Tiga minggu tidak terasa berlalu begitu saja setelah kejadian aneh yang dialami Isla di sekolah dan rumahnya. Gadis itu masih ingat dengan betul saat seorang lelaki bernama Kai datang mendatanginya dan mengatakan sesuatu yang sama sekali tak ia mengerti.
Rhys. Isla ingat kalau Kai menyebutkan orang lain yang bernama Rhys. Namun siapa lagi itu? Isla sama sekali tak mengenalnya. Gadis itu bahkan tak tahu seperti apa rupa orang bernama Rhys itu.
Dan yang jadi pertanyaannya lagi adalah, kenapa sosok bernama Kai itu sampai bisa datang ke rumahnya? Ibunya bahkan seperti tak menyadari kedatangan lelaki itu di sana.
"Sebenarnya apa mau dia?" gumam Isla. Setelah kejadian itu, ia demam selama hampir dua minggu dan mengharuskannya untuk tetap istirahat di rumah. Bahkan Teresa sampai beberapa kali menjenguknya karena khawatir.
Isla mendudukkan tubuhnya di bawah sebuah pohon besar dan melihat-lihat hasil jepretannya hari ini. Ia tak pernah paham dengan dirinya sendiri kenapa ia justru seperti tak pernah merasa kapok datang ke tempat misterius itu. Di sana banyak menyimpan keindahan yang sebelumnya tak pernah ia duga, dan mungkin juga tidak banyak orang yang mengetahuinya.
Gadis itu terperanjat pelan saat sesuatu melewatinya dengan cepat. Ia segera berdiri dan menajamkan penglihatannya. Seekor anak anjing berwarna putih tengah berlari dengan cepat. Namun yang menjadi perhatiannya adalah, di mana ia juga melihat adanya noda berwarna merah di beberapa bagian tubuh hewan itu.
"Darah?" Isla bergumam pelan. Gadis itu buru-buru mengejar anak anjing itu, cemas jika hewan mungil itu benar-benar terluka parah. Dilihatnya bercak merah yang serupa tampak menempel di permukaan rumput dan dedaunan kering yang dilewati oleh anjing itu.
"Astaga, pergi ke mana dia?" Isla mengatur napasnya yang sudah terengah. Gadis itu mengedarkan pandangannya dan tak menemukan si anak anjing.
Namun tiba-tiba saja suasana di sana berubah menjadi gelap dengan tiupan angin yang cukup kencang. Isla menatap ke atas dan melihat adanya kilatan listrik di langit.
"Ya Tuhan!"
CTARR!
Gadis itu melompat tepat ketika kilatan petir menyambar salah satu pohon hingga terbakar. Lalu tidak lama setelahnya, hujan turun dengan begitu deras. Isla kembali melanjutkan pencarian anak anjing itu. Ia kini kesulitan karena jejak darah di tanah ikut menghilang karena air hujan.
Tepat di saat yang bersamaan, Isla melihat anak anjing tadi yang tergeletak di atas permukaan tanah. Dengan segera ia berlari mendekatinya.
"Sudah kuduga kau terluka!"
Anak anjing itu perlahan membuka kedua matanya dan menatap Isla.
"Apa yang dia lakukan di sini?"
"Kau baik-baik saja? Bertahanlah." Isla menggendong anak anjing itu dan hendak pergi dari sana namun langkahnya dihadang oleh dua orang.
"Sepertinya kita kedatangan tamu," ujar salah satunya. Salah satu punggung tangannya membentuk garis-garis kemerahan menyerupai simbol phoenix. Mendadak terdengar bunyi gemuruh di langit, lalu petir kembali menyambar salah satu pohon hingga akhirnya terbakar hebat di tengah hujan deras. Kejadian ajaib yang sebelumnya Isla lihat di TV, kini terjadi langsung di depan kedua matanya sendiri.
Gadis itu menjerit. Kedua kakinya perlahan bergerak mundur. "Si-siapa kalian?!"
"Kami?" Kedua pria asing itu menatap satu sama lain. "Kurasa akan memerlukan waktu lama untuk kami memperkenalkan diri, Nona."
"Mau apa kalian?"
"Serahkan anjing dan kau bisa pergi dari sini dengan selamat."
Isla semakin erat mendekap anjing itu. Gadis itu menggelengkan kepalanya. Ia tahu kalau apa yang tengah ia lakukan saat ini mungkin berbahaya dan akan mengancam keselamatannya sendiri, namun ia tak bisa meninggalkan anjing itu, apalagi kini hewan itu tengah terluka.
"Aku tidak akan pernah menyerahkannya." Usai mengucapkannya, Isla langsung berlari dari sana. Gadis itu terkejut saat air hujan yang turun itu mendadak berhenti dan melayang di udara. Detak jantungnya berpacu kian cepat dan perasaannya mendadak tidak enak. Kejadian seperti ini, mengingatkannya pada pria yang mengendalikan salju.
Isla kembali berlari sekuat yang ia bisa. Kondisi gelap membuatnya kesulitan menemukan jalan keluar dari Trollehallar. Gemuruh kembali terdengar dari kejauhan, lalu terdengar semakin dekat dengannya.
Satu tetes air mata milik Isla jatuh. Hujan yang semula berhenti itu kini kembali turun dengan lebih deras hingga menyakiti permukaan kulitnya.
"Gadis itu ingin bermain kejar-kejaran." Di antara gemuruh petir itu, seseorang berujar dengan diiringi seringai menyeramkan.
Isla menjerit saat petir kembali menyambar, seakan-akan tengah mengincar dirinya.
***
Maria tak bisa duduk diam di sofa sesaat setelah menerima kabar kalau terjadi hujan besar di Angelholm. Beberapa jam lalu putrinya berpamitan pergi ke Trollehallar untuk memotret beberapa objek yang belum sempat ditemukan sebelumnya. Maria sudah melarangnya berkali-kali namun tetap saja Isla adalah gadis yang sangat keras kepala.
"Astaga, kenapa dia belum juga pulang?" Maria menggigiti ujung kuku jemarinya. Ponsel Isla sama sekali tak bisa dihubungi. Ia juga sudah menghubungi Teresa namun putrinya tak bersama dengan gadis itu, membuatnya kian tak tenang.
Cuaca di sekitar Goteborg juga ikut memburuk dengan langit mendung dan gerimis. Maria tak henti-hentinya berdoa agar putrinya bisa pulang dengan selamat.
Tidak lama setelahnya terdengar gebrakan pintu, membuatnya segera berjalan menuju pintu dan melihat putrinya pulang dengan penampilan yang berantakan. Tubuh Isla basah kuyup, bahkan kamera yang selalu menggantung di lehernya itu juga ikut basah.
"Ya Tuhan, Isla! Ibu khawatir padamu. Kau baik-baik saja?" Maria mengecek tubuh putrinya, khawatir jika gadis itu terluka. Sampai akhirnya ia menemukan seekor anak anjing yang berada di dekapan putrinya.
"Apa itu? Dari mana kau dapatkan anak anjing itu?" tanya Maria. "Kenapa kau membawanya pulang?"
Isla sibuk mengatur napasnya. "Anak anjing ini terluka. Aku tidak mungkin membiarkannya berada di hutan sendirian."
Maria sempat tertegun beberapa saat mendengar apa yang baru saja putrinya katakan. "Astaga, Isla. Bagaimana bisa kau membawa itu dari Trollehallar? Baiklah, setelah mengobatinya, kau harus kembalikan itu ke tempat asalnya. Sekarang gantilah bajumu. Ibu akan buatkan cokelat panas." Wanita itu berjalan menuju dapur untuk membuatkan Isla cokelat panas.
Sementara Isla kini perlahan naik ke kamarnya untuk mengganti pakaian sekaligus mengobati anak anjing itu.
Perasaan Maria kini memang sudah cukup lega karena putrinya masih bisa pulang dengan selamat. Namun saat mengetahui kalau Isla membawa pulang seekor anjing dari Trollehallar, ia kembali diliputi rasa cemas. Bagaimana jika ternyata anjing yang dibawa putrinya bukanlah sekadar seekor anjing biasa? Bagaimana jika itu adalah makhluk penghuni Trollehallar yang bisa menyakiti siapa saja? Bukan hanya Isla yang akan berada dalam bahaya, namun Maria dan mungkin orang-orang di sekitarnya juga akan terlibat.