Teresa dan Alex berjalan keluar dari salah satu toko es krim yang letaknya tidak jauh dari sekolah mereka. Teresa membeli es krim rasa stroberi, sementara Alex membeli es krim dengan rasa matcha.
"Jadi, kau dan Isla sering membeli es krim di sini?" ujar Alex.
Teresa menganggukkan kepalanya. "Hm. Kami cukup sering ke sini." Ia tersenyum tipis dan kemudian membuang napasnya pelan. Gadis itu lalu melirik es krim yang berada di tangan Alex. "Dan ... kau tahu? Es krim yang kau pesan itu adalah salah satu es krim yang paling disukai oleh Isla di sini," ujarnya kemudian.
"Ah, benarkah?" Alex berkedip dua kali kemudian pria itu menatap es krim di tangannya.
Teresa kembali menganggukkan kepalanya. "Hm. Isla cukup sering membeli es krim dengan rasa matcha di sini. Saat dia sedang senang, dia akan memesan es krim dengan rasa matcha, lalu saat dia sedang kesal, dia akan memesan es krim dengan rasa vanilla atau chocomint, lalu saat sedang sedih dia akan memesan es krim rasa coklat. Haha, dia memang agak aneh, ya." Gadis itu tertawa pelan.
Mendengar itu, Alex jadi ikut tertawa. "Isla membeli setiap es krim sesuai dengan mood-nya? Itu terdengar lucu sekali," ujarnya.
"Dia memang aneh. Gadis itu sering bertingkah ceroboh, aneh, tapi dia itu juga sangat cengeng aslinya walau mungkin tak banyak ada orang lain yang mengetahui sifatnya yang satu itu. Tapi meskipun begitu, di lain sisi Isla memang sesosok gadis yang begitu kuat dan bisa diandalkan. Ia ada orang yang sangat pantang menyerah saat ia menginginkan sesuatu dan untuk mencapai apa yang dia inginkan dia akan melakukan banyak cara. Tapi kadang hal itu terlalu membuatnya berambisi hingga akhirnya Isla tak memikirkan segala sesuatu yang akan dia terima akhirnya." Teresa membuang napasnya pelan. Bersama dengan Alex, gadis itu kini mendudukkan tubuhnya di sebuah bangku panjang yang ada di sana.
Suasana pulang sekolah kali ini terasa agak berbeda. Biasanya dia akan membeli es krim bersama dengan Isla, namun berbeda dengan hari ini. Gadis itu membeli es krim bersama dengan Alex. Ya, entahlah, Teresa rasa mereka berdua sedang merasakan hal yang sama. Jadi Teresa juga memutuskan untuk mengajak Alex membeli es krim di toko favoritnya dan juga Isla.
"Alex?" panggil Teresa.
"Hm? Kenapa?"
"Kenapa kau bisa menyukai Teresa? Bukankah selama ini selama di sekolah, kau memiliki banyak sekali penggemar wanita? Kenapa kau justru malah memilih untuk mendekati Isla yang justru sulit untuk kau dekati?" tanya Teresa. Kemudian gadis itu kembali memakan es krim miliknya.
Mendengar pertanyaan yang terlontar dari mulut Teresa, Alex lalu tertawa pelan. "Aku tidak sengaja menabraknya sewaktu kami tak sengaja bertemu di sebuah supermarket. Aku terlalu sibuk mengobrol bersama temanku saat itu sampai tak sadar kalau troli yang aku dorong ternyata menabrak troli milik Isla yang saat itu sedang memilih beberapa produk. Namun bukannya marah, kau tahu apa yang dia lakukan? Dia justru yang meminta maaf padaku selama berkali-kali," ujar Alex. Pria itu kemudian tertawa setelahnya. "Memang agak simpel, tapi entahlah, aku merasa kalau itu cukup berkesan. Dia gadis yang baik, lucu, dan juga terkadang polos. Dulu aku tak tahu kalau ternyata dia satu sekolah denganku, sampai pada akhirnya aku tak sengaja melihatnya tengah membawa kamera dan memotret beberapa orang sewaktu festival tahun lalu. Dan, entahlah. Kurasa saat itu dia terlihat sangat keren dengan kamera yang mengalung di lehernya."
Teresa menggigit es krimnya kembali, kemudian gadis itu berujar, "kurasa aku sempat berpapasan denganmu saat festival waktu itu tapi karena aku tak tahu kalau kalian sempat bertemu sebelumnya dan lagi kau mulai memiliki perasaan pada Isla, jadi aku diam saja. Jika saja aku tahu, aku akan langsung menyeret Isla ke hadapanmu," goda Teresa. Mereka berdua pun tertawa pelan.
"Aku tak pernah memaksanya untuk kembali menyukaiku, sungguh. Aku tak ingin menjadi laki-laki yang jahat di depan kedua matanya. Jadi, aku memutuskan untuk memulai hubungan yang baik-baik saja dengannya. Berteman pun tak masalah sama sekali untukku karena selama dia merasa nyaman, aku pasti juga tak akan merasa keberatan sama sekali." Alex kembali tersenyum.
Teresa kemudian terdiam setelahnya. Selama ini ia tahu, kalau Alex memang laki-laki yang baik. Bahkan ketika pria itu dikelilingi oleh banyak wanita yang memang benar-benar menyukainya, tapi Alex justru malah memilih untuk mendekati wanita yang justru tak tertarik padanya sama sekali.
"Oh iya, kau sendiri, Teresa, apa kau sudah memiliki pacar? Atau mungkin ... seseorang yang kau sukai?" tanya Alex kemudian.
Teresa berkedip dua kali. "Aku?" Gadis itu menunjuk wajahnya sendiri dengan menggunakan telunjuk, kemudian terkikih tiba-tiba tanpa alasan. "Tidak, tidak. Aku sedang tak memiliki seseorang yang aku suka. Entahlah, kurasa saat ini aku hanya ingin seperti ini. Rasanya aku lebih bebas. Aku memiliki sahabat baik seperti Isla dan juga teman-teman di kelas yang juga tak kalah baik padaku. Hidupku sudah terasa nyaman untuk saat ini dan kurasa itu sudah lebih dari cukup," jawabnya mantap.
"Wah, luar biasa. Padahal jika kulihat-lihat, di sekolah kita banyak sekali murid-murid tampan." Alex tertawa. "Kau yakin tak memiliki perasaan ke salah satu di antara mereka?" godanya.
Teresa kemudian menengerutkan dahinya dan lalu menatap Alex yang juga tengah menatapnya dengan seulas senyuman yang terlihat menyebalkan di matanya. "Sungguh, Alex. Aku benar-benar sedang tak menyukai seseorang bahkan sekali pun kalau itu adalah laki-laki yang paling keren di sekolah kita," tegas gadis itu. Teresa lalu terdiam selama beberapa saat, sebelum akhirnya gadis itu melanjutkan, "menurutmu, aku masih normal, kan?" ujarnya.
Ia dan Alex kemudian tertawa setelahnya.
***
Teresa menatap setangkai lavender yang ia dapatkan beberapa hari lalu. Anehnya, bunga itu terlihat masih segar walaupun sudah berhari-hari.
Gadis itu tak tahu sama sekali siapa yang sudah mengirimkan bunga dan secarik kertas itu padanya. Dan Teresa juga tak berhasil menemukan siapa yang sudah mengirimkan bunga itu padanya.
Alex tidak mengatakan apa-apa soal bunga ini yang artinya, sepertinya pria itu memang tak mendapatkan bunga itu. Itu artinya, Isla hanya memberikan bunga lavender itu pada Maria dan juga pada dirinya. Tapi yang jadi pertanyaan Teresa adalah, siapa yang sudah mengirimkan bunga itu padanya? Dan kenapa orang itu tidak menunjukkan diri, padahal dia bisa saja bertemu dengan Teresa langsung kan? Bahkan Maria juga tak t**i siapa yang mengirimkan bunga itu saat Teresa bertanya padanya.
"Ya Tuhan, Isla, sebenarnya kau ini ada di mana sekarang? Dan bersama siapa kau di sana, urusan apa yang akan kau selesaikan sampai-sampai kalau kau sampai kesulitan hanya untuk kembali ke tempat asalmu. Semua orang di sini masih khawatir padamu, astaga." Teresa membuang napasnya pelan. "Teman-teman di kelas, guru, ibumu, aku, bahkan juga Alex. Kita semua benar-benar tidak tahu lagi harus mencarimu ke mana. Walaupun kau berkata kalau kau baik-baik saja, tapi itu tak terlalu cukup untuk meredakan rasa khawatir kami padamu."
Teresa menyandarkan punggungnya di kursi dan memutar kursi itu ke arah jendela, menatap langit yang sudah mulai gelap.
"Tidak mungkin kan, jika Isla berada di Trollehallar?" gumam Teresa secara tiba-tiba. Gadis itu mendadak terpikir, bagaimana jika seandainya kalau Isla memang saat ini berada di suatu tempat di Trollehallar?
"Tapi, bagaimana caranya dia bisa sampai di sana? Aku tahu kalau di Trollehallar sudah tak ada lagi berita-berita aneh yang ditayangkan di TV seperti yang waktu itu. Tapi tetap aja ini sangat aneh mengingat Isla yang awalnya memang berada di sekolah. Dia yang benar-benar ada di sekolah, bahkan sempat mengobrol denganku sebelum menuju ke ruang kesehatan, tiba-tiba menghilang begitu saja dan beberapa bagian dari gedung sekolah juga mendadak hancur tanpa alasan yang jelas dan logis, entah kenapa. Isla seperti dibawa oleh sesuatu, tapi apa itu?" Teresa mencoba memikirkannya. Bahkan hingga detik ini, kasus menghilangnya sahabat baiknya itu masih saja mengganggu pikirannya dan itu terkadang sampai membuatnya kesulitan untuk tertidur.
"Ya Tuhan, Isla. Aku benar-benar berharap agar kau cepat kembali ke sini," ujar Teresa. Gadis itu kemudian memejamkan kedua matanya rapat.
—TBC