Bab 6

2039 Kata
Dengan susah payah Lucas menyeret tubuh pak Wilson yang sudah tidak bernyawa, membawanya kembali ke depan laboratorium seorang diri. Entah apa yang terjadi pada orang-orang di sekitar tempat ini. Mereka berakting seolah tidak terjadi apa-apa. Seolah mereka tidak melihat dengan kecelakaan yang menimpa Pak Wilson, dan pria tua itu baik-baik saja. Lucas menggeleng, mengembuskan napas kuat dari mulutnya. Terduduk di teras laboratorium dengan tubuh Pak Wilson yang bermandikan darah. Sungguh, rasanya ia ingin menangis. Bukan karena takut pada darah ataupun mayat Pak Wilson, melainkan karena ia kasihan pada pak tua ini, juga miris pada kelakuan orang-orang di sekitar mereka. Dengan napas yang masih memburu, Lucas menggedor pintu laboratorium yang tertutup. Masih ada beberapa orang di dalam yang belum pulang, termasuk Peter. "Peter!" teriak Lucas. "Apa kau dapat mendengarku?" tanyanya. Tak ada sahutan. Sepertinya Peter tidak mendengar suaranya. Pintu laboratorium yang terbuat dari kaca tebal dan tertutup rapat, tidak memungkinkan suara dapat masuk. Apalagi ruangan Peter berada di lantai tiga, mustahil suaranya akan terdengar sampai ke sana. Lucas mengerang kesal. Menyesali kebodohannya yang telah berteriak dan menghabiskan suara. Bagaimana mungkin ia bisa melupakan hal itu, suaranya tidak ajan dapat mencapai ruang kerja Peter. Astaga! "Dumb Lucas! " Saking kesalnya Lucas memaki dirinya sendiri, berulang-ulang. Terus seperti itu sampai matanya kembali melihat keadaan mayat Pak Wilson. Sekali lagi Lucas mengembuskan napas, kali ini melalui mulut dan lebih keras. Seharusnya ia ingat kalau tubuh manusia akan terasa lebih berat saat tidak bisa bergerak dan melakukan apa-apa. Seharusnya ia tidak menyeretayat ke sini seorang diri. Seharusnya orang-orang yang berlalu-lalang di depan sana membantunya. Lagi-lagi kata seharusnya yang ada di pikirannya. Lucas memukul daun pintu yang disandarinya. Kesal, marah, dan kecewa menjadi satu membuatnya ingin menangis saja. Sungguh, seandainya saja tidak malu pada dirinya sendiri, ia pasti akan melakukannya. Lucas mengangkat wajah, mengamati lalu-lalang manusia di jalan raya di depan laboratorium tempatnya bekerja. Laboratorium yang besar, memiliki halaman dan tempat parkir yang sangat luas, juga berbagai fasilitas lainnya. Ia harus menyeret tubuh Pak Wilson, salah seorang petugas penjaga laboratorium yang sudah tidak bernyawa melewati halaman yang luas itu seorang diri. Tentu sangat membuang tenaga sekali. Laboratorium terletak di keramaian, meski bukan di pusat kota, lalu lintas di depan laboratorium sangat ramai, terkadang sampai macet. Seperti sore ini, lalu lintas sangat ramai meski tidak macet. Namun, lalu lintas ramai itu tidak ada satu pun pengendara yang peduli. Entah apa yang ada di pikiran mereka, seolah para pengendara itu tidak memiliki hati lagi. Merasa napasnya sudah mulai normal, Lucas berdiri, membuka pintu dan memasuki laboratorium. Meninggalkan mayat Pak Wilson di depan pintu. Ia akan memanggil Peter atau Kennedy untuk meminta bantuan. Sungguh, ia tidak kuat lagi kalau harus membawa tubuh tak bernyawa itu seorang diri. Ia menyerah. Seandainya ini adalah sebuah program reality show, maka ia akan melambaikan bendera putih tanda menyerah. Sungguh miris.. Lucas menaiki tangga karena merasa menunggu lift akan lebih lama. Ia menaiki anak tangga tergesa, ingin segera sampai ke lantai tiga. Saking tergesanya Lucas sampai melompati dua atau tiga anak tangga sekaligus. Berlari begitu tiba di tempat yang dituju. Mengetuk pintu ruangan Peter cepat. "Peter, cepat buka pintu!" teriak Lucas dengan napas memburu. Pintu terbuka sedetik kemudian, menampilkan Peter dengan kacamata lab yang terpasang di wajahnya. Ia sedang melakukan uji coba cairan kimia ketika pintu lab-nya digedor oleh Lucas. "Astaga, apa yang terjadi denganmu?" tanya Peter heran. Tangannya bergerak perlahan melepas kacamata lab yang bertengger di hidungnya. "Apa kau terluka?" tanyanya khawatir. "Bajumu penuh darah, Bung!" Tanpa menjawab, Lucas langsung memasuki ruang kerja Peter. Masuk ke kamar mandi yang terdapat di ruangan itu, mencuci wajah dan tangannya yang dipenuhi bercak darah. Lucas keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan tangannya menggunakan tisu toilet. "Kau baik-baik saja, 'kan?" Peter bertanya sekali lagi. Lucas tidak menjawab pertanyaannya sejak pria itu mengetuk pintu ruangannya tadi. Ia khawatir,bagaimanapun. mereka adalah sahabat. "Apa kau terluka?" Lucas melangkah ke arah rak di mana Peter meletakkan air mineral, mengambil satu botol berukuran setengah liter, menenggak isinya sampai setengah botol. Lucas minum dengan rakus, tak peduli dengan air yang tumpah membasahi baju kausnya yang memang sudah basah. Lucas melepas kausnya, melempar ke keranjang cucian kotor milik Peter, mengambil kaus Peter di dalam lemari dan mengenakannya masih tanpa suara. "Astaga! Aku serasa berbicara sendiri," sindir Peter halus. "Atau temanku memang sudah berubah menjadi robot?" Lucas tidak memedulikan itu, ia hanya melirik Peter sekilas, sedang mulutnya tertutup rapat. Jujur, ia masih syok, masih berusaha menyusun kata-kata yang pantas agar Peter percaya. Ia tidak ingin dikatakan sebagai pembohong. Lucas menarik kursi, membawanya ke dekat Peter yang masih saja berdiri dengan alis berkerut. Menghabiskan air mineralnya baru menjawab pertanyaan Peter. "Aku baik-baik saja, Pete." Lucas mengembuskan napas lega. Sungguh, satu bebannya terasa terangkat. Ia sudah dapat berbicara dengan normal, tadi suaranya seolah tidak bisa keluar. "Darah di baju itu bukan darahku." Lucas menunjuk baju kausnya yang kotor penuh bercak darah. "Syukurlah kalau kau baik-baik saja," sahut Peter mengangguk. "Tapi, kalau darah itu bukan darahmu, lalu siapa yang terluka?" tanyanya bingung. "Itu bukan darahku, sungguh." Lucas mengangguk beberapa kali. "Itu darah Pak Wilson." "Pak Wilson?" ulang Peter bertanya. Lucas mengangguk lagi. "Maksudmu, penjaga laboratorium kita?" Lucas kembali mengangguk. "Kenapa dengannya? Apa ia terluka?" tanya Peter dengan alis kembali berkerut. "Luka apa sehingga darahnya bisa sebanyak itu?" "Pak Wilson tewas...." "Apa?" pekik Peter dengan mata melebar. "Kau bercanda, 'kan?" Lucas menggeleng. "Aku serius, Kawan," jawabnya. "Pak Wilson tewas kecelakaan. Seorang pengendara menabraknya." "Pengendara?" ulang Peter bingung. "Apakah salah satu pekerja laboratorium, atau mungkin salah satu rekan kita?" tanyanya khawatir. Percayalah, kecelakaan lalu lintas salah satu yang terbanyak akhir-akhir ini. Peter tidak percaya kalau akhirnya akan menemukan di tempat kerjanya sendiri. Jujur saja, ia tidak menyukainya. Membuat was-was saja, ia pulang mengendarai mobil. Lucas menggeleng. "Bukan!" jawabnya lirih. Matanya memandang ke arah pintu ruangan yang tidak tertutup dengan tatapan kosong. "Salah seorang pengendara yang lewat di jalan raya di depan sana. Pak Wilson mendatangi mobil itu, dan menabrakkan diri." Peter mengedipkan mata beberapa kali. Benarkah seperti itu? Sangat mustahil, ia tidak percaya. "Aku tahu kau pasti tidak mempercayainya." Lucas menggeleng kacau. Kedua tangannya mengibas sama kacaunya. "Tapi, seperti itulah kenyataannya," ucap Lucas menatap Peter. "Aku awalnya juga berpikir kalau semua ini mimpi. Kalau kau tidak percaya kau bisa melihatnya sendiri. Aku menyeret mayat Pak Wilson seorang diri ke depan pintu lab...." "Kau gila!" potong Peter setengah berteriak. Ia tidak habis pikir, bagaimana Peter melakukannya. Ia tadi menyebutkan kata seorang diri, 'kan? Apakah tidak ada seorang pun yang membantunya. Lucas mengangguk. "Iya, aku merasa aku sudah gila," sahutnya. "Aku berteriak meminta tolong kepada orang-orang yang berlalu-lalang, tetapi tidak ada seorang pun yang mau menolongku. Mereka semua bertingkah seolah tidak melihat yang terjadi. Seolah mereka semua buta atau tidak ada yang terjadi di depan mereka." "Di mana katamu tadi kau meletakkan mayat Pak Wilson?" tanya Peter. Wajahnya berubah pucat dan serius. "Di depan pintu lab, bukan?" Lucas mengangguk. "Iya," jawabnya lemah. Ia sudah seperti robot saja. Semua rasanya sangat tidak nyaman dan membingungkan. "Kita ke sana!" Lucas melepas jas lab-nya, melempar jas itu ke keranjang cucian kotor. Tanpa merapikan mejanya yang masih dipenuhi beberapa peralatan uji coba kimia, Peter menarik Lucas berdiri,membawanya keluar ruangan dan menuruni tangga dengan cepat. "Aku ingin melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Jujur saja, semuanya masih sulit membuatku percaya. Maksudku, orang-orang yang seolah tudak melihat dan todak memiliki hati itu, mereka sedikit mustahil bagiku. Mereka ...." Perkataan Peter berhenti dengan sendirinya. Lucas tidak berbohong, mayat si penjaga laboratorium berada tepat di depan pintu kaca laboratorium mereka. Tubuh tak bernyawa itu berlumuran darah. Beberapa bercak cairan berwarna merah itu tampak sudah mengering, ada yang masih basah. Yang ini adalah darah yang keluar dari hidung dan mulut. Ada juga cairan merah yang sudah mengental. "Astaga! Apa yang akan kita lakukan dengan mayat itu?" tanya Peter mengacak rambutnya, menatap Lucas dengan tatapan bertanya. "Aku tudak tahu." Lucas menggeleng. "Mungkin kita bisa membawanya ke ruangan pembeku untuk saat ini." "Ini gila, Luke! Benar-benar gila!" Peter menggeleng. "Sudahlah kau menghubungi pihak berwajib? Atau 911?" tanyanya. Lagi-lagi Lucas menggeleng. "Aku tidak bisa memikirkan apa-apa, Pete," akunya jujur. "Otakku kosong. Kau bayangkan saja, seseorang yang kita kenal, yang biasanya bertegur sapa dengan kita tiba-tiba menabrakkan dirinya pada mobil yang sedang melaju. Menurutmu bagaimana perasaanku?" Peter mengangguk, sedetik kemudian menggeleng. Sungguh, ia juga sangat bingung. Kejadian seperti ini tidak pernah dialami ataupun dilihatnya sebelumnya. "Pak Wilson terlihat aneh dua hari ini," ucap Peter mengusap wajah kasar. "Ia seperti mayat hidup. Kantung matanya terlihat mengerikan." Lucas mengangguk. Ternyata bukan hanya dirinya yang menyadari keanehan Pak Wilson. Peter juga menyadarinya. "Aku juga merasakan hal yang sama," sahut Lucas. "Kurasa Pak Wilson tidak tidur beberapa malam ini." "Yeah." Peter meringis. Mengalihkan tatapan ke arah jalan raya di depan mereka dan terbebelak, lalu lintas sangat ramai bahkan macet. Pantas saja suara klakson bersahut-sahutan. Kalau keadaan seperti ini, meski mereka menghubungi 911, para petugas itu akan datang tidak tepat waktu. Mobil para petugas itu akan terjebak macet dan tidak bisa membawa mayat Pak Wilson ke rumah sakit secepatnya. Sepertinya ide Lucas adalah yang terbaik saat ini. Membawa mayat Pak Wilson ke ruang pembeku. "Kurasa kita memang harus membawa tubuh itu ke ruang pembeku." Peter menunjuk mayat Pak Wilson dengan gerakan kepalanya. Jujur saja, ini sangat mengerikan. "Tidak mungkin petugas 911 tiba tepat waktu." Lucas tidak menyahut, ia hanya mengangguk. Melangkah ke arah pintu dan membukanya. Namun, Lucas segera menutup pintu kembali dengan cepat. Mayat Pak Wilson sudah menyebarkan aroma yang tak sedap. Padahal baru beberapa menit ia meninggalkannya, tetapi mayatnya sudah berbau busuk seperti sekarang ini. "Astaga! Sudah berapa lama kau biarkan mayat itu di situ?" tanya Peter sambil memegangi perutnya yang langsung bergolak. "Baunya sangat busuk, Kawan." Lucas menggeleng. "Kau sudah tahu berapa lama," jawabnya. "Aku langsung ke ruanganmu setelah meletakkan mayat di situ. Tadi belum berbau apa-apa, masih seperti semula." Lucas menggeleng, ini sangat aneh. Sangat mustahil mayat yang baru beberapa menit saja ditinggalkan sudah menebarkan aroma yang sangat menyengat. Seperti mayat yang sudah beberapa hati atau mungkin beberapa minggu baru ditemukan. "Aku mual. Sungguh!" Peter teru memegangi perutnya dan menutup hidung. Apalagi sekarang aroma tudak sedap itu mulai merambah masuk ke dalam lobi tempat mereka sekarang berada. "Kau kira aku tidak?" tanya Lucas mendengkus kuat, mengusir bau yang memasuki indra penciumannya. Mata Lucas liar mengawasi sekitar dan jatuh pada sebuah lemari dengan tanda tambah berwarna merah. Lemari obat. Segera Lucas berlari ke arah sana, membuka lemari yang entah kebetulan atau apa tidak terkunci. Mengambil masker dan sebuah botol semprot berisi cairan formalin. Mereka bisa menggunakan cairan itu untuk menghilangkan bau. Semoga saja berhasil. "Kau pakai ini!" Lucas memberikan sebuah masker pada Peter, sementara ia mengenakan masker untuknya sendiri. Memberikan sebuah botol semprot ke tangan Peter sebelum berlari ke depan dan membuka pintu. Lucas langsung menyemprotkan cairan formalin ke mayat Pak Wilson. Berharap aroma busuk yang menguar dari mayat itu teredam. Peter juga melakukan hal yang sama, menyemprotkan cairan formalin di botolnya pada mayat Pak Wilson. Menyemprotkannya membabi-buta dengan mata terpejam. Jujur saja, ia merasa ngeri dengan keadaan mayat dengan mata yang terbeliak. Itu hanya satu mata, sementara satu mata yang lainnya sudah tudak berada di tempat. Keheranannya pada Lucas semakin bertambah. Sahabatnya ini seolah tudak takut dengan keadaan mayat Pak Wilson yang sudah tudak utuh. Bukan hanya satu mata yang tidak ada, sebelah telinga Pak Wilson juga sudah hilang entah ke mana. "Kurasa kita sudah selesai," ucap Lucas terengah. Ia terlalu bersemangat menyemprot cairan itu. Peter mengangguk. Bersamaan dengan Lucas membuang botol penyemprot kosong dengan cara melemparnya ke sembarang arah. "Sekarang kita harus mencari cara untuk membawanya ke ruang pembeku." "Bagaimana caranya?" tanya Peter. "Aku tidak mau menyentuh mayat ini." Pria itu menggeleng beberapa kali. "Kita tudak mempunyai cara lain, Pete," sahut Lucas setelah matanya melihat ke sana kemari mencari sesuatu yang mungkin bisa mereka gunakan untuk membawa mayat Pak Wilson. "Tidak ada cara lain yang bisa kita gunakan untuk mengangkut." "Astaga! Yang benar saja?" erang Peter kesal. "Tidak bisakah kita membiarkannya dan langsung pulang ke rumah?" tanyanya. "Dan kita sama saja dengan orang-orang yang tidak memiliki hati di depan sana!" Lucas menunjuk ke arah depan mereka. Lalu lintas masih terlihat sangat padat. Suara klakson mobil memekakkan telinga. Sangat mengganggu dan menyebalkan. "Atau kurasa kita bisa minta bantuan Brandon?" Peter tersenyum lebar, menyetujui usul Lucas. Menghampiri salah seorang rekan kerja mereka yang baru keluar dari ruangannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN