-ada,” sambung Mirna menarik putranya lebih mendekat saat mbah Sukinto mulai membaca mantra yang malah membuat Toto semakin berteriak ketakutan tanpa bisa bersuara. Arya merekatkan kedua tangannya ke pinggang Mirna, dalam pandangannya si ular bukan malah melepaskan belitan di badan Toto, tapi dia justru semakin kencang membelit hingga lidah Toto pun terlihat menjulur keluar. Tak ada kata yang bisa Toto ucapkan saking kencangnya ular membelitnya, bahkan untuk sekedar minta tolong pun Toto tak mampu mengeluarkan suaranya. Di tengah kepanikan yang semakin mencekam karena jeritan Toto yang semakin nyaring. Tono bersama Abah Latif pun datang. “Astagfirullah la adzim, Arya ini kah yang kamu lihat itu?” tanya Abah pada Arya yang ketakutan dan bersembunyi di belakang tubuh Mirna. “Abah bisa lihat kalau ....” Arya menggantung ucapannya dan Abah Latif pun mengiyakan dengan kedipan mata tanpa harus menunggu kalimat Arya terucap sempurna. Perlahan Abah pun mendekat dengan jarak cukup aman, kedua tangannya dibuka dan menengadah ke atas langit. Bibirnya mulai bergerak dengan suara lirih membacakan potongan ayat suci yang terdengar merdu hingga orang-orang yang belum mengenalnya menatap heran pada si Abah. ‘Apa yang dia baca.’ Tanya serupa dengan beragam kata sahut menyahut terdengar dari gumaman para warga. Desa yang mayoritas tertulis di KTP dengan agama Islam, tapi sangat jauh dan tidak mengenal ajaran agama yang tercetak jelas di KTP. Kecuali hansip dan ketua rukun warga yang kebetulan ada di sana. Mereka tentu sudah mengenal kalau Abah Latif adalah seorang ustad yang dikirim kiyai Abdul Azis ke desa Situnggalih untuk menyebarkan syiar agama islam yang sama sekali belum dikenal para warga. Ustad yang didatangkan atas permintaan ambang sang kepala desa yang menginginkan warganya melek agama. Pesugihan yang beragam dan terdengar santer sebagai ikon desa Situnggalih membuat Bambang merasa miris dan ingin merubah mindset para warganya. “Diam! Setan! Jangan kau baca mantra terkutuk itu,” jerit Sugih tiba-tiba diiringi gerakan tangan yang menarik lengan baju Abah Latif dan hendak membantingnya ke tanah sebelum beberapa orang terlebih dulu menjegal Sugih dan menahannya yang ingin menyerang Abah Latif. “Berhenti k*****t! Kupingku panas! Mantra iblis kau bacakan di depan rumahku, pergi!” teriak Sugih yang kini meronta-ronta untuk bisa melepaskan diri. “Mi ... kok Bapak begitu, padahal Abah itu baca potongan ayat Al Quran, bukan baca mantra,” bisik Arya. Mirna tak menanggapi, dia bingung dengan apa yang terjadi di hadapan matanya. Satu sisi Toto sang maling terlihat tidak lagi kepayahan dan mulai berangsur bisa menarik napas dengan duduk lemas tergeletak di tanah, sementara suaminya kini justru terus menceracau dengan suara lantang dan jeritan memekikkan telinga mengumpat aksi Abah Latif. Berbeda dengan Arya yang matanya jelas menangkap si ular sudah melepaskan belitan di tubuh Toto. Namun, dia justru melotot dengan mata bulat, besar dan berwarna merah ke arah sang bapak. Tubuh Sugih di mata Arya seperti mengepul mengeluarkan asap panas dengan kulit tubuh yang mulai terlihat memerah. Dia masih bocah dan belum bisa menarik kesimpulan apa yang sebenarnya terjadi dan tertangkap jelas matanya. Namun, saat Arya teringat doa keselamatan yang diberikan Abah Latif semalam. Kini bibirnya mulai bergerak lirih mengucapkan basmalah yang diikuti doa yang sudah dia hapal di luar kepala. Cukup lama warga berkumpul seperti mendapat tontonan gratis, bahkan Mbah Sukinto pun kini diam seolah ikut menonton Abah Latif yang masih belum menyelesaikan bacaannya. Perlahan Abah Latif mendekat pada Toto dan meniup ubun-ubunnya sebagai pertanda selesailah doa yang dia bacakan. Saat itu juga Arya melihat ular menghilang seketika. Sekilas Abah Latif melirik ke arah Sugih yang kini melemas dan tidak lagi meronta ingin menyerangnya. “Alhamdulillah, Mas siapa namanya?” tanya Abah dengan berjongkok di hadapan Toto. “To-to,’ jawabnya dengan terbata-bata. Badan Toto masih terlihat bergetar, ketakutan masih sangat dia rasakan meskipun si ular sudah tidak lagi terlihat matanya. “Pak, Bu, karena Mas Toto sudah membaik, lebih bagus dia di bawa ke balai desa saja. Bapak dan Ibu juga bisa kembali melanjutkan aktivitasnya.” Abah Latif kembali berdiri dan meminta para warga untuk membubarkan diri. “Wualah, tidak seru ... maling itu mesti kapok kalau digebuk Pak Yai,” teriak Parmin-bapaknya Tono. “Iya betul Min, rumah gubuk Sugih saja dimaling. Keterlaluan dia Pak,” sambung Iwan dan disambut dengan sahut menyahut warga lainnya hingga ketua RW yang kebetulan ada di sana pun maju ke depan membantu Abah Latif untuk menenangkan warga. “Sudah Pak, Bu. Biar kami bawa saja ke balai desa, biar kapok. Pak Kades pasti kasih hukuman yang setimpal. Bapak dan Ibu juga harus kembali derep ke sawah kan, biar dapat banyak catu.” Mendengar kata derep dan catu yang artinya upah atau imbalan derepan yang berupa padi dengan hitungan enam bagi satu, enam buat si pemilik sawah dan satu buat kuli derep. Mau tak mau mereka pun menurut untuk balik kanan dan bubar jalan. “Wih, ayo ke sawah lagi biar dapat banyak catu,” ajak salah satu dari mereka. “Iya, biar maling yang ngurus pak Kades dan aparat desa saja,” sambung suara yang lainnya. Mereka pun mau tak mau kompak membubarkan diri hingga di depan rumah Sugih kini hanya tinggal Abah Latif, Toto, Pak RW, hansip desa, Mbah Sukinto serta keluarga Sugih. Toto ditarik bangun oleh Mang Sapro hansip desa Situnggalih. Namun, saat dia dituntun untuk meninggalkan rumah Sugih, Toto justru berhambur memeluk kaki Abah Latif sambil bersujud dan mengucapkan terima kasih. “Bangun ... tidak baik manusia bersujud pada manusia.” Abah Latif menarik paksa tubuh Toto untuk bangun. “Pak, terima kasih pak. Terima kasih sudah membebaskan saya dari ular kejam itu,” isaknya dengan menangkup kedua tangan dan berkali-kali membungkukkan badan. “Ular apa Toto, bukannya kamu tadi kesurupan?” tanya Mbah Sukinto dengan tatapan tajamnya. “Tidak Mbah ... aku itu tadi-” “Sudah lah Toto, jangan kau ulangi lagi kesalahanmu. Apa yang terjadi hari ini cukup kamu jadikan sebagai pelajaran agar tidak mengulangi kesalahan kamu,” potong Abah Latif dengan cepat. Dia tak ingin rumor masalah ular merebak dan membuat warga berasumsi sesuka hati mereka dengan ular yang dimaksud Toto. “Biarkan dia bercerita ular itu, Latif. Jangan paksa dia diam untuk menutupi Sugih yang mungkin nyalah.” Mbah Sukinto menatap berang pada Abah Latif dengan telunjuk yang mengarah pada Sugih. Wajah Sugih sudah pias dan pucat, puncak kejayaan belum dia dapat dan kini Mbah Sukinto sudah menuduhnya dengan suatu yang sulit Sugih elak apalagi perkataan si Mbah selalu digugu dan ditelan bulat-bulat oleh warga Situnggalih. “Jangan buruk sangka begitu Mbah, kalau kata Mbah si Toto kesurupan ... mungkin dia memang sedang diingatkan untuk tidak lagi mencuri milik orang.” “Diam kau Latif! Siapa kau berani membantah aku!” “Maaf Mbah, maaf ... nyuwun sewu Mbah, tapi kata Bapak itu memang benar, aku hanya merasa badanku dililit ular. Lagian kalau memang ada ular, Mbah pasti bisa melihatnya. Aku memang warga Margamulyo, tapi kesaktian Mbah terdengar hingga desaku,” gagap Toto. Dia merasa berhutang budi pada Abah Latif, tidak ingin dia melihat penolongnya justru mendapat umpatan dan sorot kebencian dari Mbah Sukinto, sang dukun ternama yang gaungnya terdengar sampai luar desa Situnggalih. “Hahaha, kamu benar Toto. Aku yang paling hebat hingga penghuni Leuweung Suwung pun tunduk padaku.” Mbah Sukinto meninggalkan rumah Sugih dengan tawa nyaring yang membanggakan dirinya. “Silakan pak, dibawa,” kata Abah Latif pada Sapro. “Datanglah ke rumahku setelah proses hukumanmu selesai,” sambung Abah Latif dengan menepuk pundak Toto. “Baik pak, baik. Aku akan datang,” sahutnya cepat. Dengan rasa takut Toto melirik ke arah Sugih yang tidak bersuara sejak tadi. Sungguh bohong gubuk kecil yang menjadi tempat tinggal Sugih. Sebuah kamuflase untuk menutupi uang dan perhiasan yang banyak dalam lemarinya. Pagi ini Toto memang terdesak karena istri dan anaknya sakit, tak ada uang yang dia miliki sama sekali untuk membawa mereka ke mantri desa. Akhirnya, entah ide dari mana dia pun masuk ke rumah gubuk Sugih yang kata warga Margamulyo kini membuka kedai bakso yang cukup ramai. Bisikan sesat menuntunnya masuk ke dalam rumah Sugih. Keadaan rumah yang kosong membuat Toto bebas mencari barang berharga yang ternyata tersembunyi di lemari baju yang ada di dalam kamar Sugih dan Mirna, uang dalam peti serta perhiasan yang begitu banyak membuat mata Toto silau seketika. Namun, saat tangannya masuk dan merogoh isi peti, ekor ular sebesar pahanya menepis tangan Toto. Ular yang ukurannya berkali lipat dari tubuh Toto pun menyerang dan membelit badannya hingga membuat Toto berguling-guling di tanah sampai keluar rumah untuk meminta pertolongan. Seandainya Abah Latif terlambat datang, napasnya yang sudah di ujung tenggorokan mungkin sudah menghilang. Entah ular apa yang menyerangnya, Toto pun sependapat dengan Mbah Sukinto yang menuduh Sugih nyalah untuk mendapatkan gelimang harta dengan mudah. Namun, Toto tak ingin membuat keributan semakin melebar hingga dia memilih menyerahkan diri pada aparat desa. Toh, Toto tahu kepala desa Situnggalih terkenal ramah dan murah hati. Dia tak ingin mencuri kalau keadaan tidak mendesaknya. Biar lah nanti dia mengiba maaf dan melontarkan ribuan janji agar sang Kades bermurah hati melepaskannya. Syukur-syukur Pak Bambang, sang kepala desa yang begitu dicintai dan dihormati warga Situnggalih, bersedia membantu Toto. Setelah kepergian Toto, Arya langsung berlari memeluk Abah Latif. Kedua tangannya memeluk pinggang Abah dengan bibir yang terus melontarkan ucapan terima kasih. “Arya, ikut Ibumu ke kedai! Mulai hari ini kamu tidak boleh lagi ke langgar!” Sugih menarik Arya dan menyerahkannya pada Mirna. Sorot matanya tajam dengan wajah yang menahan marah pada Abah Latif. “Pak-” “Diam! Tidak perlu mencampuri urusan keluargaku! Aku tidak ingin anakku jadi dukun dan belajar mantra setan darimu!” teriak Sugih dengan telunjuk mengacung lurus ke wajah Abah Latif. “Mirna, bawa dia ke kedai sekarang!” teriak Sugih dengan sorot mata tak ingin dibantah. Tanpa kata Mirna pun menyeret Arya ke kedai tanpa membawa sepedanya yang di simpan Tono di samping rumah mereka. “Mi ... masa aku tidak boleh ke langgar, aku mau jadi anak pintar Mi,” rengek Arya yang tidak menerima titah dari Sugih yang kembali melarangnya pergi ke langgar. Padahal Abah Latif datang untuk membantu mereka menyelesaikan kekacauan yang terjadi karena si maling terus menjerit dan berguling di lantai. Namun, Sugih kembali menuduh kalau ayat suci yang dibacakan Abah Latif sebagai mantra setan. “Sudah Arya, bapakmu sedang marah. Kamu terima dulu, nurut dulu. jangan buat bapak semakin murka,” kata Mirna sembari terus menarik tangan Arya menuju kedai mereka. “Mi ... Abah itu menolong kita mengusir ular besar, tapi Bapak malah marah padanya. Mimi juga tidak membelaku. Aku tidak mau menurut kalau perintah bapak dan Mimi salah,” debat Arya hingga Mirna pun menghentikan sejenak langkah kakinya. Kedua tangan Mirna berada di pundak Arya, matanya lurus menatap kedua netra Arya yang terlihat begitu bening dengan bola mata hitam legam. “Dengar Arya ... Mimi tidak mau bapak memarahi Arya. Mimi yakin Arya bisa sabar sebentar tidak pergi ke langgar sampai marah bapak hilang. Setelah itu ... Arya bisa ke sana lagi. Mengerti?” Arya terpaksa mengangguk. Tidak ada jawaban lain yang bisa dia keluarkan meskipun hatinya jelas menolak. Keduanya kembali berjalan menuju kedai. Sementara di depan rumah Sugih kini hanya ada Abah Latif dan Sugih yang menatap sengit ke arahnya. “Sugih ... kau boleh tersesat, tapi jangan buat anakmu ikut tersesat.” Abah Latif mulai membuka suara saat melihat Arya dan Mirna sudah menjauh dari tempat mereka. “Tersesat kamu bilang! Tuduhan apa itu, aku ada di rumahku. Kalau ada yang tersesat justru kamu yang tersesat,” balas Sugih dengan nada sengit. “Bangkai yang tertutupi dengan timbunan mawar pun akan tercium busuknya. Sekarang kamu aman, belum tentu belangmu bisa terus tersembunyi dari warga sini.” “Diam k*****t! Omonganmu semakin ngaco! Kamu mau percaya sama Mbah Sukinto dan bilang aku nyalah!” hardik Sugih dengan sorot mata yang semakin merah. “Aku percaya dengan Tuhanku, Allah yang satu dan tidak pantas disekutukan dengan siluman apapun.” “Cuih!” Sugih meludah tepat di hadapan Abah Latif. “Pergi ... aku tak butuh ceramahmu!” usir Sugih dengan telunjuk yang kini diarahkan ke jalan utama. “Kamu tidak akan bisa melarang siapa pun saat sinar kebenaran menuntunnya menuju Tuhan. Anakmu sendiri yang akan menghentikan semua kesalahan ini.” “Diam k*****t! Pergi! Pergi atau aku seret kau menjauh dari rumahku!” ancam Sugih dengan d**a yang mulai kembang kempis menahan ledakan amarah dalam dirinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN