Uang Bibit

2173 Kata
Sugih berjalan cepat menyusuri lorong rumah sakit. Di dalam jaketnya tersembunyi sekantog kresek uang yang sama sekali belum dia hitung. Uang yang dia temukan tergeletak di sampingnya saat bangun di saat fajar dan menyadari dirinya sudah kembali berpakaian rapi dan terbaring di bawah pohon asam. Dia hanya pulang untuk mandi sejenak membersihkan dirinya dan mengganti pakaiannya agar wangi kembang yang terasa menempel di kaos yang dia pakai hilang dan tidak menimbulkan kecemburuan pada Mirna. Sugih memang mendapatkan restu dari Mirna untuk menerima tawaran Nyai Saras yang membawa dia menikahi jin cantik yang merupakan penguasa kegelapan hutan Leuweung Suwung dan membuat Sugih memiliki kewajiban sebulan sekali melakukan ritual kelambu gaib di istana sang Nyai setiap malam Kamis Pahing dan tidak ada satu orang pun yang mengikutinya menuju isatana Sang Nyai. Setelah mandi dan berpakaian rapi Sugih langsung bergegas keluar rumah menuju pasar di desa Situnggalih dan ikut dengan mobil pasar yang biasanya berangkat menuju kota sebelum jam setengah enam. Beruntung bagi Sugih mendapat tumpangan mobil yang melewati rumah sakit dimana Arya dirawat sehingga dia tidak perlu turun naik mobil gerobak. “Mi ....” Sugih membuka pintu ruang rawat Arya. Sugih berjalan perlahan menuju ranjang Arya karena di sana ada tiga ranjang lagi yang ditempati pasien lain, dia tidak ingin mengganggu para penunggu pasien di kamar itu yang masih terlelap di bawah ranjang padahal hari sudah menjelang siang. Mirna terlihat menelungkupkan badannya di atas ranjang dimana putra mereka terbaring. Entah dimana Tuti dan Parjo karena mereka tidak terlihat berada di ruang rawat Arya. Sugih menepuk pundak sang istri agar terbangun tanpa harus mengganggu tidur Arya. “Mir, bangunlah,” bisik Sugih di telinga Mirna. Seketika mata Mirna mengerjap berkali-kali, dia juga mengusap kedua matanya dengan telapak tangan. “Mas, kamu sudah kembali?” tanya Mirna yang berusaha bangun dan melakukan sedikit gerakan peregangan karena badannya terasa kaku karena tertidur sambil duduk. “Sini Mir.” Sugih menyeret Mirna ke pojok agar mereka tidak terlihat penunggu pasien lainnya. “Mas, ini apa?” tanya Mirna saat menerima kantung kresek hitam. “Uang, hitunglah cukup tidak untuk biaya operasi Arya,” suruh Sugih. “Mas, ini uang dari mana? Ini sangat banyak dan sudah pasti lebih dari cukup,” desis Mirna dengan suara amat pelan agar tidak ada yang mendengarnya. Tangan Mirna bergetar dengan mata terbuka lebar melihat di dalam kresek hitam ternyata berisi berlembar-lembar uang seratus ribuan tertumpuk rapih. “Hitunglah, sisanya bisa buat modal usaha nanti,” ulang Sugih memberi perintah pada sang istri. Mirna duduk di lantai, kakinya bersila dengan kresek hitam yang dia letakkan di pangkuannya. Dengan sangat hati-hati Mirna merapikan dan menghitung semua uang yang berada di dalam kresek hitam. Lima puluh juta sudah dia masukan ke plastik lain, plastik bekas yang belum dia buang saat dia membeli sarapan pagi tadi sebelum Tuti dan Parjo berpamitan untuk keluar sebentar mencari angin segar. “Seratus juta pas,” ucap Mirna setelah semua uang di kantung kresek hitam yang dibawa suaminya selesai dihitung dan berpindah pada plastik lainnya. “Mas, ini uang darimana?” ulang Mirna. Dia masih penasaran darimana asal uang sebanyak itu. ”Kamu tidak merampok, kan?” selidik Mirna dengan menelisik wajah sang suami. “Mana aku punya kemampuan seperti itu, Mir. Kamu tidak usah tahu ini uang darimana. Sekarang cepatlah bayar biaya perawatan Arya,” perintah Sugih pada sang istri. Namun, Mirna masih terpaku, dia tidak bergeser dari tempatnya duduk. Tidak semudah itu dia menghentikan tanya yang terus berkeliaran. Tidak semudah itu dia diam, saat sang suami belum menjelaskan darimana dia meminjam uang sebanyak itu. Dia terus saja menebak-nebak meskipun semua kemungkinan mengarah pada Si Nyai, tapi Mirna tidak berani mengungkapkannya di hadapan Sugih. “Mas, katakan ini uang dari mana?” tuntut Mirna lagi dengan wajah mendongak ke arah suaminya yang duduk di atas kursi di samping ranjang Arya. “Bukan kah kamu yang memintaku untuk menerima tawaran dari Nyai Saras, Itu uang bibit yang dia berikan padaku. Dia hanya berpesan kalau kita harus menyisakan sebagian untuk modal usaha,” terang Sugih membuat Mirna menghempaskan nafas lega. “Ini imbalan kamu nikah dengan Si Nyai Mas?” tanya Mirna mendongak menatap manik mata suaminya. “Iya Mir, semalam aku sudah menikahinya dan aku minta maaf kalau itu menyakitimu,” aku Sugih dengan kedua tangan merangkum wajah sang istri. Sebuah kecupan singkat dia berikan pada Mirna dan saat itu pula sekelebat bayangan wajah Nyai Saras terlintas. ‘Ah, Nyai, kecantikanmu tak tertandingi oleh siapapun,’ batin Sugih. Dia membawa Mirna dalam pelukannya dan saat itu pula tirai pembatas antar ranjang terbuka dan menampakan Parjo dan Tuti yang menatap nyalang pada anak dan menantunya. “Bisa-bisanya kalian berpelukan di saat kondisi Arya seperti itu,” geram Tuti dengan suara tertahan agar tidak terdengar oleh penunggu pasien lainnya. “Harusnya kamu cari uang untuk biaya operasi anakmu Sugih! Bukan malah bermesraan dengan istrimu. Dasar kere!” sambung Tuti kembali melontarkan caciannya. Sugih hanya bisa tertunduk seperti biasanya, diam tanpa bisa membalas ucapan yang terlontar dari mulut kedua mertuanya. Sementara Mirna dengan sembunyi-sembunyi memasukan kresek hitam ke dalam tas selempang miliknya. “Mak, Mas Sugih sudah dapat uangnya. Kami akan menyelesaikan biaya operasi Arya sekarang. Aku titip Arya ya, Mak,” ucap Mirna dengan suara yang begitu pelan. “Dari mana kamu dapat uang itu Sugih?” tanya Parjo menatap Suguh dengan sorot mata yang menuntut jawaban dari menantunya. “Aku pinjam pada temanku, Pak dan harus aku gunakan sebaik mungkin agar secepatnya bisa kita balikan,” bohong Sugih. Kebohongan pertama yang menjadi awal kebohongan-kebohongan lain yang akan mewarnai hidupnya. Sugih tidak mau ada orang lain yang tahu persekutuan dia dengan Nyai Saras. Biarlah hanya dia dan Mirna yang tahu perjanjiannya dengan Nyai penguasa dunia gelap hutan Leuweung Suwung. “Alah, dari mana kamu bayar kalau uang itu harus segera dikembalikan,” timpal Tuti dengan nada sumbang yang selalu tidak pernah menghargai setiap usaha Sugih. “Sudah lah Mak, biar nanti kami yang memikirkannya. Uang operasi Arya harus segera dibayarkan agar dia cepat ditangani dengan baik.” Mirna menarik Sugih agar mengikutinya keluar. Dia tidak akan membiarkan Sugih berada di dalam ruangan bersama kedua orang tuanya karena sudah dipastikan telinga Sugih pasti hanya akan mendengarkan makian panjang yang tanpa ada ujungnya. Sejak hari itu, Mirna pun harus mulai sadar kalau selain dia, suaminya memiliki istri lain meskipun berasal dari bangsa jin. Mirna akan belajar menerimanya karena itu memang dia juga ikut andil meminta Sugih menerima ajakan dari Nyai Sarasehan. Operasi Arya berjalan lancar, setelah satu minggu dirawat di rumah sakit Arya pun dibawa pulang. Namun, sejak saat itu Sugih tidak lagi bekerja di sawah Margono. Dia dan Mirna memutuskan untuk membuka usaha warung bakso dan mie ayam dengan sisa uang yang ada. Sugih membangun kedai kecil-kecilan di ujung gang menuju rumahnya Dia membeli semua bahan yang dibutuhkan dengan uang bibit dari Nyai Saras yang masih tersisa Lima puluh juta. Dia membangun sendiri kedai yang akan dijadikan tempat mereka berjualan di samping jalan utama desa Situnggalih, di tanah kosong milik Nasuha yang biasa digunakan untuk menjemur padi. “Halah, kamu mau usaha apa, Gih. Yang ada kamu malah semakin bangkrut dan tidak bisa membayar utangmu,” cibir Tuti saat melewati Sugih yang sedang dibantu Iwan mendirikan kedai. Iwan hanya membantu Sugih menjelang sore hari sepulangnya dari sawah Margono. Saat pagi hari Sugih mengerjakan semuanya sendirian dengan ditemani Mirna yang membantu sebisanya. “Tuti … Tuti, anak menantu usaha kok malah dihina begitu,” jawab Nasuha yang kebetulan duduk di bawah pohon besar menemani Mirna dan Arya yang baru beristirahat saat Iwan datang membantu. “Bukan dihina Suha, lagian aneh-aneh saja. Di tempat seperti ini dia mau bangun kedai mie ayam dan bakso. Siapa juga yang mau beli,” debat Tuti yang memang selalu punya banyak stok kata untuk menghina dan menjatuhkan Sugih. “Di sini memang belum ada yang jualan Mie ayam dan Bakso Tut, aku malah memuji ide mereka. Siapa tahu berawal dari kedai kecil seperti ini usaha mereka jadi berkembang dan sukses. Orang tua mah wajib mendoakan yang baik-baik untuk anak Tut, bukan malah menjatuhkan semangat mereka.” “Halah, mimpi itu! Lagian kamu sok ikut campur, selalu saja belain si kere Sugih. Usaha apa sih yang berhasil dia lakukan. Hidupnya sudah melarat sejak lahir. Parahnya dia malah nikahi anakku dan dibuat sengsara dengan kemelaratan dia,” timpal Tuti dengan sedikit berteriak dan memutuskan berbalik pulang dan tidak jadi menengok cucunya. Rasa dongkol karena ucapan Nasuha membuat Tuti terus mengomel sepanjang jalan. “Siapa juga yang meminjamkan uang pada si kere itu. Lihat saja nanti, aku tidak mau ikut campur kalau dia bangkrut dan tidak bisa bayar utang. Nasuha yang sok belain juga mana mau menanggung utang si kere, Sugih.” Terus saja Tuti mengomel hingga tiba di depan rumahnya dan membuat Parjo mengerutkan kening melihat mulut istrinya terus bergerak sepanjang jalan. “Emak kenapa? Bapak lihat dari tadi mulut Emak unyem-unyem mulu?” tanya Parjo begitu Tuti menjatuhkan pantatnya di lantai keramik teras rumah mereka. Tuti dan Parjo memang hidup berkecukupan dengan tiga hektar sawah yang dia miliki. Apalagi anak sulung mereka Mayang menikah dengan pengusaha kaya di kota sehingga terkadang Tuti dan Parjo juga menerima banyak kiriman uang dari menantunya. Sangat berbeda dengan si bungsu Mirna yang memaksa menikah dengan Sugih si yatim piatu yang menurut Parjo dan Tuti sudah kere sedari lahir. Cinta Mirna yang begitu besar pada Sugih membuat kedua orang tuanya terpaksa mengizinkan mereka menikah setelah Mayang dan suaminya membujuk Parjo dan Tuti serta berjanji akan tetap membantu keuangan mereka meskipun Mirna dan Sugih tidak mungkin melakukan hal yang sama. Akhirnya, bujukan Mayang dan suami berhasil dan Sugih pun menikah dengan Mirna. “Itu Pak, si kere Sugih kan bangun kedai bakso dan Mie ayam di tanah lapang milik Nasuha. Siapa juga yang mau beli dagangan mereka. Orang sini kan sudah makan ya cukup, tidak doyan jajan seperti warga kota,” cerocos Tuti dengan nada sinis dan aura muka yang begitu menyiratkan kebenciannya pada Sugih. “Biarkan saja Mak. Kita tonton mereka, lagian si Mirna itu emang kualat, maksa nikah dengan orang kere, seperti ini kah hidupnya. Dari nikah sampai sekarang tidak ada senang-senangnya,” sahut Parjo yang selalu saja sependapat dengan sang istri kalau sudah berurusan dengan Sugih. “Memangnya si kere itu pinjam uang sama siapa Mak?” Tuti mengangkat bahunya dengan bibirnya yang mengerucut. “Mana aku tahu, masih ada saja yang percaya sama si kere Sugih. Mau dibayar siapa kalau sampai usahanya gagal,” keluh Tuti. Terus saja dia mengomel tanpa henti hingga Parjo pun bangkit dari duduknya untuk mencari tahu dari mana sebenarnya Sugih mendapatkan kucuran dana buat membangun usaha mereka, ditambah lagi mereka juga membayar lunas semua biaya rumah sakit Arya yang cukup banyak. “Bapak mau kemana?” “Aku mau tahu dari mana sebenarnya Sugih mendapatkan uang itu. Jangan-jangan si Mirna minta pinjam uang si Mayang. Bulan ini Mayang tidak kirim uang pada kita, bisa jadi itu karena uang mereka dipinjam Mirna dan suaminya yang kere itu,” tebak Parjo sebelum berlalu dengan langkah lebar menuju tanah lapang milik Nasuha yang berada di ujung gang rumah Sugih. Begitu tiba di sana nafas Parjo tersengal-sengal, Mirna yang melihatnya langsung menghampiri Parjo dan menuntunnya duduk di bangku kayu tempat Arya duduk bersama Nasuha. “Minum dulu, Pak,” tawar Mirna menyodorkan segelas air pada Parjo. “Tidak usah Mir. Bapak ke sini cuma mau tanya, sebenarnya dari mana kamu dan suamimu mendapatkan uang untuk membangun kedai, membayar biaya rumah sakit Arya juga. Jangan bilang kamu pinjam uang Mbakmu Mayang,” tuduh Parjo tanpa tedeng aling-aling di hadapan Mirna dan di sana juga ada Nasuha dan Arya yang bisa mendengar jelas apa yang disampaikan Parjo. “Arya, ikut ibu ya, kita nonton TV saja di rumah ibu,” ajak Nasuha yang merasa kalau pembicaraan Parjo dan Mirna tidak pantas untuk didengar anak seusia Arya. “Mi ….” “Boleh … Arya ikut Ibu Suha dulu ya,” potong Mirna sebelum Arya menuntaskan izinnya. “Jadi katakan dari mana kamu dan suamimu mendapatkan uang sebanyak itu Mirna,” cecar Parjo setelah Nasuha membawa Arya menuju rumahnya. Haruskah dia berkata jujur pada bapaknya kalau semua uang yang didapatkan suaminya merupakan uang bibit yang diberikan Nyai Sarasehan sebagai imbalan dari ritual kelambu gaib yang dilakukan suaminya setelah menikah dengan pemimpin para makhluk gaib hutan Leuweung Suwung. “Katakan Mirna? Mbakmu bulan ini tidak mengirimkan uang pada kami. Apa alasannya karena kalian meminjam uang Mayang,” tuduh Parjo. Mirna menggeleng tegas, dia tidak pernah sedikit pun berpikir untuk meminjam uang dari sang kakak. Apalagi sebelum menikah dengan Sugih Mirna sudah memastikan kalau dirinya siap hidup kekurangan tanpa akan menyusahkan kedua orang tua mereka maupun meminta bantuan pada Mayang dan suaminya. Selama ini Mirna tidak pernah berani mengeluhkan keadaan rumah tangganya pada Mayang. Dia tidak ingin Kakaknya ikut menyalahkan keputusannya yang memaksa untuk menikah dengan Sugih. “Kalau uang itu bukan dari Mayang, dari siapa uang itu,” tekan Parjo yang semakin membuat Mirna tersudutkan dengan tatapan tajam dari bapaknya. Mirna memainkan jemarinya, haruskah dia jujur tentang persekutuan suaminya dengan si Nyai penguasa Leuweung Suwung ….
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN