Efek Jatuh Cinta

2922 Kata
"Hamas, Om. Saya juga anak kedokteran seperti Ann tapi beda angkatan." Feri mengangguk-angguk. Farras yang mengintip dari ruang keluarga, menahan tawanya. Muka daddy-nya yang sok digalak-galakan itu sangat-sangat tidak cocok. Hihihi! Beda jauh saat menyambut Izzan ketika pertama kali datang ke rumah ini. Izzan, kakak iparnya Anne. Suami dari kakak tertuanya, Tiara. "Semester berapa?" "Masuk tujuh, Om." "Udah mau selesai dong ya." Hamas mengangguk sopan. Ia agak-agak gugup sih tapi mencoba bersikap santai. Anggap saja ia sedang latihan untuk sidang akhir nanti. Lelaki di depannya ini adalah dosen pengujinya sementara abangnya si Anne adalah asisten dosen penguji. Hihihi! "Apa rencana kamu setelah lulus?" "Lanjut koass, Om." Feri mengangguk bodoh. Kali ini, istrinya yang mengintip dan terpingkal. Anne sudah beristirahat di kamarnya. Gadis itu juga bilang pada Sara agar daddy-nya tidak marah pada lelaki itu karena berani-beraninya mengantar anak gadisnya ke rumah. Bagaimana pun Hamas yang sudah menolong juga mengurusnya dengan baik. "Sudah makan?" Hamas kira, ia akan ditanya pertanyaan seputar kelulusan setelah koass lagi. Ia sudah menyiapkan jawabannya eeeh.... Hamas menggaruk-garuk tengkuknya. Mau jujur, takut gak sopan. Tapi ia memang lapar. Namun berhubung lelaki yang dihadapinya ini rada galak, lebih baik pulang sepertinya. "Makan dulu, nak," akhirnya Sara yang bersuara. "Kasihan sudah jauh-jauh datang. Pulangnya malam lagi," lanjutnya. "Tadi siapa namanya?" "Hamas, Tante." Sara mengangguk-angguk. Ia mana ingat kalau pernah bertemu dengan Hamas sebelumnya. Meski yaah, wajahnya tak nampak asing. Feri berdeham. Tatapan matanya seakan menyuruh Hamas berdiri dan ikut masuk ke ruang makan. Maka mau tak mau, lelaki itu menuruti perintahnya daripada tak selamat keluar dari rumah ini. Hahaha! "Jangan galak-galak gitu Bang, mukanya, gak pantes," ingat Sara yang membuat Ando menahan tawa sementara Farras? Sudah terpingkal-pingkal tanpa suara. Feri cuma berdeham sebagai balasan. Aish, istrinya ini menjatuhkan wibawanya saja. Sementara Sara sudah berjalan menuju kamar Anne dengan membawa sepiring nasi beserta lauk-pauknya.  "Tadi semester berapa?" Kali ini Farras yang mengajak bicara. Cara bicaranya yang ramah membuat Ando berdeham. Suaminya melihat, Ras. Jangan menggoda-goda lelaki lain di depan matanya. Hihihi. "Tujuh, Kak." Muka Farras langsung senewen dipanggil 'kak'. Ando ingin tertawa tapi tak jadi begitu melihat istrinya melotot. Ya sih, memang Farras lebih tua tapi ia mengira kalau mukanya gak tua-tua amat. Cuma kan si Hamas tadi sempat melihat foto keluarga yang ditempel di dinding ruang keluarga saat ia melintas untuk pergi ke ruang makan ini. Ia melihat Farras memakai baju pengantin dengan abangnya Anne ini di sebelahnya. Maka ia mengambil kesimpulan kalau ini istri abangnya si Anne tanpa tahu kalau ia seumuran dengan Ando. Maklum lah, tiap melihat Ando mengantar Anne si Ando kan rapi dengan pakaian kerja. Kadang lengkap dengan jasnya. Jadi, ia mana tahu kalau Ando tidak setua yang ia pikirkan. "Makan yang banyak, nak. Nanti mau nyetir takut oleng," kali ini Sara muncul lagi. Perempuan itu menaruh banyak nasi dan lauk dipiring Hamas. Hamas sampai grogi dan agak-agak ngeri melihatnya. Kalau makanannya tak habis, ada lelaki galak itu masalahnya. Bisa beneran mati di rumah ini. "Oh iya, makasih loh, udah bawa pulang anak tante." Hamas hanya tersenyum malu. Ia baru mulai makan saat melihat semua keluarga Anne sudah mulai makan. "Kamu aslinya orang mana?" tanya Feri disela-sela menghabiskan makanan. Hamas mulai agak santai dengan pertanyaan ini meski ia merasa sedari tadi bagai diinterogasi. "Bogor, Om. Sunda," tuturnya. "Orangtua kerja apa?" "Akademisi, Om," jawabnya merendah. Ia memang enggan membahas pekerjaan orangtuanya. "Berapa saudara?" Sumfaah, Hamas benar-benar diinterogasi. Melihat kejadian ini, mengingatkan Ando saat suami kakaknya diinterogasi daddy-nya seperti ini tapi dengan santai tentu saja. Kalau ini? Hihihi. Agak sedikit horor. "Tiga, Om. Saya punya kakak dan adik perempuan." Feri mengangguk berarti sama dengan anak-anaknya. "Yang paling tua?" "Sudah menikah, Om. Dan yang bungsu, masih SMA kelas satu." Hamas langsung menjawab jawabannya dengan detil daripada ia ditanya berulang-ulang. "Rencana abis koass gimana?" "Lanjut ku--" "Daad! Udah ih, kasihan. Orang mau makan juga," cegat Farras yang membuat Sara terkekeh. Dua perempuan itu sudah sedari tadi ingin menghentikan pembicaraan yang bernada interogasi dan dijawab ala tersangka yang tidak berdosa. Ando cuma geleng-geleng kepala saja. @@@ "Kelihatannya anak baik-baik," begitu komentar Sara saat mobil Hamas sudah keluar dari halaman rumah mereka. Feri cuma berdeham lantas berjalan masuk. Ia bukannya tidak suka, ia merasa tidak masalah kok dengan kejadian malam ini. Toh, ia juga berterima kasih pada Hamas yang sudah mengantar Anne. Tapi, ia was-was saja. Takut anaknya jatuh cinta pada lelaki itu dan mengabaikan kuliahnya. Inginnya Feri kan, Anne fokus kuliah, setelah lulus kuliah, fokus mengembangkan karir. Setelah itu, baru ia boleh kan menikah. Tapi gak yang terlalu lama seperti anak sulungnya dan tidak terlalu cepat seperti anak lelakinya. Itu sih rencananya. Walau ia tak tahu rencana Allah akan seperti apa. "Ann ada cerita soal lelaki itu?" Sara menghela nafas. Keduanya duduk bersama di sofa ruang keluarga. "Anak itu yang menolong Ann dari kucing. Nganterin ke klinik dan beliin obat. Lalu mengantar Ann pulang. Hanya sebatas itu." "Gak ada yang lain?" Sara terkekeh lantas memukul lengan suaminya. Aish, suaminya curigaan sekali. "Jangan su'uzzan. Namanya juga menolong. Masa gak boleh?" tutur Sara. Ia berjalan menuju dapur untuk membantu anak dan menantunya yang sedang memberesi meja makan dan piring kotor. Yaa, gak ada yang salah dengan apa yang dilakukan Hamas. Hanya saja, Feri mawas diri. Namanya juga laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, kalau ada rasa wajar kan? Hanya saja, Feri merasa belum waktunya. Anne bahkan baru masuk kuliah semester tiga. @@@ Tadinya Hamas pikir, Anne tak akan masuk ke kampus hari ini. Tapi ternyata, ia melihat perempuan itu baru saja keluar dari mobil daddy-nya. Melihat kemunculan lelaki tua itu, membuat Hamas agak menyembunyikan diri. Bukannya takut sih, hanya saja ia merasa kalau ayahnya Anne tidak menyukainya. Padahal itu perasaannya saja. Wayan yang ikut memantau dari belakangnya, cuma terkikik. Sejak semalam, Wayan terus menakut-nakutinya kalau ayahnya Anne pasti tidak suka padanya. Apalagi Wayan sempat melihat sosok galak itu menatap tajam mobil mereka yang keluar dari halaman rumah. Hal itu membuat Hamas susah tidur karena gelisah. Ini lebih horor dari kisah horor paling seram. Iya kan? Masa belum apa-apa sudah ditolak calon mertua? Hahaha! Usai mencium pipi daddy-nya, Anne berjalan menuju lobi fakultas. Gadis itu berjalan dengan lesu. Wayan segera menepuk bahu Hamas dan sedikit mendorongnya agar mendekati gadis itu. Sementara ia pergi menjauh dari sana. Sengaja, memberi waktu untuk mengobrol berdua. Meski Hamas tak pernah bercerita, Wayan tahu kalau Hamas punya rasa pada perempuan itu. Dan Wayan hanya bisa membantu sebisanya. Ini cinta pertama Hamas, rasanya harus diperjuangkan. "Hei, Ann." Tahu-tahu ia sudah muncul dari samping. Anne menoleh. Agak kaget dengan kehadirannya yang tiba-tiba. "Makasih, Kak, untuk yang semalam." Hamas mengangguk. Lelaki itu menjajari langkah Anne yang berjalan menuju kelas. Anne agak menghindari tatapannya. Bukan apa-apa sih, tadi di sepanjang jalan, ia terus dinasehati daddy-nya agar fokus kuliah dan tidak memikirkan lelaki. Meski Anne sudah berbicara panjang-lebar kalau ia berbohong soal rasa pada lelaki ini, Feri tetap terus mengingatkannya sebagai bentuk kewaspadaan. Akhirnya, Anne mengalah juga. Lagi pula, perasaannya tak ada yang perlu diperjuangkan. Toh lelaki ini dekat dengan perempuan lain. Ya kan? Eeh kalau pun tidak dekat dengan perempuan lain, Anne juga tak akan melakukan apa-apa untuk perasaannya. Kenapa? Jatuh cinta memang sah tapi orangnya belum sah. Ya kan? Jadi, daripada menambah beban pikiran juga takutnya tercebur ke dalam jurang dosa, lebih baik memang melupakan. "Sudah mendingan?" Anne cuma berdeham sebagai jawaban. Gadis itu menggigit bibirnya, berupaya menahan diri agar matanya tak melirik lelaki di sebelahnya ini. "Kuliah sampai jam berapa?" Eung? Anne spontan menoleh dan bersitatap dengan wajah serius Hamas yang tampan pagi ini. Astagfirullah, Anne! ingatnya. Tapi entah ia harus merasa berdosa atau bersyukur melihat wajah setampan itu. Seketika, ia melupakan tekadnya untuk melupakan lelaki ini. Padahal ia baru saja membangun janji itu. "Hari ini sampai jam tiga." Hamas mengangguk-angguk. "Besok pemilihan ketua BEM, Ann. Jangan lupa gunakan hak pilihnya." Anne tersenyum kecil. Sudah sedari tadi Hamas menunggu senyum itu. Hal yang tanpa sadar membuat Hamas ikut tersenyum juga. "Sudah menentukan pilihan?" Anne berpura-pura berpikir, mengundang kekehan Hamas. Tapi bukan cuma Hamas yang terkekeh, Anne juga. "Oi, Mas!" Ketua BEM yang masih menjabat, memanggilnya dari pintu ruang BEM sana. Hamas hanya melambaikan tangan sebagai jawaban. Ah, ia baru ingat kalau punya janji dengan lelaki itu. "Balik ya, Ann. Jangan lupa, pilih sesuai hati," tuturnya lantas balik badan menuju ruang BEM. Anne menahan diri untuk tak tersenyum tapi tak bisa. Apa hayooo maksudnya? Hahaha! Gak kok, Anne tidak akan mau ge-er walau sudah terlambat. @@@ "Iiiih liaaat niiih," unjuk Nia. Gadis itu memamerkan foto Nisa dan Hamas di i********: Nisa yang baru di-upload beberapa jam lalu. Tidak hanya berdua tapi sekeluarga. Sepertinya sedang makan bareng begitu. Sialnya, Anne yang sedang fokus pada sop dagingnya langsung terbatuk-batuk melihat gambar itu. "Bener rumornya ternyata!" lanjutnya dengan muka pedih nan keki. Sebagai pengagum lelaki itu, tentu Nia sangat terluka. Jihan cuma melirik sekilas. Sementara Raina tak ambil pusing. Sejak Raina sering melihat Nisa dan Hamas berjalan berdua di sekitaran kampus, rasa sukanya pada lelaki itu sudah luntur. Bukan apa-apa sih, Raina mengira kalau Hamas berbeda dari lelaki lainnya. Menilik lelaki itu tampaknya soleh, sering jadi imam di kamsjid kampus, terlihat sopan juga pada perempuan. Ternyata eh ternyata, Raina merasa salah menilainya. Hamas bukan lelaki yang ia kira alim dan tidak akan berdekatan dengan perempuan. Meski itu hanya foto bersama keluarga tapi melihat keduanya yang duduk berdekatan, hati Raina juga pilu euy. Memang sih namanya hanya kagum tapi susah kalau tak bawa-bawa perasaan. Iya kan? Lalu kini Anne yang baru saja dibuat terbang tadi pagi, siang ini dibuat mendarat darurat. Hatinya bahkan lebih emergensi dari pesawat yang hanya mengalami turbulensi. "Emang rumor apaan?" tanya Jihan santai. Sebagai orang yang jarang update tentang gosip di fakultasnya, ia memang banyak ketinggalan. Berbeda dengan Nia atau Raina. "Mereka pacaran lah tapi katanya putus waktu Kak Hamas ke Jepang setahun kemarin. Terus kayaknya udah balikan lagi deh." "Mungkin cuma makan bareng biasa kali. Kan kayaknya, keluarga mereka saling mengenal," tutur Jihan. Ia masih berpikir kalau Hamas itu berbeda dari gosip-gosip yang dibicarakan sekarang. Walau yah, tak yakin juga. Tapi pacarnya, Raka, cukup mengenal Hamas meski berbeda fakultas. Hamas kan aktif juga ramah sehingga mudah bersosialisasi dengan siapa saja. Makanya, Hamas cukup terkenal di kampus selain karena wajah gantengnya. Nia mendengus. Ia lebih percaya dengan beragam bukti yang ia dapat. "Buktinya ada banyak tauk, Ji. Anak-anak juga udah pada tahu. Kakak-kakak tingkat kita apalagi. Mereka saksinya." Nia terpaksa menceritakan hal-hal yang menyesakan itu walau berusaha ia sangkal. Ia mendengar semua bagaimana kedekatan keduanya dari kakak tingkat mereka. Sekarang gosipnya heboh lagi begitu Hamas kembali apalagi si Nisa seolah tak pernah lepas dari Hamas. Wajar saja kalau gosip keduanya CLBK alias Cinta Lama Bersemi Kembali itu pun menghujani fakultas mereka. Dan demi mengecek kebenarannya, Nia sampai stalking i********: Nisa dan ia menemukan banyak sekali foto Hamas dan Nisa di i********: gadis itu. Meski ia tak menemukannya di i********: Hamas. Ia sempat meng-unfollow i********: lelaki itu tapi tadi, ia mencoba kembali mem-follow-nya. Meski hatinya masih sakit tapi jarinya masih ingin kepo. Gimana dong? Ia mencoba membuka i********: Hamas untuk melihat perkembangan postingan Hamas yang barangkali memunculkan Nisa. Tapi permintaan pertemanannya masih belum diterima. i********:-nya dikunci. Mana ia bisa kepo?! "Gue gak nyangka aja kalau cowok kayak dia bakalan pacaran juga kayak cowok-cowok laen," keluh Nia yang menghembuskan nafas. Ia menaruh ponselnya di atas meja kemudian melahap habis sisa baksonya. Jihan ingin tertawa melihat kelakuannya itu. Anne? Sudah sedari tadi hanya diam dan sekarang mendadak kehilangan nafsu melihat daging sapi tak berdaya di depan matanya. Ia memilih mengambil minum dan meneguk habis air minumnya sampai.... "Uhuk-uhuk-uhuk!" Raina yang duduk di sebelahnya menepuk-nepuk bahunya. Jihan menyodorkan botol minuman miliknya sementara Nia malah menambah keras tepukan dibahunya yang membuatnya melotot. Gadis itu terkikik. Tapi kikikannya cuma bertahan sebentar saat matanya tak sengaja melihat pemandangan yang tadi membuat Anne terbatuk-batuk. Apalagi? Kalau bukan Nisa dan Hamas yang baru duduk bergabung di kantin hanya berdua dalam satu bangku dan saling berhadapan.  "Aaaaa, gue mau pulang aja aaaah!" rengek Nia tapi matanya masih tetap memandang dua orang itu. Jihan dan Raina yang mengikuti apa yang dilihatnya malah terkekeh. Padahal suasana kantin juga gaduh saat dua orang tadi baru masuk. Ada yang saling berbisik dan berbicara tentang rumor yang sama yang dikatakan Nia tadi. Ada yang awalnya tak percaya dengan rumor itu tapi melihat ini, akhirnya percaya. Satu-satunya orang yang tak perduli rumor itu hanya Wayan. Lelaki itu duduk sendirian di pojok kantin kemudian disapa Evan. Evan bergabung dengannya usai bertoss ria lalu matanya teralih pada dua orang yang sedang hangat dibicarakan itu. "Kak Nisa sama Kak Hamas itu beneran pacaran gak sih dari dulu?" Wayan menoyor kepalanya. Seenaknya saja bertanya dengan pertanyaan seperti itu. Yeah, sebagai salah satu adik kelas mereka dikala SMA, ia memang tahu sekali dengan keduanya. Nisa kan satu SMA juga dengan mereka. Walau saat Hamas lulu, Nisa pindah ke SMA di Jakarta. "Lu gak tahu bokapnya Hamas ya?" tutur Wayan. Evan sih sempat dengar rumor kalau Papanya si Hamas itu ketat sekali dalam urusan agama. Namun semalam, orangtuanya baru saja membicarakan keluarga Hamas yang katanya banyak berubah. Apalagi gosip-gosip kedua saudara perempuan Hamas. Walau yah, ia tak begitu tahu apakah benar atau tidak. Namun selama mengenal Hamas, ia merasa Hamas itu religius untuk ukuran manusia dimatanya. "Manusia bisa berubah kali, Kak," sahutnya. Wayan menghela nafas. Ia juga mendengar gosip yang sama dengan Evan dari orangtuanya. Tapi ia enggan menanyakan kebenarannya pada Hamas. Memang sih terakhir datang ke rumah Hamas, Papanya tampak banyak berubah. Banyak sekali perubahan usai mendapat jabatan menjadi rektor di kampus swasta. Ia dengar-dengar, rencananya juga akan dijadikan komisaris salah satu BUMN. Tapi Hamas sama sekali tak berbicara apapun. Ya sih, pikir Wayan. Hamas memang bukan tipe orang yang terbuka sekalipun padanya yang sudah kenal dari kecil. Jadi ia hanya mengetahui silsilah keluarga Hamas ya dari keluarganya yang bersumber dari obrolan tetangga. @@@ "Udah yuuk, gue mau lewat sana aja deeh!" tutur Nia yang sudah beranjak duluan dari bangku. Ia memilih memutar ke belakang walau tak akan ada gunanya. Toh ia akan tetap melintasi bangku Hamas dan Nisa nanti. Dua orang itu kan duduk di dekat pintu masuk dan keluar kantin. Bagaimana bisa menghindar? Tapi setidaknya, Nia tak perlu melihat wajah Nisa yang menurutnya....aaarrghh! Ia kesal sekali pada cewek cantik itu. Ia tahu sih kalau cewek itu cantik tapi dari rumor yang beredar, itu cewek sombong banget. Gak cuma sombong, cara bicaranya seringkali membuat orang tersinggung juga merasa terhina. Ya wajar sih, pikir Nia. Mungkin karena merasa anak orang kaya dan ayahnya juga punya jabatan sebagai menteri negara, iya kan? Tapi asal tahu saja, yang kaya di fakultas ini bukan hanya keluarganya. Keluarga Nia juga kaya. Keluarganya punya perusahaan pertambangan batubara. Lalu Jihan? Kedua orangtuanya memang dosen. Tapi, punya perusahaan konsultan yang penghasilannya juga tinggi. Anne? Nia sudah tahu rumor gadis itu adalah cucu dari Adhiyaksa Group. Raina? Cewek yang juga punya kembaran di jurusan yang sama ini juga tak kalah kaya. Ibunya direktur Pertamina. Ayahnya? Direksi di salah satu Badan Usaha Milik Negara alias BUMN. Sembilan puluh persen anak Kedokteran di sini pastinya berasal dari keluarga berduit. Apalagi yang Chinese. Kebanyakan dari mereka yaa anak para taipan kaya yang dijuluki sembilan naga di negara ini. Dan bukan cuma Nia yang tak suka dengan sosok Nisa. Kebanyakan perempuan di fakultas ini juga tak menaruh respek padanya yang kadang suka memerintah dan berlaku semaunya. Bahkan anak-anak BEM fakultas banyak yang jengkel padanya karena ketika sudah diberi tanggung jawab, lalu mood-nya jelek waaah tanggung jawab iu langsung ditinggal begitu saja. Sama seperti kasus MC untuk debat calon ketua BEM kala itu. Paijo kalang kabut mencari penggantinya karena Nisa tak mau melanjutkan tugas itu. Paijo juga sempat marah-marah pada gadis itu tapi tak berpengaruh apa-apa. Nisa hanya memandangnya bengis lantas balik badan dengan wajah songongnya itu. Dan kalau saja bukan perempuan, Paijo pasti sudah menghajarnya. Dan kejadian itu tentu ramai dibicarakan oleh anak-anak BEM yang menyaksikannya. Dan sejak itu pula, Paijo enggan berurusan dengan Nisa. Mau cewek itu secantik apapun tapi kalau tak punya attitude tentu minus dimatanya. Walau kemarin-kemarin Nisa sempat datang padanya, merengek memohon bantuan tapi Paijo ogah membantunya. Jihan dan Raina menyusul langkah Nia sementara Anne masih sempat terdiam. Setelah berpikir sebentar, ia memutuskan untuk tidak menghabiskan sop dagingnya. Kemudian beranjak dari bangkunya. Kali ini, ia menguatkan diri. Ia tak boleh cengeng. Tak boleh menangis. Masa cuma gara-gara ini ia cengeng sih? Walau yeaah, matanya mulai panas lagi tapi ia enggan menunduk. Kali ini ia berjalan tegak hingga.... "Ann!" Sialan Paijo, maki Anne. Pasalnya lelaki itu memanggilnya ketika ia berhenti tepat di sebelah meja Hamas dan Nisa. Hamas sampai menoleh ke arahnya karena mendengar nama Anne disebut. "Ada donut tadi buat lo, gue titipin ke Evan yak," tuturnya. Helaaah, Anne mendumel dalam hati. Yang kayak gitu apa gak bisa bilang lewat WA aja?! keluh Anne. Tapi Paijo sudah memberitahunya hanya saja ia tak kunjung membalas pesannya dan tak kunjung membuka ponselnya pula. Wajar saja kalau Paijo memberitahu. Lelaki itu kan sudah berjanji akan menyogoknya dengan donut untuk urusan pembicara. "Kurang kalo donut doang kali, Kaaak," rengeknya yang tanpa sadar juga melangkah ke meja Paijo yang tepat berada di belakang Hamas. Helah, Ann. Kenapa lo mendadak drama dan manja begini? Beneran deh ini efeknya jatuh cinta. Beneran bahaya. Anne gak cuma jadi cengeng tapi juga drama abis. Liat aja, ia malah mencoba membuat Hamas cemburu dengan berlagak dekat dengan Paijo padahal ia bukan perempuan yang seperti itu sebelumnya. Melihat Anne seperti itu, Paijo malah terkekeh. Ia mana tahu kalau Anne sedang drama. Kadang Anne juga sering kumat menye-menye begini padanya sampai pernah membuatnya ge-er. Hahaha! "Iyee-iyeee. Ntar gue beli yang lain deh. Apalagi yang lo suka? Kasih tahu ajaaa, gue bisa ngepet buat nyari duitnya," candanya yang membuat Anne terkekeh. Tanpa Anne sadari, ia membuat orang yang duduk tepat di belakangnya, menggebrak meja dengan kuat lantas beranjak dari bangku usai membuat kegaduhan. Semua mata tertuju pada lelaki yang kini menjauh dari keramaian dan mengabaikan Nisa yang terus memanggil-manggilnya. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN