Mantra Arya

2148 Kata
“Bapak dari mana?” Sugih terlonjak kaget mendengar sapaan dari Arya yang berpapasan dengannya di ujung gang menuju rumah mereka. “Kamu bikin Bapak kaget saja, ya. Bapak habis lihat kedai sebentar,” bohong Sugih karena baru kali ini dia pulang usai ritual ketahuan Arya yang hendak pergi ke langgar. “Kamu mau ke langgar,” tebak Sugih yang sudah hafal dengan rutinitas pagi putranya. “Iya, tumben sekali Bapak bangun pagi.” “Ada juga kamu yang tumben tidak bawa sepeda,” timpal Sugih tidak mau kalah beradu kata dengan putranya. “Kangen jalan kaki Pak, aku duluan sebentar lagi azan.” Arya meraih tangan Sugih untuk dicium. “Sebentar, Ya. Azan itu apa sih?” Arya tersenyum mendengar pertanyaan dari sang bapak. “Azan itu panggilan buat menghadap Tuhan, Pak.” Arya meletakkan tangan kanannya di telinga. “Seperti ini bunyinya, Allah akbar ... Allah akbar.” “Aaaaaaaaa ....” Sugih seketika berteriak dengan menutup kedua telinganya saat mendengar satu bait azan yang baru dikumandangkan Arya. Jelas saja hal itu membuat Arya kebingungan. “Pak ... Bapak kenapa?” Arya membantu Sugih berdiri, jujur dia tidak mengerti kenapa tubuh sang bapak bergetar seperti orang yang ketakutan. Warga sekitar langgar sudah sering mendengar suara azan meskipun mereka tidak pernah datang dan ikut salat bersama. Setidaknya mereka tidak menjerit ketakutan seperti Sugih saat mendengarnya. “Kamu jangan lagi-lagi merapalkan mantra seperti itu!” hardik Sugih menepis tangan Arya yang ingin membantunya bangun. “Itu bukan mantra, Pak. Itu azan ... panggilan orang buat menghadap Tuhan.” “Tuhan ... Tuhan! Persetan dengan Tuhan, minggir!” Sugih mendorong Arya dengan kilatan merah di matanya. Tak ayal itu membuat Arya semakin bertanya-tanya. Namun, sayup-sayup panggilan azan membuat dia mengurungkan niat menyusul sang bapak. Arya melanjutkan niatnya menuju langgar untuk absen pagi di saat Fajar, seperti ada sesuatu yang hilang dalam dirinya jika Arya tidak memenuhi panggilan azan dan melakukan salat bersama sang guru. Ada kedamaian tersendiri yang bocah kecil itu rasakan sejak belajar mengenal Tuhan dengan cara yang diajarkan Abah Latif dan Umi Sofi. Sementara Sugih berjalan pulang dengan perasaan aneh yang tidak bisa dia sembunyikan. Entah kenapa badannya memanas, telinganya seperti tersembur sengatan api yang begitu panas saat mendengar mantra yang diucapkan Arya. Brakkkk Sugih membuka kasar pintu rumahnya, tentu saja itu membuat Mirna yang baru selesai mengenakan baju segera keluar dari kamar. Semalaman matanya tidak bisa terpejam memikirkan sang suami yang sedang mengunjungi istri gaibnya. Tiga kali purnama dan tiga kali Kamis pahing yang dilewati Mirna belum juga membuat dia terbiasa kalau sebulan sekali suaminya harus bercinta dengan wanita tak kasat mata. “Mas ... mas kenapa? Telinga mas terkena apa sampai merah begitu,” tunjuk Mirna membuat Sugih sontak mengusap telinganya. Dia duduk di kursi kayu di ruang depan rumah mereka. Napasnya masih terengah-engah, hatinya gelisah setelah mendengar mantra yang dirapalkan Arya. “Mas, aku obati ya.” “Jangan disentuh!” hardik Sugih saat Mirna hendak mengusap telinga suaminya. “Ini gara-gara mantra yang dirapalkan Arya, badanku panas. Telingaku seperti tersembur panas napas naga. Sebenarnya ilmu apa yang dipelajari Arya selama ini, aku jadi curiga dia belajar jadi dukun di langgar sana,” tuduh Sugih dengan d**a kembang-kempis dan napas yang masih tersengal. “Dukun apa Mas? Arya di sana belajar silat sama belajar baca tulisan Arab. Aku kemarin tanya sama dia waktu pulang bawa buku besar yang tulisannya bahasa Arab semua. Kata dia itu buku juz apa gitu, aku lupa. Suara Arya merdu loh saat semalam dia baca buku itu di depan aku, Mas,” beber Mirna membela putranya. Sugih mencerna setiap kata yang diucapkan Mirna, kalau itu bukan lah sebuah mantra ... lantas kenapa efeknya membuat badan dia terasa aneh seperti ini. Atau ini karena dia terlalu lelah meladeni keagresifan Nyai semalam. “Mas ... mau mandi dulu atau langsung tidur?” tanya Mirna mengusap lengan suaminya. Semerbak wangi bunga tertangkap jelas dari badan suaminya dan membuat Mirna merasa tidak nyaman. “Aku mandi, kamu beli makan dulu. Aku mau makan dulu sebelum tidur.” Sugih bangkit dari kursi meninggalkan Mirna dengan tanya yang mulai mengusik pikirannya. Kedatangan Sugih kali ini jelas sangat berbeda dan tidak seperti biasanya. Tak ada ungkapan cinta dan kelembutan yang Sugih tampakkan. Padahal biasanya setiap pulang dari istana si Nyai, Sugih tak pernah lupa berujar maaf dengan diikuti kecupan hangat di keningnya. Mirna mencoba menepis segala pikiran yang membuatnya terus berburuk sangka pada sang suami, dia segera mengambil dompet kecil di kamarnya sebelum menuju warung penjual sarapan. Gelap malam masih tersisa, tapi para buruh tani sudah hilir mudik di jalan dengan membawa perlengkapan perang mereka. Ya ... musim panen telah tiba, biasanya Sugih dan Mirna pun akan ikut serta memeriahkan panen raya di desa Situnggalih. Ini panen pertama mereka tidak ikut berburu lahan sawah untuk derep-istilah yang disebut warga yang artinya mengunduh padi yang sudah siap dipangkas dan dipisahkan antara biji padi dengan batangnya. “Mir ... cantik benar kau sekarang, tak ikut ke sawah nih,” sapa Rukmini yang sudah terlebih dulu sampai di depan warung yang menyediakan aneka makanan dan gorengan untuk makan pagi para warga sekitar. “Tidak Min, fokus jualan saja dulu. Hanya hari ini libur, lelah juga sebulan tidak ada libur,” sahut Mirna dengan ramah. Tidak ada kesombongan sedikit pun yang dia tampakan meskipun kini kehidupannya sudah lebih baik dari dulu. Mirna pernah berada di posisi paling bawah hingga kerap menjadi hinaan kedua orang tuanya. Kini saat roda kehidupan mulai mengajaknya naik perlahan, dia tidak ingin bak kacang yang lupa akan kulitnya. “Mirna sekarang sudah jadi bos Mie Yamso, Min. Mana mau dia ikut derep di sawah,” sambar Cupang-si pemilik warung. “Mie Yamso itu apa toh Bi?” tanya Rukmini bingung. “Mie ayam bakso, Min,” kekeh Cupang dengan tawa renyahnya. Tangannya masih tetap gesit melayani pesanan Rukmini. “Wah ... iya itu Bi, aku kapan ya Mir, bisa pensiun jadi buruh. Musim tanam jadi kuli tandur, sekarang panen pun berburuh lahan derepan,” keluh Rukmini akan jalan hidupnya. Rukmini dan Iwan memang pasangan kuli sejati, saat masa tanam mereka akan menjadi buruh tanam benih padi yang disebut warga dengan buruh tandur, begitu pula saat musim panen seperti ini mereka akan berburu lahan sawah untuk dipanen. Warga menyebut mereka kuli derepan. “Disyukuri saja Min, aku malah bangga kamu sama suami bisa tetap kompak seperti ini. Sehat selalu ya Min, nanti kapan-kapan mampir lah ke kedaiku. Jangan lupa ajak juga Iwan dan anak kalian,” balas Mirna. Rukmini mengusap pelan lengan Mirna. “Kamu ini hebat Mir, ekonomi kamu sudah berangsur membaik, tapi tidak sombong.” “Ya sudah jangan rumpi mulu Min, ini semuanya lima belas ribu,” sela Cupang sambil menyerahkan kresek plastik putih makanan dan lauk pesanan Rukmini. “Sudah, aku saja yang bayar. Anggap saja ini hadiah dan terima kasih dari aku karena Iwan sudah membantu Mas Sugih membangun kedai.” Mirna mendorong pelan tangan Rukmini yang hendak membayar makanannya. Rasa terima kasih pun bertubi-tubi diucapkan Rukmini sebelum meninggalkan warung milik Cupang. Mirna sama sekali tidak tahu kalau di rumah Sugih kini merasa lengannya dicubit dan disengat berkali-kali dengan bisikan gaib yang tidak dia pahami. ‘Kau hamburkan uang Nyai.’ Terus menerus kalimat itu terngiang di telinga Sugih hingga Mirna kembali dengan membawa makanan dari warung Cupang. “Mir ... Mir,” panggil Sugih saat mendengar pintu terbuka. Mirna segera masuk ke kamar untuk memenuhi panggilan dari suaminya. “Kenapa Mas?” “Kamu beli apa sih Mir, ini lihat.” Sugih memperlihatkan lengannya yang lebam kemerahan seperti bekas cubitan, tapi mirip tersengat serangga yang tak pernah Mirna lihat bekas seperti itu sebelumnya. “Ini kenapa Mas?” “Aw ... pelan-pelan Mir, sakit,” keluh Sugih menepis tangan Mirna yang mengusap lengannya. “Maaf Mas, tapi ini kenapa,” ulang Mirna kembali bertanya dengan netranya yang lekat menatap lengan Sugih yang memerah. “Aku sendiri tidak tahu, habis mandi tadi aku masuk kamar ada suara bisikan, katanya Kau hamburkan uang Nyai. Berkali-kali suara gaib itu terdengar dibarengi dengan lenganku yang terasa dicubit dan disengat, rasanya begitu perih dan panas. Lihat lah ... aku tak mengerti ini kenapa.” Sugih kembali menunjukkan lengannya, sedangkan Mirna mengingat-ingat apa yang dia beli di warung. Dia juga menyambungkan dengan kalimat Kau hamburkan uang Nyai untuk mencari benang merah penyebab sang suami menjadi seperti ini. “Aku hanya beli makanan untuk kita, Mas. Hanya saja tadi ketemu Rukmini yang mau berangkat derep. Terus aku bayar belanjaan dia, cuma lima belas ribu kok Mas,” aku Mirna ragu-ragu karena menurut dia sendiri itu tidak masalah. Toh, dia juga sering diperlakukan seperti itu oleh para tetangga yang baik hati seperti Nasuha dan lainnya, sehingga Mirna pun ingin berlaku sama pada orang yang asih hidup kesusahan seperti dirinya dulu. “Ya ampun Mir, kamu itu sok-sokan jadi pahlawan. Kita ini hidup masih seperti ini mau bayarin belanjaan orang segala. Pantas saja si Nyai marah, uang kita itukan uang dari dia. Tidak boleh dihambur-hamburkan dengan percuma,” ujar Sugih yang berlaga menasihati istrinya. Dia tidak sadar kalau Mirna malah heran dengan kalimat yang dia ucapkan, sangat berbanding terbalik dengan kepribadian Sugih sebelum mengenal si Nyai. Dulu mereka memang melarat, kere, dan menjadi bahan hinaan Tuti dan Parjo setiap hari. Namun, Sugih selalu mengingatkannya untuk berbagi singkong rebus pada para tetangga saat Sugih baru memanen singkong di belakang rumah mereka. Sekarang, saat mereka bisa memberi lebih, tapi Sugih malah berkata seperti itu. “Ayo makan, aku lapar,” ajak Sugih membuat Mirna tersadar dari lamunannya. “Ingat ya Mir, lain kali jangan sok baik pada orang. Aku tidak mau kejadian seperti ini terjadi lagi. Sakit tahu ...,” omel Sugih saat mereka melangkah keluar kamar setelah memakai kaos lengan panjang untuk menutupi lengannya yang merah dan terlihat melepuh. “Assalamualaikum, Pak ... Mi ... Arya pulang,” salam Arya sembari membuka pintu rumah mereka. Dia mengucapkan salam tanpa berharap ada yang menjawab salam darinya. hal ini sudah rutin dia lakukan sejak ustad Latif yang dipanggilnya Abah mengajarkan Arya untuk tidak lupa berucap salam saat hendak masuk ke dalam rumah. “Sudah pulang, Ya. Makan dulu yuk, Mimi sudah beli nasi.” Mirna duduk terlebih dulu. Satu persatu bungkus nasi dibuka olehnya dan diberikan Aipda Sugih dan Arya. “Sebentar Pak, kita lebih baik baca doa dulu,” kata Arya saat melihat Sugih hendak menyuapkan nasi ke mulutnya. “Kamu baca doa dalam hati saja. Tidak usah kau rapalkan mantra setan di rumah ini!” hardik Sugih dengan kilatan mata merah yang membuat Arya segera menunduk dalam diam. Tak ada kalimat apapun yang Mirna katakan untuk membela sang putra, entah kenapa hatinya mulai dirundung satu rasa yang tidak nyaman saat perlahan merasakan perubahan sikap Sugih. Apakah ini sebuah konsekuensi karena perjanjian gaib dengan si Nyai. “Mi, makan,” tegur Sugih mendapati Mirna terus menatapnya. “I-iya,” gagap Mirna yang langsung menyuapkan nasi ke mulut. Mereka makan dalam diam, tak ada canda, gurau dan keharmonisan keluarga yang dulu selalu menghiasi makan pagi meskipun mereka sangat jarang melakukannya. Keterbatasan uang dan bahan pangan yang mereka miliki membuat ritual makan pagi terasa sangat istimewa. Berbeda dengan sekarang, mereka bisa sarapan setiap hari. Namun, tak ada kehangatan dan keceriaan yang tampak, terlebih dari wajah sang suami. “Arya, Bapak tidak suka kamu bolak-balik ke langgar. Mulai besok kamu tidak perlu lagi pergi ke sana,’” larang Sugih setelah dia menghabiskan makanannya. “Kenapa pak?” “Tidak usah bertanya kenapa, sekali tidak ya tidak. Jangan membantah perintah bapak.” Sugih beranjak dari duduk dan meninggalkan anak dan istrinya. “Mi ... bapak kok begitu.” Arya menatap manik mata Mirna. “Sudah, Ya. Kamu turuti saja bapakmu, katanya bapak curiga kamu belajar di sana mau jadi dukun. Tadi saat kamu mau ke langgar papasan sama Bapak kan?” Arya mengangguk, tapi benaknya diliputi banyak tanya kenapa bapaknya malah menganggap dia belajar untuk jadi dukun. “Dukun itu orang pintar yang bisa lihat setan, Mi?” Arya masih terlalu kecil untuk mengerti apa itu dukun yang sebenarnya. Itu juga yang membuat Mirna bingung untuk memberi penjelasan pada putra semata wayangnya. Dia mengusap lengan Arya, sebuah senyuman Mirna persembahkan untuk menenangkan hati Arya. “Sudah lah ... Arya sekolah saja yang pintar, tidak usah dipikirkan kata-kata Bapak.” “Tapi Arya mau ke langgar Mi, di sana Arya merasa nyaman,” sahut Arya cepat. “Kalau begitu nanti Mimi yang ngomong sama Bapak. Arya hari ini ujian kan, mau naik kelas berapa?” tanya Mirna mencoba mengalihkan topik pembicaraan mereka. “Mau naik kelas dua Mi. Arya ganti baju dulu, nanti langsung sekolah.” Mirna tersenyum mempersilakan putranya. Sekolah Arya memang satu-satunya sekolah yang ada di desa mereka. Setelah selesai sekolah dasar biasanya para anak-anak di desa Situnggalih menjadi penggembala ternak. Sangat jarang ada yang melanjutkan sekolah ke tingkat menengah pertama. Jarak Sekolah menengah pertama harus ditempuh dengan dua jam naik sepeda di pusat kecamatan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN