"Mmmmhh ..." Zivanya gelisah dalam tidurnya sampai beberapa kali mengigau tidak karuan.
Fibra yang berada di sampingnya makin cemas akan keadaan istrinya. Dengan panik dia menghubungi seseorang yang bisa membantunya.
"Halo Bang, kamu bisa ke rumahku sekarang! Ini penting banget Baaaaang, ini menyangkut senang dan sedih aku. Atau malahan bisa jadi hidup matinya akuuul,” terdengar suara aga manja dari Fibra.
"Ya, ampun. Dek, memangnya kamu kenapa sih!” terdengar nada jengkel dari sana.
“Aaah, pokonya abang cepat kesini. Nanti aku bicara dengan jelas.” Fibra masih kekek meminta sang abang untuk datang.
Dengan berat hati, sang abang pun mengiyakan, “Baiklaaaah, Abang ke sana nan___"
"Sekarang Baaang!"
"Iya baweeel! Lagian siapa sih yang sakit, sampai bikin adik aku yang paling super manja ini kelabakan karena kawatir." Yang di seberang sana mematikan telepon dengan seenaknya tanpa peduli kejengkelan Fibra.
"Mmmmh ..." Zivanya kembali mengeluh dalam pelukan Fibra.
"Sayaaaang, apa ada yang sakit?" Fibra mengelus pipi Zivanya yang mulai membuka mata perlahan.
"Fibraaa ... kepala aku sakit bangeeet,” kata Zivanya sampai mengeluarkan bulir-bulir bening dari sudut mata. Membuat Fibra makin cemas, mana abang belum juga datang lagi.
"Ya sudah, aku pijat ya, sayang. Jangan menangis. Bentar lagi dokter datang untuk memeriksa keadaan kamu, sayang." Fibra membawa Zivanya dalam dekapannya.
Kurang lebih 30menit berlalu, orang yang Fibra telepon baru datang.
"Kenapa lama sekali sih, Bang!" keluh Fibra setelah orang itu di antar oleh Tara langsung ke kamar Fibra.
"Ya ampun, deeek! Aku kan perlu mandi, ganti baju, dan menyiapkan segalanya. Kamu tuh, ya. Bisanya cuma mengomel dan mengeluh tanpa lihat penderitaan orang lain. Awas minggir dulu, aku mau periksa keadaan pasiennya." Orang itu menyuruh Fibra menyingkir.
"Gimana Bang, apa dia baik-baik saja?" tanya Fibra tak sabar ketika melihat abang selesai memeriksa Zivanya.
Pletak! Bukannya menjawab, abang malah memukul kepala Fibra dengan gemas.
"Perasaan, aku punya Adek enggak miskin-miskin amat! Tapi kenapa wanitanya, sampai kelaparan kaya gini. Apa kamu terus menggarap tanpa memberi pupuk.
"Ya ampun, Bang Abiii! Aku tuh serius iniii. Gimana keadaannya?"
Orang yang di panggil Abi tersenyum melihat tingkah adik kecilnya.
Ya dia adalah Abi Mizan Saffy. Biasanya semua orang memanggil dia Mizan, tapi entah kenapa dengan adik kecilnya ini, dari dulu sukanya memanggil Bang Abi.
"Baaang! Malah senyum-senyum lagi!" gerutu Fibra.
"Dia itu, siapanya kamu, dek? Sampai kamu gelisah gini. Baru kali ini abang lihat kamu kaya gini loh!" terlihat Mizan menginterogasi sang adik.
"Dia itu istri aku Bang!" jawab Fibra lantang.
Bug!
Satu pukulan mentah bersarang di pipi Fibra.
"Apa yang barusan kamu katakan! ISTRI! sejak kapan kamu menikah?" Abi berkacak pinggang melihat adiknya
Fibra menggaruk kepala yang tak gatal.
"Emmm ... kita bicara di luar ya, aku mau lihat dulu Zivanya."
Abi langsung memegang pundak Fibra
"Jangan mengalihkan__"
"Iya, iyaaa. Aku akan bicara jujur, tapi tidak di sini. Kasihan istriku, Bang." Fibra sedikit memohon dengan memasang wajah kasihan.
Melihat itu, Abi pun mengangguk dan pergi meninggalkan Fibra untuk masuk ke ruang kerja adiknya.
Selang beberapa menit pintu ruang kerja terbuka, dan menampakan Fibra yang masih terlihat kusut.
"Sekarang bilang, kenap kamu bisa nikah sama itu gadis, sampai kamu menyembunyikan semua ini dari keluarga. Dan seharusnya, kamu tuh membelikan Vila untuk Abang, dek! Karena kamu sudah melangkahi abang untuk menikah. Yaaa, hitung-hitung sebagai tanda meminta izin kamu!"
Fibr melongo mendengar apa yang di katakan Abangnya, Fibra sangka Abangnya akan marah besar karena pernikahannya.
"Jadi, Abang enggak marah kalau aku menikah?" terlihat wajah berbinar dari kedua mata Fibra.
"Siapa bilang Abang marah. Lagian percuma dek, Abang marah-marah sampai kamu babak belur pun. Karena kamu sudah nikah bilangnya. Coba kalau sebelum___”
Krek! Bang Mizan mengepalkan tangan di depan d**a sampai terdengar suara tulang patah, “pasti beda lagi,” Ucap Bang Mizan sambil menjitak kening Fibra. “Abang tuh, hanya kesel karena kamu enggak memberi hadiah melangkahi abang. Tapi, Abang senang kamu menikah. Dari pada tiap hari menggarap sawah orang tanpa mau memilikinya. Kalau kamu nikah, senggaknya kamu enggak bakalan menggarap sawah orang sembarangan, iyakan!"
Fibra tersenyum dengan apa yang Abangnya bilang. Semua rahasia abangnya, Fibra tahu dan begitu pula dengan rahasia dia, Abangnya pun tahu kalau mereka semua selalu gonta-ganti wanita. Tapi semuanya merahasiakannya karena kalau sampai ini terbongkar, akan habis semua di tangan mamahnya.
"Sebenarnyaaa, Fibra takut kalau bilang jujur pada semua, apalagi sama mamah dan Mbak Latifah, bisa-bisa mereka enggak bakalan membiarkan Fibra hidup. Abangkan tahu bagaimana mereka."
"Mereka enggak bakalan marah dek, kecuali kalau kamuuu ... ada salah besar di balik pernikahan ini." Abi menatap lekat adiknya.
Fibra menarik nafas dalam.
"Kami menikah karena paksaan aku, karena orang tuanya mempunyai hutang yang besar sama aku. Dan waktu pernikahan ini hanya 2.tahun," jelas Fibra berat.
"APA! Jadi, maksud kamu, kamu menikah sama dia karena hutan dan kontrak pernikahan kamu itu selama 2.tahun dan seterusnya kalian bercerai, begitu!"
Fibra menganggukkan kepala, "Tapi Bang, sekarang aku enggak bisa melepas dia. Karena aku sudah cinta dan suka sama dia. Aku enggak akan membiarkan dia pergi dariku," Kata Fibra sungguh-sungguh.
Mulanya Abi kesal tapi lama-lama dia tersenyum melihat adik kecilnya yang sudah mulai insaf dari sifat jeleknya hanya karena wanita itu.
"Kalau begitu, ya pertahankan tuh cewek. Kalau bisa kamu ikat di punggung kamu biar dia enggak lepas."
"Iyeee ... memangnya dia kambing apa!" kata Fibra dan malah di balas tawa oleh Abi sang Abang.
"Oh, iya Bang. Bagaimana acara pernikahan kamu Bang? Mamah sudah telepon aku memberi tahu. Kalau kamu bakalan nikah secepatnya"
"Doakan saja dek! Soalnyaaa, orang yang akan nikah sama abang entah kenapa mundur, dan di gantikan sama ponakannya."
"Maksud Abang?" kata Fibra tak mengerti.
"Orang yang selama ini menjalin hubungan sama Abang dengan lancang memutuskan untuk mundur, tapi ayahnya memberikan pilihan untuk menggantikan dengan cucunya."
"Terus Abang setuju?"
"Ya pastilah! Apalagi cucunya itu, baru berumur 17tahun. Daun muda deeek."
"Ya salaaam, Abang Gue dapat undian besar! Sudah umur 32 dapat istri umur 17. Aduh-aduuuh, buah ranum itu, bang!"
Abi dan Fibra tertawa dengan apa yang terjadi.
"Tapi bang, kalau di pikir-pikir kayanya sudah keturunan kita. Papah saja waktu menikahi mamah umur 17tahun."
"Memangnya umur istri kamu berapa dek?" kata Abi sambil mengambil minum
"17 Bang! Dan abang tahu, ayah dari Zivanya ternyata om Zulfan sepupu papah. Yang anaknya selalu meminta di nikahi oleh aku."
"Om Zulfan! Bukannya dia hanya punya anak satu dari nenek sihir itu." Kata Abi tak percaya.
"Nah itu Bang, yang ingin aku tanyakan sama papah. Soalnya istri aku sampai sakit kaya begitu ada hubungannya dengan Om Zulfan."
"Memangnya kenapa dek?"
Fibra pun mengatakan semua yang terjadi pada Zivanya setelah dia tahu dari orang suruhan Tara bawahannya.
"Waaau, aku tak menyangka, kalau Om Zulfan berani melakukan itu. Dan sayangnya, kamu harus tanya langsung pada papah dek, supaya kamu tahu apa hubungannya istrimu dengannya. Karena abang dan mbak pun tak pernah bilang apa-apa sama aku. Berarti, mereka pun tak tahu dengan semua itu."
"Ya Bang, aku akan bicara sama papah sekalian memperkenalkan Zivanya istriku Pada semua keluarga."
"Ya sudah, sana temani istrimu. Abang juga mau pulang. Jangan lupa berikan obatnya pada istrimu. Dan jangan sampai dia kelaparan lagi."
"Ok. Iya, baik. Aku akan berikan padanya. Terima kasih ya, sudah bantu aku,Bang."
"Iya sama-sama. Sudah sana kasihan istrimu."
Fibra pergi ke kamarnya untuk melihat Zivanya dan Abi pulang untuk meneruskan istirahatnya yang tadi sempat terganggu oleh Fibra adiknya.
"Kamu tenang saja sayang, aku tidak akan tinggal diam dengan orang-orang yang sudah membuatmu menangis,” kata Fibra ketika telah sampai di kamar.
Fibra mengelus kepala Zivanya dan masuk pada selimut yang di pakai Zivanya. Setelah itu dia ikut tertidur sambil memeluk sang istri.
******
Zivanya baru bisa jalan-jalan di rumah. Kepalanya masih terasa pusing, sehingga dia tidak di izinkan untuk sekolah oleh Fibra.
"Bagaimana sekarang, masih pusing?" tanya Fibra sambil mengajak Zivanya duduk di pangkuan untuk melihat kolam ikan di belakang rumah yang baru saja dibuat sekitar seminggu yang lalu atas permintaan Zivanya.
"Masih pusing," Kata Zivanya sambil menyandarkan kepala di d**a Fibra.
Fibra mengelus kepala Zivanya dan sesekali mencium ubun-ubun ataupun keningnya
"Fibra ...," Zivanya mendongak melihat Fibra.
"Apa sayaang," kata Fibra masih mengelus kepala dan mengalihkan buruan ciumannya ke bibir Zivanya.
"Sebenarnya aku sudah bertemu dengan ayah kandungku dan juga ibu ..." Zivanya tak tahu harus bilang ibu apa karena yang dia tahu dari ibu angkatnya kalau ibunya meninggal setelah beberapa hari melahirkannya.
"Aku tak tahu, dia ibu kandungku apa bukan. Tapiii, sepertinya dia tidak menyukaiku," kata Zivanya sambil menyelusupkan kepala ke d**a Fibra.
"Tadinya aku bahagia bertemu dengan ayah. Tapiii, sekarang dia meminta sesuatu yang membuat hatiku berat dan tidak mau menyanggupinya."
Fibra tidak bertanya ataupun menyela perkataan Zivanya, dia ingin mendengarkan unek-unek Zivanya.
"Sayaaang ..."
Fibra menegang ketika Zivanya memanggilnya sayang. Tapi dengan cepat dia merubah keadaan seperti tadi kembali.
"Ada apa hmmm," kata Fibra sambil meraih dagu Zivanya dan mendongakkannya supaya mereka bisa saling menatap.
"Apakah aku harus__"
Cup
Fibra langsung membungkam mulut Zivanya dengan ciuman karena sedikit banyaknya dia mengetahui tentang apa yang akan di katakan Zivanya istrinya.
Lama mereka saling menyesap dan melumat sampai mereka merasa sesak dengan sendirinya ciuman pun terlepas.
"Apa pun itu, jangan sampai kamu pergi dari hidup aku sayang. Kamu itu setengah dari jantung hatiku. Andai kamu pergi meninggalkan aku, mungkin aku tidak bisa bertahan hidup," kata Fibra sambil mencium bibir Zivanya sekilas.
“Lebay!” ucap Zivanya yang merasa terharu. Dia tak bisa membendung air mata bahagianya dan langsung memeluk Fibra suaminya.
Dia tidak menyangka kalau hatinya akan berlabuh di hati Fibra dan mendapat sambutan yang begitu spesial dalam diri Fibra.
Mulanya dia ragu dan merasa terpaksa dengan pernikahan ini, tapi ketika merasakan kasih sayang dan tempat yang paling indah di hati pasangannya, Zivanya tidak bisa berhenti mengucap syukur karena bisa menikah dengan Fibra.
Isak tangisnya tidak bisa di bendung. Ini sangat-sangat membahagiakan untuk Zivanya.
"Heeey ... kenapa menangis sayang, apa aku membebanimu dengan permintaan itu?" kata Fibra sambil mengurai pelukan Zivanya dan menangkup pipinya sambil mengusap pipi yang basah.
Dengan mata berkaca-kaca Zivanya menggelengkan kepala.
"Aku merasa bahagia ternyata hatiku di sambut dengan hatimu yang paling dalam"
"Jadiii__"
"Aku, aku ingin mempertahankan dirimu. Dan juga pernik___" Zivanya menundukkan kepala ingat sesuatu.
"Kenapa tidak diteruskan?" kata Fibra sambil kembali mendongakkan kepala Zivanya.
"Pernikahan kita hanya sebatas kontrak Fibraaa ... dan suatu saat kita harus saling meninggalkan,” kata Zivanya kembali menunduk.
"Kata siapa seperti itu?"
"Kamu jangan pura-pura lupa Fibra. Bukankah aku sudah menandatangani surat perjanjian itu."
Fibra tersenyum dan mencium sekilas bibir Zivanya yang menjadi candu untuknya selama ini. Setelah dia kembali mendongakkan kepala Zivanya
"Aku tidak lupa sayaaang ... namun aku sudah membatalkannya dan merobek perjanjian itu. Jadi sampai kapan pun, kamu itu istriku tidak akan ada kata yang namanya berpisah." Fibra tersenyum.
Tangis Zivanya makin menjadi di pelukan Fibra. Dia tidak mampu berucap lagi selain menangis karena bahagia.
Fibra menyunggingkan senyum yang paling indah karena ikut merasa bahagia atas semua ini.
Dia sudah berjanji sejak lama, sejak hatinya tertanam cinta untuk Zivanya istrinya, dia tidak akan pernah melepaskan Zivanya barang sedikit pun.
Fibra mengusap punggung Zivanya menyalurkan rasa sayang dan cinta yang makin besar dalam hatinya.
Karena kelelahan menangis Zivanya pun tertidur. Nafasnya keluar masuk dengan teratur. Di bawah alam sadarnya Zivanya berjalan ke alam mimpi yang begitu indah.
Mimpi yang indah membuat Zivanya makin terlelap dalam tidurnya.
Fibra tersenyum melihat istrinya yang tertidur lelap. Dengan hati-hati Fibra menggendong Zivanya untuk masuk ke kamar dan ikut merebahkan badan di sisi Zivanya.
Drrrt ... drrrt ...
Suara handphonenya Zivanya membangunkan sang empu. Dengan malas Zivanya pun membuka mata. Dia merasakan ada yang berat di pinggang.
Zivanya tersenyum setelah melihat Fibra yang sedang tertidur pulas sambil memeluknya. Tadinya dia pun tak ingin beranjak pergi dari tidur, tapi handphonenya terus saja berdering.
Dengan perlahan Zivanya turun dari ranjang dan meninggalkan Fibra sendiri.
"Halo ..."
"Apa kamu masih ingat suara saya!"
Badan Zivanya menegang ketika mendengar suara dari seberang sana.
"I ... ya, iya saya kenal. Apa kabar, Bu?" jawab Zivanya gugup.
"Tidak usah basa-basi, saya hanya ingin kamu jangan sampai lupa dengan apa yang kami minta dan satu lagi, saya tahu ... kalau kalian menikah karena hutang bukan! Jadi tidak ada halangan untuk tidak menyanggupinya."
Tut!
Suara handphonenya mati secara sepihak. Zivanya menggenggam handphonenya dengan sangat kencang. Andai lupa kalau ada Fibra yang tengah tidur, mungkin Zivanya akan berteriak mengeluarkan rasa sesak di d**a.
Ting!
Suara handphonenya kembali terdengar dan yang terlihat nomor yang sama mengirim gambar video. Dengan tergesa-gesa Zivanya membukanya dan langsung menutup mulut tidak percaya.
Ting!
Terdengar ada lagi yang masuk sebuah tulisan
Jangan lupa atau berkelit! Kalau kamu masih sayang sama mereka.
Zivanya mendongak dan menyandar pada dinding.
Kepalanya pusing dan sangat, sangat pusing dengan apa yang terjadi.
Air matanya kembali keluar tidak bisa di bendung manakala melihat Video yang di kirimkan ibu tirinya.
Sejahat apa pun orang tua angkatnya, tapi mereka tetaplah orang yang mengurus dia dengan kasih sayang sampai sebesar ini.
Oh tuhan, apa yang harus aku lakukan. Desah hati kecil Zivanya sambil melorot duduk di lantai dan menenggelamkan kepala di antara dua kakinya yang di tekuk.
“Andai aku memilih orang tua, hati ini akan hancur, andai aku memilih bertahan, mungkin saja orang tua yang akan lebih hancur.
Hiks ... hiks ... hiks ... apa yang harus aku lakukan!” Zivanya bergumam di antara tangisnya.
Hidup ini tidak seindah yang aku bayangkan. Zivanya mengusap wajah dengan terus menangis ... dan tenggelam di posisi masih sama.
Sebuah usapan lembut di kepala terasa oleh Zivanya dia mendongak dan melihat Fibra tersenyum sambil merenggangkan tangan
Melihat itu Zivanya langsung menghambur dalam pelukan Fibra dan kembali menangis.
"Keluarkanlah semua tangisanmu sayang. Jangan di tahan, itu tidak baik untuk kesehatanmu," kata Fibra lembut sambil mengusap punggung Zivanya.
Zivanya mengeratkan pelukan dan kembali meraung menangis meratapi nasibnya yang tidak seindah bayangannya. Andai dia tahu kalau bertemu dengan ayah kandung akan seperti ini, lebih baik dia tidak bertemu saja.
*******