Kebiasaan Zivanya bangun tidur langsung ke dapur untuk menyiapkan menu sarapan dan saat ini pun kebiasaan itu dia lakukan.
Mungkin bagi kalaian ini cukup mengherankan, sebab Zivanya itu Bos rampok yang di takuti bawahan. Tapi kalain harus ingat, rampok juga manusia butuh makan butuh tidur dan juga butuh ketenangan karena itu, Zivanya pun kadang ingin menyendiri, dan memasak kesukaan hatinya.
Biasanya Zivanya bekerja dengan cukup santai, Namun kali ini berbeda, pekerjaannya cukup terburu-buru. Mulai dari membuat sarapan dengan cukup banyak, mencuci baju sebelum masuk kamar mandi, juga membangunkan Fibra suaminya. Membuat dia cukup kerepotan tapi harus tetap dijalani karena inilah hidup.
"Fiiib, hey, banguuun. Sudah siang iniii." Zivanya mencoba membangunkan suaminya, walau pun dengan cara tidak biasa.
"Eemmm nanti duluuu. 15 menit lagi." Fibra kembali tidur.
"Ya ampun, punya suami susah banget di bangunkan!" Kata Zivanya sambil terus berusaha supaya Fibra bangun.
"Fiiib! Ayo dooong banguuun. Nanti aku kesiangan sekolaaah." Rengek Zivanya.
Sebenarnya dia bisa saja pergi sendiri, tapi itu tidak mungkin karena Zivanya tidak tahu dia harus lewat wana kalau pergi kesekolah. Sebab ini lingkungan yang baru Zivanya masuki.
Pada akhirnya, Fibra pun terpaksa membuka mata dan bangun ketika zivanya terus mengganggunya.
"Zivaaa, kalau membangunkan suami itu yang sopan! Orang mah membangunkan suami itu di cium, di elus pakai kata-kata mesra. Lah kamu, malah pakai kemoceng sama gagang sapu!" omelnya sambil masuk kamar mandi.
Zivanya hanya tersenyum mendengar omelan itu.
"Bukannya tersenyum Zivaaa, tapi mikir!" Fibra kembali mengomel.
"Iya, iya. Aku minta maaf. Lain kali tidak lagi deh! Tapi sekarang, cepat mandi sana!" Zivanya mendorong kepala Fibra yang belum masuk.
Di perlakukan sepeeti itu, Fibra mengembungkan pipi cemberut.
Ya! Zivanya membangunkan Fibra dengan kemoceng untuk mengelus pipinya dan gagang sapu untuk menepuk tangannya. Memang itu hal yang tidak biasa. Tapi itu bukan tanpa alasan.
Zivanya masih trauma ketika dulu pernah membangunkan Ruta seperti yang Fibra katakan. Tapi akhirnya, dia hampir saja terkena pukulan karena Ruta merasa terkejut.
Setelah kejadian itulah, dia tidak pernah mau melakukannya. Lebih baik dia berteriak dan memilih melakukan penantian sampai itu orang bangun dengan sendirinya.
Namun kali ini dia tak bisa diam menunggu karena bisa saja dia malah terlambat ke sekolah.
"Ayo sarapan dulu, aku mau jemur dulu baju." Zivanya menyodorkan nasi goreng telur ceplok.
Fibra menahan tangan Zivanya.
"Biarkan itu nanti sama pembantu. Kamu, duduk saja temani aku makan." Ucap Fibra dengan cara mendudukkan Zivanya depannya.
"Baiklaaah." Zivanya menuruti apa yang dikatakan Fibra. Walau sebenarnya itu tidak berguna karena Zivanya sudah makan tadi.
"Lain kaliii, makan bareng saja, ya. Jadi enak." Fibra berkata sambil menyuapkan nasi goreng telur ceplok yang Zivanya buat untuknya. Ketika tahu kalau Zivanya sudah makan terlebih dahulu.
Zivanya hanya mengangguk tanda mengerti. Walau dalam hati dia terus mengumpat karena ini salah Fibra yang bangun kesiangan jadi mereka tidak makan bareng.
"Ayo berangkat! Takut macet. Nanti kamu kesiangan lagi." Kata Fibra ketika selesai makan.
Baru saja mau berangkat, handphone Zivanya berdering.
"Hal__"
Handphonenya langsung di ambil Fibra tanpa permisi. Jujur, Ingin sekali Zivanya berteriak pada Fibra, tapi dia tahan karena bisa saja orang di seberang sana malah mengetahui apa yang terjadi pada Zivanya, dan itu bisa berakibat patal, karena mereka pasti menyusul ke sini dengan bala bantuan dan membuat kerusuhan.
"Halo."
"Halo, Bos! Lu, di mana? Ini ada keru__"
Bip!
Sambungan telepon di matikan Fibra.
"Ko, malah di matikan!" Zivanya merasa kesal karena itu telepon penting.
Biasanya Ruta tidak akan meneleponnya sepagi ini, kecuali memang itu hal yang sangat penting.
"Nanti aku yang akan membereskannya!" Jawab Fibra tanpa menatap Zivanya yang terlihat tidak suka.
"Iiih, bukannya seperti ituuu! Aku tahu, sekarang aku harus jaga sikap karena kita sudah menikah. Tapi ini masih tanggung jawab aku! Jadi akulah yang harus membereskannya. Lagian, kamu tidak akan tahu bagai mana cara menyelesaikannya.” Zivanya mendengus.
Fibra hanya tersenyum. Karena dia tahu, kalau Zivanya tidak tahu seperti apakah kehidupan Fibra di balik orang lain.
"Aku tetap tidak mengizinkan kamu__"
Drrrrt..Drrrrrt...
Handphone Zivanya kembali berdering.
Dengan gesit Zivanya menangkap tangan Fibra yang mencoba merampasnya kembali. Zivanya memelintir dan membuat dia berjongkok dengan tangan di belakang. Ini memang tidak seharusnya dilakukan, tapi Zivanya tidak punya pilihan selain melakukannya untuk tahu masalah yang akan di laporkan.
"Maaf! Tadi ke pencet. Ada apa?"
Zivanya santai dengan satu tangan memegang dan menarik tangan Fibra, sedangkan satu kaki naik ke punggung Fibra. Mengunci pergerakan Fibra supaya diam.
Fibra ingin melepaskannya, tapi dia merasa kewalahan dengan tenaga yang di miliki Zivanya, dan pada akhirnya Fibra hanya bisa pasrah dan diam.
Merasakan tidak ada perlawanan lagi, Zivanya mengendorkan kunciannya, dan itu di manfaatkan Fibra, yang akhirnya situasi berbalik, tangan Zinanyalah yang Fibra kunci ke belakang sampai Zivanya membelakanginya.
Fibra mendaratkan ciuman di ceruk leher Zivanya sampai sesekali memainkan lidahnya di sana. Membuat Zivanya kembali merasakan sesuatu seperti waktu akan menikah.
"Bos, ada yang membuat kerusuhan, anak-anak kena bogem mentah." Ruta bicara dengan menggebu-gebu karena sudah merasa kesal dengan apa yang terjadi pada temannya.
"Ya sudah! Nanti nanti gue kesana, selepas jam sekolah. Sekarang gue harud berangkat sekolah dulu." Zivanya mematikan telepon dengan cepat setelah merasakan hal yang akan terjadi padanya. Suara desahan. Ya, sebelum suara yang menjijikan itu keluar.
"Aahhh ..." akhirnya suara itu tidak bisa ditahan lagi. Membuat Fibra tersenyum.
Zivanya hendak menyikut Fibra ketika dia sudah sadar, tetapi dengan cepat Fibra mendorongnya kuat.
Zivanya hampir saja tersungkur ke lantai karena tidak siap menjaga keseimbangan, untung saja Fibra dengan sigap menarik pinggang Zivanya sampai kepalanya membentur d**a bidangnya.
"Awwwhh!" terdengar ringisan Zivanya.
"Ya ampun Fibraaa, ini tuh batu apa d**a sih!" Kata Zivanya sambil mengelus d**a Fibra tanpa dosa.
"Emmmh!" Fibra menggeram, menangkap tangan Zivanya.
Zivanya menaikan alis "kenapa? Apa kamu juga kesakitan!" Terlihat cemas.
Fibra menyeringai, "menjaili Zivanya tidak salah sepertinya."
"Aduuuh, aku sakit Zivaaa, tolong aku." Fibra berpura-pura meringis sambil memeluk Zivanya.
"Ya ampun, mana yang sakit! Makanyaaa, hati-hati! Kalau mau menolong itu lihat situasi. Bukan malah kamu yang kena sakitnya." Omel Zivanya sambil meneliti tempat sakit yang Fibra rasakan.
"Ini juga yang sakit sayang, aku ingin minta obat bibir kamu." Fibra menunjuk bibirnya.
1 ... 2 ... 3 ...
Pelak! tangan Zivanya layang di pipi.
"Dasar m***m! masa yang di tabrak d**a, sakitnya bibir! Cepat ah, kita berangkat!" Zivanya berusaha keluar dari pelukan Fibra.
"Ya ampun Fibraaa, cepetan, lepas! Nanti kita kefffftt" Bibir Zivanya di bungkam Fibra.
"Emmm ... emmm ....” Zivanya memukul d**a Fibra minta di lepas. Tapi Fibra malah memperdalam ciumannya.
Setelah melihat Zivanya yang kehabisan napas, barulah dia melepaskannya.
"Kita ter__ aw, aw, aaawh!" Fibra meringis karena tangannya di gigit.
"Aku kesiangan! Malah minta yang tidaj-tidak lagi! Cepetan, aku kesiangan iniii!" Zivanya melengos pergi. Membiarkan Fibra dengan rasa sakitnya.
"Ya elaaah, punya istri ko enggak ada lembut-lembutnya, sama laki sendiri!" Fibra menggerutu mengusap tangan.
"FIBRAAA!" Zivanya kembali berteriak.
"Iya, iya, sebentar dulu kenapa, sih!" Kata Fibra sambil menyambar kunci mobil.
Hampir 30 menit mereka baru sampai di gerbang sekolah untuk mengantarkan Zivanya.
"Nanti jam berapa pulang?" Kata Fibra ketika melihat Zivanya yang akan keluar.
"Aku mau pulang dulu ke rumah jadi pasti malam. Soalnya, yang tadi harus segera di bereskan. Jadi, kamu tidak usah menjemputku. Aku mau minta di jemput Ruta saja."
"Tidak! aku akan tetap menjemputmu. Kabari saja kalau sudah mau pulang." Putus Fibra.
"Gue tidak rela kalau kamu sampai memeluk orang lain." Gumam Fibra.
Dia tahu, si kampret Ruta itu pasti memakai motor bila pergi dengan Zivanya. "Sungguh mencari kesempatan untuk di peluk!"
"Baiklaaah!" Zivanya mengambil tangan Fibra dan menciumnya. Namun sebelum benar-benar pergi, Zivanya memberanikan diri mencium pipi Fibra.
Namun naas bukan pipi yang Zivaya cium melainkan bibir Fibra yang membuat dia merasa malu.
"Aku berangkat dulu." Kata Zivanya buru-buru keluar.
Tadi itu, kejadian yang di luar perkiraan. Awalnya Zivanya ingin mencium pipi yang tengah menatap lurus kedepan. Tapi sayang, ketika hendak melakukannya, Fibra malah menoleh, alhasil bibir Fibralah yang kena.
Mereka berdua sama-sama terkejut, namun Fibra bisa menutupinya dengan senyumnya. Tapi lain halnya dengan Zivanya, mukanya merah dan terlihat gugup.
“Kamu lucu, sayang.” Kata Fibra lirih. Setelah Zivanya pergi.
“Aduuuh, apa yang Gue lakukan barusan. Gue lupa, itu kan bukan Abi.” Zivanya merutuki kebodohannya.
***
Tidak terasa bel pulangpun tiba. Tapi Zivanya enggan untuk pulang setelah kejadian tadi pagi.
Zivanya masih termenung di diwarung pinggir sekolah, padahal ini sudah lewat dari 30 menit dari bel pulang berbunyi.
"Kamu sedang apa di sini?" Suara orang bertanya sambil menepuk pundak Zivanya.
Dengan refleks Zivanya memelintir tangan yang sudah lancang mengganggunya.
"Aaaw! Ini Gue Vaaa, Ruta!" Teriak orang yang menepuk pundak Zivanya dengan meringis.
"Ya ampun! Lu, bisa kan, kalau nanya gue jangan pake nepuk segala!" Gerutu Zivanya sambil melepas tangan Ruta.
"Lu, kan tahu. Gimana gue kalau lagi terkejut. Untung hanya gue pelintir, gimana kalau gue banting!"
"Maaf, maaf. lu, lagi ngapain disini? Bukannya mau ke markas! Gue sudah dari tadi ngumpulin anak-anak, dan menunggu lu. Tapi Karena tidak datang-datang, yaaa ... gue samperin ke sini, dan ternyata, lu malah melamun di sini.” Ruta bicara panjang lebar sambil duduk di samping Zivanya.
Zivanya menepuk jidat "ya ampuuu! Gue lupa. Maaf, maaf!" Zivanya mengusap tengkuk sambil nyengir.
"Tumben, sampai lupa sama markas kita. Ada masalah, ya!" Ruta menatap Zivanya.
"Dasar! Sok tahu, Lu!" Zivanya memukul tangan bagian atas Ruta.
"Vaaa, Lu, bisa bicara sama Gue. Jangan di pendam sendiri. Kita kan teman." Kata Ruta sambil mengusap kepala Zivanya dan tersenyum.
"Kalau bisa bukan hanya teman Va." Ruta bicara dalam hati karena dia masih enggan untuk mengatakannya.
Tanpa mereka tahu, Fibra melihat semua yang mereka lakukan. Tangannya terkepal ketika melihat tangan Ruta terulur mengelus kepala Zivanya.
"Bang**t! Berani juga, dia!" Fibra menarik napas sebelum turun dari mobil. Setelah bisa meredam emosi, Fibra turun dan mendekati Zivanya yang hendak memakai helm yang di bantu Ruta.
"Sayang!" Fibra menarik tangan Zivanya
Seketika Zivanya merasa kaget namun tak sampai memelintir tangan Fibra.
"Eh, Fibra!" Kata Zivanya ketika dia telah ada di dekatnya.
"Kamu mau ke mana?" Fibra pura-pura lupa.
"Ya ampun Fibraaa, aku kan sudah bilang, kalau aku pulangnya pasti malam karena aku mau ke rumah dulu." Zivanya memutar bola mata jengah.
"Oh ya! Kalau begitu masuk mobil!" Kata Fibra tegas.
"kamu ___"
"Aku yang antar! Lagian kamu harus ganti baju bukan? Aku tak mau orang lain yang lebih dulu melihat kamu ganti baju." Kata Fibra sambil berbisik.
"Ya ampun Fibraaa!" Zivanya menendang kaki Fibra terlebih dahulu, sebelum dia pergi masuk mobil.
"Dasar laki-laki m***m! Lagian siapa yang mau melakukan itu!"
"Ya ampun sayaaang, kamu tuh tega banget sih!" Kata Fibra sambil meringis kesakitan dan masuk mobil.
Namun, ujung matanya mendelik, bibir menyungging senyum pada Ruta yang terdiam tidak bisa mencegah. Melihat kepergian Zivanya.
"Rut! Aku duluan ya. Nanti kamu anyusul ke sana." Kata Zivanya nongol dari kaca mobil.
Ruta hanya bisa tersenyum dan mengangguk.
"Sayaaang!" Fibra memegang tangan Zivanya.
"Fibraaa, bisa tidak bicaranya biasa saja! Aku risi mendengarnya. Bener!" Zivanya mengangkat dua jarinya di depan kening sambil memasang wajah cemberut.
Fibra malah mengangkat alis tidak mengerti.
"Iiissst! Panggilan kamu Fibraaa." Zivanya menjelaskan apa maksud dari perkataannya.
"Memangnya panggilan aku kenapa?" Fibra menggoda Zivanya "coba. Kamu katakan apa yang aku ucapkan."
"Iiissst! Itu Fibraaa itu, emmm, itu pokonya!" Zivanya merasa susah ketika mengatakannya.
"Apa sayaaang?"
"Nah. Itu Fibra, itu! Barusan yang kamu katakan itu."
"Yang mana sayaaang?" Fibra terus saja menggoda Zivanya.
"Nah. Barusan kamu ucapkan lagi. Ayo dooong, jangan buat aku senewen. Risi tahu!" Zivanya mulai menggerutu.
"Yang manaaa. Coba kamu katakan."
"Yang itu. Emmm, itu, SAYAAANG."
"Wah! Akhirnya, panggilan mesramu keluar juga."
"Iiih, Fibraaa! Itu tuh. Bukan panggilan mesra, tapiii, itu kata yang sedang kita debatkan." Gerutu Zivanya.
"Memangnya kapan kita berdebat!" Fibra masih saja menggoda Zivanya.
"FIBRAAA! IH. KAMU MAH!" Zivanya sudah terlewat kesel. Dia memukul Fibra bertubi-tubi.
"Yaampun Zivaaa! AKU LAGI NYETIR!"
Seketika Zivanya terdiam dan menyender ke pintu sambil menunduk.
Melihat itu Fibra menepikan mobil, menghadap Zivanya.Fibra menarik napas dan mengusap rambut.
"Sayaaang, Zivaaa."
Zivanya tak mengubris, dia malah meremas tangan dan makin menunduk.
"Heeey." Fibra mengulurkan tangan meraih dagu Zivanya, "maafkan aku yaaa?" Fibra menatap Zivanya.
"Kamu itu tega banget! Bentak aku segitunyaaa." Zivanya menatap Fibra sayu.
Senyum tersungging di bibir Fibra, "yang duluan bentak aku siapa?"
Zivanya menurunkan mata melihat ke arah bawah.
"Tatap aku sayaang." Fibra kembali tersenyum. Entah kapan mulanya sampai dia menjadi laki-laki yang lembut seperti ini. Tapi hatinya menjadi terasa bahagia setelah lama ada Zivanya.
"Ga mau. Emmoh!" Kata Zivanya sambil terus berpaling.
"Kalau tidak mau, bilangnya, tidak mau sayaaang."
"Iiih, Fibraaa." Zivanya makin malu di buatnya.
"Enggak mau sayaaang, ayo katakan!"
Zivanya terus saja menolak. Namun Fibra terus saja meminta. Karena sudah tak tahan dengan paksaan, akhirnya Zivanya menyerah.
"Tidak mau sayaaang, ayo dooong ucapkan, Zivaaa."
"Tidak mau sayaaang." Akhirnya Zivanya bukan hanya mengatakannya, tapi dia melakukannya sambil menatap mata Fibra.
Seketika semburan merah terjadi di pipinya. Malu, itulah yang Zivanya rasakan saat ini.
"Sejak kapan Gue jadi kaya gini!" Hatinya bicara sambil kedua tangan menutup muka karena benar- benar malu.
Cup! Satu ciuman mendarat di pipi Zivanya, setelah Fibra menarik tangan zivanya yang menutupinya.
"Katanya enggak mauuu, tapi ko, di lakukan semuanya."
Cup! Ciuman kembali mendarat di pipi yang sebelahnya.
"Aku suka panggilan itu." Kata Fibra setelah membawa Zivanya dalam pelukannya.
Zivanya makin malu dan menyelusup ke d**a Fibra. Nyaman, rasanya berada dalam pelukan ini. "Mudah-mudahan ini akan terus menjadi tepat paling nyaman yang gue rasakan." ucap Zivanya dalam hati.
Fibra tersenyum, usapan di punggung pun mengiringi.
******