Marriage Business - 4

1619 Kata
Pagi harinya, Alika dan Devan sarapan bersama di meja makan dengan hening. Mereka sama-sama menikmati sarapan yang sudah Devan buat. Jangan harap Alika yang memasak, karena gadis itu tidak bisa memasak dengan baik. Alika hanya bisa masak yang mudah dan simpel saja, seperti masak telur goreng misalnya. Dihadapannya saat ini adalah menu English breakfast, namun Alika tidak memakan telur mata sapi yang kuningnya setengah matang. Sungguh Alika tidak menyukai telur yang setengah matang. Menjijikan menurutnya. "Saya lihat daritadi kamu tidak menyentuh telurnya, tidak suka?" Alika menggeleng, "Gak suka yang setengah matang," Tanpa suara, Devan meninggalkan makanannya. Lalu ia membuatkan Alika telur. "Ah! Tidak usah dibuat lagi. Aku tidak ingin ngerepotin." Ucap Alika. Devan tidak menggubris ia tetap membuat telur untuk Alika. "Kemarikan piringmu." Perintahnya. Alika pun langsung memberikan piringnya pada Devan, melihat telur setengah matang itu masih utuh di piring Alika, Devan pun langsung membuangnya ke tempat sampah dan menggantikan telur yang baru saja ia buat. "Terima kasih sudah membuatkannya yang baru," Devan tersenyum tipis. "Kembali kasih." *** "Alika!" Sebuah suara menginstrupsi. Alika pun menghentikan langkahnya dan menatap dua sahabatnya berlari kecil ke arahnya. Siapalagi kalau bukan Kiara dan Helena. Helena, dua hari ini ia tidak ada masuk kelas karena dia sibuk bekerja part time di sebuah restauran di tengah kota. Tatapan kedua sahabatnya itu menatap Alika dengan aneh. "Ini kemeja siapa yang kamu pakai?" Tanya Helena heran karena kemeja yang Alika kenakan terlihat kebesaran walaupun kemeja itu ia masukkan ke dalam celana jeans-nya. "Ah!" Kiara juga meneliti celana Alika. "Ini kan celana yang kamu pakai kemarin! Ya Tuhan sejak kapan dirimu mau memakai pakaian yang sama?!" Alika merasa terpojok sekarang. Ah, sial. Kenapa kedua sahabatnya ini teliti banget sih? Apa sangat terlihat sekali kalau kemeja Devan ini tampak kebesaran meskipun ia sudah memasuki kemeja tersebut ke dalam jeansnya. Dan apa-apaan itu? Mengapa Kiara juga sadar bahwa ia memakai celana Jeans yang sama? Ini semua gara-gara Devan! Karenanya ia tidak bisa mengambil baju baru di rumahnya. Malah pria itu mengizinkan Alika memgambil pakaiannya besok yang notabenenya hari ini. Dan bodohnya entah kenapa ia juga harus mengikuti perintahnya Devan? Devan belum menjadi suaminya! Dan seharusnya ia tidak usah mematuhi perintah pria itu. Dasar dianya saja yang mendadak bodoh saat berada di sekitar pria itu. Membuat Alika yakin, Devan telah meracuni otak bodohnya menjadi semakin bodoh. "Alika kok ngelamun sik pagi-pagi gini! Sadar woi!" Helena menyadarkan Alika dari lamunannya. "Ah sori! Kita ke kelas aja yuk langsung." Alika sengaja mengalihkan pertanyaan dari Helena dan Kiara. Kiara berdecak. "Ya Tuhan gak cek hape ya? Kan udah di chat di w******p kalau kita hari ini gak ada kelas." "Seriusan?" tanya Alika tak percaya dan tangannya pun langsung mencari ponsel di tasnya. Ya, benar! Kiara sudah memberitahukan bahwa tidak ada kelas sekitar 15 menit yang lalu. Dan Alika tidak mengecek ponsel karena saat itu ia masih dalam perjalanan menuju kampus diantar oleh Mr. Gay. "Yaudah kita nongki di mana gitu," ujar Kiara. "Ke restauran cepat saji depan kampus aja lah. Lumayan tuh banyak pilihan." Ucap Helena. Sedangkan Alika hanya mengikuti saja. *** Empat mata itu menatap Alika dengan tatapan 'SUMPAH KAU GILA!' ya, Alika sudah memberitahu ke mereka tentang Devan sedetailsnya bahkan Alika pun membeberkan kepada dua sahabatnya itu kalau Devan tidak normal. "Jadi saat ini dirimu tinggal dengan Devan?!" Alika hanya mengangguk saja. "Gilaaaaa!" Kiara berucap sambil bertepuk tangannya. "Ya gak papa dong, kan dia gak demen juga sama Alika. Dia demennya yang batangan." Celutuk Helena. "Betul juga sih, jadi semalaman sama Devan kamu diapain Al?" Kiara bertanya sambil memberikan senyum iblisnya. Alika pun langsung teringat ciuman itu. Ciuman panas yang Devan berikan dan oh! Tangannya yang meremas bokongnya. Ah tidak! Alika menggelengkan kepalanya dengan spontan. Membuat kedua sahabatnya menatap Alika dengan aneh. "Kenapa geleng-geleng kepala gitu? Pasti ada sesuatu nih!" Tuding Kiara diangguki oleh Helena. "Nggak! Nggak ada. Seriusan." Ucap gadis itu sambil menunjukan jari berbentuk tanda 'peace'. Helena berdecak, "Aku kenal dirimu Alika, kau yang seperti ini tingkahnya pasti ada apa-apanya nih." Sialan. Kenapa punya sahabat yang peka banget sih, kalau begini bagaimana Alika bisa berkilah? Berbohong pun mereka pasti sadar. Karena sinyal mereka berdua itu nangkapnya cepat sekali, jadi mereka bisa membedakan ekspresi saat Alika berbohong dan tidak. "Nggak ada, sumpah!" Helena mengibaskan tangannya. "Aku gak percaya, sumpah." Helena mengikuti nada suara Alika. "Aku udah selesai. Yuk, pulang." Alika langsung beranjak dari tempat duduknya namun naas, Helena langsung menarik tangan Alika sehingga gadis itu terduduk di kursi itu kembali. "Belum! Belum selesai." Ujar Helena diangguki Kiara. Alika mendengus kesal, "Apalagi? Kan udahku bilang gaada apa-apa. Aku mesti ceritain bagaimana lagi coba?" "Benar?" tanya mereka dengan meneliti. Kiara mengangguk yakin. Pura-pura yakin lebih tepatnya. Saat mereka hendak bertanya, tiba-tiba ponsel Alika berdering. "Bentar gais. Ini ada nomor yang gak aku kenal." "Angkat saja." "Lagi di kelas ya?" Suara maskulin itu terdengar di indera pendengaran Alika. Pria itu tidak ada mengucapkan salam malah langsung bertanya begitu saja. Heran. Dasar pria tidak ada sopan santun! Ucap gadis itu di dalam hatinya. Tentu saja Alika tahu siapa pria yang tidak punya sopan santun ini. Siapa lagi kalau bukan Raditya Devan Wijaya. Alika memberi kode kepada Helena dan Kiara dengan mulutnya kalau yang ditelponnya saat ini adalah Devan. Mereka menjerit tertahan dan menyuruh Alika untuk langsung speaker mode. "Tidak, tiba-tiba ternyata gak ada kelas." "Jadi sekarang masih di kampus?" "Lagi di restauran cepat saji depan kampus." "Baiklah tunggu di sana." Saat Alika ingin bertanya kenapa ia harus tunggu di sini pada Devan, malah pria itu sudah menutup panggilan dengan sepihak. Ish! Benar-benar pria yang tidak memiliki sopan santun. Andai saja waktu bisa terulang, jika mereka berdua di waktu masa kecil, Alika sudah pasti ingin sekali menimpuk kepala pria itu agar saat dewasa nanti Devan tidak dingin, keras kepala, dan tidak sopan seperti sekarang. "Itu si Mas Devanmu mau jemput?" Alika mengedikkan bahunya. "Gak tahu. Kan kalian dengar sendiri, dia gaada bilang aku untuk tunggu," Helena dan Kiara berdecak. "Kita bisa nunggu siapa tahu kau memang bakalan dijemput sama tunganganmu itu." "Kita belum tunangan." Kilahnya. "Setidaknya kan nanti." Alika hanya memutar kedua bola matanya dengan malas. Terserah deh sama mereka. "Gini aja, kita temani kamu di sini selama 10 menitan, nah nanti kalau misalkan Devan dalam kurun 10 menit belum datang juga, kita cus pergi." "10 menit lama banget. Kan kalian tahu aku tuh malas banget yang namanya tunggu-menunggu apalagi gak jelas kayak gini. Wasting our time." Ucap Alika kesal. Baginya lebih baik ia pulang ke rumah dan menikmati waktu sendirinya di rumah tanpa kehadiran ibu dan daddy-nya yang saat ini lagi diluar negeri. "Ngga ada ya istilahnya wasting time menunggu doi." Ucap Kiara. "Doi ndasmu." "Ayolah Alika kita penasaran sama wajah pangeran berkudamu." "Apaan sih," *** Drama tadi di restauran membuat Alika tidak habis pikir. Kenapa mereka sehisteris itu melihat Devan. Gak bisa apa bersikap biasa aja? Astagaaa... sungguh benar-benar memalukan. "Ada apa? Daritadi meringis pelan terus." "Huh? Oh ngga ada." "Kita langsung ke apart saya saja, bajumu sudah saya belikan." "Baju saja?" "Iya," Pakaian dalam! Masa iya dia pakai pakaian dalam yang sama dari hari ke hari? Mau bilang ke Devan untuk mampir ke toko pakaian dalam dianya malu. Sangat malu. "Nanti turunin saya di mall dekat sini saja," ucap Alika. "Ada yang ingin kamu beli?" Alika mengangguk, "Iya, nanti kamu drop off aja aku, nanti aku bisa ke apartmu sendiri." "Gak papa saya temani." "Ih jangan! Pulang aja dulu, nanti aku nyusul. Aku cuma sebentar saja." Devan diam. Dan diamnya Devan membuat Alika berpikir kalau pria itu pasti mengikuti perintahnya. Namun saat mereka sudah di pelataran parkir mall, Devan malah memarkirkan mobilnya dan bukan mengikuti ucapan Alika sebelumnya. Astaga.... jika Devan ikut bagaimana dia bisa membeli pakaian dalam coba? Tiba-tiba ide cemerlang hadir di otak cantiknya. Langsung saja Alika turun dari mobil meninggalkan Devan yang baru saja mematikan mesin mobil. Devan berpikir Alika akan kabur darinya sehingga pria itu dengan cepat keluar dari mobil dan mengejar Alika yang saat ini masih ada dalam pandangannya. Devan sebenarnya penasaran mengapa Alika ingin mampir ke mall? Apakah ada seseorang yang ingin ia temui tanpa dirinya maka dari itu Alika meninggalkannya? Tapi, siapa? Apakah gadis itu akan menemui seorang pria? Ah, kenapa dia begitu sepenasaran ini? "Alika!" Panggil Devan saat gadis itu berlari kecil di lobby mall entah ingin pergi ke mana. Devan tidak tahu. Alika mempercepat larinya karena Devan juga berlari mengejar Alika. Membuat beberapa pengunjung mall heran dengan dua manusia dewasa yang berlarian seperti anak kecil. Mungkin. Entahlah Alika tidak peduli, yang saat ini Alika inginkan adalah pergi menjauh dari Devan agar ia bisa membeli pakaian dalamnya. Sungguh, gadis itu tidak berniat untuk lari dari Devan. Ia pasti akan balik ke apartement pria itu jika ia sudah membeli pakaian dalamnya. Sebuah tangan menarik pergelangan tangannya, lalu wajahnya berada tepat di d**a bidang milik seorang pria. Aroma aftershave itu membuat Alika menghidu dalam-dalam. Dia hafal siapa pemilik wangi ini. Kedua tangan itu memeluk tubuhnya dengan erat sehingga Alika bisa merasakan detak jantungnya yang berdetak cepat sama seperti dirinya. "Jangan lari-lari seperti ini. Saya lelah." Ucap Devan sambil mencium leher Alika. Membuat gadis itu bergidik geli. "Sebenarnya apa yang kamu ingin lakukan di mall ini, Alika?" Tanya pria itu lagi tanpa melepaskan pelukannya. Pria itu ingin menetralkan napasnya yang tidak beraturan karena sehabis lari mengejar gadis ini. "Aku malu mau bilang, pokoknya ini masalah cewek, Devan." "Katakan saja tidak usah malu." "Aku... aku ke sini karena ingin beli pakaian dalam." Ucapnya dengan suara yang sangat pelan sehingga Devan hampir tidak mendengarnya Devan tersenyum lalu menutup wajahnya di pundak Alika. Tuhan... rasanya ia ingin tertawa sekarang juga. Mengapa harus berlari menjauhinya hanya untuk membeli pakaian dalam?! Semalu itukah? Astaga... Devan benar-benar tidak habis pikir dengan pikiran gadis ini. TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN