prolog
Dia bangkit dari duduknya sambil berkacak pinggang.
"Jangan mengharapkan sesuatu yang lebih dariku. Karena sungguh itu sangat mustahil untuk aku bisa berikan padamu," ucap Johanes dengan sangat tegas dan lantang. Setiap ucapannya selalu tegas di depanku, bahkan untuk sesuatu yang sangat sederhana sekalipun.
"Aku tak akan meminta apapun darimu. Tidak akan, maafkan aku," balasku dengan menundukkan wajahku dan tetap menjaga nada suaraku agar tidak terbawa emosi saat menjawab setiap penolakannya padaku.
"Jangan munafik. Aku tau kau menginginkan diriku," ucapnya lebih tegas. Bahkan nada suaranya sekarang naik dua oktaf.
Aku yang hendak berlalu dari hadapannya seketika menghentikan langkahku dan berbalik menghadap dirinya lagi. Masih mengenakkan jubah hitam atau toga dan topi wisuda dikepalaku, karena hari ini aku wisuda dan aku baru saja meminta padanya untuk menjadi pendampingku wisuda. Aku menarik napasku sebanyak yang bisa di tampung paru-paru lalu menghembuskannya perlahan. Kuberanikan diriku untuk menatap manik hitam milik suamiku, dengan meninggalkan sejenak sisi lemahku akupun berucap. "Ya. Aku tidak ingin menjadi wanita munafik baik di hadapanmu taupun di hadapan orang lain. Aku memang selalu mengharapkanmu, tapi percayalah aku tidak akan pernah memaksamu untuk memberikan hatimu padaku meski itu hanya setitik." Aku menjeda kalimatku dan kembali menarik napas untuk menahan air mata yang hampir saja lolos dari upuk mataku. Aku memang wanita lemah tapi kali ini aku tidak mau terlihat lemah sedikitpun di hadapannya.
"Johanes Van Abraham. Hanya untuk kau tau. Aku sudah menerimamu sebagai jodohku saat usiaku baru sembilan tahun. Aku sudah menyerahkan cintaku padamu bahkan saat aku belum tau apa itu cinta. Aku sudah mengunci hatiku pada setiap cinta yang datang padaku bahkan meski aku belum tau siapa laki-laki yang akan di jodohkan denganku. Aku sudah mencintaimu meski aku tidak pernah tau bagaimana wajah dan siapa nama jodoh pilihan ayahku. Aku sudah mencintaimu dan mengharapkanmu bahkan sebelum aku melihat siapa dirimu. Dan saat aku sudah menjadi istrimu. BOHONG, jika aku mengatakan tidak mengharapkanmu membalas rasaku ini. BOHONG, jika aku mengatakan aku baik-baik saja saat kamu dengan sengaja menoreh luka di hatiku. Tapi meski begitu apa yang bisa aku perbuat? TIDAK ADA."
Dia memutar tubuhnya, membelakangiku. Tak ada kata yang terucap dari bibirnya hanya saja aku tau dan bisa melihat begitu besar rasa bencinya padaku. Entah dosa apa yang sudah aku perbuatan dalam hidupku, aku sendiri masih terus bercermin dalam diriku sendiri.
Benar. Kami menikah karena perjodohan. Dan aku menjadikan perjodohan ini adalah wasiat terakhir mendiang ayah padaku. Meski begitu aku tetap tidak akan memaksanya untuk mengabulkan permintaan terakhir dari orang yang tidak dia kenal bukan.
"Johanes Van Abraham. Kau boleh memilih langkahmu sendiri, aku tidak akan melarang ataupun menolaknya. Kau boleh menceraikanku dan aku akan menerimanya dengan tangan terbuka, karena mungkin dengan cara itulah kau tidak lagi akan merasa bersalah padaku dan aku tidak akan terluka separah ini dengan hubungan yang tidak sehat ini. Meski begitu percayalah, baik mama ataupun papa tidak akan bisa menghentikan keinginanmu kali ini. Aku bisa menjanjikan itu." Sambungku dengan tegas dan berani. Meski hatiku lagi-lagi terluka oleh ucapanku sendiri, tapi sungguh saat ini aku tidak ingin terlihat lemah lagi.
Delapan bulan. Ya delapan bulan kami hidup menjadi suami istri tak sekalipun dia mau memandangku. Tak apa jika dia tidak mau menganggap ku sebagai istrinya, tapi setidaknya lihatlah aku sebagai seorang wanita yang lemah dan mudah patah. Jika aku tidak pernah terlihat menangis di hadapannya bukan berarti aku adalah orang yang kuat dan takkan terluka saat melihat suamiku bermesraan bahkan b******u dengan wanita lain di hadapanku secara langsung. Aku tentu saja terluka, tentu saja marah, tentu saja kecewa, tapi sudahlah bukankan ini adalah jalan yang telah di pilihkan ayah untukku. Apa ayahku ingin melihatku menderita dan terluka? Aku yakin jawabannya TIDAK.
Tidak satupun ayah di dunia ini yang ingin melihat anaknya menderita dan terluka sepertiku saat ini, dan aku yakin saat ini ayahku pun sedang bersedih di atas sana saat melihat satu-satunya putrinya sedang terluka. Jika Tuhan memberi satu kesempatan untuk ayahku hidup kembali, aku yakin ayahku pasti akan mengambil kesempatan itu untuk menghentikan derita putrinya saat ini. Tapi, yah apa daya semua itu mungkin sudah suratan takdir untukku. Aku hanya berharap Tuhanku tetap memberiku kekuatan untuk menghadapai semua ini.