Ketika semua keluarga tengah bercengkerama dengan suara yang pelan di ruang TV, Zivanya di kejutkan dengan suara handphonenya yang cukup terdengar nyaring karena suasana sedang sunyi.
"Maaf, aku angkat telepon dulu." Semua mengangguk kecuali Fibra yang langsung mengambil handphonenya Zivanya dengan paksa.
"Di sini saja sayang." Fibra langsung menekan tanda hijau untuk menerima panggilan.
"Diangkat juga akhirnya! Lo, jangan songong. Mentang-mentang kakak Gue."
Zivanya melirik semua orang di sana yang diam tidak bersuara ketika terdengar makian dari sang penelepon yang lumayan nyaring. Dan ternyata yang menelepon itu adik tirinya, Moza. Perlahan wajah Zivanya memerah karena malu. Dia langsung menatap Fibra.
"Jawab saja sayang...” kata Fibra yang hanya menggerakkan bibir tanpa ada suara. Dengan ragu, Zivanya pun kembali pada sang penelepon.
"Hey, lo masih hidupkan!"
"Gimana sayang, dia angkat telepon kamu enggak." Suara lain terdengar.
"Di angkat Mih! Tapi enggak mau bicara tuh anak."
"Hey, anak yang enggak tahu di untung, lo masih disanakan!"
Zivanya menarik nafas dan menghembuskan perlahan. Menetralkan rasa malu dan jengkel bersamaan. Ketika sudah tenang, dia kembali pada handphonenya yang tadi di biarkan menjauh.
"Yaaa... aku masih ada di sini. Kamu mau apa?" Zivanya bicara dengan sedikit bisa mengontrol emosi.
"Mau apa kata lo!” terdengar nada kesal dari sana. “Gue mau bertanya, kenapa lo menolak keinginan papah. Apa lo enggak kasihan sama papah yang sudah lama mencari lo. Sampai semua keluarganya di acuhkan. Lagian baru pertama kalikan papah minta sesuatu sama lo, iya kan!."
"Maksud kamu apa?" Zivanya masih belum mengerti arah pembicaraan orang di seberang sana.
"Bego amat sih lo! Papah lakuin itu cuma mau lihat lo bahagia dan bisa menghabiskan waktu sama lo. Karena dia tahu, kalau lo nikah karena bayar hutang orang tua angkat lo." Suaranya makin meninggi.
Fibra tak tahan lagi mendengar ocehan orang di seberang sana yang terus menghina Zivanya istrinya.
Namun ketika dia akan bersuara, telapak tangan Zivanya telah lebih dulu membungkam mulutnya.
Fibra melirik pada Zivanya, dan langsung melihat kepala Zivanya yang menggeleng.
"Hey cewek angkuh! Kenapa lo enggak jawab pertanyaan Gue sih!" Terdengar suara yang makin nyaring dari seberang sana.
"Ini bukan urusan kamu. Mau aku terima ke, mau enggak ke. Itu urusan aku sama papah. Kamu enggak punya hak buat ikut campur." Zivanya masih terlihat sabar meladeni sang adik tiri, Moza.
“Siapa bilang, ini bukan urusan Gue. Asal lo tahu ya, itu syarat dari Gue buat papah, bila masih menyayangi Gue. Dasar cewek enggak bisa balas budi!” Aku Moza dengan lantang.
Zivanya sudah tidak tahan lagi, karena Moza sudah tidak bisa di ajak lembut.
Brak!!
Meja yang ada di depan Zivanya di geprak karena sudah tak tahan dengan rasa kesal. Untungnya tidak pecah.
"ASAL LO TAHU! GUE, ENGGAK MINTA KALAU PAPAH CARI GUE. APA LAGI SAMPAI NELANTARIN LO SAMA IBU LO! JADI, KALAU LO MAU MARAH, MARAH SAJA SAMA PAPAH. JANGAN BAWA-BAWA GUE. DASAR CEWEK GA WARAS, LO!"
Tak terdengar suara lagi dari sana, mungkin karena Mona dan ibunya sok. Sebab tidak menyangka kalau Zivanya akan semarah itu.
"KENAPA LO DIAM, BANGKE! KALAU LO BERANI, JANGAN BERSEMBUNYI DI BELAKANG IBU LO DAN MARAH-MARAH LEWAT TELEPON. HADAPI GUE LANGSUNG, BANGKE!"
Klik!
Zivanya mematikan telepon dengan jengkel.
Semua orang yang ada di sana menganga tidak percaya dengan apa yang mereka dengar.
Ternyata orang pendiam dan lembut seperti Zivanya ketika marah menakutkan semua orang.
"Jangan coba-coba buat dia marah, kalau enggak mau di amuk sama harimau betina." Kata Fibra berbisik
Semua orang di sana serempak mengangguk. Sambil tak lepas memandang Zivanya.
Selang beberapa menit bergulat dengan kemarahan, Zivanya baru sadar kalau dia berada di tengah-tengah keluarga Fibra.
Plok!!
Zivanya menepuk keningnya sendiri.
"Bahaya ini. Aku enggak bisa mengendalikan emosi. Gimana iniii..." gumam Zivanya sambil tertunduk menahan malu.
"Gimana apanya sayaaang..." terasa tangan kekar melingkar di pinggang Zivanya.
"I... itu... Itu, itu tadi, tadi. Aduuuuh, gimana iniii..." Zivanya langsung membalikan badan dan menyelusup ke d**a bidang Fibra.
Saking takut dan malunya. Sampai dia lupa kalau sekarang sedang memeluk Fibra erat sambil mendusel-dusel kepala di d**a Fibra.
Fibra menangkup pipi Zivanya, “Kenapa?”
“Eeemmh...” Zivanya menggelengkan kepala sambil menunduk. Dia tidak berani menatap Fibra dan orang-orang yang ada di sana. “Malu.” Cicit Zivanya sambil kembali menyembunyikan kepala di d**a Fibra.
"Kenapa harus malu, sayang... nggak apa-apa ko." Kata mamah Fibra sambil tersenyum dan memeluk suaminya.
Seperti tidak mau kalah dengan yang menantunya lakukan.
"Maaf tan... tante, Zivanya buat rusuh di sini..." cicit Zivanya sambil mengurai pelukan tapi Fibra makin mengeratkan pelukannya.
"Tidak apa. Kita memang harus menghormati orang lain. Mau itu di bawah umur kita atau di atas umur kita. Tapiii... kalau mereka sudah tidak menganggap kita malah sampai menyakiti kita, kita wajib membalasnya." Mamah Fibra tersenyum.
"Mamah juga dulu pernah, marahan sama papah kalian pula. Malahan sampai pergi meninggalkan papah. Dan tahu nggak, papah kalian sampai kelimpungan mencari mamah. Hahaha... mungkin karena cintanya baru di sadari ketika kami berpisah. Dan satu lagi Zivanya, sayaang,” mamah Fibra menatap Zivanya sambil tersenyum. “Panggil kami mamah dan papah. Jangan panggil tante dan om, Ok!" Mamah tersenyum pada menantu barunya.
"Ayaaaang... ko bawa-bawa aku sih." Kata papah Fibra sambil melihat istrinya.
"Tapi benarkan, apa yang aku katakan, sayang." Mamah Fibra mengelus rahang suaminya dan mencium bibirnya tanpa malu pada semua anaknya.
“Yaaa... mulai dah!” Mizan mendengus melihat kelakuan orang tuanya.
Zivanya tersenyum melihat kemesraan mertuanya. Walau sudah tidak muda lagi, tapi mereka masih terlihat mesra.
Bisakah dia berharap kelak dia dan Fibra akan seperti itu?
"Kita akan lebih mesra dari mereka, sayang." Bisik Fibra. Seolah dia tahu apa yang Zivanya rasakan.
Zivanya tersadar dan tersenyum. Semburan merah menghiasi pipinya.
"Bener sih.” aku papah Fibra setelahnya. "Dan untuk kalian,” papah menarik nafas dan menggenggam tangan sang istri. “Jangan, jangan sampai buat istri kalian kabur. Karena itu sangat menyiksa." Papah melihat anak dan menantunya.
"Jangankan kabur, mamah marah sedikit saja, papah sudah kelimpungan setengah mati."
Semua orang tertawa mengejek papah.
"Kamu tuh belum tahu saja Mizan, bagaimana rasanya istri kita tuh marah. Eeeh... terasa tak hidup diri ini." Kata abang ke dua. Kakak Mizan.
"Mau bagaimana merasakan, kalau istri saja belum punya." Kata papah mengejek.
"Makanyaaaa... menikah Bang Abiii." Timpal Fibra setelah melepas Zivanya yang di ajak sang mamah untuk membuat camilan di dapur.
"Sok banget sih kamu, Dek! Memangnya apa enaknya punya istri, kalau masih memendam hasrat kelelakian." Cibir Abi
Semua yang ada di sana menatap Fibra. Meminta penjelasan.
"Maksud kamu apa Mizan?" Kata papah.
"Tanyakan saja pada Adek, pah." Kata Mizan sambil tersenyum.
Semua kembali menatap Fibra dan yang di tatap menggaruk tengkuk yang tidak gatal.
"Fibra... masih belum memiliki Zivanya seutuhnya."
1
2
3
Bwhahahahahaha... semua tertawa terpingkal-pingkal.
"Ya ampun, deeeek miris banget hidup kamu."
"Kamu nggak bohongkan Fibraaa..." kata papah setelah puas tertawa.
Fibra menggeleng kepala. "Fibra miris ya, pah. Padahal sudah lama nikah. tapiii... masih utuh."
"Apakah kamu masih belum mencintainya, Fibra?"
Melihat sang papah bicara serius semua berhenti tertawa dan menatap Fibra dengan pikiran masing-masing.
Fibra menggelengkan kepala, "Fibra sudah sayang dan cinta banget sama Ziva, pah. Tapi, Fibra lihat Ziva yang masih ragu. Sampai terlihat ketika Fibra minta seutuhnya, dia selalu banyak alasan." Keluh Fibra
"Mungkin karena dia takut, dek. Karena setahu abang, wanita selalu berpikir akan macam-macam kejadian buruknya. Apalagi kamu menikahi dia karena hutang."
"Yaaa... dan kalian pernah janjikan kalau hutang itu akan lunas setelah 2 tahun." Kata Mizan lagi.
Semua orang makin menatap Fibra. Apalagi papah yang minta penjelasan.
Di tatap semua orang seperti itu Fibra jadi salah tingkah dan tidak berani menatap
"Ya ampun, deeeek! Tenang, kita tidak akan marah ko. Malahan kita akan memberi semangat supaya kamu cepat memberikan papa cucu baru." Kata sang papah sambil merangkul pundak Fibra.
Fibra mengangkat kepala dan melihat keluarganya satu-satu yang dilihat semua tersenyum dan mengangguk.
"Semangat, dek! Berikan aku keponakan SE.CE.PAT.NYA!" kata abang ke 2
"Kalau begitu Fibra mau pulang sekarang ah!"
"Ko malah pulang sih Nak!." Kata mamah yang baru datang sambil membawa camilan.
Fibra tidak menjawab malah melirik sang papah meminta bantuan.
Melihat itu, papah mengerti dan mendekati sang istri yang telah menyimpan makanannya di meja
"Biarkan saja sayang... mereka tidak mau di ganggu. Kamu paham kan, apa yang aku katakan ayaaaang." Kata papah sambil memeluk sang istri.
Mamah tersenyum dan mengangguk.
"Kalau begitu, buatkan mamah cucu baru ya. Nunggu dari Mizan susah banget!" Kata mamah sambil melihat Mizan.
"Aku lagiii..." kata Mizan mendengus dan mencomot makanan yang mamahnya bawa tadi.
Semua tertawa tapi berbanding terbalik dengan Zivanya yang jadi merasa salah. Dia tertunduk ketika mendengar apa yang di minta mertuanya.
"Jangan sedih, yu pulang. Kita buat cucu untuk mamah dan papah. Kalau bisa tiap hari. Biar cepat jadi." Kata Fibra sambil menggandeng Zivanya untuk pulang setelah berpamitan pada semua.
******
Sesampainya di rumah cukup malam karena Fibra membawa Zivanya untuk jalan-jalan terlebih dahulu. Untuk menghilangkan rasa sesak dan jengkel karena tadi Moza adiknya menelepon dengan sangat lancang.
Sampai Zivanya marah meluapkan emosinya di depan keluarga Fibra.
"Mandi dulu gih! Yang wangi yaaa... biar nam__"
Cup!
Zivanya membungkam mulut Fibra dengan ciuman singkat. Karena tak mau mendengar kemesumannya.
"Sayaaang... itu enggak terasa. Lagi dooong!" Fibra menyusul ke kamar mandi.
Namun dengan sigap Zivanya menutup pintu.
"Segitu juga cukup!" Teriak Zivanya di balik pintu kamar mandi.
"Tapi sayaaaaang... itu tidak enak. Aku minta lebiiih." Rengek Fibra sambil mengetuk pintu.
Zivanya membuka sedikit pintu.
"Minta lebih? Boleeeh.tapi tidak ada yang__"
"Nggak! Segitu juga udah cukup ko." Fibra memotong perkataan Zivanya yang menjurus kepada tidak di untungkannya Fibra di satu sisi.
"Kamu mandi lah. Aku mandi di kamar lain saja." Kata Fibra sambil melengos pergi kekamar sebelah.
Setelah selesai mandi, Fibra mengajak untuk makan yang udah di siapkan oleh ART.
Di tempat makan tidak banyak pembicaraan hanya ada suara dentingan sendok dan piring saling bersahutan.
"Aku sudah kenyang."Kata Zivanya sambil hendak pergi
"Makan kamu sedikit sayang. Apa nggak enak badan?" Fibra langsung menempelkan punggung tangan di kening Zivanya
"Aku tidak apa-apa Fibraaa. Hanya masih kenyang." Zivanya menurunkan tangan Fibra sambil tersenyum.
Fibrapun membalas senyuman dengan menarik Zivanya untuk duduk di pangkuannya
"Tapi tadi kita belum makan sayaaang." Kata Fibra sambil menempelkan hidung mancungnya di hidung Zivanya.
"Hihihi... tapi tadi kita udah banyak makan cemilan disana."
"Kalau begitu," Fibra menggendong Zivanya di depan dadanya
Yang menjadikan refleknya Zivanya melingkarkan kaki di pinggang Fibra
"Kita kerja lembur untuk membuat cucu untuk mamah dan papah." Kata Fibra sambil berjalan ke kamar tidur mereka berdua
"Aaaah... Fibraaa. Kamu jangan macam-macaaam." Zivanya makin mengeratkan pegangan di lehen Fibra karena takut jatuh.
Fibra menjatuhkan Zivanya perlahan di atas kasur
"Sayaaaaang... bolehkan akuuuu" Fibra mengusap kening Zivanya, turun ke pipi, dagu dan terakhir ke bibir mungil Zivanya
Karena Zivanya tidak menolak Fibra pun mulai berani untuk menurunkan tangan ke atas kancing baju yang di pakai Zivanya.
Mulanya hanya memutar mutar tangan sambil bibir bergelirya di atas bibir Zivanya.lama-lama mulai berani membuka. Sampai semua telah terlepas dalam hitungan detik.
Tangannya bermain di perut Zivanya dan mulai naik hendak memainkan gunung kembar yang telah terpampang di depan mata, yang hanya di tutupi bra berenda warna hitam legam.
"Sayaaaang... aku__"
Drrrrt...dddrrrt...
Handphone Zivanya berbunyi. Namun tidak di hiraukan.
Namun suara berisiknya membuat Zivanya menangkap tangan Fibra
"Aku harus angkat dulu telepon, takutnya itu penting."
Fibra menjatuhkan badan di atas Zivanya dan menangkup gunung kembar yang tadi hendak dia mainka.
"Ya ampun Fibraaa... bangun dulu, aku susah bangun iniii..."
Fibra berguling ke samping Zivanya sehinggaa memudahkan Zivanya bangun dan meraih handphonenya.
Zivanya duduk dan mulai menerima panggilan telepon
"Ya Rut ada apa?"
'Sit! Ternyata cuman dia.ngapain coba ganggun kerja Gue.' Kata Fibra pelan yang langsung duduk menghadap Zivanya dari samping.
Tanpa babibu lagi, Fibra melepaskan kaitan bra Zivanya dan langsung meraup gundukan kenyal dengan mulutnya.
"Fibra sayaaaanghhhh..." Zivanya menyingkirkan kepala Fibra dari dadanya
"Aku pengen nenen sayaaaang..." terlihat kabut gairah dimata Fibra
"Iyaaa... tapi nanti,ini ada___"
Fibra langsung mengambil handphone yang di pegang Zivanya
"Lo bisakan nelepon besok, Ganggu orang saja, lo!"
Klik!
Fibra langsung mematikan panggilan secara sepihak dan melempar handphone itu ke sembarang arah.
"Ya ampun Fibraaa... aku belum__mmmmppph" bibir Zivanya langsung diraup dengan bibir Fibra.
Setelahnya merekapun saling menyecap dalam ciuman panas.
"Sayaaang... aku ingin kamu saat iniii." Kata Fibra yang hendak mencium lagi
Zivanya menahan d**a Fibra.
"Apa lagi sayaaang... aku sudah nggak bisa nungguuu..." kata Fibra mulai frustasi dengan sifat Zivanya yang terus saja mengulur waktu.
"Heeey... bukan gitu, tapi kamu lupa tutup pintu sayaaaang. Apa kamu mau kalau sampai ada yang lihat waktu aku telan___?"
"NO!" kata Fibra sambil berlalu menutup pintu dan langsung menguncinya.
Setelah itu dia mendekati Zivanya, membawanya berbaring sambil terus menatapnya dalam
Fibra melingkarkan tangan Zivanya di lehernya dan kembali mencium bibir mungilnya
"Apa kamu siap sayang?" Fibra menempelkan kening mereka berdua
Zivanya tersenyum "Tapi kamu nggak lupakan sayaaaang. Satu kali, satu apartemen!"
"Tapi itu dulu, kalau sekaraaang... satu kali untuk satu jam istirahat!"
"Yaaaa... itu nama kerja rodii... tiap hari ga ada habisnya!"
"Biarkan saja! Malahan kalau boleh, aku ingin buat kamu nggak pernah meninggalkan tempat tidur sekalian."
"Yeeeee... itu mah pembantayan namanya! Membunuh secara perlahan."
"Dan pemberi kenikmatan secara berkepanjangan yakan!" Jawab Fibra yang kembali mencium secara inten dan makin berani.
Tangan Fibra terus saja bergerilya di semua lekukan tubuh Zivanya. Menjadikan sang empu tak bisa diam, dia seperti cacing kepanasan sambil terus mendesah nikmat
Mereka udah sama-sama tanpa satu benangpun menutupi tubuh masing-masing.
"Sayang...akan aku bawa kamu ke tempat yang paling indah dan___"
Ddddrrrtt...
Kembali gangguan datang. Tapi ini dari handphone milik Fibra.
Zivanya tersenyum dan mengisyaratkan untuk menerima telepon terlebih dahulu.
Tapi Fibra ngeyel dan tidak mengubris semua itu dia malah siap-siap akan menerjang Zivanya untuk menjadi miliknya seutuhnya. Namun, baru saja__
Duk... duk... duk!!!!
"Fibraaaaa... Zivanyaaaa... bangun cepat! Ini ada masalah besar!" Terdengar gedoran pintu dan suara teriakan yang menjadikan Zivanya dengan reflek mendorong Fibra yang sudah siap menerjangnya.
Zivanya langsung menyambar bajunya dan memakainya asal.
Duk, duk!!!
"Fibraaa... Zivanyaaaa!!!"
Dengan gontai pura-pura bangun tidur Zivanya membuka pintu setelah menutupi tubuh Fibra yang polos dan terlihat dia menekukan wajah karena kesal
"Eh bang Abiii... ada apa bang?" Kata Zivanya sambil menguap
"Aduh maaf Ziva! Abang ganggu kamu.tapi ini__"
"Apa sih bang... nganggu orang aja!" Fibra memfrrotes karena kegiatannya terganggu.
Setelah ini, Fibra bertekad akan membawa Zivanya liburan selama mungkin supaya tidak ada lagi yang mengganggu ke intiman mereka berdua.
"Maaf dek! Tapi ini darurat banget! Papahnya Zivanya di bawa ke rumasakit. Katanya dia jatuh dari tangga dan sekarang dibawa kerumah sakit"
Zivanya mendengar itu langsung limbung dan akan terjatuh. Namun, untungnya keburu di tangkap oleh Fibra yang masih telanjang.
"Ya ampun deeek!" Mizan ingin memaki atas kelakuan sang adik yang tidak ada rasa malu-malunya.
Nemun, Fibra tidak mengindahkannya.
"Kalau begitu kami akan siap-siap untuk kesana.abang duluan saja."
"Ya udah abang pergi dulu ya." Bang Abi pergi meninggalkan mereka berdua. Setelah memastikan Zivanya tidak kenapa-napa.
"Kita harus cepat kesana!" Kata Zivanya yang langsung berdiri hendak pergi.
Namun Fibra langsung menarik tangannya.
"Apalagi sih Fibraaa... nanti kita teruskan lagi lain waktu! Sekarang aku ingin melihat papah." Zivanya menghentakan tangan Fibra kasar.
"Hey sayang, Lihat aku! Aku tahu kamu panik, tapi kamu harus sabar dan ingat, kamu masih memakai baju tidur dan tanpa dalaman." Fibra membisikan kata terakhir di telinga Zivanya sambil meremas dadanya.
Badan Zivanya menegang karena baru sadar dengan apa yang terjadi tadi.
"Ganti dulu bajunya.dan pakai dalaman kamu.kita akan sama-sama pergi kerumah sakit." Kata Fibra sambil pergi, hendak memakai baju juga.
Namun sebelumnya, dia melumat bibir Zivanya dengan rakus.
********