Alika terdiam menatap Devan dalam pandangan kosong membuat Devan heran dengan Alika saat ini.
"Al?"
Tubuh Alika terkesiap. "Eh? Iya maaf."
Devan duduk di sebelah Alika, "Apa yang kamu pikirkan?"
Alika menggelengkan kepalanya. "Ah tidak ada,"
"Kamu terlihat gugup." Ujar Devan membuat Alika menggigit bibir bawahnya.
Jujur saja, Alika memang lagi gugup. Apalagi pertanyaan, "Jadi, apa yang mereka katakan padamu? Apakah orangtua ku bilang bahwa aku gay?" Itu hanyalah dipikiran Alika saat ini. Ketakutannya akan Devan bertanya hal itu membuatnya menjadi halu.
"Kenapa kamu membawaku ke sini Dev?" hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Alika. Ia juga penasaran mengapa Devan membawanya ke apartnya?
Devan mengedikkan kedua bahunya. "Well, mungkin kita perlu berbincang sebentar mengenai hubungan kita." Ucap Devan sambil membuka kancing jas yang melekat ditubuhnya. Lalu jas tersebut ia letakkan di kepala sofa.
"Maksud kamu?"
"Alika, kita itu teman kecil bukan?"
Alika mengangguk ragu. "Iya,"
Devan tersenyum, "Terdengar lebay, are you still be my princess?"
Lagi, Alika dibuat bingung oleh Devan. Princess apa coba?
Devan tersenyum tipis melihat wajah Alika yang kebingungan. Menurut pria itu Alika sangat terlihat imut saat memasang wajah seperti itu.
"Lupakan."
Alika hanya mengangguk saja, Devan berlalu pergi masuk ke dalam kamarnya entah apa yang ingin ia lakukan entahlah, Alika tidak tahu. Dan Alika tidak tahu apa yang harus ia lakukan saat ini, ia malah memikirkan ucapan Devan barusan, princess? Princess-nya dia?
Oh sial!
Baru sekarang ia mengingat memori masa kecilnya bersama Devan yang bermain pangeran dan putri. Iuh! Mengingat itu semua membuat bulu kuduk Alika naik.
Astaga!
Tapi Devan masih mengingat itu semua. Sial malu.
"Ini,"
Devan memberikan kemejanya. "Ganti bajumu, kamu tinggal di sini sama saya."
Alika menatap Devan tidak paham. Tinggal bersamanya? Apakah dia gila?!
"Maksudnya aku tinggal di sini? Lalu kamu?"
"Stay di sini juga,"
Alika menggelengkan kepalanya, "tidak! Aku tidak mau tinggal di sini. Kau gila apa!"
"Cepat ganti pakaianmu!"
Dia gay Alika! Apa yang perlu kau takutkan?!
Setan batinnya mengingatkan. Tapi tetap saja mau Devan gak normal sekalipun, sebagai wanita ia harus tetap waspada.
"Aku mau pulang!" Seru Alika kesal sambil menatap Devan dengan marah. Kalau tahu gini, Alika lebih baik tidak usah mengikuti supir pria ini saat di kampus tadi. Lebih baik ia pulang naik taxi online ketimbang harus pulang bersama Devan karena dipikirnya lumayan irit ongkos malah ia harus terjebak di apartement milik pria itu.
Astaga...
Sungguh bodoh!
Devan menatap Alika sebentar dalam diamnya, lalu ia masuk ke dalam kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.
Alika yang keras kepala itu pun tetap tidak mau mengikuti titahnya Devan. Ia lebih memilih untuk merebahkan tubuhnya di sofa sambil menatap langit-langit apart pria itu.
Gadis itu menghela napasnya.
Devan.
Dia berbeda.
Entah ke mana sifat manisnya saat terakhir kali ketemu. Memang, itu sudah beberapa tahun yang lalu namun tetap saja, Alika berharap sifat Devan yang manis itu masih ada. Devan yang benar-benar peduli terhadapnya.
Tapi sekarang?
Semua sifat itu hilang tidak ada sifat Devan di masa lalu yang sungguh Alika rindukan..
Alika bangun dari sofa, lalu ia pun berniat untuk pergi keluar dari apart diam-diam tanpa sepengetahuan Devan. Karena dia berpikir bersama dengan Devan berada di apartemen yang sama itu salah menurutnya.
Saat Alika hendak keluar dari apartemen Devan, tiba-tiba Devan keluar dari kamarnya dan melihat Alika yang hendak keluar.
"Kau mau ke mana?"
Tubuh Alika mematung mendengar suara Devan, dengan tatapan berani dia pun berkata.
"Aku akan pulang sekarang."
Devan tersenyum miring, "coba saja kalau bisa."
Alika tersenyum geli, "tentu saja aku bisa kau kira aku bodoh!"
Devan tidak menggubris lalu dia malah pergi ke kamarnya. Alika benar-benar bingung dibuatnya.
Entah kenapa Alika merasa bahwa Devan sangat menyebalkan sifatnya benar-benar berbeda di mana saat pertama kali mereka masih bermain bersama di waktu mereka masih kecil. Dahulu Devanya sangat manis dan sangat pengertian entah kenapa sekarang malah dia sangat-sangat menyebalkan.
Terserahlah saat ini Alika tidak peduli dan yang saat ini ia pikirkan ialah pergi dari apartemen Devan ia ingin kembali ke rumahnya.
Saat tangan Alika berada di gagang pintu, pintunya tidak bisa terbuka. Sial ucapnya dalam hati pintu ini benar-benar tidak bisa terbuka.
Alika kesal, lalu langkahnya menuju kamar Devan di mana saat ini Devan sedang berbaring di atas ranjangnya sambil bermain laptop. Devan menatap Alika yang saat ini mukanya sangat kesal, namun dia hanya tersenyum miring dan mengacuhkan gadis itu yang berada di depan pintu kamarnya.
"Buka pintu itu sekarang!" Perintahnya.
Devan tidak menggubris lebih tepatnya pura-pura tidak mendengarkan.
"Ayolah Devan aku ingin pulang sekarang!" Mohonnya.
Devan hanya mendelik, lalu pria itu tetap tidak menggubris ucapan Alika barusan.
Lalu Alika melangkahkan kakinya mendekatkan tubuhnya ke arah Devan.
"ku mohon bukakan pintu itu sekarang karena aku ingin pulang sebelum ibu dan Daddy mencariku."
Devan mengalihkan tatapannya. Pria itu menatap Alika dengan pandangan yang tidak bisa diartikan.
"Saya sudah minta izin pada orangtuamu."
Alika berdecak kesal. "Apa maksudmu?"
Sumpah! Alika benar-benar kesal dibuat pria itu. Izin bagaimana coba? Tentu saja ibunya pasti melarangnya berduaan bersama pria!
Devan beranjak dari kasurnya, lalu ia menggapai tubuh Alika. Kini jarak mereka hanya dibatasi beberapa inchi saja. Gadis itu bisa merasakan deru nafas milik pria itu di wajahnya dan astaga dia baru sadar tangan pria itu berada di pinggangnya sehingga tubuhnya saat ini benar-benar berhimpit dengan d**a bidang milik Devan.
Tidak ada lagi suara Alika yang berisik seperti sebelumnya, speechless itulah yang ia rasakan saat ini. Apalagi tatapan Devan benar-benar menusuk ke dalam matanya. Dan sialnya lagi, jantungnya berdegup kencang karena diperhatikan Devan sedekat ini.
Mata Alika terbelalak kaget saat Devan mencium bibirnya. Tubuh Alika terasa lemas merasakan ciuman tersebut. Ciuman itu berubah menjadi lumatan, bodohnya Alika hanya mampu diam dan ia tidak bisa berontak.
Sial!
Tangan kanan Devan berubah meremas b****g Alika membuat Alika mendesis pelan sedangkan tangan kiri pria itu menekan leher Alika agar bisa mendalami ciuman tersebut.
Sungguh, dia tidak bisa menghindar dari ciuman panas Devan.
Devan menyudahi ciumannya, menatap Alika dengan intens lalu ia menyentuh bibir gadis itu dengan ibu jarinya.
"Saya bisa melakukan lebih, jika kamu tidak mendengar dan mematuhi saya." Ucap pria itu.
Respon Alika hanya mematung, kini Devan mengambil handuk di lemari.
"Ini, mandilah. Pakai baju yang tadi kuberikan."
Setelah itu Devan berlalu pergi keluar kamar meninggalkan Alika dengan pikiran yang berkecamuk.
Seharusnya dia marah! Seharusnya dia menjambak rambut pria itu!
Tapi...
Sudah telat.
Dia malah benar-benar menikmati ciuman yang Devan berikan! Ah sial!
Alika menutup wajahnya dengan handuk. Dia sungguh malu saat ini. Bibirnya!!!
Ya Tuhan bibirnya sudah tidak perawan lagi!
Devan sialan!
Tapi, tunggu dulu!
Bukankah seorang gay tidak nafsu dengan perempuan? Lalu... mengapa Devan menciumnya begitu nafsu dan penuh hasrat. Sehingga membuat Alika b*******h hanya dengan ciuman yang Devan berikan.
Gadis itu menepuk kepalanya. Pikirannya saat ini belum bisa berpikir jernih mengapa Devan mau menciumnya yang notabenenya perempuan. Tentu saja Devan lebih menyukai pria bukan!
***
Setelah mandi, Alika menatap pantulan dirinya di kaca yang letaknya berada di kamar Devan.
Baju yang Devan berikan padanya sangat kebesaran di tubuh. Namun bagaimana lagi, dia tidak membawa baju ganti karena ia berada di sini secara mendadak dan tak terduga.
Alika sebenarnya ingin menelepon orangtuanya meminta alasan mengapa mereka dengan mudahnya mengizinkan pria itu membawanya ke apartement Devan Seharusnya, mereka melarangnya. Jangan mentang-mentang mereka dijodohkan dan orangtuanya mempercayai Devan begitu saja. Memikirkan itu membuat Alika dirundungi rasa kesal dan kecewa di saat yang bersamaan.
"Sudah?"
Alika berjingkat kaget. "Sudah apanya?" tanya gadis itu. Tatapanya masih di kaca, namun matanya mengarah ke arah Devan di balik pantulan kaca.
"Mandi."
Alika mengangguk.
Devan pun berlalu pergi ke kamar mandi, namun saat berada di ambang pintu langkahnya terhenti.
"Jika ingin istirahat tidur aja di situ." Ucapnya sambil menunjuk ke arah ranjang miliknya dengan dagu. "Jangan tidur di kamar lain, masih berdebu ranjangnya."
Alika hanya mengangguk saja, sebenarnya tubuhnya memang lelah sekali. Apalagi biasanya habis ngampus gadis itu rebahan di kasurnya. Namun sekarang? Berbaring di kasur Devan saja membuat tubuh Alika bergidik ngeri hanya membayangkan kejadian apalagi nanti jika ia berada satu ranjang dengan pria itu.
Astaga Alika!!! Berhentilah berpikiran m***m seperti itu.
Semenjak ciuman tadi otaknya berubah jadi lemot.
Alika lebih memlih untuk duduk di sofa bed yang ada di kamar Devan.
Ia pun bermain ponselnya, ternyata ada satu pesan masuk dari ibunya.
Ibu pergi sama Daddy ke German ada bisnis yang harus Daddy handle. Ibu mau selama kami pergi kamu tinggal sama Devan, ya nak. Ibu percayain kamu sama dia, mengingat dia penyuka pria jadi semoga dengan adanya kamu dia bisa kembali normal seperti dulu.
Alika menatap pesan dari ibunya dengan tak percaya.
Semudah itu mempercayai pria gay berkepribadian dua?!
Astaga.
Ada apa dengan ibunya!
Oh, apa-apaan itu ia harus tinggal bersama Devan selama mereka berada di German! Dan kenapa mereka perginya mendadak?! Kalau ia tahu mereka pergi ke German, Alika pasti akan mengambil cuti kuliah dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama saudaranya di German ketimbang tinggal bersama pria yang gak jelas seksualitasnya!
Gay macam apa yang bisa mencium bibir sambil meremas bokongnya!
Ah! Ini adalah hari yang teramat berat baginya.
Jika saja kabur semudah itu, ia pasti sudah kabur ke rumah sahabatnya yang gila itu. Tapi pintu apartement Devan yang canggih membuat ia harus tahu password-nya agar ia mudah untuk keluar dari apart ini.
TBC