Obrolan Warung Mie Ayam

2983 Kata
Hari Senin yang kosong dimanfaatkan Anne sebagai jadwal magangnya. Gadis itu sudah tiba sejak sejam yang lalu di rumah sakit. Kemudian bersama Tantenya, Aisha, berjalan menuju ruangan dokter Hasan, dokter lelaki itu yang akan menjadi pembimbingnya selama magang setahun di sini. Yeah setahun.  Kini, ia sudah berkeliling rumah sakit ditemani Hasan yang sedari tadi menjelaskan fungsi setiap ruangan dan memberitahu perbedaannya. Anne mulai mengenal isi rumah sakit walau ia juga masih belum yakin apakah nanti akan benar-benar berkarir menjadi dokter di rumah sakit atau dokter yang menyuarakan suara publik. Sejujurnya, akhir-akhir ini Anne tertarik untuk menjadi politikus atau setidaknya menjadi bagian dari kementerian. Tapi tentu saja untuk menjadi politikus, daddy-nya tidak setuju karena lelaki itu paham bagaimana dunia perpolitikan yang penuh tipu daya. Walau ia tahu Anne akan amanah dengan janjinya tapi ia tak yakin dengan hal lain diluar apa yang bisa Anne tangani. Omong-omong soal dokter Hasan, menurut Anne, lelaki itu agak aneh. Sejak awal bertemu dengannya, lelaki itu sok akrab dan sempat bilang kalau sudah mengenal Anne. Tapi Anne tak mengingatnya sama sekali sehingga membuat lelaki itu sedikit malu. "Bagaimana, Ann? Sudah paham?" tanyanya untuk ke sekian kali dan Anne hanya membalasnya dengan anggukan sopan. Sementara lelaki itu tersenyum dan mulai menceritakan lagi isi dan perbedaan masing-masing bangsa di rumah sakit. Sebetulnya, Anne sudah tahu karena ia sudah membaca berkas yang diberikan Om-nya. Ia tentu tidak datang magang hari ini dengan tangan kosong bukan? Tapi ia tak enak hati jika harus menyela penjelasan Hasan yang tampak sangat menghayati perannya sebagai dokter yang akan membimbing Anne selama magang di sini. "Kalau itu, namanya dokter Eza, Ann!" serunya kemudian memanggil sahabatnya itu. "Za! Ke sini bentar!" Anne cuma mangut-mangut saja diminta berkenalan dengan Eza yang tersenyum ke arahnya. "Sudah makan belum, Ann?" tanyanya usai berbasa-basi sebentar dengan Eza tadi. Hasan melirik jam tangannya. "Kalau kamu mau mencoba makanan petugas medis di kantin khusus, hari ini menunya enak sekali," ajaknya. Tapi Anne malah berdeham. "Saya puasa, dok, maaf, saya ke mushola aja kali ya?" ia menolak terang-terangan. Hasan meminta maaf dan Anne tak masalah lalu lelaki itu malah mengantarnya menuju masjid di rumah sakit. Padahal Anne lebih suka mushola kecil tapi ia tak tau letaknya di mana. Kalau masjid di rumah sakit ini pun, Anne tahu di mana letaknya. Tapi akhirnya tetap masuk ke dalam masjid karena tak bisa kabur keluar. Bagaimana bisa kabur kalau Hasan juga masuk ke dalam masjid? Menyebalkan sekali, pikirnya. Tapi ya sudah lah, terlanjur basah pula. @@@ "Omong-omong, Ann, sudah putus kan untuk tiga bulan ke depan akan fokus di mana?" tanya perawat Sally. Gadis itu berusia lima tahun lebih tua darinya dan belum menikah. Sedari tadi, menempelinya usai berpisah dengan dokter Hasan di depan masjid usai solat Zuhur berjamaah. Dokter itu membiarkannya istirahat. Anne tampak berpikir. Usai solat tadi pun, ia akan ditanya oleh Hasan terkait keminatannya. Sebetulnya, ia tak keberatan akan memulai dari mana. Namun setelah dipikir-pikir..... "Bangsal anak-anak mungkin," ucapnya ragu. Sebetulnya ia bukannya tak menyukai anak-anak tapi kalau semua anak sebawel Adel, ia angkat tangan juga. Gadis kecil itu kan selain bawel, ceriwis tapi juga kritis. Setiap jawaban Anne yang menurutnya tak masuk akal, selalu dipatahkan. Dan itu membuat Anne kesal setengah mati. Hahaha! Sally terkekeh. "Itu bangsal yang paling melelahkan, Ann. Kalau kamu mulai dari situ, aku jamin, gak akan mau lanjut magang lagi. Lebih baik dari perawatan non infeksi. Misalnya, kanker dan sejenisnya. Kebanyakan pasien sudah lanjut usia. Dan lebih mudah ditangani walau ada beberapa kelakuannya persis anak balita." Anne menghela nafas. Merasa menyesali keputusannya untuk magang di semester ini. Hihihi! Ia kan paling malas berbasa-basi. Tapi pekerjaan yang diambilnya ini, memang menuntunnya harus bersikap lebih ramah. Astagfirullah, Ann! Ingat-ingat tujuan saat memilih jurusan ini. Bukan kah memang untuk mengubah jati dirinya agar lebih peduli sekitar dan lebih ramah? Tidak kaku seperti daddy atau abangnya. "Bagaimana, Ann? Akan betah?" Lelaki itu muncul lagi untuk keenam kalinya. Anne sampai menghitungnya. Padahal ini belum satu jam sejak ditinggal olehnya. Anne berharap sekali dokter yang satu ini punya operasi darurat atau semacamnya jadi ia bisa konsentrasi sendiri merangkum semua pembelajaran hari ini. "Heummmmm....," gadis itu hanya berdeham. Enggan sekali menjawab pertanyaannya tapi Hasan malah tertawa. Aneh, pikir Anne. Lelaki ini amat aneh sejak pertama mengenalnya. Kadang Anne tidak suka saja dengan caranya yang terlihat sangat tau tentang diri Anne. Padahal Anne merasa, mereka baru bertemu hari ini. "Santai, Ann. Kamu cuma hanya akan magang di sini dan tidak menjadi dokter koass sepertiku." Aaah. Iya. Anne baru tersadar kalau lelaki ini hanya dokter koass tapi kok bisa menjadi pembimbing magangnya? "Di sini, dokter-dokter senior sudah sibuk mengerjai para dokter koass ditambah kesibukan rumah sakit, Ann. Jadi jangan heran kalau anak magang sering terbengkalai. Mereka punya urusan masing-masing dan lebih baik mengerjai dokter koas untuk meringankan beban mereka," tuturnya terkekeh yang seolah menjawab pertanyaan dibenak Anne. Anne hanya mengangguk-angguk. "Ah ya, kamu puasa kan? Tadi ku belikan ini," tuturnya lantas menaruh sesuatu di atas meja Anne. Anne menoleh ke depan dan melihat bungkusan plastik itu tanpa tahu kalau Hasan garuk-garuk tengkuk malu. Itu gara-gara idenya Eza. Ia mana mungkin melakukan ini dengan niatnya sendiri. "Itu pisang nugget organik, Ann. Salah satu bidan di sini sering menjualnya di rumah sakit kalau ada yang memesan. Dan kebetulan aku memesan banyak," tuturnya. Tapi Anne malah mendorong bungkusan plastik itu ke arahnya. Merasa keberatan untuk menerima itu. "Ann gak bisa--" "Jangan menolak niat baik orang, Ann. Saya tidak punya maksud apa-apa jika itu yang kamu takuti." Anne menghela nafas. "Bukan itu maksud saya," tukasnya tak mau Hasan tersinggung lantas menyerah. "Makasih, dok." Ucapan itu membuat Hasan tersenyum tipis. @@@ Anne tiba di rumah dan langsung melemparkan diri di atas sofa ruang tamu. Sara yang melihat kelakuannya cuma geleng-geleng kepala. "Mandi, Ann! Bentar lagi magrib!" seru Sara dari dapur. Anne mendesah. Ia mendongakan wajah kemudian beranjak duduk dari posisi tengkurapnya. Ia menghela nafas. Hari ini lelah sekali padahal ia belum melakukan apapun. Hanya observasi dan Hasan juga banyak mengenalkannya cara menyuntik, memasang infus dan lain-lain. Terdengar sepele memang tapi tidak semudah mempraktekkannya. Ia jadi terlalu lelah mana puasa pula. Ditambah hilir-mudik kesana dan kemari. Syukur-syukur ia batal ikut melihat operasi tadi. Kalau tidak, mungkin ia akan pingsan. "Mooom! Daddy sama abang pulang jam berapa?" tanyanya dengan nada manja dan bibir yang mengerucut. "Abis isya. Abangmu pulang ke rumah mertua!" sahut Sara lagi. Anne menghela nafas. Ia jadi anak tunggal lagi di rumah ini. Biasanya juga begitu sih, lebih tepatnya setelah Abangnya menikah. Tapi tetap saja, rasanya begitu sepi. Akhirnya, ia beranjak kemudian berjalan menaiki tangga dengan lesu. Ponselnya berdering saat ia akan membuka pintu kamar. Ia beruluk salam usai menggeser tombol hijau di touchscreen-nya. "Kenapa, Ji?" "Iish! Dari tadi gue telpon juga! Ke mana aja lu?" "Abis magang kan!" "Astaga!" Jihan menepuk keningnya. Lupa. "Astagfirullah, Ji, bukan astaga," ingatnya sambil membuka pintu kamarnya. "Lu lupa ya, Ann! Tugas kelompok yang berdua kan kudu dikumpulin besok pagi jam tujuh. Mau kapan dikerjain? Heloooow?!" Gantian Anne yang menepuk kening. Astagfirullah! Ia juga lupa deh! Beneran! "Yaaah! Terus gimana dong? Mau dikerjain masing-masing? Terus dibagi dua?" "Mana bisaaa, saaay! Kan kudu ditulis tangan dan digambar! Lu tahu gue terlalu jago gambar nanti jadinya abstrak!" Anne terkekeh. "Ya udah, abis magrib gue ke apartemen lo deh, nginep." Ia menutup telepon dari Jihan. Kemudian segera membereskan barang-barangnya untuk kuliah besok. Setelah berbuka puasa nanti ia akan berangkat ke apartemen Jihan dan menginap di sana. Ah ya, ia lupa memberitahu mommy-nya. Kemudian ia berteriak pada Sara, "moom! Ann mau ke apartemennya Jihan nanti malam. Ada tugas belum dikerjain! Sekalian menginap ya, mom!" @@@ Biar kata ia bilang pada daddy-nya bahwa ia bisa naik kereta hingga Stasiun Cikini dan menyambung ojek hingga apartemen Jihan, lelaki itu tetap khawatir. Anne sampai geleng-geleng. Dikiranya ia anak manja yang gak tahu apa-apa tentang Jakarta? Lagi pula, ia sudah anak kuliahan begini kok bukan anak SMA atau SMP. Sudah gede istilahnya. Tapi itu lah anggapan daddy-nya tentang dirinya. Ia selalu menjadi gadis kecil yang tidak tahu dunia menurut Feri. Alhasil, tadi ia diantar Ando ke stasiun Depok dan dilanjut naik kereta hingga Cikini. Kemudian dijemput daddy-nya yang berkantor tak jauh dari sana dan diantar hingga lobi apartemen. "Don't forget calling daddy if you get some troubles, my dear," pesan daddy-nya saat ia membuka pintu. Anne yang sudah keluar dari mobil itu terkekeh mendengarnya. Ia memberi hormat sebelum menutup pintu. Tadi sebelum keluar, ia juga sudah mengecup pipi daddy-nya. Kemudian ia melambaikan tangan pada mobil daddy-nya yang bergerak menjauh. Dia memang anak kesayangan daddy-nya. Mungkin karena tersisa satu-satunya yang belum menikah? Anne balik badan dan berjalan masuk menuju lift. Ia menunggu pintu lift terbuka hingga akhirnya....disapa dengan pertanyaan oleh seseorang yang baru saja berdiri di sebelahnya.  "Hari ini gak datang ke kampus, Ann?" tanya seorang lelaki berkacamata lengkap dengan bacaannya yang tebal dan berbahasa Inggris. Anne bisa membaca judul buku yang bergambar kerangka manusia itu. Walau tak menatap Anne tapi tentu saja pertanyaannya tertuju pada Anne. Karena tidak ada orang lain lagi disitu. Ah, ya, omong-omong baru kali pertama Anne melihat lelaki itu sesantai ini dari pakaiannya. Biasanya, lelaki itu rapi dengan kemeja lengan panjang yang selalu dilipat hingga siku juga celana panjangnya. Tapi kali ini, hanya celana selutut dan kaos berwarna putih. Juga.....kacamata? "Sejak kapan calon ketua BEM hapal mahasiswa yang tidak datang ke kampus?"  Ia menyadari pertanyaan ganjil itu. Asal tahu saja, Hamas memang mencarinya seharian ini tapi tak berhasil menemukannya. Untuk apa Hamas mencarinya? Ohoo...tentu saja untuk sebuah kata bernama rindu yang sulit Hamas kemukakan alasan dibaliknya. Jadi jangan lanjut bertanya. "Bukan hapal, hanya mengamati." Anne tersenyum kecil. Lift berdenting, beberapa orang keluar dari lift kini berganti Anne yang masuk. Tapi setelah ditunggu-tunggu, tak ada lagi yang ingin masuk selainnya dan lelaki ini. Haaaah. Anne menghela nafas dalam-dalam. Gugup juga kalau cuma berdua begini. Eh, tapi senang juga gak ya? Hihihi. "Tinggal di sini, Kak?" "Menurut, Ann?" Anne hanya mengendikan bahu. Ia mana tahu jawabannya. Ia hanya mengingat ini pertemuan kedua mereka di apartemen ini. Bisa jadi, dugaannya juga salah tentang tempat tinggal lelaki ini kan? Lelaki itu menurunkan bacaannya kemudian berdeham. Ia baru sadar kalau mereka hanya berdua di lift ini. Sementara lift terasa berjalan sangat lama. Lelaki itu berdeham sebelum bertanya dengan mengulang pertanyaan yang sama tapi dengan kata yang berbeda. "Ke mana hari ini?" "Ke sini." Lelaki itu tersenyum kecil. Merasa malu sendiri karena terlalu kepo akan kehidupan Anne. Ah, tapi omong-omong, ia tadi sempat melihat ayahnya Anne. Lelaki itu tampak tegas dan sangat berwibawa. Tapi Hamas hanya melihatnya dari jauh. Walau Hamas mengakui kalau ayahnya Anne tampak kece dengan kacamata hitam. Eeeh hitam? Apa gak buta melihat jalanan semalam ini ya? pikirnya. "Ternyata benar, tak semua hal dari manusia dapat dibagi. Sisanya malah menjadi misteri," petuahnya mulai keluar. Lama-lama Anne bisa tertular puitis karena terus berada di dekatnya.  "Bukannya hidup memang begitu? Kadang ada hal yang terlihat kadang tidak. Kadang juga ada yang namanya kebetulan atau keberuntungan. Ada juga yang namanya kesialan dan lainnya. Tapi untuk kasus ini, tentu tidak bisa disebut berjudi karena setiap yang terjadi bukan sebuah kebetulan atau keberuntungan." Tuh kaaan....Anne mendadak sok romantis sosialis. Ihiy.... Lelaki itu tersenyum tipis. "Makanya, manusia diciptakan berpasang-pasangan, Ann. Biar bisa saling berbagi dan melengkapi. Bukan hanya hidup dan mati, kaya dan miskin, pintar dan bodoh atau pun yang lainnya. Allah punya maksud dalam semua ciptaan-Nya itu. Kita sebagai manusia kadang terlalu dangkal menilai," lanjutnya sambil berjalan keluar dari lift yang baru terbuka. Lelaki itu berjalan sambil memasukan tangan kirinya ke saku celana sementara tangan kanannya memegang buku tebal. Omong-omong Anne agak janggal melihatnya dengan kacamata itu. Bukan apa-apa sih, wajah politikusnya berubah menjadi wajah kutu buku. Hihihi! "Dan lagi, ada banyak yang namanya hamba tapi hanya ada satu Tuhan, Ann. Kamu tahu kenapa? Karena begitu lah semestinya. Jangan berpikir terlalu berat. Kamu akan pusing kepala jika banyak Tuhan di dunia ini." "Tapi kenyataan terjadi. Bukan Tuhan yang banyak melainkan hamba yang hobi menuhankan banyak hal." Hamas tersenyum tipis. Ia suka mendengar celotehan Anne yang berbobot tiap menanggapi pernyataannya. "Maka itu lah, Ann. Kita berada dalam jumlah banyak sebagai hamba kemudian diberi petunjuk dalam hidup tidak hanya urusan dunia tapi juga akhirat melalui kitab-Nya. Tapi terkadang, kita lebih suka sibuk dengan urusan dunia dan melupakan hal yang seharusnya menjadi prioritas. Kita sibuk dengan semua masalah kita, sibuk menyelesaikannya tapi kadang lupa kita harus melibatkan siapa dalam menyelesaikan segala permasalahan hidup kita." Anne mengangguk. Manusia memang tidak bisa menyelesaikan masalahnya sendiri. Dalam hidup, adakalanya harus melibatkan orang lain. Tapi percaya lah, pertama-tama dan yang paling utama adalah melibatkan Tuhan dalam setiap langkah. Kece gak tuh pemikiran Anne? Anne berhenti begitu pula dengan lelaki itu. "Duluan, Kak," pamitnya lantas mengetuk pintu apartemen Jihan.  Lelaki itu mengangguk lantas melanjutkan langkahnya. Tak lama, ia berhenti dan membuka pintu yang berjarak satu apartemen dari milik Jihan alias tetanggaan. Astaga! Anne kira, masih jauh! @@@ "Lu tetanggaan sama Kak Hamas?"  Anne bertanya heboh saat masuk. Bersyukurnya, apartemen Jihan ini kedap suara. Jadi tak akan terdengar hingga keluar. Terutama ke telinga Hamas. Ia akan malu setengah mati jika itu terjadi. "Iye! Gue juga baru tahu sebulanan ini, gak sengaja pas-pasan. Jangan bilang-bilang Nia yak! Pusing gue kalo dia mantau Kak Hamas dari sini!"  Anne terkekeh. Ia sih bukan genteng bocor. Jadi rahasia aman. Selanjutnya, ia membuka kerudung dan bergabung dengan Jihan yang sudah mulai mengerjakan tugas mereka sambil menunggunya datang. Hampir dua jam, keduanya menyelesaikan tugas dan berakhir kelaparan. Jihan memeriksa cadangan mie instan di lemarinya tapi tak ada. "Keluar yuk!" ajaknya daripada keduanya kelaparan. Ia melirik jam wekernya yang menunjukan pukul dua belas malam. "Biasanya di depan masih ada Bang Parno yang jualan bakso sama mie ayam," tuturnya yang diiyakan oleh Anne. Ia sih merasa aman di sini kecuali sempat kejadian terakhir saat ia menginap di sini. Waktu itu menjelang jam dua pagi dan ......ia bersama Jihan melihat sepasang anak manusia yang sedang ciuman di lift. Astaga! Disaat pintu apartemen Jihan terbuka, pintu di depannya juga terbuka. Wayan muncul tidak sendiri karena dibelakangnya ada Hamas. Perasaan Anne, tadi lelaki itu masuk di sebelah apartemennya Jihan deeh...... "Hai, Kak!" Jihan dengan ramah menyapa. Anne cuma tersenyum tipis. Wayan menyembunyikan senyumnya. Lengannya menyenggol Hamas tapi dibalas Hamas dengan dorongan hingga kepalanya terbentur pintu. Hamas terkekeh diam-diam sementara ia mengaduh-aduh. "Belum tidur, Ji?" Pertanyaan itu tertuju pada Anne tapi ia merasa canggung karena ada Jihan. Akhirnya yang ditanya adalah Jihan. "Biasa, Kak, jamnya laper. Gak bisa tidur kalau belum makan." "Katanya anak kedokteran! Makan kok jam segini!" nyinyir Wayan yang dibalas tawa oleh Jihan. "Kayak lu gak aja, Kak Yan!" balasnya lantas menarik lengan Anne yang sedari tadi mendadak diam. Bukan apa-apa sih, Anne merasa aneh dengan situasi ini. Apalagi ternyata dua lelaki itu ikut berjalan di belakang mereka. "Pasti pada laper juga kan? Makanya pada ngikutin," ledek Jihan. Hamas sih cuma tersenyum kecil. "Eeh! Gue sih cuma kasihan aja sama dua cewek jalan tengah malem begini. Kalo ada yang apa-apain gimana? Ya gak, Mas?" Wayan menyenggol lengannya tapi cuma dibalas penghindaran oleh Hamas yang membuat Jihan terpingkal-pingkal sementara Anne tertawa kecil. Kok Anne jadi jaim begini sih? Padahal tadi lepas banget loh waktu jalan berdua. Ihiy! "Omong-omong, Kak, udah kenal Ann belum nih? Dia juga anak kedokteran. Temen sekelas gue," kenal Jihan tapi Wayan malah terbahak. Hamas ingin sekali menjitak kepalanya tapi urung ia lakukan. Keempatnya sudah masuk ke dalam lift. "Hamas hapal kali nama panjangnya," celetuknya yang membuat kening Jihan mengerut karena tak paham sementara Wayan sudah habis dibantai Hamas. Anne cuma terkekeh kecil melihat kelakuan keduanya. Menurutnya, mereka lucu. Niat menikmati mie ayam berdua eeh malah berempat. Makan di pinggir jalan, tepat di seberang apartemen. Tadinya sih, Anne dan Jihan mau pesanannya dibungkus tapi si Wayan memaksa makan bareng. Jadi lah, keempatnya makan dengan duduk berjajar di bangku plastik menghadap jalanan malam yang masih banyak kendaraan lalu-lalang. "Lu aslinya orang mana sih, Ann?" Wayan yang sudah lama penasaran akhirnya bertanya. Omong-omong Hamas juga penasaran sih. Pasalnya, wajah Anne kan belasteran gitu. Memang terlihat Arab banget gitu tapi ada bulenya juga. Gimana ya....Hamas susah mendeskripsikannya. "Mommy Ann turunan Jerman-Afganistan, Kak. Nikah sama daddy yang bugis-melayu," tuturnya. "Melayu?" tanya Hamas. Keceplosan. Ada banyak daerah yang memiliki penduduk suku Melayu di Indonesia. Ia hanya ingin tahu detilnya. Anne malah mengangguk serius. "Opa orang Malaysia." Aaah. Dua lelaki itu mengangguk-angguk. Jihan cuma geleng-geleng kepala menyimak kelakuan keduanya. Sedari awal mereka duduk di sini, yang dibahas memang cuma Anne. Untung saja, Jihan tidak curiga dengan pertanyaan-pertanyaan Wayan dan senggol-senggolan tak kasat mata dibahu Hamas. "Berapa bersaudara, Ann?" Si Wayan kepo lagi. Jihan sampai terbatuk-batuk lantas meminum air minumnya. "Tiga." "Biar gue tebaaak," tutur Wayan. "Lu pasti anak bungsu!" tuturnya yang disambut tawa Anne. Entah kenapa, setiap orang yang mengenalnya pasti bisa menebak kalau ia anak bungsu. Mungkin kadang ia terlihat manja kali ya.... "Bener, Ann?" tanya Hamas yang sedari tadi menyimak. Anne mengangguk. "Sama dong kayak gue," sahut Wayan. "Apa hubungannya sama elo, Kak?" sahut Jihan. "Biar sama aja," balasnya yang mengundang kekehan. Kadang komentar absurd Wayan ini menjadi bahan lelucon tersendiri yang meramaikan malam ini yang sepi. Buktinya mereka sampai tertawa. "Kalau si Hamas ini anak tengah, cuy," lanjutnya padahal gak ada yang nanya. "Eh iya, Papanya Kak Hamas rektor swasta di Bogor kan?" tanya Jihan. Hamas cuma berdeham seraya menghabiskan kuah mie ayamnya. Ia enggan kalau ada yang membahas keluarganya. "Soalnya Ji pernah ketemu Papanya Kak Hamas." "Oh ya? Kapan?" "Sebulan lalu deh. Waktu nikahan kakak sepupu Ji." Aaah, Hamas tak tahu menahu karena ia belum pulang ke Indonesia saat itu. "Terus si Tante juga masih ngajar, Kak?" Hamas mengangguk. Ibunya kan dosen di kampus negeri nan terkenal di Bogor. "Omong-omong, Ann, gue sering liat elu dianter cowok ganteng gitu deh. Mirip lu banget. Kakak lu ya?" timpal Wayan. Yeah, beberapa kali ia memang sering melihat Anne keluar dari mobil cowok. Anne cuma mengangguk sebagai jawaban. Ia memang versi perempuannya Ando. "Tapi mukanya juga gak asing sih, gue kayak pernah lihat di mana gitu," tuturnya. Orang tua Wayan yang pebisnis tentu sangat mengenal keluarga Adhiyaksa. Meski ya, anak Opanya kan bukan cuma daddy-nya. Tapi Wayan bisa menilai dari apa yang dikenakan Anne. Meski gadis itu tampak sederhana tapi harga barang yang dipakainya ditaksir.... "Balik yuk, udah jam satu. Besok kudu ngampus lagi!" ajak Jihan yang membuyarkan ingatan Wayan tentang hal tadi. @@@
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN