Sudah hampir 3 bulan lebih kebersamaan Zivanya dan Fibra makin baik. Tak banyak saling marah dan teriak. Sekarang mereka sudah sedikit akrab juga makin terlihat romantis di setipa waktu.
"Sayaaaang... nanti pulang sekolah langsung ke kantor ya. Aku tunggu kamu." Fibra mencium bibir Zivanya sebelum dia merelakan Zivanya pergi sekolah.
"Bukannya biasa seperti itu?" Zivanya sedikit kesal dengan kebiasaan suaminya ini.
"Tapi hari ini aku harus lembur, pulangnya pasti malam. Jadi kamu harus ke kantor yaaa."
"Gimana nanti saja. Aku enggak bisa janji. Soalnya aku suka bosan cuma lihat kamu kerja, apalagi harus sampai malam. Berapa jam tuh, aku harus bengong lihat kamu kerja."
Fibra menghela nafas kasar, dia tahu kalau istrinya ini selalu cepat bosan. Tapi dia tidak mau kalau Zivanya tidak ada di sisinya.
"Baiklaaah. Hati-hati sayang." Fibra kembali mencium bibir Zivanya
"Udah ah, aku turun ya." Fibra mengangguk dan melambaikan tangan setelah itu mobil pun pergi meninggalkan Zivanya di depan sekolah.
Ddrrrrtttt
Suara handphone Zivanya yang mengharuskan dia untuk berhenti sejenak untuk menjawab panggilan telepon.
"Hallo, paaah..." suara senang Zivanya karena sudah lama papahnya baru menghubunginya lagi.
"Hallo, sayang... bagaimana kabarmu?"
"Baik, pah. Bagaimana dengan papah, apakah sehat?"
"Papah sehat sayang. Oh ya, apa kita bisa bertemu setelah kamu pulang sekolah? Ada yang ingin papah bicarakan denganmu." Suara tegas terdengar dari seberang sana.
"Baik, pah. Aku tidak akan ke mana-mana,” Jawab Zivanya riang karena dia merasa rindu pada papahnya
"Kalau begitu nanti papah jemput kamu sekalian jemput adikmu. Dah sayaaaang."
Zivanya langsung membeku di tempat "adikmu" sejak kapan dia punya adik! Setahu Zivanya, ibunya meninggal setelah melahirkan. Dan seterusnya Zivanya pun tak tahu. Karena dia tak mau tahu.
Tapi ketika papahnya bilang adiknya, Zivanya berpikir apa papahnya menikah lagi setelah mamahnya meninggal, atauuu, mamahnya hanya seorang___
Zivanya langsung menggelengkan kepala. Dia tak boleh berprasangka jelek pada mamah yang telah melahirkannya.
"Hey, Ngapain lo geleng-geleng kepala depan sekolah, Kesambet baru tahu lo!" Kata Moza teman sekelasnya yang kadang suka meledek dengan tak ada ampun.
"Bisa saja, lo. Gue cuma pusing dikit karena tadi ke jedot pagar sekolah."
"Makanyaaaa, jalan tuh pakai kaki, terus lihat pakai mata. Bukannya jalan pakai mata."
Zivanya cuma tersenyum dan pergi meninggalkan Moza beserta gengnya
"Gue kira lo belum ketemu sama papah, ternyata sudah ya. Di belakang gue lagi."
DEG!
Zivanya diam berhenti melangkah dan membalikan badan sambil menatap Moza.
"Lo____"
"Yap! Gue itu adik lo? Kakakku sayaaaaang." Kata Moza sambil mendengus dan pergi meninggalkan Zivanya dengan keterkejutannya.
Zivanya masih terpaku dengan apa yang dia dengar barusan. Tidak di sangka, orang yang selalu mengganggu dia ternyata adik tirinya.
"Non, itu bel masuk sudah bunyi."
Seorang satpam menyadarkan Zivanya dengan hormat. Karena dia tahu siapa Zivanya. Sebab dia bekerja di salah satu rumah di perumahan yang Zivanya tinggali.
"Oh, terima kasih, Pak. Saya masuk dulu,” kata Zivanya dengan senyum mengembang.
"Silahkan Non."
Zivanya masuk dengan pikiran kalut sampai dia tak bisa mengikuti pelajaran dengan benar. Dia sering bengong tapi untungnya guru yang mengajar hari ini tidak begitu serius memperhatikan siswanya.
Waktu berjalan tak terasa, waktu pulang sekolah pun tiba.
Ddrrrttt
Zivanya merasa enggan melihat handphonenya yang berbunyi tapi dia harus mengangkatnya.
"Hallo..."
"Hallo sayaaaaang... kamu sudah pulang?"
Suara yang tak asing lagi di telinga, Fibra sang suami.
"Sudah. Tapiiii... maaf, aku ada perlu sedikit. Jadi, tak bisa datang menemuimu."
"Ke mana?" Terdengar ada nada kecewa di sana.
"Emmmm... ada perlu dengan teman. ada yang harus kami diskusikan soal pelajaran." Zivanya menggigit bibir karena dia berbohong.
Terdengar helaan nafas dari seberang sana.
"Baiklaaaah. Kamu jangan lupa makan ya. Dan tunggu aku pulang. Jangan ke mana-mana. Kalau sudah selesai langsung pulang."
"Baiklah. Dah Fibra sayaaaang." Zivanya menutup telepon dan menghela nafas kasar. Sekarang saatnya menemui sang papah.
Tin tiiiin
Terdengar suara klakson mobil di depan Zivanya dan terlihat sang papah dari balik kaca jendela tengah tersenyum.
"Ayo naik, sayang." Kata sang papah dengan senyum mengembang.
Zivanya pun tersenyum dan cepat-cepat masuk menghambur ke pelukan sang papah.
"Aku kangeeeen banget sama papah."
"Papah juga sama sayang."
"Lebay banget sih lo! Walau kangen enggak segitunya kaliii... sampai enggak mau melepaskan papah Gue!"
Terdengar suara seseorang di balik kursi depan
"Zaza, kamu jangan kaya begitu. Ini tuh kakak kamu." Kata Zulfan alias papah mereka berdua dengan suara lembut.
"Aku tidak pernah papah peluk kaya begitu. Jadi wajar dooong, kalau aku cemburu,” Moza memalingkan kepala ke samping, melihat jalanan yang cukup macet.
"Itu karena kamu yang enggak mau papah peluk. Jadi jangan marah dong, sayaaaang." Zulfan tersenyum dan melepaskan pelukannya pada Zivanya.
Moza hanya mendengus dan diam tak bicara lagi.
Zivanya yang mendengar itu merasa bersalah dan membiarkan papahnya melepas pelukan walau sebenarnya dia masih ingin di peluk.
"Maaf tuan kita sudah sampai." Kata sopir dari balik kemudi.
"Oh, ok. Ayo turun sayang, kita makan dulu. Baru nanti kita mengobrol" papahnya turun terlebih dahulu dan langsung masuk ke restoran tanpa melihat Zivanya.
Dengan sangat pelan Zivanya mengekor dari belakang. Terasa sangat canggung.
"Lelet amat sih lo! Kaya belum makan saja. Tenaaaang, lo bebas kalau mau makan banyak. Soalnya bukan lo yang bayar tapi papah. Jadi lo enggak usah cemas."
Zivanya hanya bisa diam dengan perkataan Moza.
Ketika sudah sampai di ruangan yang di tunjukan pelayan restoran, semua masuk ke sana dan duduk santai. Kecuali Zivanya yang terlihat tak begitu nyaman.
Tidak begitu lama semua makanan yang sangat asing di mata Zivanya terhidang di meja.
Walau makanan itu sering Zivanya lihat ketika Fibra mengajaknya makan. Tapi tetap terlihat asing bagi Zivanya.
"Makan yang banyak sayang" kata sang papah sambil menatap senang. Karena telah lama mereka tak makan bersama.
"Bener tuh, biar badan lo enggak kurus kerempeng kaya gitu." Kata Moza
"Zaza! Oh ya Ziva, kenalkan itu adik kamu Moza. Dia anak papah juga. Dan Zaza, ini Ziva___"
"Sudah tahu, Pah! Diakan orang yang papah cari selama ini, sampai keberadaan aku di lupakan."
Zulfan alias papah mereka diam tak bicara lagi. Dia benar-benar merasa bersalah pada anaknya, karena sempat membiarkannya. Padahal dia selalu ada di samping Zulfan menggantikan anak yang hilang.
Zivanya tak berani bicara apa pun. Apalagi dia tak tahu apa-apa.
"Ziva, ada yang ingin papah bicarakan denganmu, sayang." Kata Zulfan setelah mereka selesai makan.
"Ya, Pah. Papah mau bicara apa?" Zivanya tersenyum.
Zulfan menarik nafas panjang dan menghembuskan cukup pelan. Terlihat raut wajah cemas di sana.
"Seperti yang kamu dengar tadi kata adikmu, papah selalu membiarkannya selama ini. Karena papah terlalu sibuk mencarimu. Sampai mamah Mona, Mamahnya Moza marah besar pada papah. Sampai dia meminta cerai. Tapi papah tidak mengabulkannya dan papah sudah berjanji pada mereka berdua, ketika papah menemukanmu sayang, papah akan mengabulkan semua keinginan adik dan Mamahnya."
Zulfan menarik nafas lagi
"Dan sekarang yang adikmu inginkan, menikah dengan seseorang yang selama ini dia cintai."
Zulfan memegang tangan Zivanya erat
"Dan orang itu, Fibra suamimu sayang."
DUAR!
Bagai petir menyambar gunung aktif. Ledakannya menggelegar di hati Zivanya sampai jantungnya mau lepas ketika mendengar apa yang di katakan papahnya
"Papah mohon sama kamu sayang, bercerailah dengan Fibra dan berikan pada adikmu."
JELEDAR DUAR!!
SRET ! SRET!!
Hati Zivanya bukan hanya hancur, tapi juga terasa di sayat-sayat dengan benda tajam. Dia merasa sesak dan tak bisa bernafas.
Dia memegang dadanya yang terasa sesak.
"Jadi.. ini yang__ hemmh... hemmh...” nafas Zivanya terdengar berat. “Papah mau bicarakan dengan aku?" Kata Zivanya terengah-engah karena merasa sesak.
"Ya sayaaang... papah mohon kabulkanlah apa yang papah mau. Papah mohon sayang."
Zivanya langsung bangun dan menyambar tas gendongnya.
Dia tak percaya, orang yang selama ini dia rindukan dan berharap memberikan kebahagiaan karena baru saja bertemu setelah bertahun-tahun. Malah meminta untuk menghancurkan hidupnya.
Dengan derai air mata Zivanya menyetop taxi untuk pulang. Dia ingin cepat pulang dan beristirahat.
Setelah berpacu dengan kemacetan Zivanya bisa sampai rumah. Zivanya langsung masuk tanpa memperdulikan penjaga dan pelayan yang menyapanya.
Zivanya meraung menangis di balik selimut yang menutupinya. Dia sangat sedih dan pilu dengan apa yang terjadi pada dirinya.
Zivanya merasa sedih karena semua orang yang dia anggap menyayanginya malah ingin menghancurkannya. Dulu orang tua angkatnya yang mendorong Zivanya untuk menikah dengan Fibra, orang yang asing baginya. Dan sekarang papah, papahnya yang sudah bertahun-tahun tidak dia kenal dan baru sekarang dia tahu, dia pun menginginkan hidup Zivanya hancur.
“Kalian memang orang-orang yang berengsek!” Zivanya terus saja menangis
Ddrrrrtt
Suara handphonenya berbunyi dan menampilkan nomor yang tidak dia kenal. Dengan berderai air mata Zivanya mengangkatnya.
"Hallo..." kata Zivanya lemas
"Untung kamu angkat! Saya mamahnya Moza. Dengar ya... kamu harus mengabulkan keinginan papahmu. Karena kalau tidak, mungkin Moza akan selamanya membenci papahnya yang selama ini tidak memperdulikannya. Dan harus kamu ketahui, semua ini terjadi karena ibumu yang keras kepala dan memberikanmu pada pembantu kepercayaannya. Sampai papahmu merasa bersalah. Kalau kamu menolak___” Suara di sana berhenti. “kamu itu wanita yang tidak punya hati! Maka dari itu, kamu harus mengabulkan permintaan ayahmu sebagai balasan karena Moza selama ini di acuhkan papahmu.” Terdengar helaan nafas, “Hanya itu yang ingin saya katakan padamu. Ingat, jangan kamu bantah. Anggap saja sebagai pengganti kesalahan ibumu." Telepon pun mati.
Zivanya makin merasa pilu dengan semua ini. Dia kembali meraung menangis.
"Sayang... aku pulang." Terdengar suara Fibra yang baru saja datang.
Dia langsung masuk kamar mencari istrinya karena tak biasanya Zivanya tidak menyambut ke pulangannya.
"Sayang!" Fibra merasa kaget dengan apa yang dia dengar, ketika membuka pintu kamar.
Tangisan Zivanya yang sangat menyayat hatinya di balik selimut
Fibra buru-buru membuka selimut yang menutupi Zivanya dan memeluk Zivanya erat.
"Sayaaaaaang, kamu kenapa?" Khawatir Fibra.
Namun tak ada jawaban.
"Siapa yang membuat istriku sampai kaya gini!"
Dengan rahang mengeras Fibra mengeratkan pelukannya ketika merasakan Zivanya memeluk erat dan menangis menumpahkan kesedihannya.
Fibra mengelus punggung Zivanya istrinya, dan membawanya pada pangkuannya.
"Tenang sayang... ada aku di sini," Kata Fibra lembut. Dia masih memeluk untuk menengkan.
"TARAAAAA!!"
Fibra berteriak memanggil Tara bawahannya.
"Ya tuan!" Tara tertegun karena mendengar tangisan pilu Zivanya
"Cari tahu siapa yang istriku temui hari ini! CEPAT!!" Kata Fibra makin memeluk Zivanya.
"Dan lacak nomor yang baru saja menelepon istriku!" Fibra melempar handphonenya Zivanya pada Tara.
"Baik Bos! " kata Tara sambil pergi pamit
"Aku akan membuat siapa pun orang yang telah menyakitimu menangis lebih pilu dari yang kamu alami sayang." Kata Fibra sambil mencium kepala Zivanya.
Fibra mengusap kepala Zivanya yang tertidur pulas di pangkuannya, mungkin karena sudah cape menangis.
“Tidur yang nyenyak sayang.” Fibra tersenyum dan kembali mendaratkan ciuman di kening Zivanya.
*******