9. Mimpi

1037 Kata
"Kakak~" Kedua mata Isla seketika terbuka saat seseorang mengguncang tubuhnya pelan. Gadis itu lalu mendudukkan tubuhnya dan menatap Jason yang entah kapan sudah berada di dalam kamarnya. "Ada apa, Jason?" tanya gadis itu. "Aku pamit pulang. Maaf karena mengganggu tidur Kakak." Jason mendadak memasang raut wajah bersalah karena merasa mengganggu tidur Isla. "Tidak apa-apa." Isla tertawa pelan lalu mengusap puncak kepala Jason dengan tangannya. "Ya ampun, Jason. Harusnya kau tidak mengganggu tidur Kak Isla." Sang ibu ikut masuk ke dalam kamar tidak lama setelahnya, membuat Jason semakin menunduk. "Haha, tidak apa-apa, Bibi." "Kalau begitu kami pamit pulang, ya." Jason dan ibunya segera berpamitan dari sana. Sepeninggal mereka berdua, Isla termenung di posisinya. Gadis itu menatap ke sekitar dengan kedua alis yang bertaut. "Apa tadi Jason dan Bibi berkata kalau aku tidur?" gumam Isla. Gadis itu lalu menatap ke luar jendela. "Jadi yang tadi itu ... hanya mimpi?" Isla mengerjap. Semua yang dialaminya tadi terasa begitu nyata. Benarkah hanya mimpi? Tak ingin ambil pusing, Isla pun turun dari kasurnya dan turun menuju dapur. Ia merasa seperti kelelahan hingga kerongkongannya terasa kering sesaat setelah bangun tidur. Mimpi yang dialaminya benar-benar buruk bahkan sampai membuat tenaganya terkuras. "Kau sudah bangun?" tanya Maria saat melihat kedatangan anaknya. "Apa aku dari tadi tidur? Bukankah aku tadi masih berada di sekolah?" Kepala Isla mendadak berdenyut, gadis itu masih ragu kalau yang dialaminya itu adalah mimpi. "Ya ampun, kau mulai lagi. Kau benar-benar tak ingat, ya? Kau diantarkan temanmu pulang. Dia bilang kau kelelahan dan tertidur di perjalanan pulang." Maria berujar tanpa menghentikan aktivitasnya mencuci piring. "Temanku?" Isla membeo. "Maksud Ibu, Teresa?" Maria menautkan kedua alisnya, lalu menggelengkan kepala. "Bukan. Dia laki-laki." "Ha?" Kedua mata Isla seketika membulat. "Laki-laki?" "Hm. Ibu hampir saja berpikir kalau itu pacar barumu tapi ternyata bukan. Ibu juga tak pernah melihatnya selama ini, jadi Ibu berpikir kalau itu teman barumu di sekolah." Isla berkedip dua kali. "Apa Ibu ingat ciri-cirinya?" tanyanya. Maria berpikir sejenak, mencoba mengingat-ingat sosok yang membawa putrinya pulang. "Dia cukup tinggi, kulitnya juga putih. Ah, rambutnya cokelat terang. Dan yang jelas dia tampan. Haha." Kedua alis Isla bertaut. "Benarkah?" "Hm. Ngomong-ngomong kau ini aneh, ya. Padahal dia kan temanmu. Tapi kau seperti tak mengenalnya sama sekali." "Ah, bu-bukan begitu, Bu. Aku hanya tidak ingat dengan siapa aku pulang." Isla lalu meneguk habis sisa air yang berada di dalam gelas yang ia pegang. Ketika gadis itu berjalan mendekati meja makan, ia tiba-tiba melihat siluet seseorang yang tengah duduk di salah satu kursi. Seketika gadis itu terdiam di tempatnya. "Di-dia—" Sosok itu tampak tersenyum miring. Gelas yang dipegang Isla seketika meluncur bebas dari genggaman tangannya dan menghantam permukaan lantai. Dadanya yang sebelah kiri kembali berdenyut hebat, entah kenapa. Bahkan kepalanya kini ikut berdenyut. Maria segera mencuci tangannya dan bergera cepat menghampiri putrinya yang sudah terduduk lemas di atas permukaan lantai dapur yang dingin. "Isla, kau baik-baik saja, Nak? Ada apa?" tanya wanita paruh baya itu cemas. Isla tak mampu menjawab karena denyutan di dadanya kian menjadi. Kedua matanya bahkan sudah berair karena ia tak kuat menahannya. Maria menyeka keringat yang keluar dari dahi putrinya. Ia baru saja hendak membantu Isla berdiri namun gadis itu langsung tak sadarkan diri. "Ya Tuhan, Isla! Sadarlah, Nak. Isla, kau kenapa?" Maria menepuk-nepuk pipi putrinya namun kedua mata Isla tak kunjung terbuka. *** "Kau tak apa?" Seseorang berujar saat kedua mata Isla perlahan terbuka. Maria segera membantu putrinya mendudukkan tubuh. Wanita itu lalu memberinya segelas air. "Kau membuatku panik tadi. Apa sekarang kau sudah merasa baikan?" Isla mengangguk pelan. "Apa masih ada yang terasa sakit? Apa Ibu perlu memanggil dokter ke sini?" "Tidak perlu, Bu. Kurasa aku sudah merasa lebih baik sekarang. Maaf karena membuat Ibu khawatir," ujar Isla. "Apa kau sakit? Kau merasa pusing?" "Kurasa aku hanya kelelahan. Beberapa waktu terakhir aku mimpi buruk, jadi tidurku sedikit terganggu." Isla menjawab. Gadis itu menelan ludah mengingat sosok yang ada di dapurnya tadi. "Kenapa aku bisa melihatnya di sana? Apa yang dia lakukan di rumahku? Apa aku hanya berhalusinasi?" batin Isla. Ia memegang d**a sebelah kirinya yang kini sudah tak sakit lagi. "Entah semua itu mimpi atau bukan, yang jelas aku sudah tidak mau mengalaminya lagi." Gadis itu kembali membatin. *** Malamnya karena penasaran, Isla menelepon Teresa untuk menanyakan beberapa hal tentang tadi siang. "Aneh sekali jika aku ternyata benar-benar pulang dengan seorang laki-laki padahal jelas-jelas aku tadi siang masih berada di sekolah. Bahkan tas punyaku tidak ketinggalan sama sekali. Semua buku milikku juga lengkap." "Halo?" Suara khas Teresa menyapa telinga Isla tidak lama setelahnya. "Ada apa? Apa kau sudah merasa baikan sekarang?" tanya gadis itu di seberang sana. "Aku sudah merasa baikan. Ah, iya. Apa kau ... yang mengantarku pulang?" tanya Isla. "Maksudku, apa yang terjadi tadi siang?" "Astaga, kau tak ingat? Ketua kelas berkata kalau kau pingsan saat di perpustakaan. Dia meminta izin kepada wali kelas dan memperbolehkanmu pulang terlebih dulu. Aku khawatir sekali tadi. Kenapa kau tidak bilang kalau kau sedang tidak enak badan? Kau kan bisa mengatakannya padaku sejak awal, mungkin setidaknya aku tidak akan meninggalkanmu di perpustakaan sendirian." "Maaf, Teresa. Tapi aku sendiri bahkan tak ingat." "Yang jelas bukan aku yang mengantarmu. Kurasa ketua kelas, atau mungkin anggota tim kesehatan." "Tidak mungkin ketua kelas karena ibuku mengenalnya. Sementara tadi, ibu bilang kalau ibu tidak tahu orang itu," batin Isla. "Besok tak apa jika kau tidak masuk. Jangan memaksakan dirimu dan tetaplah beristirahat untuk sementara, Isla. Aku benar-benar khawatir karena kau tak pernah seperti ini sebelumnya." "Hm. Sekali lagi aku minta maaf karena membuatmu cemas. Kalau begitu aku tutup teleponnya sekarang." Sambungan telepon pun ditutup tidak lama setelahnya. Isla membuang napas pelan. Ia semakin tak yakin kalau apa yang dialaminya hari ini hanyalah sebuah mimpi. Gadis itu kembali memegangi dadanya. "Bahkan rasa sakitnya saja begitu nyata," gumamnya. Ia lalu menolehkan kepalanya ke jendela dan menatap langit yang sudah gelap di luar sana. "Dan siapa itu Kai? Apa itu nama orang yang hampir membunuhku?" Isla memegangi lehernya. Meskipun tadi kesadarannya menipis, namun telinganya masih bisa mendengar dengan jelas kalau seseorang menyebutkan nama Kai. Isla mengacak rambutnya hingga kusut. Rasanya hari ini benar-benar membuatnya kewalahan karena gadis itu terus-menerus menyimpan berbagai tanda tanya di dalam kepalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN