Serangga di Lengan Bapak

2232 Kata
“Arya ....” Sugih segera berlari mendekati Arya yang pingsan tergeletak di jalan. Beberapa warga yang sedang lewat membantu Sugih membopong Arya ke kedai. Entah apa yang membuat Arya pingsan, dia terlihat baik-baik saja meskipun Mirna tahu kalau anaknya sedang berpuasa. Namun, Arya sama sekali tidak terlihat lemah, lesu dan letih saat membantunya. “Ini Mir, aku bawa daun minyak kayu putih dari sawah.” Seseorang mengulurkan daun minyak kayu putih. Mirna meremasnya dengan tangan sebelum mendekatkan aroma menyengat daun kayu putih ke hidung Arya. Tak berapa lama mata Arya terlihat mengerjap perlahan, begitu terbangun Arya langsung menangis dan memeluk Mirna dengan ekspresi wajah ketakutan ala bocah. “Mir ... Gih, Arya sudah sadar. Kami pulang ya,” pamit salah satu warga yang membantu mereka membopong Arya. “”Iya Pak, terima kasih ya Pak Diman, Pak Tarya, Pak Maji,” ucap Sugih mewakili Mirna. Setelah kepergian mereka, dengan perasaan takut Arya menengok ke arah lengan Sugih. “Kok tidak ada Mi?” tanyanya lirih. Arya mengucek matanya dan kembali memindai kedua tangan Sugih. Namun, hasilnya tetap sama. Serangga bulat hitam dengan ukuran yang dua kali lebih besar dari lembing batu yang menempel di kedua lengan Sugih menghilang tanpa jejak beserta dengan hilangnya tanda kemerahan di lengan Sugih. “Apa yang tidak ada, Nak?” tanya Mirna mengusap rambut putranya. “Itu lengan Bapak.” Arya menunjuk lengan Sugih yang kini sudah kembali seperti semula padahal belum diobati salep apapun. “Loh, iya sih Mas. Lengan kamu sudah tidak merah-merah lagi.” Mirna pun kaget melihat lengan suaminya kembali seperti semula. “Iya, syukur lah hilang sendiri sebelum diobati. Kamu sendiri kenapa pingsan Arya?” tanya Sugih beralih melirik Arya yang masih dalam dekapan Mirna. Arya terdiam, dia bingung mengatakan apa penyebab dirinya pingsan. Bapak dan Miminya tidak mungkin percaya kalau dia bilang melihat kedua lengan sang bapak dikerubungi serangga yang begitu banyak dan membuat Arya ketakutan hingga pingsan. Kalau lah dia mengatakan yang sebenarnya, pasti Mimi dan Bapaknya mengira dia kembali berhalusinasi, sama seperti saat Arya melihat penampakan ular besar di rumah mereka. “Mungkin karena Arya belum makan Mas ... dia ini lagi belajar lelakon, apa namanya Ya?” “Puasa Mi,” sahut Arya cepat. “Hualah, kamu masih bocah piyik sok-sokan mau puasa segala. Pingsan kan jadinya, sudah kamu makan dulu. Baru nanti pulang ke rumah,” suruh Sugih yang terpaksa diangguki Arya karena tidak ingin berdebat dengan bapaknya. “Bapak bereskan belanjaan dulu,” sambung Sugih sebelum kembali ke motornya dimana semua belanjaan masih berada di atas motor. “Yuk ... Arya makan,” ajak Mirna sembari melepaskan tangan Arya yang masih melingkar di pinggangnya. “Mi, nanti saja aku makannya, tanggung Mi ... sebentar lagi magrib, boleh ya Mi,” tawar Arya merayu Mirna dengan tatapan memelas. “Bukan tidak boleh, Ya. Hanya saja Mimi tidak mau kamu sakit, ini saja kamu sampai pingsan kan.” “Bukan Mi ... aku pingsan bukan karena puasa, tapi aku pingsan gara-gara lihat di lengan bapak ada banyak se-” Arya menghentikan kalimatnya setelah sadar dia kelepasan berbicara. Mata Arya kini beradu dengan sang Mimi, entah Mirna akan percaya atau tidak jikalau Arya membeberkan apa yang dia lihat sebelum terjatuh pingsan. “Di lengan bapak ada apa, Nak? Coba Arya cerita ke Mimi,” pinta Mirna dengan mengusap lembut pipi kanan Arya. “Mimi percaya kalau aku bilang tadi di lengan bapak itu ada banyak serangga mirip lembing batu, tapi ukurannya lebih besar nempel di lengan bapak sampai lengan bapak kulitnya tidak terlihat.” Arya bergidik ngeri saat bercerita dan kembali mengingat apa yang telah dilihatnya. “Lengan bapak jadi hitam Mi, dua-duanya, serem sekali,” imbuhnya diakhiri dengan kembali bergidik di depan Mirna. “Kamu tidak salah lihat? Arya kan sedang puasa, mungkin mata Arya berkunang-kunang karena lapar sehingga-” “Tuh kan, Mimi tidak bakal percaya. Arya sudah menduga, pasti Mimi bilang itu halusinasi Arya. Arya pulang duluan Mi, biar Magrib buka puasanya di langgar sama Amir. Assalamualaikum.” Arya meraih tangan kanan Mirna dan segera meninggalkan ibunya tanpa ada tambahan kata lagi yang dia ucapkan. Mirna terpaku dalam duduknya hingga tubuh Arya yang mengayuh sepeda ke arah jalan pulang tak lagi terlihat. Sungguh, kalau lah benar apa yang dilihat Arya, ini tentu ada kaitannya dengan si Nyai yang menjadi sesembahan suaminya. haruskah Mirna menceritakan hal ini pada Sugih ... atau dia menyimpan cerita ini sendiri saja. Semakin hari, semakin banyak keanehan dan keganjilan yang sedikit demi sedikit terkuak. Namun, sesal sudah tiada gunanya. Setahu Mirna dari obrolan sesepuh di desa ini, siapa pun yang sudah mengikat perjanjian dengan si Nyai. Maka, seumur hidupnya dia akan menjadi b***k Nyai sampai Nyai tidak membutuhkannya lagi. Tidak banyak yang Mirna tahu tentang cerita Nyai Sarasehan yang dulu kerap dia dengar dari para tetua yang bercerita. Hanya saja kini Mirna merasa dirinya perlu untuk mencari tahu tentang ritual kelambu gaib si Nyai dengan segala t***k-bengeknya agar Mirna tidak terus dikejutkan dengan hal-hal mistis yang tak kasat mata yang kini sering dia rasakan. “Mir, Mirna.” Sedari tadi Sugih memanggil istrinya, tapi Mirna tak juga menyahut hingga dia mendekati tempat dimana Mirna duduk termenung dengan pikiran yang kini mulai dipenuhi banyak pertanyaan. “Mirna.” “Mas Sugih, kaget aku.” Mirna terlonjak kaget dan seketika mengusap dadanya saat merasakan tepukan tangan Sugih di pundak. “Kamu melamun terus, dari tadi aku panggil diam saja. Arya mana?” tanya Sugih yang tidak melihat Arya ada di dalam kedai. “Dia pulang, mandi dan mau buka puasa di langgar,” jawab Mirna sesuai dengan apa yang dikatakan Arya. “Anak itu betah sekali di langgar, lama-lama dia menginap di sana dan lupa pulang,” gumam Sugih yang dibiarkan saja oleh Mirna. Mirna segera menuju gerobak dagangan mereka, dia mengambil semua uang yang ada di laci dan dimasukkan ke dalam kresek plastik hitam untuk dihitung suaminya saat tiba di rumah. Sugih tidak mengizinkan Mirna yang menghitung dan membereskan uang hasil dagangan mereka. Atas petunjuk dan perintah dari Nyai, hanya Sugih yang berhak menghitung dan menyimpannya. Uang yang entah kenapa seperti beranak pinak dan berkali lipat jumlahnya dari pendapatan harian mereka selalu membuat Mirna merinding, bukan malah bahagia karena kini suaminya memiliki banyak uang. “Mas, ini uangnya.” Mirna menyerahkan kresek plastik hitam ke tangan Sugih. “Yuk pulang,” balas Sugih setelah semua kedainya tertutup rapat. Dia membonceng Mirna menggunakan motor menuju ke rumah mereka. Senja sudah semakin pekat dan malam pun semakin mendekat saat mereka sudah tiba ke rumah. Arya yang sudah rapi dengan kaos lengan panjang, celana panjang dan sarung yang disampirkan di kedua bahunya pun tersenyum menyongsong kedatangan Mirna dan Sugih. “Pak, minta uang dong. Buat beli es di warung Mang Suradi.” Arya menengadahkan tangannya pada Sugih dengan senyum lebar dan kedipan mata beberapa kali pertanda dia sedang merayu sang bapak. “Kamu makan dulu, baru beli es. Katanya kamu lelakon, kan belum makan,” pesan Sugih sambil merogoh uang di kantong celana dan memberikannya pada Arya. “Siap bapak, terima kasih ya. Aku sayang bapak sama Mimi. Assalamualaikum.” Cepat Arya meraih tangan keduanya untuk dicium sebelum pergi ke langgar dengan mengayuh sepedanya. Tak ada rasa takut dalam diri bocah kecil itu meskipun harus bolak-balik langgar di bawah gelap malam. Apalagi cahaya listrik belum dimiliki semua warga. Termasuk rumah Arya yang masih menggunakan penerangan dengan lentera. Hanya rumah-rumah para juragan dan orang kaya di desa Situnggalih yang sudah dialiri listrik. Sebagian masih menggunakan lentera sebagai penerang rumah di kala malam. “Mir ... Arya sudah pergi ke langgar,” ujar Sugih sambil mendorong tubuh istrinya masuk ke dalam rumah dan menutup rapat pintu rumah mereka. “Terus kalau Arya sudah ke langgar kenapa Mas,” goda Mirna dengan gerakan gemulai tangannya yang mengusap rahang Sugih yang mulai mengeras. “Aku .... Hmmppfftthh.” Belum usai Sugih menjawab, Mirna sudah menyergap bibir suaminya. Dia tahu apa yang Sugih inginkan, tak perlu meminta pun Mirna akan melayani suaminya penuh cinta. Hasrat mereka semakin menggelora di bawah remang cahaya lentera yang sudah dinyalakan Arya, kali ini keduanya bercinta di ruang depan dengan keringat yang membasahi tubuh keduanya, Mirna dan Sugih terus berpacu saling mencumbu dan merayu hingga keduanya mencapai puncak kenikmatan bersama. “Aku mencintamu Mir ... kau segalanya bagiku,” bisik Sugih setelah permainan panas mereka usai.. “Teruslah mencintaiku Mas ... agar cinta tidak membuatmu semakin tersesat,” balas Mirna yang kembali menarik bibir Sugih untuk dicecapnya. “Aku harus mandi sebelum Arya pulang.” Mirna mendorong badan Sugih dan bangun meninggalkan suaminya. Dia lekas memunguti semua bajunya yang terlempar di lantai tanah rumah mereka sebelum menuju kamar mandi. Baru saja Sugih menutup matanya, sebuah sentuhan dari tangan yang begitu lembut kini terasa di pipinya yang kasar. Semerbak wangi bunga sedap malam terasa menusuk hidungnya hingga Sugih pun membuka mata. “Nyai ....” “Aku menginginkanmu Sugih,” bisik Nyai dengan gerakan tangan yang mulai mengusap wajah dan rahang Sugih untuk merayu dan membangunkan kembali hasrat Sugih. Sugih melirik takut kalau Mirna mendapati Nyai datang ke rumah mereka dan mengajaknya bercinta. Namun, gerakannya itu tertangkap si Nyai dan membuat mata indah Nyai Saras membulat bak bola. “Aku juga istrimu Sugih ... aku berhak merasakan apa yang Mirna rasakan,” rajuk manja Nyai di telinga Sugih. “Tentu Nyai ....” Sugih menyambar bibir Nyai. Dia singkirkan semua ketakutan kalau Mirna akan mengetahui percintaan mereka. Dia pun melupakan rasa lelah usai permainan panasnya dengan Mirna. Kini Sugih kembali mendaki dari awal dan mencari kepuasan dunia dengan Si Nyai. “Nyai ... kau istimewa ... aku mencintaimu Nyai,” desah Sugih dengan terus bergerak tak beraturan memacu dirinya untuk meraih kenikmatan dengan si Nyai. Cukup lama mereka bergumul dan saling mendesah hingga mencapai kepuasaan bersama. Sugih tergeletak lemah, tenaganya selalu habis terkuras kala bertugas memuaskan si Nyai. Matanya sudah setengah tertutup, tapi Sugih bisa merasakan tubuh Nyai masih berada dalam pelukannya. “Cepat lah bangun rumah dan sediakan satu kamar untukku. Aku pun ingin bercinta denganmu sesering kau mencumbu Mirna,” bisik Nyai sebelum sosoknya terasa menghilang bersamaan dengan suara Mirna yang memanggil Sugih. “Mas ... mandi dulu lah, masa langsung tidur sih,” tegur Mirna melihat Sugih masih terbaring dengan mata tertutup di kursi panjang yang berada di ruang depan rumah mereka. “Kok wangi ya Mas.” Mirna mendekatkan hidungnya mencoba membaui badan Sugih yang dipenuhi keringat. “Wangi apa toh Mir, ada juga badanku bau keringat.” Sugih mendorong Mirna agar menjauh dari tubuhnya. Segera dia berjalan menuju kamar mandi agar Mirna tak curiga dengan wangi bunga yang diciumnya. Usai mandi kini keduanya duduk di ruang depan dengan pintu yang dibiarkan terbuka karena menunggu Arya pulang dari langgar, beberapa warga masih terlihat baru pulang dari sawah dengan berboncengan sepeda dengan pasangannya. Musim panen memang kerap membuat para buruh tani pulang lebih lambat dari biasanya. “Mi ... Nyai menyuruhku segera membangun rumah,” ujar Sugih memulai obrolan santai dengan Mirna. “Kapan Nyai ngomong begitu Mas? Kamu kan belum ke istananya.” “Ah, kamu lupa dia siapa ... dia bisa datang kapan pun,” jawab Sugih membuat Mirna kembali teringat badan Sugih yang begitu wangi saat dia mendapati suaminya terpejam di atas kursi panjang. “Apa Nyai datang usai kita bercinta?” tanya Mirna membuat Sugih sontak menggeleng cepat. “Tidak ... jangan mengada-ada. Kita fokus ke rencana bangun rumah saja, jangan melebarkan pembicaraan,” tegur Sugih. Mirna hanya mengangguk patuh, membiarkan rasa tanya dan penasaran kembali bertambah tanpa berani membantah suaminya. “Aku ingin bangun rumah tanpa membongkar rumah ini Mir,” kata Sugih. Kepalanya berputar dengan mata yang memandang rumah bilik bambu miliknya. Warisan dari kedua orang tua Sugih sebelum meninggal. “Kalau rumah ini dibiarkan, kita mau bangun rumah dimana Mas?” Mirna bingung karena tanah yang mereka miliki satu-satunya hanya di sini, dimana rumah gubuk reot ini dibangun. Rumah yang penuh kenangan meskipun kerap dihina kedua orang tuanya. “Beli Mir ... kamu tanya sama Bu Suha, tanah yang kita pakai untuk kedai itu mau dijual tidak. Kalau iya dijual kita bisa beli sebagian Mir.” “Uangnya Mas,” sahut Mirna penuh tanya karena membeli tanah sekaligus membangun rumah di sana sudah jelas butuh uang yang sangat banyak. “Ada Mir, tapi Nyai minta satu kamar khusus buat dia,” cicit Sugih. Netranya menatap lekat wajah Mirna. Cahaya malam memang menyamarkan pandangan matanya, tapi untuk menangkap raut cemburu yang kini terlihat jelas di wajah Mirna, Sugih tak perlu cahaya benderang untuk memastikannya. Dia menarik tangan Mirna, menggenggam dan meremasnya sebelum dikecup mesra. “Aku minta maaf Mir, bagaimana pun Nyai juga istriku. Aku harus bersikap adil padanya,” ucap Sugih yang secara tidak langsung meminta kerelaan Mirna untuk berbagi. “Terus setiap malam Kamis pahing, Mas juga masih ke istananya?” Sugih mengangkat kedua bahunya. “Entahlah ... Nyai belum membahas soal itu. Besok aku minta kamu tanya pada Ibu Suha perihal tanahnya, syukur-syukur dia mau menjualnya setengah supaya kita tidak mesti pindah kedai.” Mirna mengangguk ... dia hanya perlu patuh dan tidak lagi punya kesempatan untuk banyak bertanya. Pertanyaan selalu membuat emosi Sugih meluap hingga kini Mirna terbiasa menyimpan rasa penasarannya sendirian. Suaminya tak lagi sama ... semua terasa berbeda. Orang bilang dia beruntung dengan apa yang dimiliki sekarang. Namun, dalam benak Mirna ... dia menginginkan semua kembali seperti semula, saat mereka masih hidup sederhana tanpa ada pihak ketiga dalam rumah tangga mereka.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN