Kembali ke Laura dan Luna.
Tiga gelas jus alpukat sudah selesai Luna buat, tak lupa Luna juga menambahkan toping s**u karamel di atasnya dan menancapkan sedotan dalam setiap gelas jus itu.
Luna berjalan dengan membawa nampan di tangannya lalu meletakkan jus itu satu untuk Laura dan satu untuk johanes.
Luna sengaja memasang handset di telinganya dan mengaktifkan mode sunyi di ponselnya lalu berpura-pura seolah dirinya berbicara dengan seseorang. "Maaf aku harus ke kamar dulu, ini dosenku dan telpon ini sangat penting," ucapnya pada Laura lalu melirik Johanes sebelum akhirnya berlalu meninggalkan kedua orang itu. Rasanya memang agak canggung ketika kita hanya akan menjadi orang ketiga di antara dua orang yang sedang memadu kasih, meskipun di sini Luna adalah orang yang terkhianati tapi entah kenapa Luna merasa dirinyalah benalu diantara Johanes dan Laura.
Laura meminum jus yang Luna buatkan lewat sedotan yang sudah Luna tancapkan di sana "enak" ucap Laura saat sudah menyedot jus nya dan johanes pun melakukan hal yang sama. "Dia gadis yang baik, aku yakin itu," sambung Laura menegaskan karakter Luna pada Johanes, sementara Johanes hanya mengedikkan bahunya bersikap tidak peduli. Dia dan Luna baru dua hari saling mengenal, bukan mengenal tapi sudah langsung di nikah kan dan rasanya Johanes masih tidak bisa terima jika kini dirinya sudah menikahi gadis dari kampung yang katanya kerabat orang tuanya dan orang tuanya sampai memiliki hutang yang sangat besar pada keluarga Luna, Johanes tidak begitu yakin jika keluarga Luna bisa sampai sekaya itu sampai bisa membuat orang tuanya berhutang besar pada mereka.
"Aku baru kemarin mengenalnya, jadi aku belum tau bagaimana aslinya anak itu. Dan selama dia bersikap baik di sini maka aku tidak akan mempermasalahkan keberadaannya," ucap Johanes masih dengan menyedot jus di gelasnya dan benar-benar tidak peduli dengan apa yang Laura katakan mengenai gadis yang kemarin dia nikahi.
"Jadi apa aku boleh berteman dengannya?" Tanya Laura penuh pengharapan.
"Tentu saja," jawab Johanes santai sambil mengurai anak rambut Laura yang jatuh di sisi wajah nya.
"Terima kasih sayang," ucap Laura yang berakhir dengan bibir mereka yang saling bertautan dengan sangat lembut.
"Apapun yang kau inginkan, selama itu bisa membuatmu bahagia maka akan ku kabulkan," balas Johanes, lalu dengan ibu jarinya dia mengusap lembut bibir kekasihnya dan menyematkan anak rambut Laura yang terjatuh di pipi mulusnya lagi. Rasa cintanya luar biasa besar pada wanita itu, namun meski begitu dia tetap menjaga dan menahan dirinya untuk tidak membawa Laura hingga keranjangnya. Johanes bertekad untuk tetap menjaga kesucian Laura hingga mereka benar-benar terikat tali perkawinan.
"Jadi apa tanggapan mama dan papamu tentang rencana kita untuk menikah?" Tanya Laura setelahnya, dia dan johanes beberapa bulan lalu sudah merencanakan untuk segara menikah dan tinggal bersama, tapi sampai saat ini Johanes masih belum memberinya keputusan. Jika beberapa bulan lalu Johanes terhalang karena ibunya yang masuk rumah sakit, maka sekarang sudah tidak ada lagi yang bisa menghalangi jalan jika mereka ingin menikah, kurang lebih itu yang Laura pikirkan.
"Mereka setuju, hanya saja mereka meminta untuk menundanya beberapa bulan," jawab Johanes berdusta. Laura tampak terharu lalu menyandarkan kepalanya di bahu kekasihnya. Johanes mencium puncak kepala Laura dengan sebelah lengannya yang memeluk wajah Laura yang tengah bersandar di bahunya. "Mereka tidak bisa menolak keinginanku, kamu tau sendiri aku adalah satu-satunya putra mereka, dan pastinya semua orang tua menginginkan anaknya bahagia bukan, dan kebahagiaanku hanya ada pada dirimu. Hanya dirimu." Sambung Johanes mantap, dan semakin membuat Laura terharu hingga mengeratkan pelukannya di pinggang kekasihnya. Namun tidak dengan orang yang berdiri di ujung tangga lantai atas itu. Dimana Luna berdiri dengan hati yang semakin bersalah. Bersalah, karena dirinya seolah menjadi dinding pemisah antara dua pasang insan yang saling mencintai.
Luna turun dari anak tangga itu, berjalan ke arah di mana Johanes dan Laura masih duduk dengan saling menyandarkan kepala. "Aku akan keluar dan mungkin akan pulang malam," ucapnya menatap Johanes suaminya, namun Johanes bersikap tidak peduli, bahkan tidak menjawab ucapan Luna yang sedang meminta ijin padanya.
"Kamu kuliah sampe malem Lun ?" Laura yang bertanya, karena dari tadi Johanes tidak menjawab pertanyaan wanita yang dia kenalkan sebagai sepupunya.
"Tidak. Aku kuliah pagi hingga siang. Tapi hari ini aku ada rolling jam kerja sama teman aku. Jadi aku yang akan kerja malem ini di kafe," jelasnya. Meski Johanes tidak bertanya alasannya pulang malem tapi pertanyaan Laura cukup mewakilinya untuk menyampaikan alasannya akan pulang malem. Johanes malah asik menggulung rambut panjang Laura dengan ujung jari telunjuknya. Luna memilih cuek dan bersikap seolah masa bodoh dengan apa yang kedua orang ini lakukan kemudian berlalu meninggalkan unit itu dan bergegas ke tempat latihan koreografi dimana Vanessa dan Malik menunggunya.
Acara konser itu akan berlangsung besok malem. Panggung megah itu sudah siap menyambut para tamu undangan dan bintang tanah air yang akan mengisi acara tersebut.
Luna keluar dari aula itu lewat pintu sebelah aula setelah timnya menyatakan selesai dan saat itu Johanes yang baru saja datang dengan Laura lewat pintu utama langsung menuju aula panggung untuk memperagakan beberapa adegan ketika dirinya akan tampil besok dengan beberapa pelatih dan penata koreografi panggung megah itu. "Nanti akan ada satu penari wanita yang akan menjadi partner anda dan ini adalah gerakan yang harus anda lakukan nanti," jelas pelatih koreografi itu cukup jelas dan bisa di mengerti oleh Johannes. Dan setelah Johanes merasa sangat paham sesi latihan itupun berakhir, kemudian beralih fitting baju yang akan mereka kenakan dan tentunya semua pakaian yang akan mereka kenakan adalah rancangan-rancangan dari desain terbaik tanah air. Setelah fitting itu selesai Johanes dan Laura meninggalkan gedung dengan panggung megah itu menuju satu kafe untuk menikmati makan siang mereka. Sakura kafe and resto menjadi pilihan keduanya, karena di sana menyediakan makanan khas jepang yang menjadi kesukaan Laura.
Mobil Mazda hijau itu melaju menelusuri padatnya kota metropolitan yang terkenal dengan kerasnya hidup dan kemacetan. Dua puluh lima menit, mobil Johanes sampai di area parkir resto itu. Johanes lebih dulu keluar dari dalam mobilnya dan bergegas membuka pintu sebelah mobil itu untuk sang pujaan hatinya layaknya sang putri kerajaan. Dengan anggunnya Laura keluar dari pintu mobil itu setelah menerima uluran tangan kanan Johanes yang langsung menggandeng mesra jari jemari lentiknya dan merangkul pinggang sang kekasih kemudian berjalan memasuki restoran.
Beberapa pasang mata yang menatap kemesraan keduanya sampai begitu takjup dengan cara sang pria memperlakukan sang gadisnya. Sangat terlihat jelas jika pria tampan berkulit putih itu sangat mencintai wanitanya. Ada beberapa yang memang sudah sangat mengenal Johanes, dan tentu saja tidak begitu heran melihat pasangan kekasih yang memang terkenal selalu harmonis dan mesra di manapun mereka berada, bahkan beberapa stasiun televisi swasta dan nasional sering membicarakan kedua pasangan yang terlampau serasi itu.
"Oooh kapankah aku akan bertemu dengan pangeran tampan dan lembut sepertinya?" Gumam seorang pelayan itu sambil menopang dagu dengan kedua tangannya. Pandangannya lurus ke depan ke arah pasangan kekasih itu, mengagumi, memuja, keduanya berharap dirinya bisa berada di posisi sang gadis yang terlalu beruntung dalam hidupnya. "Lihatlah Lun. Bukankah mereka sangat manis?" Sambung gadis yang berseragam sama dengan semua pelayan di kafe sekaligus restoran itu.
Luna memutar tubuhnya, mengikuti arah pandang teman se profesi dengan dirinya. Luna tersenyum kecut. Entah apa yang harus Luna rasakan sekarang. Apa Luna harus merasa sakit hati atau cemburu dengan apa yang sedang mereka lakukan saat ini, ataukan dirinya harus bahagia, karena ternyata dirinya telah di nikahi oleh sosok pria penyayang, penuh cinta, dan baik hati? Kadang orang hanya melihat satu buku hanya dari sampulnya saja atau melihat satu objek hanya dari satu sisi. Jika kebanyakan wanita berharap bisa berada di posisi Luna saat ini , menjadi istri dari seorang Johanes Van Abraham, entah kenapa Luna merasa sudah tidak menginginkan posisi itu walau hanya untuk sekedar dia khayal kan.
Jauh sebelum Luna menjadi istri Johanes, Luna memang sudah tau jika Johanes memang sosok yang penyayang dan penuh cinta, namun sayang dan cintanya itu hanya untuk Laura Jasmin. Lalu apalah dirinya yang tidak akan pernah menempati setitik saja bilik hati dari laki-laki yang sudah memperistri dirinya. Luna sadar jika siapapun bisa menjadi istri dari Johanes, tapi Luna juga sadar seluruh hati dan dunia Johanes hanya untuk Laura Jasmin. Hanya Laura Jasmin.
Seseorang menepuk bahu Luna, dan mengatakan jika meja empat adalah bagian dirinya untuk menjamu tamu yang berstatus pelanggannya. Luna mengangguk lemah, hatinya sedikit protes, dari sekian banyaknya pelayan kafe and restoran itu, kenapa harus dirinya yang mendapatkan bagian untuk meja nomer empat yang sialnya di duduki oleh Johanes suaminya dan sang kekasih yang juga menjadi sahabat mulai dari siang tadi.
Luna menarik napasnya dalam sebelum akhirnya menghembuskannya pelan. Menguatkan hati, mantapkan langkah, dan mempertahankan senyumnya adalah sikap profesionalisme yang harus selalu di prioritaskan saat bekerja dalam situasi seperti ini. "Kamu bisa Luna. Kamu bisa, anggap saja mereka bukan siapa-siapa dalam hidupmu." Batin Luna berusaha menguatkan hatinya saat langkahnya mulai menghampiri meja nomer empat.
"Selamat malam. Silahkan pilih menu yang ingin anda nikmati," ucap Luna ramah dengan memberi dua papan menu andalan restoran itu. Senyum manis yang Luna paksa sebagai bentuk profesional nya dalam bekerja selalu menghiasi wajah cantik dan eloknya, sementara rambut coklatnya di ikat rapi.
"Luna," kaget Laura saat memutar wajahnya sembilan puluh drajat menghadap pelayan yang melayani mereka yang ternyata adalah Luna sahabatnya yang baru tadi siang resmi menjadi sahabat sekaligus sepupu kekasihnya. "Kamu kerja di sini?" Tanya Laura antusias.
Luna sedikit menundukkan tubuhnya dan mengatakan dengan sangat lirih "jangan menyapaku di sini, karena aku bisa saja kena tegur dari bos ku," ucap Luna sedikit berbisik namun cukup jelas untuk di dengar oleh Laura. Laura mengangguk mengerti lalu tersenyum, setelahnya mengambil bolpoin dan kertas yang Luna sodorkan untuk menulis menu pesanan yang mereka ingin nikmati.
Luna sedikit membungkukkan badannya saat menerima lembar berisi pesanan itu lalu mundur dua langkah sebelum akhirnya berbalik dan menuju dapur untuk menyerahkan daftar menu pesanan untuk meja nomer empat. Luna kembali menghela napas seolah dirinya sangat lelah, tapi sebenarnya bukan itu yang terjadi , Luna hanya merasa sedang berada di titik ketidak beruntungan dalam hal hati.
Hanya butuh lima belas menit untuk koki menyiapkan pesanan itu dan kini semua makanan pesanan meja nomer empat sudah siap di hidangkan.
Luna membawa dua nampan besar di kedua tangannya dan satu nampan berisi minuman di bawa pelayan lain untuk di hidangkan di meja tersebut.
Setelah semua hidangan tertata rapi di meja itu, Luna kembali membungkukkan badan dan mundur tiga langkah setelah mengucapkan selamat menikmati. Luna masih berdiri dari jarak tiga langkah, menunggu pengunjung yang sedang menikmati makanannya. Karena begitulah selama ini kafe and restoran yang cukup mewah ini melayani pelanggannya dengan segenap hati.
Johanes bersikap biasa-biasa saja, meski Luna masih berdiri di sana. Tapi tidak dengan Laura. Mungkin Laura juga akan bersikap biasa-biasa saja jika yang melayaninya saat ini bukan Luna. Tapi karena dia sudah terlanjur mengenal Luna maka rasa sungkan pun mulai terasa di hatinya. "Tidak bisakah kau juga ikut duduk bersama kami di sini?" tanya Laura saat berbalik menghadap Luna. Luna hanya tersenyum lalu menggeleng . Dan sepertinya Laura cukup paham dengan semua itu.
Luna menunduk dalam saat kedua kekasih itu saling menyuapi dan bahkan bercanda sambil terus menikmati hidangan di depannya. Sikap lembut dan penuh cinta yang selalu Johanes tunjukkan pada Laura nyatanya mampu menggoyahkan hatinya yang semula masih terasa baik-baik saja kini sedikit tercubit. Bagaimanapun dia adalah wanita biasa yang akan mudah patah saat melihat orang yang berstatus suaminya sedang bermesraan dengan wanita lain, "Mungkin benar di hati Johanes tidak ada cinta untuk dirinya, tapi apakah dia layak mendapatkan semua ini." Luna bermonolog dalam diamnya, dan masih dengan menundukkan wajahnya tanpa berniat menyaksikan apa yang kedua insan di depannya lakukan.