Suara dehaman membuat Anne tersadar kalau lelaki itu sudah tiba di sebelahnya. Berdiri bersebelahan di depan pintu lift di apartemen Jihan. Seingat Anne usai kelas tadi, lelaki itu masih asyik mengobrol dengan Prof Mita. Sementara ia sudah berjalan duluan bersama Jihan dan berpisah di lobi. Kemudian ikut menebeng di mobil Raina yang memutar dulu untuk menjemput Raini yang ada di apartemen lain. Baru mengantarnya ke apartemen Jihan eeeh tetap saja bertemu dengan lelaki ini. Padahal Anne tak tahu saja kalau Hamas sengaja menunggu di lobi. Soalnya, Anne tak melihat lelaki itu saat masuk. Dan lagi, Hamas kan berhasil menguping obrolannya dengan Jihan yang katanya mau menginap di sini. Ya, dalam pikiran Hamas, dari pada Anne terus patah hati sama Paijo kan mendingan jatuh cinta padanya? Berhubung ia juga memiliki perasaan yang sama......
Kini yang dilakukan Anne adalah pura-pura sibuk dengan ponselnya dan membalas pesan dari Paijo yang super garing. Ia memang mengenal keluarga Paijo dan lelaki itu juga sering ke rumahnya. Paijo juga kenal Ando karena abangnya Paijo itu rekan bisnisnya Ando sekaligus teman SMA Ando. Saat SMP dulu, Anne tak begitu dekat-dekat amat dengan Paijo yang menurutnya aneh persis sepupu lelakinya. Tapi baru menjadi akrab sejak Anne bertemu lagi dengan Paijo saat OSPEK setahun lalu. Sejak itu, Paijo yang tahu kegiatannya di luar kampus, sering mengemis-ngemis minta tolong untuk membantunya dalam berbagai acara keluarga Paijo. Si Paijo baru berani meminta seperti itu sejak mereka satu kampus. Kemudian pernah datang ke rumah Anne beberapa kali dan bertemu kakak ipar Anne yang super cantik tapi dikira kakak kandung Anne, Farras. Jadi lah Paijo naksir tapi ya cuma begitu-begitu aja. Cowok itu tak pernah tahu benar keluarga Anne sih.
"Katanya ada batas hubungan antara lelaki dan perempuan. Dan itu diatur dengan ketat dalam agama. Tapi kebanyakan dari mereka, lebih mengutamakan nafsu meski dengan alibi sosial masyarakat."
Dan lelaki itu kembali memulai pembicaraan yang arah dan tujuannya membuat Anne paham. Padahal menurutnya, seharusnya itu untuk lelaki itu dan Nisa bukan dirinya. Tapi Anne diam saja dan enggan membalas. Sesekali ia malah tersenyum kecil membaca balasan garing candaan Paijo yang sangat-sangat tidak penting. Katanya, ia mau membelikan Anggora untuk Anne sebagai hadiah padahal ia tahu kalau Anne alergi bulu kucing. Maksud dari perkataan 'niat memberikan kucing Anggora pada Anne' itu adalah ancaman. Tapi Anne mana takut? Paijo bukan orang yang kejam biar pun tengil begitu. Eeh apa hubungan kekejaman dengan ketengilan?
Melihat wajah Anne yang agak berseri sambil menatap ponsel itu membuat Hamas agak frustasi. Ucapannya bahkan tidak didengar.
"Berapa banyak sih lelaki yang berani berkomitmen dibanding yang mengulur janji? Dari sekian survei, kebanyakan dari mereka hanya bermain-main dan 90% korbannya tertipu."
Anne cuma berdeham. Memang tak ada lagi balasan dari Paijo, maka itu ia membuka i********:. Yeah, pikirnya daripada meladeni omongan tidak penting lelaki disampingnya ini. Aaah, Anne baru sadar. Gimana kalau ia menganggapnya tidak ada saja? Bukan kah itu lebih keren? Jadi, ia tak begitu terlihat menyedihkan di depan lelaki ini. Asal tahu saja, Anne bukan gadis yang rela mengemis cinta pada lelaki. Ia tahu batasan dan thau kodratnya.
"Apa arti hijab kalau bukan untuk menghalangi dosa, Ann?"
Dan kata-kata itu langsung mengusik Anne. Anne berjengit lantas langsung menoleh dengan wajah super kesal ke arah Hamas yang juga tak bisa menyembunyikan wajah emosi dan gusarnya. Keduanya saling menatap hingga terhenti saat suara pintu lift berdenting. Anne jadi malas masuk tapi terdorong oleh orang-orang yang ada di belakangnya. Mau tak mau ia masuk.
Kini keduanya berdiri paling belakang. Yang satu melihat ke kanan dan satunya melihat ke kiri. Saling mendengus. Bertengkar dalam diam. Namun saat tiba di lantai apartemen Jihan, Anne langsung menerobos keluar yang diikuti Hamas. Wajah lelaki itu tampak emosi karena kesal diabaikan. Sementara Anne sangat-sangat tersinggung dengan kata-katanya barusan. Memangnya Anne serendah itu dimatanya? Memangnya ia perempuan yang murahan pada lelaki? Oke, ia salah karena meladeni Paijo tapi itu ia lakukan karena malas meladeni lelaki ini. Eeh tapi tetap salah ya karena Paijo adalah lelaki?
"Benar kalau perempuan itu diciptakan dari tulang rusuk yang letaknya didekat hati. Bentuknya bengkok tapi tak bisa diluruskan karena ia bisa patah. Jika semakin dibengkokkan, hal yang sama juga bisa terjadi karena ia bisa patah," tutur Hamas lantas berjalan mendahului Anne. Matanya mendelik ke arah Anne lalu mendengus dan menatap ke depan.
Anne menghentikan langkahnya. Matanya menatap tajam punggung lelaki yang sudah melangkah jauh darinya. Lain kali, ia akan balas dengan kata-kata yang lebih kejam biar lelaki itu tahu siapa Anne Adhiyaksa!
Anne menginjak-injak lantai dengan kesal saat melihat Hamas sudah masuk ke apartemennya. Kemudian ia melanjutkan langkahnya menuju apartemen Jihan. Dengan tergesa-gesa ia mencari kunci apartemen Jihan yang entah ia selipkan di mana tadi ia menaruhnya. Ia menghabiskan waktu hampir sepuluh menit hanya untuk mencari kunci. Benar-benar Anne yang pelupa dan juga ceroboh, pikirnya pada diri sendiri. Ketika dapat, ia mengambil kunci itu lalu membuka pintunya. Sementara Hamas?
Lelaki itu mengintip dari balik pintu. Telinganya ia pasang baik-baik untuk mendengar. Ia sempat melihat Anne kesusahan mencari kunci. Kemudian saat gadis itu menemukan kunci dan bisa membuka pintunya, ia menghela nafas. Ia ingin keluar tapi menahan langkahnya. Tapi baru saja hendak menutup pintunya, ia mendengar suara Anne berteriak.
Spontan, jiwa lelakinya keluar. Ia langsung membanting pintu, berlari cepat menuju apartemen di sebelahnya. Ketika ia masuk, ia melihat Anne terduduk di lantai sambil memeluk kedua kakinya. Tubuh Anne bergetar dan kepalanya menunduk takut melihat sesuatu yang ada di depan mata.
"Kenapa, Ann?" tanyanya saat mendekati gadis itu tapi Anne malah menangis tersedu-sedu, tangannya gemetar menunjuk kucing berbulu putih nan lebat yang sedang memameri pantatnya pada dua orang itu. Kucing itu berdiri di atas sofa lantas guling-guling kemudian meneparkan diri. Alias pasrah. Kucing itu merasa baru saja dizolimi. Padahal ia tak melakukan apapun, Anne saja yang terlalu penakut, pikir kucing itu. Bahkan tubuhnya yang sedang berbaring malas itu sedang menggeliat centil karena tahu ada lelaki di dekatnya. Astaga! Bahkan kucing pun bisa tahu mana cowok ganteng dan yang tidak.
Hamas bingung. Ia mana tahu kalau Anne tidak hanya alergi bulu kucing tapi juga takut pada kucing.
@@@
Rasanya Hamas ingin tertawa. Tapi ia menahan tawanya. Awalnya, ia tak paham kenapa Anne menunjuk-nunjuk kucing Anggora yang cantik itu tapi saat Hamas salah mengartikan maksudnya, ia malah membawa kucing itu pada Anne dan Anne berjingkat hingga melompat dan kembali jatuh ketakutan sambil berteriak. Disitu, Hamas baru paham apa yang terjadi. Lagi pula, Jihan juga lupa mengurung kucing kesayangannya itu dan menyimpannya di ruang khusus. Soalnya, Anne juga baru bilang ingin menginap saat ia sudah di kampus pagi tadi. Jadi ia memang lupa pada kucingnya ini.
"Bilang sama Jihan kalau aku yang bawa kucingnya," tutur Hamas sambil tersenyum kecil. Lelaki itu menggendong kucing itu keluar dari apartemen Jihan. Sementara Anne masih dalam pose yang sama. Menekuk kedua kaki dan menyembunyikan kepalanya di sana. Sama sekali tak berani menatap kucingnya.
Seperginya Hamas, Anne baru berani mendongak. Airmatanya masih bercucuran tapi ia juga merasa lebih malu. Kenapa? pikirnya. Kenapa harus Hamas yang datang disaat ia dalam kondisi tak tertolong hanya karena masalah kucing? b**o banget gak? Dari sekian banyak ketakutan yang ia punya kenapa harus kucing secantik dan selucu itu? Astaga, Ann!
Kini Anne menatap lesu apartemen Jihan. Ia memang tahu kalau Jihan memelihara kucing. Tapi sejak Jihan tahu kalau ia takut kucing, kucing itu selalu disembunyikannya. Hingga hari ini itu kucing malah mengejutkannya yang baru masuk. Ia tahu sih kalau kucing itu lucu tapi tetap saja ia takut kalau membayangkan kuku-kuku kucing yang bisa mencakar wajahnya seperti waktu kecil dulu. Seingatnya, saat usia lima tahun ia mendapat cakaran kucing. Sejak itu, ia trauma parah.
Anne beranjak berdiri meski kakinya masih sedikit gemetar. Kemudian bergerak menutup pintu. Ia hendak mengambil tasnya yang terlempar di lantai saat....
"HATSYIIIIIMMM!"
Ingusnya langsung mengucur deras. Astagfirullah, pikirnya. Ia langsung berlari ke kamar mandi. Ia berupaya mencuci mukanya dan hidungnya yang barangkali sudah tertempeli bulu kucing yang sempat didekatkan Hamas ke arahnya. Tapi bukan itu permasalahannya. Melainkan bulu kucing itu ada di mana-mana karena tidak dikurung di kandangnya. Meski Anne sudah berulang kali mencuci wajahnya, ia tetap bersin-bersin tiada henti. Hidungnya bahkan memerah dan ingusan. Matanya sudah gatal tak karuan. Akhirnya ia memutuskan untuk menyeret tasnya dan keluar dari apartemen Jihan. Ia bisa mati sesak nafas karena bulunya jika terus di sana.
Hamas yang masih memantau Anne dari luar langsung menoleh saat mendengar suara pintu yang setengah dibanting oleh Anne. Lalu matanya menangkap Anne yang keluar sambil bersin berkali-kali. Aaah, alergi, pikirnya. Ia yang masih menggendong kucing langsung membawa masuk kucing itu ke apartemennya kemudian mencuci tangan dan tubuh sebisanya. Tak lupa, ia mengganti keseluruhan bajunya. Lalu keluar dan mendapati Anne masih berdiri di depan apartemen Jihan sambil bersin-bersin. Tangan gadis itu menempel pada tembok untuk menyangga tubuh. Anne bahkan sampai lemas hanya gara-gara bersin-bersin ini.
"Ann? Mau ganti baju?" tawarnya. Ia melihat kerudung Anne banyak ditempeli bulu kucing. "Aku ada jaket kalau mau, Ann bisa pakek," lanjutnya tapi Anne masih sibuk dengan bersin-bersinnya. Akhirnya ia berinisiatif mengambil jaketnya juga pembersih bulu. Ia membersihkan kerudung Anne lalu menaruh jaketnya dipunggung gadis itu.
"Ann, ke klinik yuk," ajaknya saat tiba di depan Anne usai menaruh pembersih bulu juga mengunci apartemennya. Dilihatnya wajah Anne yang sudah memerah. Tapi yang paling parah adalah mata dan hidungnya.
Anne ingin menolak tapi kondisinya sangat tidak memungkinkan. Kalau ia tak berobat sekarang, ia khawatir gejala sesak nafasnya akan muncul. Apalagi kalau ia tidak tenang begini. Sedari tadi ia tak dapat berpikir untuk melakukan apa karena sudah lama sekali alerginya tak kumat. Makanya, mau tak mau ia melangkah bersama Hamas. Lelaki itu mengantarnya ke klinik yang ada di lantai lobi apartemen.
Karena agak sedikit darurat, ia langsung masuk ke ruang pemeriksaan kemudian diberi resep obat anti alergi. Hamas menyuruhnya tetap duduk di ruang tunggu klinik sementara lelaki itu berlari ke apotik yang berjarak sekitar 50 meter dari klinik. Lokasinya terpisah tapi masih dalam satu lantai.
Dalam sepuluh menit, lelaki itu muncul lagi. Tak hanya membawa obat, ia juga membeli sebotol air minum untuk Anne.
@@@
"Makasih, Kak," tuturnya setelah keduanya lama terdiam. Hamas membalasnya dengan tersenyum senang meski keduanya saling tak melihat. Keduanya masih duduk berdampingan di ruang tunggu klinik. Sementara Anne sedang berpikir untuk pulang ke rumah saja karena tak memungkinkan untuk menginap di apartemen Jihan. Ia bisa tewas yang ada. Bukan kah tak lucu jika besok muncul headline di berbagai pemberitaan, 'mati karena kucing?'
"Udah mau magrib. Mau solat dulu gak? Di bawah ada mushola kecil," tutur Hamas yang melirik jam tangannya.
Anne mengangguk. Untuk kedua kali, ia mengikuti langkah lelaki itu. Keduanya berjalan menuju mushola, begitu tiba, Anne segera mengambil wudhu. Kemudian menunaikan solat berjamaah. Begitu selesai, Anne menjumpai lelaki itu sudah duduk di teras mushola sambil menungguinya. Ia segera berdiri begitu melihat Anne keluar.
"Habis ini ke mana?"
"Mau pulang aja," tuturnya.
Hamas melirik gadis yang berjalan agak di belakangnya. "Ada yang jemput?"
Anne menggeleng. Daddy-nya pasti sudah di rumah. Begitu pula dengan Ando. Apalagi ia tadi pamit menginap.
"Mau dianter gak?" tawar Hamas takut-takut ditolak. Lelaki itu juga menimbang-nimbang keadaan Anne yang masih belum stabil. "Kalau mau, aku panggil Wayan biar ikut nemenin."
Anne menggeleng. "Bisa naik kereta aja."
"Takut kenapa-napa, Ann," sahutnya khawatir. "Dianterin aja ya?"
Kali ini ia agak memaksa dan tanpa persetujuan Anne lelaki itu sudah berjalan mendahului.
"Aku panggil Wayan dulu. Ann tunggu di sini aja," tuturnya lantas berlari kencang menuju lift. Anne menghela nafas. Pasrah. Percuma menolak juga. Hamas pasti bersikeras memaksa untuk mengantarnya pulang. Dan ini membuat hati Anne tersanjung walau miris juga. Jangan terlalu baper, Ann, ingatnya. Lelaki itu hanya menolongnya karena menolong sesama manusia itu adalah kewajiban.
Tahu-tahu sepuluh menit kemudian ia sudah berada di dalam mobil Hamas. Anne meremas tangannya. Sebetulnya ia tidak nyaman diantar begini apalagi dari Cikini ke rumahnya tidak lah dekat. Meski ada tol tapi tetap saja perjalanan jauh dan macet.
Wayan tidak bercanda seperti biasanya. Walau tadi sempat cengengesan meledek Hamas. Kini lelaki itu malah pulas. Katanya, ia belum tidur sejak semalam. Tadi usai magrib mau tidur sebentar eeh digedor-gedor Hamas. Ia mengomel pula. Kalau Hamas tak menyebut nama Anne, Wayan pasti menolak mentah-mentah. Ia lelah begitu dan butuh tidur malah diajak ke Depok. Tapi ya sudah lah. Berhubung menolong sahabat yang sedang jatuh cinta itu berpahala, Wayan rela.
"Udah mendingan, Ann?" tanya Hamas sambil melirik dari kaca. Gadis itu duduk tepat di belakangnya.
Anne hanya membalas dengan anggukan lemah. Hamas berdeham lantas kembali fokus pada jalanan. Tadi ia sudah menitipkan kunci apartemen Jihan di lobi. Jihan juga sudah diberitahu tentang kejadian Anne tadi karena Hamas yang menghubunginya. Takutnya, Jihan khawatir dan itu memang terjadi. Namun Hamas sudah bilang kalau ia mengantar Anne langsung pulang ke rumah di Depok.
"Ann lapar gak?" tawarnya. Ia bisa saja berhenti sebentar untuk membeli makanan. Tapi Anne menggeleng. Mana mungkin ia makan dengan dua laki-laki begini? Rasanya aneh, segan dan canggung. Melihat Anne menolak, Hamas berinisiatif mampir ke McDonald's saja. Ia membelokan mobilnya masuk ke area Drive Thru. "Mau apa, Ann?" tawarnya lagi. Tapi Anne hanya menggeleng. Ya sudah lah, pikir Hamas. Ia memesan tiga burger, dua cola dan satu s**u milo untuk Anne. Ia juga membeli pie coklat dan kentang. Siapa tahu Anne berminat menghabiskannya. Saat menerima pesanan itu, ia menoleh ke belakang dan memberikannya pada Anne. "Makan dikit ya, Ann. Perjalanan akan panjang sepertinya," paksanya. Anne terpaksa menerimanya.
Hamas benar. Perjalanan kali ini memang lebih panjang. Satu jam yang hening dan hanya ditemani dengkuran Wayan. Anne tak berniat berbicara apapun karena masih syok dengan kejadian tadi. Selain itu, ia juga masih lesu. Sementara Hamas yang paham memilih fokus pada jalanan meski berkali-kali melirik Anne melalui kaca di tengah mobil. Anne hanya mencoba menghabiskan burger yang dibelinya. Hamas tersenyum tipis. Ia berupaya berkonsentrasi lagi. Berhubung suasana mobil ini sepi dan Wayan yang biasanya suka menghibur pun pulas, ia memutar musik.
"Suka musik apa, Ann?" ia mencoba mengajak Anne mengobrol. Toh gadis itu juga tidak tidur. Mungkin was-was, pikirnya. Bagaimana pun ia dan Hamas kan lelaki meski kenal dan sesama mahasiswa di kampus yang sama. Tapi tak ada jaminan kan?
Walau Hamas bukan lelaki sebrengsek itu. Ia tahu cara menghormati wanita. Ia tahu batas-batas hubungan antara lelaki dan wanita yang diatur secara ketat dalam agama seperti kata-katanya tadi.
"Kalau kata orang, jatuh cinta itu pahit, Ann."
Ia berbicara sendirian karena sedari tadi Anne tak menjawab pertanyaannya. Anne bengong tapi tersadar dengan ucapan Hamas.
"Namanya juga jatuh, Ann. Kecuali kalau bangun cinta. Mungkin akan indah," gumamnya lantas melirik wajah Anne yang masih datar itu. "Ada banyak lelaki yang lebih baik dari Paijo, Ann," lanjutnya. Hal yang membuat Anne terbatuk-batuk mendengar nama Paijo disebut. Kenapa bawa-bawa Paijo? pikirnya. "Dunia tak sesempit itu. Ann terlalu bagus untuk Paijo."
"Paijo?" ceplos Anne. Keningnya sampai berlipat-lipat karena kebingungan dengan omongan Hamas ini. Dan lelaki itu malah mengangguk, mengiyakan. Tapi hatinya nyeri sih karena Anne baru bicara saat mengungkit nama Paijo. Sebegitu cintanya ya sama Paijo? pikirnya.
"Ann itu solehah, insya Allah. Baik juga. Cerdas juga pasti. Kalau enggak, mana mungkin bisa masuk kedokteran kan, Ann?" ia agak mengalihkan pembicaraan lain. Malas kalau harus membawa nama Paijo lagi. Ini saja hatinya sudah nyeri. "Jadi, Ann pantas mendapat lelaki yang lebih baik."
Anne berdeham. Ia mengalihkan pandangannya ke arah jendela setelah lama fokus menatap Hamas dari belakang. Ia bingung saja dengan arah pembicaraan Hamas ini maksudnya apa?
"Abis lulus akan lanjut bekerja Ann? Sebagai dokter?" ia semakin mengalihkan pembicaraan. Anne termenung. Ia sudah punya rencana tentunya, tapi orang lain tak perlu tahu jadi ia hanya berdeham. Terserah lah Hamas mau berpikir apa tentangnya. Toh, ia sudah terlanjur malas perduli dengan lelaki ini juga. Apa penting pandangan Hamas tentangnya?
"Lebih baik fokus menata masa depan, Ann. Dibanding memikirkan seseorang yang jelas-jelas belum tentu mau berkomitmen dengan Ann. Dari pada menghabiskan waktu yang akan berakhir sia-sia untuk seseorang yang sama sekali tak menaruh rasa pada kita."
Hoooo begitu. Anne mengangguk-angguk. Hamas malah tersenyum. Ia kira kalau Anne mengerti akan arah pembicaraannya yang mengarah agar perempuan itu fokus kuliah dan melupakan Paijo. Karena Hamas pun begitu. Ia sibuk mengejar mimpinya untuk kemudian mengejar....Ann?
Sementara Anne berpikir, lelaki itu sendiri yang menyuruhnya melupakannya dan fokus pada pendidikan. Oke, tanpa disuruh pun, Anne pastinya akan melakukan itu meski kini dilema abis. Ia memang tersanjung dengan cara Hamas menolongnya. Tapi sekali lagi, hati kecilnya berteriak agar ia lebih realistis. Hamas hanya menolongnya sama seperti menolong manusia-manusia lain yang sedang kesusahan dan tidak ada yang istimewa soal itu. Iya kan?
"Masih lurus lagi, Ann?" tanyanya saat mobil Hamas memasuki komplek perumahan.
Anne mendongak dan tersadar kalau baru saja melewati rumah Om-nya, Fadlan. Perjalanan memang sangat panjang. Sudah dua jam perjalanan mereka akhirnya sampai di komplek perumahan yang luas ini. Isinya rumah-rumah mewah yang ditinggalin banyak pejabat, pengusaha dan akademisi.
"Lurus lagi nanti belok kiri dikit," tuturnya.
Hamas mengikuti petunjuknya hingga mereka tiba di depan rumah dengan gerbang tinggi. Ia melirik ke arah kaca spion, sepertinya tak jauh dari rumah Om-nya? Atau ia salah? Ia melirik ke sekitar usai membuka kaca mobil. Tatapannya membalik ke belakang dan melihat deretan rumah yabg tak asing. Matanya terbelalak. Sepertinya memang dekat dengan rumah Om-nya. Tapi ia jarang masuk melewati pintu gerbang komplek yang di depan tadi. Ia lebih sering masuk lewat pintu belakang karena menurutnya lebih cepat walau kadang, banyak portal yang bertebaran. Akses paling aman kalau memasuki perumahan ini di jam berapa saja pastinya memang lewat pintu depan gerbang komplek tadi. Kalau lewat pintu belakang, kebanyakan portal melintang, menghadang jalan.
Anne mengeluarkan ponselnya, menelepon Sara. Tak lama gerbang terbuka dan mommy-nya sudah menunggu di teras dengan wajah khawatir. Soalnya, tadi Sara mendengar suara serak milik Anne.
Begitu terparkir, Hamas langsung keluar. Sementara Anne sudah berjalan lebih dulu. Feri menaikan sebelah alisnya ketika melihat sesosok lelaki keluar dari mobil bersama anak gadisnya. Sama halnya dengan Ando dan terakhir, Farras yang sibuk di dapur. Jadi perempuan itu tak tahu-menahu jika ada lelaki asing datang ke rumah malam ini.
"Tadi cuma alergi kucing, mom. Udah berobat," tutur Anne yang sedari tadi ditanya-tanya oleh Sara. Gadis itu dibawa Sara masuk ke kamar biar bisa istirahat meninggalkan Hamas yang kini harus berhadapan dengan daddy-nya dan abangnya.
Wayan? Sebetulnya sudah bangun. Tapi sengaja pura-pura tidur. Ia biarkan saja Hamas berurusan sendirian. Ia tak mau ikut campur. Ia kan hanya menemani dan tak mau ikut dimintai tanggung jawab soal Anne. Hihihi!
@@@