Bukan Bocah Biasa

2320 Kata
“Abah ... mungkin tidak kalau aku selalu berhalusinasi?” tanya Arya sembari menikmati hidangan berbuka puasa yang sudah disiapkan Umi Sopi untuk dia dan teman-temannya. Arya memilih duduk di samping gurunya dibandingkan bercanda gurau dengan teman seusianya. Ada hal penting yang ingin dia tanyakan meskipun Arya tak yakin semua tanyanya terjawab malam ini juga. “Halusinasi seperti apa yang Arya maksud?” Selalu sama, tanya Arya akan berbalas tanya sebelum Abah Latif menjawab dengan penjelasan sederhana. “Sama seperti saat aku melihat ular besar di dalam rumah. Sore tadi Arya pingsan karena ....” Arya menggantung kalimatnya, kepalanya bergerak ke kiri dan kanan untuk memastikan kalau di sana hanya ada dia dan Abah tanpa ada pihak ketiga yang bisa mendengarkan obrolan mereka. “Arya pingsan karena puasa?” tanya Abah Latif saat Arya tak kunjung menyambung ucapannya. Kepala Arya menggeleng, dia mendekatkan bibirnya ke telinga sang guru. “Arya lihat tangan Bapak dikerubungi serangga menyeramkan. Ukurannya lebih besar dari lembing batu, warnanya hitam hingga tangan bapak tidak terlihat.” Arya bergidik setelah berbisik. Sementara Abah Latif masih mencerna kalimat Arya. Halusinasi tidak mungkin berulang kali, apalagi Abah Latif pun tidak menampik kalau untuk anak seusia Arya dengan hati dan pikiran yang masih suci terkadang bisa melihat hal-hal tak kasat mata yang tidak bisa dilihat oleh orang lain. Namun, yang menjadi satu keanehan, Arya hanya melihat apa yang terjadi di lingkup keluarganya. “Arya pingsan karena ngeri Bah, pokoknya seramnya tidak bisa digambarkan,” sambung Arya sambil mengusap kedua lengannya. “Arya, kemarin lihat ular di rumah. Ularnya mau makan bapak atau Mimi?” “Tidak, ularnya melotot marah sama Bapak, Abah,” sahut Arya cepat. “Terus aku juga pernah azan di depan bapak, tapi dia malah marah. Telinganya jadi merah, terus badan bapak bergetar tidak mau aku sentuh. Saat itu Bapak larang aku ke langgar karena menurut bapak ....” Lagi-lagi Arya mendekatkan bibirnya ke telinga Abah Latif. “Bapak bilang kalau aku belajar mantra setan sama Abah.” Abah Latif menarik kedua sudut bibirnya, ada satu kesimpulan yang sudah bisa dia tarik meskipun tidak bisa dipaparkan saat ini juga pada Arya. Dia masih terlalu belia untuk bisa mengerti apa yang sebenarnya terjadi, biarlah Abah membekali Arya dengan sebuah doa keselamatan yang bisa Arya baca kalau dirinya sedang merasa ketakutan. “Arya hapal?” tanya Abah Latif setelah berulang kali membacakan doa minta dihindarkan dari gangguan setan dan makhluk gaib lainnya. “Hapal Abah ... tapi ada satu lagi yang mau Arya tanyakan.” Arya mengangkat wajahnya melihat ke arah jam di dinding yang menunjukkan masih ada sedikit Wat sebelum azan isya berkumandang. “Aku tanya ke Mimi, agama Mimi apa? Eh Mimi malah jawab nanti lihat di KTP, terus aku tanya Tuhan Mimi siapa, Mimi malah tanya Tuhan itu apa. Arya tidak tahu bagaimana menjawabnya. Jujur, Abah. Arya kadang merasa aneh kenapa di desa ini hanya ada langgar ini tempat ibadah. Tak ada masjid seperti yang tertulis dalam buku pelajaran Arya di sekolah. Menurut Arya, meskipun desa ini terpencil. Bukan berarti desa yang primitif, Bah. Buktinya sudah ada motor, listrik juga sudah masuk ke desa meskipun belum banyak yang menggunakan.” Wajah polos Arya kini menatap sang guru dan menanti jawaban dari Abah Latif. “Tuhan itu yang menciptakan Arya.” “Tapi Arya ada karena ada Mimi dan Bapak, Bah,” sela Arya. Itu tentu saja membuat Abah Latif menyunggingkan senyumnya. Yang ada di hadapannya kali ini bukan lah bocah biasa. Namun, bocah dengan rasa penasaran di atas rata-rata, sebagai ciri kalau Arya cukuplah pandai dibanding teman sepermainan dia yang lainnya. “Mimi dan Bapak Arya itu tidak akan bisa membuat manusia sempurna seperti Arya. Mereka hanya perantara yang dititipi Arya di rahim Mimi dengan proses panjang yang tidak bisa Abah jelaskan sama Arya karena usia Arya belum matang. Namun, hakikat Tuhan lebih dari itu, semua yang ada di bumi ini diciptakan oleh Nya. Baik itu manusia, tumbuhan, hewan, gunung dan semuanya diciptakan Tuhan dan akan dengan mudah pula dimusnahkan oleh Nya.” Arya diam dan menyimak yang pada akhirnya tentu saja menghasilkan pertanyaan yang baru lagi. “Kenapa Mimi tidak mengenal Tuhan, Mimi hanya tahu kalau dia mengagungkan roh leluhur kami dengan cara membuat sesajen agar apa yang Mimi harapkan terkabul.” “Berat Arya ... rasa penasaran kamu ini sungguh sempurna. Satu pertanyaan kamu yang Abah jawab akan menghasilkan ribuan pertanyaan yang baru.” Abah Latif menepuk pundak Arya beberapa kali. “Mimi itu tidak tahu, warga sini pun tidak tahu siapa Tuhan mereka. Untuk itulah Abah diutus guru Abah untuk syiar agama di desa Arya.” “Syiar agama itu apa, Abah?” sela Arya. “Syiar agama itu memperkenalkan agama pada masyarakat yang belum mengerti ilmu agama kita Arya. Di KTP warga desa sini, Abah yakin sebagian menulis islam sebagai agama mereka. Namun, belum tentu mereka tahu seperti apa agama islam, siapa Tuhan dalam agama islam dan ilmu agama lainnya. Untuk itulah Abah dikirim ke desa ini. meskipun jujur, tugas ini sangat berat untuk Abah karena ternyata warga di sini memang sama sekali belum mengenal agama.” Arya manggut-manggut walaupun dia tidak terlalu paham dengan apa yang dipaparkan Abah Latif, Bebedah agama dan hal lainnya. “Abah, sudah waktunya azan ya?” tanya Bayu dengan ibu jari yang menunjuk ke arah jam dinding. “Iya Bayu, giliran Bayu azan kan?” “Siap Abah,” jawab Bayu. Wajahnya sudah terlihat basah, pertanda kalau Bayu sudah wudu sebelum kembali masuk ke dalam langgar. “Arya, doakan Abah panjang usia. Abah tahu masih banyak tanya kamu yang belum terjawab. Kita lanjutkan obrolan ini nanti. Ingat untuk minta doa mohon keselamatan kalau Arya melihat hal-hal yang menyeramkan, Arya juga rutin nderes juz Amma di rumah supaya rumah Arya adem.” “Baik Abah, Arya wudu dulu. Terima kasih Abah sudah menjawab sedikit pertanyaan Arya.” Arya meraih tangan kanan Abah Latif untuk dicium sebelum dia keluar langgar menuju tempat wudu. “Ya ... tadi tidak ikut main sih,” tegur Maman di tempat Wudu. Maman memang bukan teman akrab Arya karena dia sudah seumuran dengan anak pertama Abah Latif, Kang marun. “Tidak Kang, Arya ada perlu sama Abah.” “Ya sudah, kamu belajar yang pinter sama Abah, biar di blok rumah Arya nanti ada yang ngerti agama.” Maman menepuk lengan Arya sebelum ikut berwudu. Usai salat isya Arya, Tono, Bayu dan Elang pun segera mengambil sepeda mereka yang terparkir rapi di samping musala, keempatnya pulang bersama karena rumah mereka memang searah dan rumah Arya lah yang paling jauh dari langgar. Saat Arya tiba pintu rumahnya belum tertutup rapat Bapak dan Miminya masih menunggu Arya pulang. “Assalamualaikum Mi, Pak.” Arya masuk terlebih dulu, dia mencium tangan kedua orang tuanya bergantian sebelum kembali keluar untuk memasukan sepeda ke dalam rumah. “Arya sudah makan?” “Sudah Mi, tadi makan bareng di langgar.” “Mi ... Pak, boleh tidak kalau lulus sekolah nanti Arya mondok?” tanya Arya yang kini duduk di antara Mirna dan Sugih. “Mondok dimana?” “Mondok di pesantren Pak. Belajar ilmu agama biar Arya jadi anak pinter yang soleh.” Arya menjawab tegas pertanyaan Sugih. Namun, sang bapak justru terkekeh sambil mengacak rambut Arya. “Ya mau soleh mah tinggal ganti nama saja jadi Soleh, Ya.” “Lah ... bukan begitu bapak. Arya kan pengen jadi anak berguna yang bisa membawa Mimi dan Bapak pada kebaikan.” “Hualah, kamu keseringan ke langgar ngomongnya mirip dalang wayang yang lagi ceramah. Sudah sana Mir, kamu tidurkan Arya dulu. Dia mulai ngelantur omongannya,” suruh Sugih yang terlebih dulu bangkit dari tempat duduknya untuk mengunci pintu rumah mereka. “Ayo, tidur dulu. Meskipun besok masih libur sekolah, Arya tetap tidak boleh tidur terlalu malam. Nanti sakit,” ajak Mirna menarik tangan sang putra. Arya patuh meskipun kecewa dirasa karena tanggapan Sugih tidak sesuai dengan harapannya. Tak butuh waktu lama untuk Arya bisa terlelap dengan belai lembut dan kidung merdu penghantar tidur yang dinyanyikan oleh Mirna. *** Esok pagi seperti biasa Sugih sudah terlebih dulu ke kedai, sementara Mirna terlebih dulu masak nasi dan lauk pauk untuk dibawa ke kedai. Setelah semua masak Mirna dan Arya pun membawa serta makanan ke kedai dan membantu Sugih untuk berdagang seperti biasanya. “Mir, kamu ke Bu Suha saja dulu, biar Arya yang bantu aku,” pinta Sugih saat Mirna baru saja menyimpan semua makanan yang dibawa ke rak paling atas yang ada di kedai mereka. “Baik. Mas. Arya ... Mimi ke tempat Bu Suha dulu, kamu bantu bapak ya.” “Siap Mimi.” Jawaban dari Arya membuat Mirna bergegas menuju rumah Bu Suha. Dia menyeberangi jalan dan mencari Bu Suha di rumah bagian belakang karena beliau memang kerap ada di dapur sepagi ini. “Ibu Suha,” panggil Mirna yang langsung menemukan wanita seusia ibunya sedang duduk di tengah pintu rumah belakang. “Lah Mir ... kamu pagi-pagi ke sini. Ada apa, ayo masuk ke depan,” ajaknya yang langsung bangkit menyambut kedatangan Mirna. “Tidak usah Bu, ngobrol di sini saja. Kebetulan ada bapak juga,” kata Mirna sambil melempar senyum pada Pak Munir yang sedang menghisap rokok dan duduk di di bangku pendek yang disebut jengkok. “Ada apa toh, Mir. Sepertinya serius ini?” “Tidak apa-apa kok Bu, hanya saja saya disuruh Mas Sugih ke sini. Mau tanya tanah kosong milik ibu sama Bapak yang ada di belakang kedai saya tuh Bu.” “Lah iya, tanah kenapa Mir. Kamu sama suamimu mau beli,” sambar Pak Munir. “Ish, bapak. Jangan begitu ah,” tegur Nasuha yang merasa tidak enak dan takut kalau omongan suaminya menyinggung Mirna. “Lah ya siapa tahu Mirna lagi banyak uang, kita kan memang butuh uang buat sekolah Randi. Dia kan mau lanjut kuliah ke kedokteran, Bu.” Senyum Mirna merekah, pucuk dicinta ulam pun tiba. Sebuah keberuntungan yang patut dia syukuri karena Mirna tidak perlu berbasa-basi terlalu panjang kalau memang benar Munir dan Nasuha ingin menjual tanah itu. “Bapak kok malah labas terus ngomongnya. Maaf ya Mir, Bapak ini suka ceplas-ceplos.” Nasuha merasa sungkan karena sebenarnya sebelum kedatangan Mirna, dia dan suaminya memang sedang membicarakan rencana menjual tanah kosong di belakang kedai Mirna. Hanya saja Nasuha merasa tidak enak karena usaha Mirna dan Sugih baru merangkak dan sedang ramai-ramainya. Kalau Mirna dan Munir menjual tanah tersebut dan sang pemilik baru tidak mengizinkan ada kedai Mirna dibangun di sana, jelas Nasuha akan sangat merasa bersalah. “Tidak apa-apa, Bu. Mas Sugih meminta Mirna ke sini memang untuk bertanya tentang tanah itu. Rencananya kami mau bangun rumah kecil-kecilan biar tidak bolak-balik setiap hari.” “Syukurlah Mir, ya Gusti pangeran. Akhirnya, Ibu tidak perlu dilema lagi untuk menjualnya.” Nasuha merangkul Mirna, rasa haru dan bahagia menyeruak dalam dadanya. Mirna sudah seperti anaknya sendiri, tidak tega dia mengusir Mirna yang baru menjalankan usahanya empat bulan ini. “Sepertinya kalian memang berjodoh dengan tanah itu Mir. Usaha kalian maju di sana, sekarang pas kami mau jual, eh kalian mau beli,” imbuh Munir. Sejenak mereka berbincang mengenai harga yang diinginkan Munir, tapi Mirna meminta waktu pada keduanya untuk berdiskusi dulu dengan sang suami. “Nah, nanti sore Bapak ke kedaimu lah. Usai Sugih pulang dari pasar kan biasanya kalian senggang.” “Baik, Pak. Mirna tunggu ya. Mari Bu, Pak, aku ke kedai dulu,” pamit Mirna. Nasuha pun mengantar Mirna sampai jalan depan, tapi baru saja mereka tiba di jalan. Iwan berlari dari arah rumah Mirna menuju kedainya. “Mirna ... Mir Sugih mana Mir,” teriak Iwan yang masih mengenakan pakaian sawah. “Ada di kedai kenapa, Wan?” Mirna terlihat bingung. Iwan pun tidak membalasnya, justru berlari ke arah kedai dan memanggil nama Sugih berkali-kali. “Sugih, Gih, Sugih.” “Ada apa toh Wan, kamu ini kayak kesurupan manggil aku,” sahut Sugih yang keluar dari kedai dengan tangan belepotan karena sedang membuat adonan bakso. “Gawat Gih, di rumahmu ada maling, tapi malingnya anu ....” Iwan menggantung kalimatnya dia tidak mengerti bagaimana menjelaskan keadaan maling pada Sugih. “Maling, malingnya kenapa Wan, dimana?” “Itu Gih, malingnya Manu, gimana ya ... aku bingung Gih. Dia maling rumahmu,” jawab Iwan yang tak mampu menggambarkan keadaan si Maling. “Walah, ada maling di rumah gubuk. Kurang ajar. Ayo ke sana.” Sugih segera berlari ke arah rumahnya disusul Iwan. Orang memang melihat rumahnya hanya gubuk reyot, tapi di dalamnya ada bertumpuk uang yang dia simpan dan itu jelas membuat Sugih was-was si Maling bisa menemukan uang simpanannya dalam peti kayu. “Bu Aku pulang dulu, titip kedai sebentar,” kata Mirna pada Nasuha. Segera Mirna berlari menyusul suaminya. Arya pun tak mau tinggal diam. Dia ingin tahu siapa maling yang nekat mencuri di rumah mereka. “Bu, Arya lihat rumah dulu. Maaf titip kedai ya Bu,” pamit Arya pada Nasuha sembari mencium tangan Nasuha sebelum mengayuh sepedanya pulang ke rumah. Di sana semua warga sudah berkerumun, bukan karena sang maling yang tertangkap basah sedang dihakimi masa. Namun, keadaan maling yang aneh membuat semua warga takut mendekatinya. “Ya Allah ....” Arya mengusap matanya tidak percaya dengan penglihatannya. “Bapak jangan mendekat!” teriak Arya melarang Sugih yang ingin menendang sang maling. Ditariknya ujung baju Sugih sekuat tenaga hingga Sugih pun mundur teratur. “Kamu kenapa sih, Ya,” hardik Sugih mencoba melepaskan cekalan tangan Arya di ujung bajunya. “Jangan dekat-dekat Pak, cukup di sini saja,” mohon Arya yang kini melingkarkan tangannya di lengan Sugih. “Tono, tolong panggil Abah ke sini, Ton. Aku minta tolong.” Arya melirik Tono yang tepat berada di samping kirinya.. “Baik, Ya.” Dengan segera Tono mengambil sepeda Arya dan mengayuhnya menuju langgar. Arya tidak mengerti, entah bagaimana orang-orang hanya menonton si maling tanpa ada yang berniat membantunya. Atau ... Arya menengok ke kanan dan ke kiri. Dugaannya mungkin benar, hanya dia yang bisa melihat kalau di tubuh maling ada ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN