11. Under The Moonlight

1202 Kata
"Dari mana kau menemukan anjing itu? Kau benar-benar mendapatkannya dari Trollehallar?" tanya Maria begitu ia memasuki kamar milik putrinya. Dilihatnya gadis itu tengah sibuk mengobati salah satu kaki anak anjing itu yang terluka. "Hm." Hanya gumaman pelan yang keluar dari mulut Isla. Maria membuang napas pelan. Wanita itu meletakkan nampan yang ia bawa ke atas meja dan ikut mendudukkan tubuhnya di pinggiran ranjang dan menatap anjing yang sesekali meringis kesakitan. "Harusnya kau tidak membawanya pulang, Sayang." "Bu, aku tidak mungkin meninggalkan anjing malang ini di tengah hutan sendirian, apalagi Trollehallar adalah tempat yang berbahaya," ujar Isla. "Jika kau sendiri saja tahu kalau Trollehallar itu adalah tempat yang berbahaya, lantas kenapa kau sendiri datang ke sana?" Isla terdiam sejenak. "Di sana menyimpan pemandangan yang indah," lirih gadis itu dengan bibir sedikit maju. "Ingat, setelah anjing itu sembuh, kau harus segera mengembalikannya ke Trollehallar." "Kenapa Ibu tak mengizinkan aku memeliharanya?" Isla membuang napasnya. Di saat yang bersamaan, ia melihat sebuah tanda di salah satu kaki anjing itu. "Apa ini bekas luka?" gumamnya nyaris tak terdengar. "Sayang, anjing itu berasal dari Trollehallar. Ibu tidak mau jika ternyata anjing itu akan membawa masalah ke rumah kita. Jika sampai suatu saat aku melihatnya melukaimu, maka aku sendiri yang akan memastikannya kembali ke Trollehallar," tegas Maria. "Ibu tak perlu khawatir. Anjing ini tak akan melukaiku, lihat? Dia sudah beberapa kali bertemu denganku dan dia sudah jinak." "Dia tetaplah hewan liar yang berbahaya." Maria menatap sepasang mata biru safir milik anjing itu. "Dengarkan aku, Tuan Anjing. Jika sampai kau melukai putriku, kau akan langsung aku lempar ke dalam Trollehallar." Ia memperingatkan anak anjing itu, sebelum akhirnya pergi dari kamar milik putrinya. *** Isla bergerak membuka jendela kamarnya dan membiarkan angin malam masuk ke dalam. Gadis itu memejamkan kedua matanya bersamaan dengan beberapa helai rambutnya yang menari-nari tersapu oleh angin. Ponsel yang berada di atas kasur miliknya tiba-tiba berdering. Isla yang masih berdiri di dekat jendela itu pun berjalan menghampiri kasurnya dan melihat siapa yang menelepon. "Halo?" "Aku dan pacarku malam ini akan pergi nonton. Oh, iya. Kami juga akan pergi ke taman kota untuk melihat bulan purnama. Cuaca malam ini cerah sekali, kau mau ikut?" ujar Teresa di seberang sana. "Tidak, terima kasih. Aku lebih memilih menikmati purnama di kamarku. Pemandangan di sini juga tak kalah indah, kau tahu?" Isla berdecak. "Lagi pula kenapa juga aku harus ikut dengan kalian? Kau ingin aku sendirian? Jadi orang ketiga?" "Tentu saja tidak, Isla Sayang. Aku juga akan memanggil Alex untuk menemanimu." Terdengar kikihan jahil Teresa setelahnya. "Kau pasti sudah tidak waras." "Haha. Lalu bagaimana? Kau sudah membuat keputusan? Alex sudah sejak lama menyukaimu, kan? Kenapa tidak kau terima saja dia?" "Aku tidak mau." Teresa menjawabnya dengan penuh penekanan. "Sudahlah, sana kau pergi. Dasar." "Haha. Baiklah, kabari aku jika kau sudah berubah pikiran, Sayang~" Teresa seketika terbahak. "Astaga, Teresa!" Sambungan telepon diputus secara sepihak. Isla membuang napas pelan. Lelaki bernama Alex itu memang beberapa kali mengganggunya. Tidak, dia bukanlah lelaki nakal yang hanya banyak omong. Alex justru murid baik-baik dan juga berprestasi. Namun meskipun begitu, Isla tetap tidak mau. Dan yang sedikit membuatnya jengkel adalah, bagaimana pun reaksinya terhadap Alex, lelaki itu masih bisa bersikap baik padanya. Berbanding terbalik dengan Teresa yang super menyebalkan, di mana gadis itu pernah mengunci Isla dan Alex di dalam kelas dan meninggalkan mereka hingga beberapa jam. Isla melempar pelan ponselnya ke atas kasur, membuat anak anjing yang tengah tertidur itu membuka mata dan menatapnya. *** Isla turun ke bawah untuk mengambil minum sekaligus beberapa camilan. Maria yang tengah berada di dapur itu seketika menatapnya. "Kau sudah memberi makan peliharaanmu itu?" Isla mendelik mendengar ucapan ibunya. Peliharaan? Yang benar saja. "Sudah, tadi." Gadis itu.mengambil beberapa bungkus snack dan kembali ke kamarnya. Isla duduk di sebuah sofa sembari memakan camilan yang ia bawa dari bawah. Ia menatap seekor anjing yang tertidur di atas kasurnya. "Kenapa ibu selalu bersikeras menyuruhku mengembalikan anjing itu? Padahal dia sangat lucu. Warna matanya juga unik. Meskipun bisa berubah sih." Isla memasukan camilan ke dalam mulut dan mengunyahnya. Anak anjing itu tidak rewel jika soal makanan. Isla memberikannya sosis dan langsung dimakan habis. Yang Isla takutkan adalah, jika anak anjing itu sewaktu-waktu berubah menjadi mengerikan lagi dengan kedua bola mata yang berwarna merah. Isla berjalan menuju jendelanya dan menatap bulan yang tengah bersinar terang. Kamar milik gadis itu menjadi lebih terang dengan sinar bulan yang ikut masuk ke dalam. Gadis itu kembali memasukkan camilan ke dalam mulutnya dan menengadahkan kepala, menatap langit yang tampak begitu cerah. Tanpa sadar Isla tersenyum. Gadis itu lalu berbalik hendak mengambil minum, namun yang terjadi justru di luar dugaannya. Camilan yang tengah ia pegang langsung meluncur bebas dari tangannya dan jatuh ke atas permukaan lantai. Kedua matanya seakan berhenti berkedip, menatap sesosok manusia yang entah dari mana dan sejak kapan berada di dalam kamarnya. Isla hampir saja menjerit namun mulutnya secara tiba-tiba dibekap. "Tunggu, tunggu. Tolong jangan berteriak. Akan aku jelaskan padamu." Seorang lelaki bermata biru safir itu menatap Isla dengan pandangan memohon. Isla yang sudah ketakutan hebat itu hampir saja menangis dibuatnya. "Aku tidak akan melukaimu. Jadi tolong, jangan lakukan apapun yang bisa membahayakan dirimu sendiri. Sungguh, aku tak ada niatan sama sekali untuk menyakitimu." Lelaki itu kembali menjelaskan. "Aku Rhys. Kau ... Isla?" Rhys perlahan melepaskan bekapan tangannya. Isla yang masih berusaha mencerna kejadian yang tengah ia alami itu hanya mengangguk pelan. "Jadi ... kau yang bernama Rhys?" tanya Isla. Rhys mengangguk. "Iya. Aku benar-benar minta maaf karena sudah melibatkanmu dan membuatmu terluka beberapa kali. Tapi sungguh, aku tak ada niatan melakukannya." "Kau ... " Isla menggantungkan kalimatnya. Gadis itu menatap sepasang manik biru safir milik Rhys. "Kau anjing yang selalu kutemui di Trollehallar?" Ia berujar setengah tak percaya. Rhys lagi-lagi mengangguk. "Maaf karena membohongimu." "Kau penghuni Trollehallar? Atau kau alien? Siapa kau?" Isla menatap Rhys dari atas hingga bawah. "Berasal dari mana kau?" "Aku bangsa Betelgeuse." Kedua mata Isla berkedip dua kali. "Betelgeuse?" Ia membeo. "Maksudmu Betelgeuse si Bintang sekarat itu? Kau pasti sudah gila. Betelgeuse itu gas!" "Kalian manusia mungkin melihatnya seperti itu. Namun di dalamnya, terdapat sebuah inti padat yang berisi kehidupan," ujar Rhys. Isla meremas rambutnya hingga kusut. "Ya Tuhan, aku pasti sudah gila. Apa aku perlu membawamu ke NASA untuk menceritakan situasi di Betelgeuse? Astaga, kepalaku mendadak pusing." Kening Rhys mengerut menatap Isla yang berjalan mondar-mandir di depannya. "Kau mengira aku berbohong?" "Tentu saja! Itu tidak masuk akal!" "Lalu bagaimana dengan ini?" Tubuh Rhys seketika berubah kembali menjadi anak anjing seperti biasa. Lalu tidak lama setelahnya ia kembali berubah menjadi sosok aslinya. "Kenapa kau mengubah wujudmu menjadi anak anjing?!" Isla semakin tak bisa berpikir jernih. Entah mimpi apa dirinya semalam sampai bisa mengalami kejadian di luar nalar begini. "Aku melindungi diriku dari Kai dan teman-temannya," jawab Rhys apa adanya. "Oh, jadi garis-garis merah di langit yang kulihat waktu itu berasal dari kalian? Lalu kenapa kalian harus datang ke bumi? Kenapa tidak memilih Mars atau Pluto?" "Bumi memiliki banyak kandungan hidrogen." "Ah, aku mulai paham sekarang. Betelgeuse sekarat karena kandungan hidrogen yang menipis. Ya, benar. Itu sesuai dengan apa yang dikatakan NASA. Tapi ini tidak benar." Isla membuang napasnya kasar. "Kau, untuk sementara waktu jangan tunjukkan sosok aslimu di depan ibuku!" tunjuk Isla tepat ke wajah Rhys.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN