Kedai Mie Ayam Bakso

2063 Kata
“Mirna, belikan paku lagi. Sugih harus membantuku memegang tiang ini,” teriak Iwan. Sebuah keberuntungan karena Mirna bisa kabur dari hadapan bapaknya. Mirna langsung menggunakan kesempatan itu untuk menghindari dari pertanyaan Parjo yang membuat dia merasa tersudut. “Pak, maafkan aku. Aku tinggal sebentar beli paku dulu,” pamit Mirna sebelum berlari membawa dompet kecil di tangannya. Mirna mengambil sepeda milik Iwan dan mengendarainya menuju pasar Situnggalih yang berjarak cukup jauh sehingga tidak memungkinkan Mirna hanya berjalan kaki saja menuju ke sana. “Sial! Aku harus tahu dari mana Si melarat Sugih mendapatkan uang sebanyak itu,” geram Parjo dengan kedua tangan terkepal. Dia memutuskan kembali pulang karena tidak sudi tetap berada di sana tanpa keberadaan Mirna atau pun Arya. Bagi Parjo sangat pantang kalau dia harus bercakap-cakap terlebih dulu dengan menantu melaratnya. Menikahkan Mirna dan Sugih saja sudah membuat harga dirinya terinjak-injak. Apalagi kalau dia harus mengalah dan mendekatkan diri pada Sugih. “Aku pikir, istrimu terselamatkan sementara waktu, Gih,” ujar Iwan saat melihat Parjo sudah jauh dari tempat mereka. “Mereka terus saja mendesak kami untuk memberi tahu siapa yang sudah memberikan uang untuk biaya rumah sakit Arya dan modal usahaku ini. Sementara dermawan yang membantuku menginginkan identitasnya ditutupi,” aku Sugih Sugih dan Mirna memang kerap mengaku kalau uang yang mereka dapatkan dari utang pada seseorang, tidak mungkin mereka mengaku terang-terangan kalau Sugih sudah melakukan pernikahan gaib dengan Nyai Sarasehan dan menjalani ritual Kelambu Gaib yang sudah jelas akan memakan korban. “Ah, paling juga Bu Suha yang meminjamkan uang pada kalian. Dia itu kan selama ini memang sering membantu kamu dan istrimu, aku malah melihat Bu Suha lebih peduli dengan Mirna dari pada Mak Tuti dan bapaknya,” seloroh Iwan mencoba menebak siapa yang memberikan pinjaman uang pada Sugih. “Sudah lah, Wan, tidak usah dibahas lagi. Ini mesti segera selesai karena aku tidak mau kedua mertuaku malah semakin menghina niatku ini.” Iwan tersenyum getir, dia sangat tahu bagaimana perlakuan Parjo dan Tuti pada Sugih, bahkan bukan hanya Iwan. Seluruh warga Situnggalih pun sudah hafal seperti apa Sugih selalu dicaci-maki oleh kedua mertuanya secara terang-terang. Mereka melakukan pekerjaannya, hingga matahari tiba di ufuk barat dan lembayung senja yang datang menjadi pertanda sang Surya harus beristirahat dan digantikan oleh cahaya rembulan yang akan menjadi penerang malam. “Besok sepertinya kedaimu selesai, Gih. Aku kerja dari pagi, Soalnya Juragan hanya menyuruh kuli wanita saja yang berangkat besok. Dari pada aku diam di rumah, nanti aku bantu kamu lagi,” putus Iwan. “Wah, terima kasih Wan, kebetulan gerobak juga besok sudah jadi dan akan diantar ke sini. Aku bisa mulai berdagang cepat kalau misalnya ini selesai.” “Beres lah calon juragan, kalau sukses jangan lupa sama aku ya, Gih. Jangan seperti Sulton, sudah jadi juragan ingatnya di warung kopi lendot saja. Sama teman seperjuangan dia mah lupa,” kekeh Iwan sebelum berpisah dengan Sugih yang sudah tiba di rumahnya, sedangkan dia masih harus berjalan lurus melewati tujuh rumah lagi. “Sayang, kamu dimana?” Sugih memindai isi rumahnya mencari Mirna. Saat senja seperti ini Arya pastilah sudah pergi ke langgar, meskipun setelah kecelakaan, dia pulang-pergi dijemput oleh Amir, anak dari guru silatnya yang rela mengayuh sepeda untuk menjemput dan mengantarkan Arya atas perintah sang bapak. “Mirna …,” panggil Sugih. Namun, dia juga tidak mendapati Mirna di dapur atau pun kamar mandi, Sugih merasa sungkan kalau harus masuk ke dalam kamar dalam keadaan kotor sehingga dia memilih mandi terlebih dulu sebelum mencari Mirna ke dalam kamarnya. Usai mandi Sugih langsung mendorong pintu kamar, dia hanya berlilitkan handuk yang menutupi bagian pinggang hingga betisnya, sementara d**a kekarnya dibiarkan terbuka tanpa penutup apapun. “Mir,” panggil Sugih lagi. Sugih mendapati Mirna sedang duduk menunggunya di kasur dengan pose menggoda tanpa busana di badannya yang sudah jelas membuat matanya enggan beralih dari keindahan dunia yang terpampang di hadapannya. “Sayang … kamu begitu cantik,” puji Sugih melangkah mendekati ranjang. Mirna tidak tinggal diam dia pun berdiri menyambut suaminya dengan gerakan gemulai jemarinya yang memainkan rambut panjangnya. “Aku rindu belaianmu, Mas. Sudah satu Minggu lebih Mas Sugih tidak menyentuhku,” bisik Mirna di telinga Sugih. Sebuah bisikan yang disertai dengan tiupan di bagian leher Sugih yang sengaja Mirna lakukan untuk membangkitkan gairah suaminya. Tidak sampai di situ, Mirna menarik handuk yang melilit di pinggang Sugih. Jemarinya langsung turun ke bawah mencari galah pusaka yang kerap tertancap di guanya dan membuat dia selalu mengerang nikmat. Sugih tak tinggal diam, dia merengkuh pinggang Mirna dan membuat badan mereka kini berhimpitan tanpa jarak. Tangannya merangkum wajah Mirna, menyerangnya dengan ciuman dan kecupan sebagai permulaan sebelum dia melumat bibir Mirna yang selalu terlihat cerah meskipun tanpa pernah mengoleskan lipstik sebagai pewarnanya. “Kamu menggoda sayang, dadamu ini kamu pamerkan saja langsung membuat galahku siap masuk ke guamu,” bisik Sugih saat melepaskan sejenak tautan bibir mereka. “Aku sengaja menunggumu di sini setelah Arya berangkat. Aku rindu untuk bergoyang di atasmu Mas,” desah Mirna membisikan kalimat menggoda dengan rajukan manja. Jemarinya tidak berhenti merayu galah Sugih, mengurut, membelai dengan menggesekkan badan polosnya ke d**a suaminya. Sekelebat bayangan Nyai Saras pun terlintas, hingga dalam benaknya Sugih pun meminta izin pada istri gaibnya sebelum mereguk kenikmatan dunia bersama Mirna. Di mata Sugih, malam ini Mirna layaknya singa betina yang begitu ganas memangsanya. Dia mengambil alih permainan. Pinggulnya terus bergerak erotis mencari kepuasan dengan gaya dan gerakan tidak beraturan agar gesekan galah Sugih di guanya berasa lebih mantap. Cukup lama Mirna berada di atasnya dengan mulut Sugih yang disumpal p****g Mirna yang segede kentongan yang begitu dia rindukan beberapa malam ini saat Mirna selalu tidur bersama anak mereka. “Ouuuchh, Mas. Aku ….” Melihat Mirna hampir mendapatkan klimaksnya Sugih pun melepas bibirnya dari p****g Mirna. Dia membantu Mirna dengan mengangkat bokongnya dan menaik turunkan Mirna di atas pangkuannya hingga mereka saling melenguh puas saat mencapai puncak bersama. “Terima kasih sayang,” bisik Sugih menutupi tubuh Mirna sebelum dia keluar ke kamar mandi untuk membersihkan galahnya yang kini sudah kembali tidur. “Loh, Mir … kamu di sini?” tanya Sugih heran saat mendapati Mirna sudah berada di depan pintu kamar mandi tanpa sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Padahal seingat Sugih Mirna tidak pernah satu kali pun keluar dari kamar dengan bertelanjang seperti ini. “Puaskan aku Mas, aku menginginkanmu,” bisik Mirna, mendorong Sugih ke kamar mandi. Sugih merasa heran, apa yang sebenarnya terjadi pada Mirna. Tidak biasanya dia mengajak Sugih bergulat di kamar mandi. Namun, tidak ingin menyinggung perasaan Mirna, Sugih pun kembali meladeni nafsu sang istri yang bergerak lebih agresif hingga membuatnya kewalahan. Ronde kedua yang cukup panjang membuat badan Sugih terasa lemas tak bertenaga. Mirna keluar terlebih dulu, sedangkan Sugih memutuskan untuk kembali mandi. “Mas … kamu ngapain sih lama banget di dalam.” Suara Mirna terdengar disertai pintu kamar mandi yang dia gedor. “Bukannya dia baru keluar, kenapa malah bilang aku terlalu lama di sini,” gumam Sugih yang segera menyelesaikan mandinya. “Aku kebelet Mas, hampir satu jam kamu di sini belum keluar juga,” tegur Mirna saat Sugih membuka pintu kamar mandi. Terang saja hal itu membuat kening Sugih berkerut. “Satu jam bukannya tadi kamu ….” “Aku ketiduran Mas, rasanya lemas banget. Kalau tidak ingat Arya belum pulang, aku sudah kebablasan deh,” aku Mirna sebelum badannya masuk ke dalam kamar mandi meninggalkan Sugih yang masih berdiri terbengong di tempatnya. “Kalau Mirna tidur dan baru bangun, terus siapa yang tadi ….” Badan Sugih bergidik, padahal tidak seharusnya dia merasa takut setelah keputusannya menikahi Nyai Saras. Sugih harus mulai membiasakan dirinya dengan hal-hal berbau gaib yang pastinya akan sering menyambanginya sesering Nyai Saras yang kerap merasakan rindu pada suaminya. *** Hari ini Sugih dan Mirna mulai membuka warung bakso dan Mie ayam mereka. Sugih sudah berlatih pada Maman, temannya yang berdagang bakso dan mie ayam di pasar. Setelah kedai dan gerobaknya siap, Sugih tidak langsung membuka kedainya karena dia harus belajar terlebih dulu meracik bumbu dan aneka bahan lainnya. Selama tiga hari Sugih bolak-balik ke kedai Maman untuk mengambil ilmu dari sahabatnya agar bakso dan mie ayam yang dia hasilkan bercita rasa lezat hingga membuat pembeli ketagihan dan akan kembali ke kedainya. Sejak Sugih tak lagi bekerja di tempat Margono, caci dan hinaan terus saja terlontar dari mulut Tuti karena pilihan Sugih untuk membuka usaha ini dianggap tidak akan berhasil. Selama Sugih belajar di tempat Maman, tidak satu hari pun Tuti absen mengunjungi anak dan cucunya. Bukan untuk memberikan dukungan pada Mirna, tapi malah membuat Mirna merasa takut kalau ucapan ibunya akan menjadi kenyataan. “Emak, bapak paringana kedaiku ramai. Giring pembeli datang ke tempatku,” ucap Sugih saat membuka penutup kedai dan berharap kedua orang tuanya yang sudah meninggal merestui usahanya. Kepercayaan yang Sugih dan Mirna anut memang menganggap kalau arwah leluhur mereka lah yang akan membantu usaha mereka. Untuk itu pagi tadi Mirna tak lupa membuat sesajen untuk arwah keluarga mereka yang sudah tidak ada dan memohon agar usaha dia dan suaminya diberi kelancaran. “Wah, sudah buka nih. Ayu ah, Ibu mau larisin,” ujar Nasuha yang datang sebagai pelanggan pertama mereka. “Ayo Bu masuk. Wah bahagia sekali dapat pelanggan pertama sebaik Ibu,” sambut Mirna dengan senyumnya yang merekah. “Alah, nanti juga banyak yang akan mampir ke sini, Mir. Jangan salah harapan, percaya kalau usaha kalian ini akan sukses,” sahut Nasuha memberikan semangat dan dukungannya. “Semoga ya Bu, aku juga berharap usaha Mas Sugih kali ini bisa sukses,” timpal Mirna dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Kamu mau nangis apa mau melayani pelanggan terhormat kita Mir,” tegur Sugih membuat Mirna tersentak dan segera melayani mie Bakso untuk Nasuha. Gerakannya masih kaku, tapi Sugih tetap membiarkannya karena memang Mirna maunya dia yang melayani pembeli, sedangkan Sugih fokus untuk meracik bahan-bahan mie ayam dan Bakso. Sejak hari itu, mereka selalu bekerja sama di kedai. Arya pun kini lebih sering menghabiskan waktunya di kedai seusai absen harian yang dijalankan rutin di langgar ustadz Latif dan Umi Sopiah. Setiap kali Mirna bertanya kemana Arya hendak pergi, Arya pasti akan menjawab kalau dirinya hendak absen rutin. Mirna dan Sugih tidak mengerti absen seperti apa yang dijalankan anak mereka. Yang terpenting kini kehidupan mereka pun berangsur membaik. Omongan Tuti dan Parjo tidak terbukti, nyatanya usaha kedai bakso dan mie ayam yang dijalankan Sugih dan Mirna makin hari pun makin menunjukan kemajuan. Banyak pembeli yang sudah menjadi pelanggan tetap di kedai mereka. Sejak menjalin ikatan perjanjian dengan Nyai Sarasehan, hidup Sugih pun berangsur berubah. Tidak ada lagi Sugih, si buruh tani miskin dari Situnggalih. Sugih yang dulu jadi bahan caci maki mertuanya kini berubah menjadi sanjungan para warga meskipun belum berhasil membuat Tuti dan Parjo bangga padanya. Nyai Sarasehan bukan hanya sosok penunggu pohon asam biasa, dia adalah ratu dari kehidupan gelap di Situnggalih. Istananya adalah tempat berkumpul semua makhluk gaib yang berada hutan Leuweung Suwung. Jangankan tuyul, Genderuwo, Kuntilanak, Pocong dan makhluk gaib lainnya tak ada yang berani melawan kekuatan Nyai Sarasehan. Dia tidak akan menjalin perjanjian dengan manusia biasa, hanya manusia terpilih yang akan dia datangi langsung. Tidak ada kuncen dan dukun yang bisa mempertemukan para manusia yang berniat melakukan ritual pesugihan dengannya. Nyai sendiri yang akan memilih budaknya, b***k yang akan dijadikan manusia paling kaya di antara para manusia yang menjadi b***k dari makhluk-makhluk yang menyembahnya. Di balik semua kemudahan Sugih mendapatkan harta. Dia juga mempunyai suatu kewajiban yang sama sekali tidak bisa ditawar, apalagi dilanggar. Setiap malam Kamis Pahing Sugih harus menyambangi kediaman istri keduanya. Malam ini setelah berpamitan pada Mirna dia pun berjalan di tengah kesunyian malam hingga dia tiba di depan pintu pohon asam yang akan menjadi gerbang penghubung ke istana Nyai Saras. “Nyai … aku datang.” Sugih menutup matanya, dia membaca mantra yang sudah diajarkan Nyai Saras padanya. Saat Sugih membuka mata, dia pun sudah berada di kamar Nyai Saras, perlahan jemari Sugih menyibak kelambu penghalang antara dirinya dengan sosok gemulai yang sudah menunggunya dengan posisi menantang. “Aku merindukanmu Sugih … kelambu ini terus bergetar menantikanmu.” Perlahan Sugih pun naik ke atas ranjang dan menutup kelambu sebelum melaksanakan satu kewajiban yang tidak bisa dia tinggalkan. Kewajiban yang harus Sugih akui membuat dia merasakan nikmat berkali lipat dengan apa yang sering dia lakukan bersama Mirna. Nyai Saras selalu membuatnya tak berdaya setelah kegiatan panas mereka. Sehingga setiap hari Jumat setelah malam Kamis Pahing, kedai mereka rutin tutup.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN