"Sebenarnya, kami ingin menawarkan kerjasama dengan Anda, Nona Siti." Tuan Ali, sang kepala kepolisian berujar. Beliau memanggil Siti dengan selayaknya tamu penting. Hal ini bertujuan agar Siti merasa diperlakukan dengan baik.
"Kami ingin Anda bekerja sama dengan kami untuk memantau semua kegiatan Tuan Khalid. Karena beliau diduga terlibat gerakan yang akan mengancam kedudukan Pangeran Yusuf sebagai Putra Mahkota."
Siti terperanjat, tapi tetap berusaha untuk bersikap tenang. Air mukanya berubah walau sedikit. Sayangnya, kedua orang di depannya tidak sepolos Ahmed, yang mudah diperdaya dengan cara Siti membawa diri.
Tentu saja. Kedua pria di depannya adalah dua orang berpengaruh di negara Almaas yang berkepentingan menjaga stabilitas negara dari berbagai permasalahan.
"Maaf melibatkanmu dalam hal seperti ini. Namun, kami tidak punya pilihan lain karena ini melibatkan keamanan nasional," jelas sang Pangeran dengan wajah sangat serius. "Tentu saja, sebagai imbalan, kami akan memberikan sesuatu yang setimpal sebagai gantinya. Bagaimana dengan uang pensiun sejumlah seribu dirham Almaas setiap bulan? Ditambah dengan hunian mewah di negeri asal Anda?"
Siti terdiam. Tawaran yang sangat menggiurkan bukan? Bagaimanapun juga uang sejumlah itu akan membuatnya hidup santai tanpa harus bekerja seumur hidup. Lima puluh juta rupiah setiap bulan. Dia masih bisa hidup mewah, bahkan masih bisa berderma dengan orang-orang yang kekurangan. Benar-benar tawaran yang menggoda pendirian.
Namun, Siti bukanlah orang seperti itu. Dia adalah orang yang yang dididik untuk tidak tergila-gila dengan harta. Janji adalah sesuatu yang harus diutamakan diatas segalanya. Dia sudah berikrar akan mengabdi kepada Tuan Khalid seumur hidupnya hingga Tuan Khalid tidak menginginkannya sendiri.
Tentu saja jawabannya sudah pasti. Dia akan menolak tawaran Pangeran Yusuf dan Tuan Ali. Sebelum Siti sempat menjawab, Pangeran Yusuf menambahkan.
"Aku bisa menambahkan tawaran menarik yang lain." Pangeran Yusuf berhenti sejenak, melirik temannya. "Bagaimana kalau engkau menikah dengan bangsawan yang aku tunjuk?"
"...."
Pangeran Yusuf mengamati Siti yang enggan menjawab pertanyaannya. Kemudian beliau melanjutkan. "Kau bisa hidup dengan bermartabat di negara Almaas. Sangat menggiurkan bukan?"
"...."
"Tawaran yang tidak akan kuberikan untuk kedua kalinya jika kau menolak kali ini." Terang sang Pangeran dengan nada yang sangat angkuh.
Apa pun yang dikatakan pangeran, bahkan bila beliau mengatakan akan memberikan seisi dunia kepada Siti, tidak akan pernah dia mengkhianati janjinya kepada Tuan Khalid. Dia akan menjadi tangan kanan Tuan Khalid dan tidak akan pernah berubah menjadi pedang yang justru akan menghunuskan ujung tajamnya kepada tuannya sendiri.
Siti sangat tahu bagaimana rasanya ditikam dari belakang yang oleh orang terdekatnya. Seakan-akan hukuman dunia akhirat tidak akan cukup untuk menghilangkan kemarahannya kepada orang tersebut.
Pengalaman seperti itu membuat Siti tidak ingin memberikan luka yang sama kepada siapa pun. Apalagi terhadap orang yang telah dia janjikan kesetiaan seumur hidupnya.
Betapa beruntung Khalid memiliki anak buah sebaik Siti. Sementara di luar sana, banyak sekali orang yang rela menjual kepercayaan untuk sekelumit harta.
Siti cukup bijaksana untuk tidak serta merta menolak permintaan pangeran Yusuf. Bagaimanapun juga beliau adalah Putra Mahkota negara Almaas yang akan merasa dihina dan direndahkan bila ditolak.
Dengan penolakan Siti, bisa jadi yang terkena hukuman bukan hanya dirinya sendiri melainkan juga Tuan Khalid beserta keluarga dan teman-temannya. Tentu saja Siti tidak menginginkan hal ini. oleh karena itu dia memikirkan cara yang terbaik untuk menolak tawaran Sang putra mahkota.
Di tengah kebingungan Siti, Tuan Ali menyarankan hal lain. Dia seolah dapat membaca pikiran Siti yang akan menolak keinginan Pangeran Yusuf.
"Bukankah ada yang lebih penting daripada sekedar janji dan kesetiaan? Sebuah kudeta pasti akan menumpahkan banyak darah." Tuan Ali menambahkan dengan nada menantang. "Dengan membantu kami mencegah kudeta, kamu akan menyelamatkan banyak jiwa penduduk Almaas. Bukankah itu merupakan hal yang sangat mulia?"
"...."
Siti tertegun mendengar pernyataan yang logis dari Tuan Ali. Dia tidak menyukai hal ini. Mengingkari kesetiaan adalah hal yang tabu. Akan tetapi, bila memang benar Tuan Khalid merencanakan sebuah kudeta, apa yang akan dia lakukan?
"Apakah kamu akan memberikan kesetiaanmu kepada orang yang salah?" desak Tuan Ali lagi. Sungguh pandai beliau membolak-balikkan hati Siti. Membuat bimbang jiwa muda yang belum matang.
Siti yang mempunyai rasa keadilan yang tinggi, memang menjadi 100% bimbang. Dia mulai mempertanyakan lagi tentang idealismenya. Apakah dia berada di jalur yang benar?
Namun, Siti mengingat bagaimana keseharian Tuan Khalid yang mencerminkan bahwa beliau orang yang sangat baik. Tidak mungkin beliau terlibat hal-hal seperti kudeta. Siti teringat bagaimana beliau menghawatirkan pendidikan anaknya yang sekadar ekstrakurikuler saja.
Apa mungkin orang yang demikian akan memikirkan tentang kudeta? Menurut Siti, itu adalah hal yang tidak mungkin.
Kudeta adalah hal besar yang menyita banyak pikiran, emosi, dan harta. Hal seperti itu, tidak akan diperbuat oleh orang yang yang pikirannya sibuk untuk bisnis serta keluarganya.
Akhirnya, Siti membulatkan tekad untuk lebih mempercayai Tuan Khalid. Kemudian dia menjawab, "Mohon maaf, saya tidak bisa. Silakan hukum saya. Saya tidak akan melawan. Namun, untuk menghianati Tuan Khalid, saya sungguh tidak bisa karena kesetiaan adalah hal yang saya janjikan kepada beliau."
"Memang, seorang tiran yang kejam tidak pantas untuk saya beri kesetiaan. Namun, untuk memutuskan bahwa seseorang memiliki tindak kejahatan seperti itu, harus melalui penyelidikan detail dan menyeluruh." Siti akhirnya mengutarakan semua yang ada di kepalanya dengan terlalu berani.
Dia tidak peduli bila harus dihukum hanya karena melakukan ini. Tekadnya satu. Menolak ... dan alasan penolakan haruslah rasional.
"Bila memang tuan saya melakukan kejahatan yang seperti Yang Mulia curigai, tentu dengan tangan saya sendiri, saya akan membantu Yang Mulia dengan kooperatif. Bukan karena saya membenci Tuan saya. Itu semua akan saya lakukan dengan alasan sederhana." Siti berhenti sejenak di kalimat yang terkhir. Menelan ludah, dan memberikan penekanan kepada kalimat berikutnya. "Semua itu akan saya lakukan atas dasar rasa hormat saya kepada beliau ... saya tidak ingin beliau melakukan kejahatan yang lebih buruk lagi."
Hening sejenak.
Mendengar penuturan Siti, pangeran Yusuf dan Tuan Ali tertawa bersamaan. "Dengar? Apakah kamu dengar jawaban gadis ini? Hahaha ...," tanggapan mereka bersamaan sambil tertawa terbahak-bahak seperti merendahkan Siti.
Siti hanya menundukkan kepala. Mereka tergelak karena jawaban Siti yang begitu idealis ... naif.
Namun, mereka tidak menyangka, pelayan yang dibawa dari jauh itu akan menolak tawaran menarik yang diajukan oleh Pangeran Yusuf. Jelas sekali lagi-lagi Khalid mendapatkan tangkapan besar yang bahkan mungkin dia sendiri tidak tahu betapa berharganya si pelayan ini.
"Oke baiklah sebenarnya Khalid tidak melakukan kesalahan apa pun. Kau pun tidak bersalah. Kami hanya ingin bertemu denganmu karena penasaran dengan apa yang dibawa oleh Khalid dari Indonesia." jawab Tuan Ali kemudian. Beliau memberi isyarat kepada Pangeran Yusuf untuk mengakhiri.
Dikatakan seperti itu tentu Siti sedikit merasa tersinggung karena dia diperlakukan seperti benda–bukan manusia. Jelas sekali Tuan Ali menyebut "apa" untuk menyebut dirinya.
Seharusnya, tuan-tuan itu lebih bisa memilah dan memilih perkataannya–atas dasar kemanusiaan. Seandainya saja negeri ini bukan negeri yang monarki, sudah dipastikan mereka orang seperti mereka tidak akan terpilih menjadi orang penting di negaranya.
Siti berharap hanya gaya bicara mereka saja yang buruk, bukan cara mereka memerintah dan mengatur negara. Kasihan sekali bila negara ini memiliki pemimpin yang seenaknya sendiri.
"Baiklah, kalau begitu kamu dibebaskan." Tuan Ali melanjutkan pernyataannya secara lebih lugas.
"Jadi, kekacauan di rumah Tuan Khalid hari ini adala—"
"Benar," potong Tuan Ali kasar. Beliau merasa Siti terlalu banyak bicara. Berbeda sekali dengan wanita asli Almaas.
"Kami hanya memerintah anak buah untuk membawamu ke sini. Bukan karena kesalahanmu. Jadi kami juga akan mengantarmu pulang dengan terhormat." Pangeran Yusuf menjelaskan sekilas, kemudian menepukkan tangannya untuk memanggil penjaga.
Tak lama berselang, dua penjaga masuk ke dalam ruangan bersama dua orang pelayan wanita untuk memandu Siti.
"Kamu beristirahatlah. Ini sudah hampir pagi. Mereka akan menyiapkan kamar untukmu," jelas Pangeran Yusuf kepada Siti. Beliau sebenarnya seharusnya meminta maaf karena telah membuat Siti bergadang hampir semalaman.
Namun, beliau merasa enggan melakukannya. Takut wibawanya berkurang. Lagipula, karena merasa sudah memperlakukan Siti selayaknya tamu terhormat, beliau merasa pelayanannya sudah lebih cukup dari sekadar kata minta maaf.
Siti pun diantar oleh para penjaga dan pelayan ke kamar yang telah disiapkan sebelumnya. Tinggallah di ruangan itu Pangeran Yusuf dan Tuan Ali saja yang sedang bercakap-cakap. Sepertinya, mereka berdua belum berencana untuk tidur.
"Hei, Ali. Bukankah dia terlihat terlalu setia untuk sekedar seorang pelayan biasa? Apakah ada perjanjian khusus di antara mereka?" tanya pangeran Yusuf kepada temannya. 'Mereka' yang dimaksud adalah Siti dan Tuan Khalid.
"Entahlah. Bila kamu ingin mengetahuinya tanyakan langsung saja kepada Khalid. Itu pun kalau dia mau menjawab dengan jujur." Tuan Ali duduk selonjor di kursi tanpa menjaga tata Krama di depan sang Putra Mahkota.
Bila sedang berdua, atau bertiga dengan Tuan Khalid, kelakuan mereka memang seperti pemuda biasa pada umumnya. Tidak seperti seorang pangeran dan putra bangsawan.
"Lagipula, mengapa kamu iseng sekali memanggil anak gadis itu kemari?" protes Tuan Ali agak sebal. "Sudah pasti dia tadi sangat ketakutan."
"Ketakutan? Huh, kamu lupa betapa angkuh mukanya?" kata Pangeran Yusuf tidak puas. Penolakan Siti membuat sang Pangeran merasa dianggap lebih rendah kedudukannya daripada Tuan Khalid. Hal ini tentu sangat menyinggung beliau. "Aku sangat berharap bisa membuat gadis itu ketakutan!" Tambah sang Pangeran dengan kesal.
Hening. Tuan Ali tidak tertarik untuk menimpali omelan sang Pangeran. Beliau tahu bila sahabatnya ini sedang kesal, kelakuannya memang seperti anak-anak belasan tahun.
Di samping itu, saat ini Tauan Ali sedang mencemaskan hal lain. Bila sampai ketahuan Raja Yazid bahwa beliau telah menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi sang Pangeran muda nan sembrono ini, bisa-bisa jabatannya akan dicopot.
"Ini semua salah Khalid. Dia begitu sibuk sampai tidak ada waktu untuk bertemu denganku." Pangeran Yusuf marah-marah kembali.
"Kalau aku memanggilnya ke sini, sudah pasti dia akan menolaknya. Jadi, jangan salahkan aku jika memakai cara kotor untuk memanggil gadis Indonesia itu kemari," ujar pangeran Yusuf membela diri. "Seenaknya sendiri memasukkan orang dari negeri lain tanpa memberitahuku lebih dahulu."
Padahal, siapa pun juga tahu, bahwa tidak perlu izin dari Pangeran Yusuf untuk mendapatkan persey dari bagian imigrasi. Apa jadinya bila semua wewenang seperti itu diberikan pangeran yang belum matang seperti beliau? Pastilah perekonomian negara akan tertinggal jauh dari perekonomian negara maju lainnya.
"Ngomong-ngomong, bukankah dulu kejadian dengan Adriana juga mirip seperti ini?"