Anne terkantuk-kantuk mendengar penjelasan dari Hasan. Lelaki itu sejak lama juga menyadari kalau Anne tak konsentrasi lagi. Mata gadis itu hanya melek selama setengah jam pertama. Sementara menit-menit berikutnya jangan ditanya. Hasan sudah berkali-kali berdeham untuk menegurnya. Tapi tak berpengaruh. Hal yang mengundang geli bagi Hasan.
"Ann! Mau makan aja di kantin?"
Anne yang hampir memejamkan mata langsung tersadar. Hasan terkekeh. Ia mengambil gelas kosong dan mengisinya dengan air dari dispenser. Kemudian menaruhnya di depan Anne. Gadis itu langsung meneguknya dengan cepat.
"Makasih, dok," tuturnya biar tak lupa sopan santun. Sementara Hasan merasa lucu melihatnya. "Tadi bilang apa, dok?" tanyanya dengan ingatan kesadaran yang belum pulih-pulih amat sembari meletakan gelas di atas mejanya.
"Ke kantin yuk. Ada menu baru," ajaknya. Lelaki itu hobi sekali dengan menu baru di kantin. Mungkin efek anak kosan, pikir Anne. Makanan mewahnya ya sekelas makanan kantin rumah sakit. Walau Anne mengakui, makanan khusus untuk petugas rumah sakit ini memang kece badai. Anne juga suka walau ia anak rumahan. Hihihi.
Anne menghela nafas. "Ann puasa, dok."
Kening Hasan mengernyit. "Barusan bukannya minum Ann?" tegurnya yang membuat mata Anne terbelalak kaget.
"Astagfirullah!" serunya lantas terbatuk-batuk. Hasan terkekeh geli. Ia benar-benar tidak sadar saat meminum air yang disodori Hasan begitu saja. Ia hanya merasa tenggorokannya kering dan matanya mengantuk jadi butuh minum untuk memulihkan kesadaran dari rasa ngantuknya yang parah akut. Semalam begadang sih. Ia sengaja mengerjakan semua laporan yang akan deadline minggu ini. "Batal gak, dok?" tanyanya kemudian yang membuat tawa lepas keluar dari Hasan. Ia merasa gadis ini benar-benar lucu. Tak salah jika membuatnya tertarik sejak pertama kali bertemu ramadhan lalu.
"Habis segelas?" tanya Hasan dan keduanya menatap gelas yang sudah kosong di depan Anne. Hasan menggeleng geli. Mungkin kalau minumnya cuma sedikit sih wajar kalau khilaf. Tapi kalau sampai segelas begini, Hasan juga ragu. Begitu pula Anne yang merasa bersalah pada gelas kosong itu. "Ikut saya saja kalau begitu," tuturnya lantas berdiri terlebih dulu dibanding Anne.
Sebetulnya Hasan baru sumpah dokter beberapa minggu lalu dan ia memang sudah ditawari bekerja di sini. Ia masuk bersama sahabatnya, Eza. Sahabatnya itu pasti sibuk di bangsal lansia sekarang. Yeah, setelah koas yang panjang.
Anne mengerutkan kening. Ia dibawa ke perpustakaan kecil yang ada di rumah sakit. Letaknya dekat gazebo di halaman belakang rumah sakit. Di sampingnya ada taman bermain untuk anak-anak. Lokasi ini memang dijadikan khusus untuk anak-anak yang sering datang ke sini entah yang sakit atau sehat. Biar gak suntuk di rumah sakit juga menjadi pilihan agar tidak menganggu pasien lain. Tapi siang ini agak sepi. Barangkali karena hari Senin juga jadi tak banyak anak yang berkunjung.
"Di sini banyak bacaan. Kalau bosan atau mengantuk, datang saja ke sini. Mau tidur-tiduran di gazebo juga gak apa-apa, Ann," tuturnya lantas berdeham sambil menatap Anne yang sudah menelisik lemari buku. Ia melihat koleksi buku-buku di sana. "Suka bergadang, Ann?"
Anne cuma menggeleng. Sebetulnya, ia sering bergadang. Semalam juga. Selain alasan mengerjakan tugas, sebetulnya ia juga menggalau tak berguna. Sejak terakhir bertemu Hamas di depan toilet, ia sudah tak pernah melihat lelaki itu lagi hingga hari Jumat kemarin. Memang sih, cowok itu sendiri yang menurutnya, menyuruhnya untuk meninggalkannya. Tapi entah kenapa, ia yang merasa ditinggalkan padahal seharusnya ia yang meninggalkan. Aah tapi omong-omong, memangnya ia punya hubungan apa dengan Hamas sehingga harus meninggalkan atau merasa ditinggalkan?
Aaah...kepala Anne pening. Mending juga ia baca-baca buku di sini meski isinya buku anak-anak semua.
Hasan yang menyadari kalau pikiran Anne tidak fokus hari ini memilih pamit. Lelaki itu berpesan, kalau ingin mencarinya mungkin saja ia sedang rapat di gedung administrasi rumah sakit dengan dokter lain atau pun para petinggi. Anne cuma mangut-mangut saja. Ia sama sekali tak semangat mengikuti magang hari ini dan cukup berterima kasih karena lelaki itu perhatian padanya.
"Gadis cantik tadi mana, dokter Hasan?" tanya Kakek Jamal. Hasan yang kebetulan melintas depan ruang rawatnya pun tertawa. Ia berhenti sebentar melihat Kakek Jamal yang duduk di kursi roda, depan ruang rawatnya. Ia tak melihat Eza. Biasanya, Eza teman setia lelaki tua ini. Jangan tanya pula anak-anak dari lelaki tua ini. Saking sibuk nya, tak pernah sekalipun datang meski Kakek Jamal sedang sekarat. Entah terbuat dari apa, hati anak-anak dari lelaki tua ini. Hasan prihatin.
"Ada di belakang, Kek. Hasan bawa masuk aja ya? Siang-siang begini, panas. Lebih enak di dalam."
Kakek Jamal malah tertawa. Ia pasrah saja kursi rodanya didorong masuk ke ruangan. "Nasibmu dan Eza itu sama saja ya? Sahabatan lama dan nasib percintaan yang buntu."
Hasan hanya menggaruk-garuk tengkuk mendengarnya. Kakek Jamal selalu memberi petuah agar mereka tegas mengejar perempuan-perempuan itu. Yang dimaksud tentu Anne dan kalau Eza....tentu gadis yang bekerja di bagian keuangan rumah sakit ini.
"Itu pertanda kalau kami ini jodoh dalam berteman, Kek."
"Tapi nasib s**l jangan dibawa-bawa."
Hasan tergelak. Ia membantu Kakek Jamal naik ke atas tempat tidurnya lalu menyelimutinya. Ia duduk di samping ranjang lelaki tua itu.
"Dulu kakek tua ini suka sekali dengan film Ramadhan dan Mona. Kau tahu?"
Hasan menggeleng. Si kakek menatap serius langit-langit ruang rawat VIP-nya itu.
"Perempuan itu nalurinya ingin dikejar, nak Hasan."
"Semua perempuan begitu."
Kakek Jamal mengangguk-angguk. "Tapi setelah kau kejar dan kau dapat, biasanya lelaki tak bisa lepas. Seperti Ramadhan pada Mona. Lelaki tangguh menjadi lelaki lemah jika urusan cinta."
Hasan tersenyum. Memang benar. Tapi urusan perasaan ini masih lama menurutnya. Setidaknya ia harus bersabar menunggu beberapa tahun lagi hingga Anne menyelesaikan kuliahnya.
"Kejarlah daku, kau ku tangkap. Coba lah tonton film lawas itu, San. Kau akan tahu makna dari kalimat-kalimatku."
Hasan hanya tersenyum. Ia tak terlalu serius menanggapi petuah tua Kakek Jamal.
@@@
"Tumbenan dandan begitu."
Pagi-pagi si Farras sudah mencari perkara. Anne yang diledek begitu cuma memeletkan lidah. Ia sebenarnya bukannya mau dandan. Tapi gegara ia mewek lagi semalam, mukanya bengkak. Bodoh kan? Ia merasa bodoh sih. Kok bisa-bisanya pikiran logikanya menghilang dan berisi penuh dengan perasaan. Aaarrgh! Jatuh cinta malah membuatnya cengeng abis begini!
Pagi ini Anne memang terlihat lebih cantik sih dari biasanya. Walau perbedaannya cuma setipis benang jahitan. Hanya bedaknya saja yang lebih tebal dan lipstik yang lebih gelap dari biasanya. Kemudian perpaduan gamis biru dan pasmina biru bercorak itu membuat penampilannya terlihat memukau dan membuat wajahnya persis anak kuliahan. Biasanya ia masih dikira anak SMA.
Sara memerhatikan sekilas anaknya yang masuk ke dalam mobil Ando itu. Keduanya pamit pergi. Sementara tatapan Farras masih penuh curiga.
"Masa semalem Ras dengar Ann nangis, mom?"
Sara terkekeh. Ia menepuk-nepuk punggung menantunya itu kemudian balik badan, berjalan masuk ke dalam rumah. Sara sih merasa agak aneh dengan dandanan tak biasa Anne. Tapi, ia tak ambil pusing karena mengira anaknya mungkin sedang jatuh cinta bukan patah hati. Sementara Farras masih memercayai insting dan pendengarannya.
"Salah dengar kali. Ann kan bukan tipe cengeng."
Ya sih, pikir Farras. Ia mengakuinya. Tapi mereka gak tahu aja betapa cengengnya Anne jika berurusan dengan lelaki. Gadis itu bahkan tidak menyadari perilakunya yang aneh dan mood-nya yang berubah-ubah akhir-akhir ini. Satu-satunya orang yang sangat menyadari perubahan Anne tentu saja Ando. Ia yang menyaksikan Anne terus menangis sepulang menjemput Anne terakhir dari kampus. Tapi adiknya enggan bercerita. Ando tidak mau memaksa sih. Ia tak mau kalau adiknya tak merasa nyaman. Jadi ia pikir, akan ada saatnya Anne cerita nanti. Atau bisa jadi, Anne tak pernah bercerita sedikit pun. Oke tak masalah, baginya. Setiap orang berhak punya privasi sekalipun keluarga sendiri.
Tiba di kampus, Anne keluar dari mobil Ando dengan lesu. Gadis itu berjalan sambil menenteng tas totenya. Biasanya, ia memakai ransel. Tapi kali ini ia memakai tote yang terbuat dari kulit berwarna hitam. Sementara laptopnya di tas terpisah dan ia tenteng dengan tangan kanannya. Terakhir, saat ponselnya jatuh, itu bukan salahnya sepenuhnya yang tidak menaruhnya dengan benar. Tapi kantong ranselnya yang sudah bolong. Makanya, ia tinggalkan tas ranselnya di rumah. Rencananya, ia dan Jihan akan mencari tas ransel baru. Ia juga berniat menginap di apartemen gadis itu.
"Ann!"
Dan gadis cantik nan populer yang membuat Anne cemburu itu muncul. Tidak sendiri tentu saja. Tapi bersama Hamas. Keduanya tampak berjalan bersama dan berdekatan. Membuat Anne cuma bisa membisu dan berdiri kaku. Kenapa paginya harus pahit seperti ini? Aargh! Sialnya lagi, kenapa mereka tampak serasi?
Ya, oke. Nisa memang cantik abis sih dan Hamas ganteng abis. Gadis itu juga sangat-sangat pandai bergaul. Hamas juga. Dibandingkan dengannya yang memang jarang bergaul dan hanya dekat pada beberapa orang. Bahkan kebanyakan dari orang-orang yang belum mengenalnya pasti menyebutnya sombong karena raut wajahnya yang kadang kurang ramah. Tapi itu lah Anne dengan segala kekurangannya. Wajar kan? Toh setiap manusia pasti memiliki sisi kekurangan dalam dirinya.
Jika Nisa malah melangkah mendekat, Hamas malah berjalan lebih lambat. Walau tatapannya menelisik Anne yang baru ia lihat hari ini. Ia terlalu sibuk di ruang BEM terkait pemilu yang diselenggarakan sebentar lagi dan tak sempat mencari keberadaan Anne semingguan kemarin. Tapi Hamas bisa merasakan penampilan Anne yang rada berbeda. Efek patah hati, mungkin. Dan mengingat itu membuatnya kesal saja. Paijo s****n!
"Kenapa, Kak?"
Anne berusaha bersikap biasa saja bukan ramah. Wajahnya bahkan cenderung datar dan suntuk.
"Nanti bisa bantuin Raini bikin proposal gak? Kita perlu bikin beberapa acara untuk amal. Selain itu, gue perlu koneksi lu ke perusahaan-perusahan untuk mencari sponsor. Lu kan punya banyak koneksi dibanding gue," tuturnya dengan nada yang agak sedikit memohon walau terdengar angkuh dan sedikit menyindir di akhir kalimat. Ia tahu kalau Nisa sedang meledek statusnya sebagai anak pengusaha. Itu gara-gara setengah tahun lalu, Anne berhasil membawa uang dua ratus juta dari sponsor untuk acara mereka sementara Nisa sudah terlalu sombong dengan uang sembilan puluh juta yang bisa diraihnya. Ia tak tahu kalau Anne mengalahkan rekornya saat itu. Hingga....
"Nanti gue bisa hubungi Raini," tutur Anne. Entah kenapa sikapnya jadi kurang bersahabat pada gadis ini. Padahal Nisa tersenyum kemudian sambil menepuk-nepuk bahunya sebagai ganti ucapan terima kasih.
"Oke deh. Gue terima beres ya. Soalnya, ada hal lain yang lebih mendesak yang harus gue urus," tuturnya kemudian balik badan dan menghampiri Hamas. Anne langsung melangkah besar-besar meninggalkan Hamas yang masih menatap punggungnya.
Omong-omong Anne cantik, batin Hamas. Tapi ia tak berani memujinya. Eeh tapi bukannya barusan ia sudah memuji?
@@@
"Aaaaa! Gue gak maaaaau Kak Joooo!"
Anne mendelik sebal tapi cowok sableng satu ini masih saja merayunya. Bahkan tadi rela membayari makanan Anne saat Anne sedang mengantri di kasir. Dan masih mengikuti langkahnya bahkan saat ia mulai makan. Kini keduanya duduk berhadapan di bangku kantin. Heiiish! Anne benar-benar sedang tak mood hari ini. Apalagi, pagi harinya sudah rusak gegara dua orang tadi. Menyebalkan bukan?
"Ayo laaah. Genting banget nih. Untuk acara anak asuhan gue. Lu gak kasihan apa sama gue?"
Anne berdesis. Ia sedang tak berminat dengan tawaran untuk menjadi pembicara di panti asuhan milik keluarga Mandala alias Paijo. Toh banyak orang lain yang bisa melakukan itu. Kenapa harus dirinya?
"Atau kakak lu yang cantik itu juga boleh deh," tuturnya sambil cengengesan. Anne mendelik mendengarnya. Paijo mana tahu kalau Farras adalah kakak iparnya. Ia mengira itu kakak kandungnya. Apalagi kan Anne juga sering memposting kebersamaannya dengan Farras dan Tiara. Tapi banyak yang mengira kalau kakak kandungnya adalah Farras. Meski wajahnya tidak blasteran, si Farras kan cantik abis. Wajah melayunya itu membuatnya terlihat seperti blasteran. Mungkin karena mirip sekali dengan Bundanya. Dan karena super cantik itu, banyak yang salah mengira.
"Gak mau!"
Anne tetap menolak.
"Gue beliin donut dua kotak deh."
"Ogah!"
"Tiga kotak."
"Gak mau!"
"Empat deh!"
"Dibilang gak mau!"
"Yaaaah. Terus apa dong yang lo mau?"
Anne memutar bola matanya. Ia sedang malas berdebat.
"Ann! Pahala tauk bantuin gue. Gak cuma satu malah. Selain meringankan beban dan pikiran gue, ilmu yang bakal lo kasih ke anak-anak asuhan gue bakal jadi amal jariyah, Ann. Kan lumayan buat bekal akhirat. Ditambah lagi nih, Ann, banyak dari mereka yang menjadi tersangka sekaligus korban hamil diluar nikah. Masih banyak yang belum paham bagaimana terhindar dan menghindari hal-hal kayak gitu. Masih banyak yang gak paham aturan-aturan pergaulan antara lelaki dan perempuan. Bahkan beberapa banyak juga yang menjadi korban perdagangan anak juga n*****a. Lo gak kasian, Ann? Mereka udah gak punya orang tua, miskin iman dan lo yang punya ilmunya gak mau bagi-bagi ke mereka? Astagfirullah, Ann!"
Sialaaan emang Paijo! Anne ingin sekali memaki-maki Paijo yang sangat-sangat pandai bersilat lidah ini. Petuahnya memang selalu bijak disaat genting begini. Rasanya, Anne ingin sekali mencekik atau minimal menarik jambul rambutnya itu. Astaga! Anne jadi teringat abang sepupunya lagi tiap berhadapan dengan lelaki ini. Hanya saja, abang sepupunya tidak semenyebalkan ini.
"Naaah gitu dong, Ann! Kalo gini kan enak!"
Itu cowok sableng masih terus nyerocos sambil mengikuti langkah Anne yang hendak kembali ke kelas. Heeiish! Paijo kalau ada maunya emang bakalan terus membuntuti Anne sampai mendapat yang ia mau. Tak ada kata menyerah!
"Oke? Minggu ya? Ntar gue jemput deh!" tuturnya sambil mengacungkan tangan di pintu kelas Anne. Inginnya sih bertoss ria dengan Anne tapi kemudian nyengir. Lupa kalau Anne bukan tipe perempuan seperti Nisa yang mau-mau aja bersentuhan dengan sembarang lelaki. Heiiish! Nisa lagi, pikir Anne. Hatimu picik banget sih, Ann! ingatnya pada diri sendiri.
Anne cuma meliriknya dengan senewen kemudian berjalan lesu menuju bangku kosong di sebelah Jihan. Ia menjatuhkan pantatnya di atas kursi kemudian menghela nafas panjang.
"Ngapa lagi si Kak Jo?" tanya Jihan. Gadis itu bertanya sambil menyalin catatan. Entah catatan siapa tapi yang jelas, Jihan tampak serius sekali.
"Tauk tuh orang! Nyusahin gue mulu," keluhnya tapi tak bisa berbuat apa-apa. Menolak permintaan si Paijo aja, Anne gak bisa. Asem sekali bukan? Heish! Lain kali, ia akan buat perhitungan dengan Paijo dan belajar bersilat lidah dari Adel. Adik sepupunya yang bawel dan centil itu paling jago kalau urusan membalas omongan orang lain. Kali ini Anne bertekad. Tak masalah nanti kalau Adel meminta es krim yang banyak darinya. Ia bisa merayu Ando untuk mengganti uang jajannya nanti. Yang jelas, ia harus mulai perhitungan dengan Paijo yang semakin diberi hati, mintanya gak cuma jantung tapi seluruh anggota badan. Itu maruk kan namanya?
Paijo sudah raib entah ke mana saat Anne masuk kelas sementara Hamas yang ada di pojok kelas dan sedang mengobrol dengan Evan, mendadak kehilangan fokus dari Evan. Tadi lelaki itu malah menatap Paijo dan Anne yang tiba bersama di pintu kelas. Lalu kini melirik Anne yang sedang mengeluarkan buku dari tasnya. Wajah Anne masih lesu seperti pagi tadi. Terlihat tidak bersemangat sekali. Tapi yang membuat Hamas kesal adalah gadis itu seharusnya tau kalau Paijo hanya mau bermain-main dengannya. Karena Hamas sering kali melihat lelaki itu menempel ketat pada gadis lain. Entah siapa, Hamas tak tahu namanya.
"Woi, Kak! Udah nongol tuh dosen gue," ingat Evan pada Hamas.
Hamas beranjak dari bangku. Ia pamit pada Evan dengan bertoss ria. Namun matanya menatap tajam ke arah pintu.
"Loh, Hamas? Gak masuk kelas saya saja?" tanya Prof Mita, dosen pembimbingnya. Hamas berpapasan dengan dosen itu di pintu kelas sembari menyalaminya. Sementara Anne baru tersadar kalau ada Hamas saat mendengar suara Prof Mita barusan. Ngapain lelaki itu di sini? tanyanya dalam hati.
"Memangnya boleh, Prof?" tanyanya dengan senyuman kecil. Ia kan tak serius bertanya tapi malah diangguki oleh Prof Mita.
"Ya boleh-boleh saja. Siapa bilang gak boleh? Ruang belajar kan bukan cuma sekedar absensi dan formalitas pendidikan," tutur Prof Mita sambil menepuk-nepuk bahu Hamas. "Atau kamu masih ada kelas lain?"
Hamas menggeleng. "Saya ikut saja, Prof. Lumayan, biar ingat pelajaran lalu," tuturnya lantas mencari bangku kosong dan matanya tertuju pada bangku kosong di sebelah Anne yang seharusnya untuk Nia. Tapi gadis pengagum Hamas itu malah tak ada disaat Hamas malah ada di sini.
@@@
Anne mana bisa konsentrasi mendengar penjelasan Prof Mita di depan sana. Ia malah sangat terganggu dengan kehadiran lelaki yang duduk di sebelahnya dengan tatapan sok serius ke depan sana. Haaah. Berat sekali cobaannya beberapa minggu ini. Sudah patah hati, pahitnya tadi pagi juga lelaki yang membuatnya patah hati malah duduk di sebelahnya dengan santai. Seolah tak ada yang terjadi. Yaaa, memang sih tak ada yang terjadi, elak Anne. Hanya ia yang merasakan perasaan ini jadi pantas saja memang hanya ia yang merasa sakit hati.
"Eh, Ann, tadi Kak Jo nyariin lu, udah ketemu?" tanya Raina disela-sela menyimak. Gadis itu baru masuk sesaat sebelum Prof Mita masuk ke kelas. Sementara tatapan Anne teralihkan pada teman-teman sekelasnya yang berdiri di depan. Kali ini, kelompok yang mendapat giliran untuk presentasi sedang maju ke depan.
Anne berdeham. Sudut matanya malah sibuk melirik Hamas yang duduk di sebelah kanannya. "Udah."
"Lagi mabok kayaknya tuh orang."
Anne nyaris menyemburkan tawanya. Itu karena Paijo stress gak dapet pembicara untuk acara di panti asuhannya Minggu nanti. Padahal akan dihadiri banyak pejabat. Integritasnya sedang ia pertaruhkan di hadapan kedua orangtuanya. Biasa, lelaki itu bersaing dengan kakaknya yang hanya terpaut setahun. Asal tahu saja, Paijo itu sangat kompetitif walau terlihat slengekan. Beda sekali dengan sepupu lelakinya. Astaga! Anne nyari menepuk kening. Kenapa ia gemar sekali membawa-bawa sepupunya yang satu itu?
Sementara Hamas yang memang sedari awal sok serius, malah sibuk memasang telinga. Sibuk menguping pembicaraan dua gadis yang duduk di dekatnya. Apalagi ia mendengar nama Paijo disebut-sebut. Ia memperbaiki duduknya kemudian memangku dagunya dengan tangan kirinya dengan harapan dapat menguping lebih jelas.
"Eh iya, ntar lu jadi nginep?"
Jihan teringat hal lain. Anne menggangguk sebagai jawaban. Kini fokusnya sudah kembali pada kelompok yang sedang presentasi.
"Nih, kunci. Gue mau jalan dulu sama Mas Raka," tuturnya sambil menyerahkan kunci apartemennya. Anne segera menyimpannya takut lupa. Ia kan tak hanya ceroboh tapi juga pelupa.
"Sampe jam berapa?"
"Jam tujuhan, gue udah balik."
"Oke."
Anne tak ambil pusing. Sementara Jihan mengulurkan tangan melewati punggung Anne lantas menoyor kepala Hamas yang semakin miring ke arah Anne. Gadis itu terkekeh melihat Hamas mengaduh. Lagian, kakak tingkatnya yang satu ini ngapain siih? Jihan heran.
"Lu ngapain sih Kaaak?" tanyanya.
Sementara Anne tidak perduli sama sekali. Hamas menggaruk-garuk tengkuknya dengan malu. Jihan sadar sih kalau Hamas sedang menguping pembicaraan mereka tapi ia tak paham. Untuk apa? pikirnya.
@@@