"Anaknya ganteng, mommy suka," tutur Sara saat diinterogasi menantunya untuk bercerita tentang lelaki yang menunggui hujan di lobi fakultas bersama Anne. Yeah, tentu saja itu akan menjadi heboh jika salah satu perempuan di keluarganya tahu. Maklum lah, namanya juga genteng bocor. Mommy-nya kan sama saja.
"Gantengan daddy lah," tutur Feri yang sedari mobil tadi tak mau kalah. Kontan saja istri dan menantunya terbahak. Lelaki itu memang tidak akan mau kalah. Sedangkan Anne cuma bisa mendumel dalam hati. Ini lah kenapa, ia suka menyimpan segala sesuatunya sendiri. Karena keluarganya ember semua. Hahaha! Walau yah...tak akan bocor sampai ke keluarga besar sih. Ia masih harus bersyukur tentang itu meski kakak iparnya terlihat sangat bawel.
"Emangnya tuh cowok naksir Ann, mom?"
Farras tentu belum puas membahasnya. Selama ini, ia tak pernah tahu bagaimana asmara Anne. Bahkan Farras mengira kalau Anne tak pernah jatuh cinta sejak SMA dan itu memang benar tapi salah untuk sekarang ini. Anne sudah bukan gadis cuek yang hanya peduli tentang organisasi, urusan seminar atau kemanusiaan. Kini? Sebetulnya masih sama tapi Anne tidak sadar kalau ia mengeluarkan satu sisi yang berbeda dari biasanya. Seperti bukan Anne.
Ditanya begitu, Sara mengendikan bahu dengan raut wajah misterius kemudian beranjak dari bangku menuju dapur. Kalau feeling keibuannya sih mengatakan 'iya'. Tapi....
"Ann juga suka gak?" tanya Farras kemudian terbahak melihat raut wajah Anne yang memerah antara kesal dan malu dengan pertanyaannya. Kata 'juga' dalam kalimat tanya Farras itu seakan menunjukan bahwa Sara sudah memberikan jawaban 'ya' untuk perasaan lelaki itu pada Anne.
"Fokus kuliah aja lah. Daddy lebih suka kalau Ann sibuk dengan prestasi bukan lelaki," ingat Feri yang membuat Farras langsung menghentikan tawa dan membekap mulutnya sendiri. Ah, ia lupa jika pembicaraan ini tentu saja masih didengar daddy mertuanya. Omong-omong suaminya lembur di kantor malam ini. Kalau ada, mungkin nasehatnya akan sama. Padahal....lelaki itu bahkan tak bisa menahan cintanya pada Farras dulu kan? Hihihi.
"Itu pertanda kalau daddy-mu gak rela anak gadisnya menikah muda," sahut Sara yang lagi-lagi membuat Farras tak kuasa menahan tawa.
"Belum waktunya, Sar. Jangan berbicara seolah aku seorang daddy yang sangat keras," Feri tentu tak terima tapi istrinya malah mengibas-ibas tangan.
"Dulu Abang juga begitu. Waktu Aya lagi ngebet pengen nikah diusia 21 tahun tapi gak diberikan izin."
Farras terkekeh. Ia baru tahu tentang itu.
"Aya masih kekanakan, Sar. Wajar aku melarang."
"Halah-halah, bilang saja kalau tidak rela."
Farras memilih kabur daripada berada ditengah-tengah. Ah, ia paling suka kalau mertuanya adu mulut begini. Bukannya ingin mengadu domba, ia hanya merasa lucu saja. Kalau mommy kan memang cenderung menggunakan perasaan dalam segala hal. Kalau daddy kan tentu dominan logika. Jadi wajar kalau tak pernah bertemu pendapat yang sama.
@@@
Anne menghela nafas. Ia berkali-kali mengulang bacaannya tapi yang terlintas Hamas lagi. Kemudian ia ber-istigfar, barangkali bisa menghilangkan ingatan tentang obrolan sore tadi eeh boro-boro. Alhasil, ia masuk ke kamar mandi kemudian mengambil wudhu lalu memakai mukena. Setelahnya, ia malah bingung. Ia harus solat apa? pikirnya. Isya sudah dan solat sunahnya pun sudah. Tahajud belum waktunya apalagi subuh. Akhirnya, ia melepas mukenanya kemudian menutup bukunya. Ia mengalah pada otaknya yang terus memutar kenangan dengan Hamas.
Mengingat wajah serius yang sibuk orasi di kantin tadi membuat Anne tersenyum. Hamas begitu kece dengan gaya ala politikus. Entah kenapa, Anne lebih suka melihatnya berorasi. Mungkin lebih cocok. Lalu mengingat cara Hamas memulai obrolan dengannya sore tadi membuatnya salah tingkah. Tiba-tiba Anne memeluk guling dengan kuat sambil tersenyum selayaknya orang bodoh dan ber-istigfar dalam satu waktu. As-ta-ga!
Oke-oke, pikirnya. Ia akan mengalah pada egonya yang mencoba menggoyahkan cinta pertamanya. Aaah...cinta pertama?
Bukan. Kedua?
Bukan. Ketiga?
Bukan. Keempat?
Bukan. Kelima?
Anne menimbang-nimbang. Boleh kah ia menaruh lelaki itu sebagai cinta kelimanya? Tapi.....
Anne mendesah. Allah, bisiknya. Kalau cinta ini membawa rahmat, biarkan aku terbuai. Tapi kalau membawa petaka, tolong jangan tenggelamkan ia dihatiku.
Bagi Anne, cinta pertamanya tak bisa ditukar dengan apapun. Cinta pertamanya kepada Allah. Cinta keduanya tak bisa ditawar. Cinta keduanya pada Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam. Cinta ketiganya tak bisa dikurangi. Cinta ketiganya pada kedua orang tua. Cinta keempatnya tak bisa dimusnahkan. Cinta keempatnya pada keluarganya. Cinta kelimanya?
Anne menggeleng lemah. Ia tak mau melemahkan diri pada sesuatu yang belum pasti. Toh kalau jodoh tak akan pergi karena namanya sudah melekat dalam takdir-Nya. Iya bukan?
@@@
"Ann!"
Anne menoleh. Ia mendapati Nia yang sedang berjalan ke arahnya. Sementara ia baru saja menuntaskan tugasnya setelah tiga jam mendekam di perpustakaan. Ia tak tahu kalau Nia juga ada di perpustakaan. Lagi pula di hari Sabtu ini seharusnya tak ada jadwal kuliah. Hanya saja, semalam mendapat pemberitahuan dadakan soal kelas pengganti di Sabtu pagi tadi. Kemudian ia lanjut makan siang dengan sahabatnya dan tenggelam di perpustakaan selama tiga jam. Kini, usai solat ashar di mushola kecil perpustakaan, ia beranjak keluar, berniat pulang.
"Abis ngapain?" tanyanya dan kini matanya tertuju pada karton-karton yang dibawa Nia. Bukan mau demo kan? pikirnya. Kalau iya, ia akan ikut. Hahaha!
Nia malah terkekeh dengan malu-malu. "Kemarin gue gabung sama tim suksesnya Kak Hamas. liaaaat nih liaaaat!" ucapnya lantas memamerkan foto Hamas yang ganteng dengan senyumnya yang khas itu. Senyuman khas politisi jujur yang disegani.
As-ta-ga! Anne sampai ternganga. Gak nyangka aja kalau Nia akan separah ini. Ah, maksudnya, ia tahu sih kalau si Nia suka lebay jika berurusan dengan kekaguman pada seseorang. Kemarin pada boyband Korea yang Anne tak tahu apa namanya yang jelas sahabatnya itu menghabiskan uang jutaan demi membeli barang-barang yang menurut Anne gak guna. Lalu, ia heboh dengan Dilan dan di mana-mana ada wajah Dilan di segala barangnya sampai Anne pusing kepala. Sekarang? Anne sedang mewanti-wanti apa yang akan dilakukan Nia dengan kelakuan gilanya itu? Jujur deh, Anne tidak cemburu sedikit pun. Ia hanya merasa heran dengan orang model Nia begini. Menurut Anne, ada hal yang lebih penting dibanding mengurusi hal semacam itu. Misalnya? Amal. Siapa yang tahu pasti kapan meninggalnya seseorang?
Melihat ekspresi kaget milik Anne itu membuat Nia tertawa. Asal tahu saja, ia bisa saja melakukan hal yang lebih lebay dari itu. Ini kan belum seberapa. "Kan mau dukung dia didebat sore ini, Ann. Lu mau ikut nonton gaak?"
Dan tahu-tahu Hamas dan rombongan tim suksesnya lewat di depan matanya. Memang lelaki itu tak melihatnya dan fokus jalan ke depan dengan wajah serius. Tahu-tahu, si Nia sudah beringsut, ikut berjalan dengan cewek-cewek yang mengaku tim sukses Hamas padahal Anne yakin, niat terselubungnya adalah hanya nge-fans pada cowok itu. Anne paham sih, cowok sekece Hamas gak mungkin tidak ada yang suka.
Anne menimbang-nimbang. Sebetulnya ia ingin menonton debat itu. Bagaimana pun, ia punya jiwa politik yang terpendam, itu istilah yang digunakan daddy-nya tiap mereka berdebat tentang sesuatu di depan televisi. Tapi kali ini, Anne memutuskan untuk melewatkannya. Gadis itu ingin pulang dengan pertimbangan bahwa cuaca mulai mendung dan ia tak membawa payung. Meski bisa membayar taksi dari sini ke stasiun, ia lebih memilih menyimpan uang jajannya untuk disedekahkan guna pembangunan rumah sakit Indonesia di Palestina. Kan lumayan amal jariyahnya jauh lebih besar dibanding uang yang dikeluarkan Anne. Perhitungan akhirat ala Anne ini kadang kala membuat kering dompet tapi tidak kering iman. Ya kan?
Tapi baru sampai di lobi, Paijo muncul dan tergesa-gesa memanggilnya. Anne menoleh dengan kernyitan didahi. Paijo alias Mandala bagai dikejar polisi sebagai buronan. Bajunya super basah karena keringat.
"Kenapa Kak Jo? Abis nyopet?" semprotnya lantas terbahak saat Paijo melotot. Ia bahkan tak sempat membalas guyonan Anne barusan. Paijo menarik nafas dulu panjang-panjang. Ia memegangi kedua lututnya dengan nafas tersengal. Setelah agak normal, ia baru bicara.
"Ann urgent nih. Please, bantu gue buat jadi MC debat sekarang!"
"Hah?"
Lutut Paijo sampai lemas. Cowok ganteng itu sampai tertekuk di lantai menghadap Anne. Bukan untuk mengiba pada Anne tapi ia benar-benar lelah usai berlari kesana dan kemari mencari MC acara debat sore ini. Lalu tetiba ia melihat Anne yang hendak pulang. Sungguh keajaiban bukan?
"Ayo lah, Ann. Si Nisa ngambek, gak tau ke mana tuh orang. Anak BEM banyak yang gak dateng karena Sabtu. Sisanya udah sibuk ngurusin yang lain. Tolong dong bantuin gueee," pintanya memelas.
Bukan apa-apa sih. Ini kan mendadak banget. Mana Anne gak pernah jadi MC debat begindang. As-ta-ga!
@@@
Kalau bukan karena hutang budi pada Paijo yang pernah membantunya saat OSPEK dulu, ia tak akan pernah mau menerima tawaran dadakan itu. Ini biar impas aja. Apalagi kakak tingkatnya yang satu ini sering kali ungkit-ungkit masalah itu biar ia mau membantu. Emang dasar Paijo! Sialnya, Anne cuma bisa mendumel dalam hati. Tapi jangan bilang kalau Anne tak berani pada Paijo. Kalau nih cowok minta macem-macem padanya, ia gak segan menolak atau mengomel-omel. Ia sudah lama kenal dengan cowok sableng yang satu ini walau sebenarnya, Paijo itu baik sekali.
Anne menaruh tasnya kemudian berjalan menuju operator. Di atas meja operator ada mikrofon yang sudah disiapkan untuk MC. Namun tak selihai biasanya, Anne mendadak gugup ketika berdiri di depan massa mahasiswa yang hari ini cukup ramai. Walau agak risih juga dengan fans-fans Hamas dan juga orangnya? Eh?
As-ta-ga, Anne! Fokus! Fokus!
Ia malah melirik Hamas yang tampak lebih tegang darinya. Anne mendesah dalam hati. Kenapa ia b**o sekali? pikirnya. Ia lupa kalau salah satu kontestannya adalah lelaki itu. Anne menarik nafas dalam-dalam seraya berdoa agar Allah menghapus ingatannya tentang Hamas untuk sesaat. Aaarrghh! Tapi gak bisa! Gimana bisa lupa kalau orangnya ada di depan mata?!
Dan suara Nia bersama gengnya menderu. Sejak awal, mereka memang heboh sekali berteriak mengelu-elukan nama Hamas. Malah Anne yang malu mendengarnya. Ia jadi bertanya-tanya, apakah mengumpulkan cewek-cewek itu adalah bagian dari strategi Hamas untuk menjadi pusat perhatian? Namun Anne sih tak terpengaruh. Menurutnya, seseorang yang layak menjadi ketua BEM bukan yang populer melainkan memang ia mempunyai kemampuan memimpin yang mumpuni. Walau Anne mendengar dari orasinya, lelaki itu sangat keren. Tapi Anne kan belum pernah tahu kinerjanya. Ia hanya mendengar prestasi-prestasi Hamas yang gosipnya berterbaran. Yang katanya sering jadi imam solat di masjid kampus, sering menjadi pembicara, sering kekuar-masuk gedung DPR hingga kementerian dan diundang tentunya, Mapres Kedokteran UI dua tahun lalu dan....sering keluar negeri untuk konferensi ilmiah juga pertukaran mahasiswa. Dari situ, Anne memang merasa kalau cowok itu keren tapi Anne belum melihat secara langsung kinerjanya bukan?
Walau Anne terlihat gugup namun ia tak kehilangan percaya dirinya. Ia membuka dengan basmallah dan menitahkan agar semua berdoa sebelum debat dimulai. Setelah itu, ia mengenalkan profil masing-masing calon ketua dan wakil BEM sebagaimana yang tertera pada layar di sebelahnya. Kemudian ia melirik sekilas rundown acara yang baru ia dapat tadi. Ia membuka dengan orasi damai dan memulai dengan mempersilahkan kepada masing-masing calon untuk menyampaikan visi-misinya terkait topik debat kali ini.
Nathan sebagai calon nomor urut satu maju lebih dahulu. Lelaki itu menyampaikan visi-misinya dengan rayuan maut yang mengundang sorak-sorai mahasiswa. Sementara Anne hanya fokus menatap lurus ke depan. Kemudian ia memanggil calon nomor urut kedua untuk menyampaikan visi-misinya. Hamas langsung maju dan menerima mikrofon dari Anne dengan tangan gemetar. Wayan yang duduk diantara penonton dan menyadari getaran itu terkikik geli. Sejak awal Anne muncul, ia memang terus memantau gerak-gerik Hamas yang tidak sepercaya diri biasanya.
Kalau Nathan terlampau santai menyampaikan visi-misinya, Hamas malah terlampau serius. Ia tak main-main dengan jabatan yang ingin diraihnya. Karena baginya bukan jabatannya yang penting melainkan tanggung jawabnya. Kenapa? Tanggung jawabnya itu berat dan penuh resiko. Namun ia rela membawanya demi kebermanfaatan yang lebih besar. Bukan kah sebaik-baiknya manusia adalah menjadi khalifah di muka bumi?
Usai penyampaian visi-misi, dilanjutkan dengan topik-topik per bidang yang akan dibahas. Soal-soal di setiap topik sudah disiapkan. Anne hanya perlu menyampaikan masing-masing pertanyaan. Pada debat penutup ini, yang tersisa adalah topik yang berkaitan dengan infrastuktur kampus, kemanan dan lingkungan.
Tidak ada yang istimewa dalam debat kali ini. Hanya saja, kehadiran Anne membuat jantung Hamas lebih gugup dari biasanya. Walau lelaki itu masih tampak memesona, nyatanya kegugupan yang ia rasakan luar biasa. Baru kali ini ia berpikir bahwa ada perempuan yang dapat mempengaruhi kemampuannya dalam mengendalikan diri sedalam itu. Sementara selama penglihatan Hamas, Anne malah tampak serius dengan tanggung jawab yang diembannya. Gadis itu tak tampak terganggu oleh kehadirannya. Padaahaal.....
Anne udah pengen teriak-teriak bersama fans-nya Hamas saking kecenya lelaki itu. Aish!
Hampir dua jam jalannya debat itu berlangsung. Perdebatan tentu sempat alot namun, meski Nathan tampak terlihat sangat emosi, Hamas sama sekali tidak terpancing. Meski beberapa kali, argumennya dipatahkan tak lantas membuat Hamas melakukan hal yang sama meski ia bisa. Lelaki itu menghargai pendapat siapa pun dan tak lantas karena berbeda malah harus diserang. Baginya, justru perbedaan itu lah yang menyatukan.
Kini, usai debat ditutup oleh Anne, Hamas dipeluk oleh sahabat-sahabat yang mendukung pencalonannya. Sementara Anne sibuk berbisik dengan Paijo. Cowok sableng itu menawarkan satu kotak donut kesukaan Anne sebagai ganti bantuan Anne hari ini. Hal yang membuat Anne terkekeh namun timbul sedikit cemburu pada lelaki yang kini menatap tawa Anne bersama lelaki lain.
@@@
Anne membiarkan teman-teman perempuannya yang lain keluar lebih dulu. Gadis itu ingin memperpanjang zikirnya usai solat magrib. Ia melirik ponselnya untuk melihat jam. Masih setengah jam lagi menjelang isya, ia menimbang-nimbang apakah harus menundanya atau menunggu. Tapi kondisi mushola di dekat gedung aula ini mulai sepi dan agak horor. Bukan takut pada hal-hal yang berbau halus, Anne khawatir sesuatu yang buruk padanya terjadi diakibatkan oleh manusia. Makanya, ia yang sudah tak konsentrasi berzikir akhirnya menyudahinya. Gadis itu memberesi mukenanya kemudian memakai kaos kakinya. Tak lama, ia keluar dari tempat solat perempuan dan hendak memakai sepatunya. Namun ia mencari-cari sepatunya tapi tak kelihatan hingga....
"Ini?"
Seseorang menunjukan sepatunya yang sudah terlempar satu meter dari tempat awal ia menaruhnya. Ia tahu pasti karena tadi tidak menaruh di rak yang ada jadi ditendang-tendang mahasiswa lain. Tapi omong-omong, kenapa lelaki yang satu ini masih di sini?
Lelaki itu berdeham saat Anne melangkah mendekatinya eeh bukan ia tapi sepatunya. Ia bukannya ingin ge-er tapi kali ini harus tahu tempatnya. Omong-omong, ia sengaja menunggu Anne karena belum melihat gadis itu keluar dari mushola yang sepi ini. Meski ini mushola lebih besar. Tapi kan, ini sudah malam.
Anne sibuk memakai sepatunya, ia malah sibuk berdeham sambil sesekali melirik jam tangannya. Sebetulnya, ia ingin pulang ke rumah. Namun ia menimbang-nimbang untuk menumpang ke rumah tantenya dari pada pulang ke Bogor. Pasti ia akan sampai tengah malam kalau pulang ke Bogor sekarang. Ia terbayang macetnya di jalan dari Jakarta Pusat ini. Ah, omong-omong lagi, gadis ini tak memakai gamis seperti biasanya tapi memakai baju atasan yang panjangnya sampai lutut dan rok yang sewarna plum. Kerudungnya juga berwarna yang sama tapi bukan segiempat yang sering ia lihat, kali ini Anne memakai pashmina. Hal yang membuatnya sempat susah konsentrasi saat debat tadi. Terbayang ada perempuan cantik di sampingnya. Uhuy!
Astagfirullah! Ia harus istigfar atau enggak kalau ada yang cantik begini?
"Belum pulang, Kak?" tanya Anne yang sedari tadi menimbang-nimbang apakah ia harus bertanya atau tidak. Tapi karena lelaki ini tak kunjung bicara, akhirnya ia yang bertanya duluan. Alasan lainnya? Karena lelaki ini tak kunjung pergi. Agak canggung jika Anne pergi begitu saja.
"Yang nanya juga belum pulang?"
Ia malah melempar tanya. Anne yang sibuk memakai ranselnya cuma tersenyum kecil kemudian berjalan menuju lobi fakultas. Omong-omong ia heran akan keberadaan lelaki ini. Kok masih di sini? pikirnya. Maksudnya, magrib kan sudah selesai sedari tadi dan seharusnya sudah pulang juga sedari tadi.
"Tadi tertarik dengan visi-misi saya?" tanyanya rada kaku menyebut 'saya'. Terlalu formal tapi ia juga merasa aneh kalau menyebut 'aku' apalagi 'gue'. Walau terakhir mengobrol dengan Anne malah menyebut 'aku'. Ia berupaya menjajari langkah Anne yang agak mengebut itu.
"Eung....." Anne tampak berpikir. Sejujurnya sih, ia tertarik. Bukan hanya pada visi-misinya tapi juga orangnya eeeh....hihihi. "Lumayan."
"Kalau dalam dunia survei, pertanyaan dengan jawaban kualitatif itu sulit diperhitungkan."
Anne terkekeh. "Biasanya dalam survei pendapatan ada yang namanya rendah, menengah dan atas."
"Lalu?"
Anne mengendikan bahu. "Menurut Ann, yang penting itu bukan visi-misinya tapi pencapaian dari visi-misi tersebut. Visi-Misi adalah alat dalam suatu perencanaan yang ideal untuk mencapai sebuah target. Itu memang penting. Tapi hal yang lebih krusial adalah dampak dari action yang diambil atau istilahnya keputusan."
"Visi-misi juga desain, Ann. Ibarat hidup, visi-misi itu yang akan mengarahkan agar mencapai target kehidupannya. Misalnya, ingin menargetkan surga. Setiap orang pastinya memiliki visi-misi dalam hidupnya. Kalau tidak, mungkin sudah terombang-ambing di dalam arus kehidupan. Bisa dibilang, orang seperti itu mungkin hanya diam di tempat dan tertinggal banyak hal."
Anne mengangguk-angguk.
"Ada banyak visi-misi dan setiap orang pasti berbeda. Namun biasanya tergantung pada tujuan dan caranya aja. Ada yang memilih jalan baik dan sebaliknya. Namun yang harus diketahui adalah ada saksinya. Dan ada hari perhitungan keadilan yang menunggu di hari akhir nanti."
"Lantas apa visi-misi yang kakak bangun itu bisa menjamin tercapainya target?"
"Pernah dengar probabilitas?"
Anne hanya mengangguk sebagai jawaban.
"Peluang itu selalu ada bagi yang mau berusaha. Dan setiap usaha yang dibarengi doa tak ada yang sia-sia. Itu janji Allah pada hamba-Nya, walau dijawab dengan tiga cara. Bisa iya dikabulkan. Bisa ditunda. Bisa ditolak. Akhirnya, tergantung cara manusia menanggapi hasilnya. Dan saya sebagai hamba hanya melakukan semampunya. Sisanya saya serahkan kepada Allah."
Anne mengangguk-angguk. Kagum akan cara bicaranya yang cerdas dan mampu membius hati Anne. Juga kata-katanya yang begitu kece. Lebih pantas jadi politisi kan dibanding dokter? Anne yakin, jika suatu hari nanti, lelaki ini akan menjadi seorang pemimpin mungkin akan sangat keren. Dan mudah-mudahan bisa lebih amanah dan tanggung jawab atas kekuasaan yang dipegangnya. Karena terkadang, orang yang sudah mendapat kekuasaan seringkali lupa tugas utamanya dan kebanyakan dari mereka malah sibuk mengejar sesuatu yang bernama kekayaan. Karena kekuasaan biasanya memang tak pernah lepas dari kekayaan.
"Dijemput lagi?" tanya Hamas yang sekaligus menyadarkan Anne kalau mereka sudah sampai di lobi fakultas yang amat sangat sepi. Yeah, malam minggu begini siapa yang mau nongkrong di kampus?
Anne menggeleng. "Naik ojek sampe stasiun disambung kereta," tuturnya lantas ingin pamit tapi....
Hamas mengangguk-angguk. Ia bisa saja menawarkan tumpangan dan mengantar gadis itu sampai ke rumah tapi ia tak menjamin apa yang akan terjadi pada imannya. "Hati-hati, Ann. Lekas berdoa," pesannya yang dibalas anggukan oleh Anne.
Anne mengucap salam lantas berjalan lesu ke depan gerbang kampus menuju abang-abang ojek yang sudah menunggu. Sementara lelaki itu masih mengawasi Anne dengan mata elangnya.
@@@