Bab 3

1467 Kata
Tidak terasa waktu berlalu begitu cepat. Setengah jam waktu istirahat hilang begitu saja. Saat ini Anggara sedang membersihkan kotoran di giginya menggunakan tusuk gigi yang disedikan penjual. Adelina sedang asyik memoles wajahnya. Dua jam dijemur di terik sinar matahari membuat wajahnya berkeringat. Alhasil, make-upnya luntur. Arjuna dan Kinara hanya menyenderkan tubuh mereka. Mencoba mengistirahatkan tubuh terutama kaki. “Ayo,” Arjuna bangkit disusul Kinara. “Kita harus bergegas agar cepat selesai. Mereka berdua pergi lebih dulu. “Buruan, Del!” Anggara berkacak pinggang menunggu Adelina selesai bermake-up. “Sabaran dikit ngapa.” Adelina memasukkan bedaknya ke dalam tas. “Ayo.” Benar apa yang dikatakan Arjuna. Bu Bertha sudah menunggu di lapangan sambil memegang plastik hitam besar. “Baiklah, langsung saja. Arjuna dan Kinara kutip seluruh sampah yang berserakan di lapangan. Anggara dan Adelina, tugas kalian di halaman belakang dan juga parkiran.” Adelina buru-buru mengambil plastik dari tangan Bu Bertha. “Baik, Bu.” Adelina juga menarik tangan Anggara. “Ayo buruan!” Kemudian pergi meninggalkan mereka. “Ini plastik kalian. Setelah selesai, langsung lapor ke ibu.” “Baik, Bu.” Kurang lebih selama setengah jam mereka mengitari lapangan mengutip sampah sesuai apa yang diperintahkan Bu Bertha kepada mereka. Maing-masing plastik mereka hampir penuh berisi sampah. Itu dikarenakan hari ini petugas kebersihan berhalangan hadir karena anaknya sedang sakit. Hal itu sudah berlangsung selama dua hari. Itu alasan mengapa Bu Bertha memberikan mereka hukuman ini. Setelah merasa yakin semua sampah sudah mereka pungut. Arjuna dan Kinara melapor ke Bu Bertha. Tak lama, Anggara dan Adelina muncul. Sama seperti Arjuna dan Kinara, plastik mereka berdua juga terisi penuh sampah. “Kerja bagus anak-anak. Sekarang kalian boleh istirahat dan masuk ke kelas. Setelah pulang nanti segera temui ibu. Ada satu hukuman lagi yang harus kalian terima.” Bu Bertha tersenyum kemudian pergi. “Lagi?” Adelina terduduk lemas. “Ini sebenanrnya hukuman atau apa sih? Kenapa begini amat!” keluh Adelina. “Gila bener tuh guru,” Anggara menarik napas, mengatur iramanya. “Kalau gini terus mah gue bisa pingsan.” Kinara menarik tangan Adelina sampai berdiri. Mereka semua beranjak pergi meninggalkan lapangan menuju ke kelas. ** Pulang sekolah. “Baiklah anak-anak, pelajaran kita cukup sampai di sini. Jangan lupa mengerjakan tugas yang ibu berikan. Paham?” tanya Bu Arini. “Paman, Bu.” Murid-murid menjawab serempak. Bu Arini keluar kelas terlebih dahulu. Kemudian murid-murid lain bergegas menuju pintu, berebut ingin keluar duluan. Adelina menatap jengah, entah apa yang mereka kejar sampai harus seperti itu. Sedetik kemudian ia harus menghela napas. Ia teringat kalau hukumannya hari ini belum berakhir. Selepas pulang ini, mereka harus menghadap kembali, menemui Bu Bertha. Adelina kesal bukan kepalang. Ia merasa menyesal karena sudah menginap di rumah Kinara. Andai saja ia tidak melakukan itu, pasti sekarang dirinya sedang berada di perjalan pulang. Ketika sampai bisa langsung melanjutkan streaming menonton drama korea yang terpaksa ditunda karena tugas memanggil. Arjuna menyampirkan tas, berdiri, berjalan ke meja Adelina dan Kinara. “Ayo. Kita harus bergegas.” Saat itu Kinara sedang melangsungkan ritual-tidur di atas meja. Adelina menyenggol lengannya. “Woi kebo! Bangun!” Dua kali. “Perasaan baru dua menit yang lalu bel pulang berbunyi, ni kebo dah molor aja. Cepet bangun!” Adelina menggunjang tubuh Kinara. Anggara menghampiri mereka. “Woi, Ra, bangun!” Anggara menegakkan tubuh Kinara. Terlihat gadis itu memaksa membuka matanya. “Hm?” “Ayo, Ra. Kita harus menemui Bu Bertha lagi, biar cepet pulang,” ujar Arjuna. “Gue ngantuk.” Kinara menjatuhkan kepalanya lagi di atas meja sampai mengeluarkan bunyi. Mereka bertiga meringis ketika mendengar suara itu. Tapi Kirana tidak bereaksi apa pun. “Satu,” Anggara mulai berhitung. “Dua.” Anggara membuka tas, megeluarkan botol aqua yang berisi tinggal setengah. “Ti..” “Iya, iya.” Kinara berdiri, memyampirkan tas, berjalan keluar kelas. “Dasar!” ketus Adelina. Mereka berempat berjalan beriringan menuju ruang guru. Sampai di sana, Bu Bertha tengah memeriksa buku-buku jawaban para siswa. Arjuna mengetuk pintu. “Permisi, Bu!” “Eh,” Bu Bertha memperbaiki kacamatanya. “Arjuna? Masuk nak, masuk.” Bibir Adelina mencibir. Dalama hatinya ia berkata, kalau sama Arjuna saja manis, tapi kalau sama murid lain, boro-boro berkata manis, senyum aja susah. Arjuna masuk diikuti Kinara, Anggara, dan Adelina. “Kalian tau kan ibu orangnya gak suka basa-basi?” Mereka semua tidak merespon omongan Bu Bertha itu, kecuali Arjuna yang menganggukkan kepala. “Jadi langsung saja,” Bu Bertha merogoh saku. “Ini kunci perpustakaan, ibu minta kalian bersihkan semua peralatan dan buku-buku yang ada di sana.” “Tapi, Bu?” Adelina tidak menyangka inilah tugas atau lebih tepat disebut hukuman yang dikatakan Bu Bertha tadi. “Perpustakaan itu besar sekali, Bu. Kami,” Adelina menunjuk dirinya dan tiga sahabatnya. “Kami Cuma berempat, mana sanggup.” “Jadi?” “Kami boleh minta hukuman lain gak, Bu?” Adelina bertanya dengan nada memelas. Tapi jangan kalian kira hatinya sama dengan mulutnya, ya. “Ada.” jawab Bu Bertha singkat. “Ada, Bu?” Tanpa disadari senyum Adelina mekar begitu saja. “Mengecat ulang seluruh aula dan juga membetulkan toilet belakang yang rusak. Kamu mau?” Anggara tak kuasa menaham tawanya. Kinara dan Arjuna juga tertawa melihat Adelina melongo tidak percaya. “Sudah. Jangan banyak bicara.” Bu Bertha menyerahakan kunci perpustakaan kepada Arjuna. “Segera bersihkan, lalu kembalikan kunci itu ke ibu.” Arjuna mengangguk. “Baik, Bu.” Sengaja saat keluar Adelina menendang kuat pintu karena kesal dengan Bu Bertha. Kalau misalnya ada mesin penghitung tingkat kesabaran. Mungkin saat ini hanya tersisa sepuluh persen lagi tingkat kesabaran yang dimiliki Adelina untuk Bu Bertha. Anggara dan Arjuna berjalan berdampingan. Mereka berdua membincangkan apa yang akan mereka lakukan setelah pulang menyelesaikan hukuman terakhir ini. Kinara berjalan di samping Adelina sambil terus menguap. Entah berapa kali, sudah tidak terhitung lagi. Andai ada kontes pemilihan ratu tidur, Kinara dipastikan akan mendapat juara tetap, tidak tergeser. Mereka sampai. Arjuna membuka kunci pintu perpustakaan. Kinara masuk lebih dulu, tapi bukan untuk kerja. Ia mencari meja untuk melanjutkan aktivitas tidurnya. Adelina menyusul, ia menghidupkan senter dari hapenya mencari saklar lampu. Malam belum datang, tapi perputakaan sekolah mereka seperti tidak mendapat jatah cahaya matahari. Anggara ikut duduk di depan Kinara yang sudah molor. Arjuna berkeliling mencari alat bersih-bersih. “Gar,” panggil Adelina. “Apa?” “Bu Bertha udah nikah, kan?” “Ya udah lah. Emang kenapa?” Adelina memainkan jarinya, memberi kode kepada Anggara agar mendekat. “Kalo gue liat nih, ya. Bu Bertha itu gatel banget sama Arjuna.” “Ngaco lo.” Anggara tertawa. “Gue serius. Lo perhatiin deh. Waktu Bu Bertha bicara sama Arjuna, kata-kata dan cara bicaranya manis banget. Gak kayak lagi bicara sama kita.” terang Adelina. “Perasaan lo aja itu.” Arjuna datang dengan peralatan kebersihan. Di tangannya ada satu sapu, dua pel, dan satu kemoceng. Di lehernya menggantung kain lap. Arjuna menyerahkan barang-barang itu ke Anggara. “Kita bersihin sekarang aja, ya?” “Lima menit. Lima menit lagi ya, Jun. Gue mau istirahat sebentar,” Dagunya mengode Kinara. “Lagian ni manusia kebo juga masih molor.” “Oke. Lima menit, gak lebih.” Adelina langsung membunyikan buku-buku jarinya. Anggara berdiri menerima telepon. Jika dilihat dari cara bicaranya, sepertinya playboy SMA Rajawali itu tengah berbicara dengan pacarnya. Arjuna melihat Kinara yang tengah menikmati tidurnya. Sejak bertemu dengan Kinara, gadis itu sama sekali belum berubah. Masih hobi tidur di mana saja dan kapan saja. Ponsel Arjuna berdering. Nomor tidak dikenal dan bahkan nomor itu hanya terdiri dari satu angka. Arjuna memastikan terlebih dahulu bahwa ia tidak salah lihat. Nomor ponsel apa, atau berasal dari mana yang hanya memiliki satu digit angka. Ia memperlihatkan terlebih dahulu ke Adelina. "Lo tau ini nomor apa?" Adelina menyipitkan mata menatap layar ponsel Arjuna. "Kenapa cuma satu digit angka?" Alih-alih menjawab, Adelina malah balik bertanya. "Gue juga gak tahu. Gue angkat gak?" "Angkat aja. Siapa tahu penting." Baiklah. Adelina benar, siapa tahu ini kode rahasia yang menelpon untuk memberitahu informasi penting atau meminta bantuan. Arjuna menggeser ikon hijau bergambar ponsel. "Halo?" Ia memulai percakapan. Hening. "Halo?" Hening. Adelina memasang wajah seperti bertanya, siapa?. Arjuna menggeleng tidak tahu. Hal itu berlangsung selama dua menit. Arjuna meletakkan ponsel di atas meja, kemudian menyalakan loudspeaker. Anggara kembali bergabung bersama mereka, ia sudah selesai menelpon. "Siapa?" Anggara bertanya kepada Adelina yang dibalas gelengan tidak tahu. Tiga detik kemudian terdengar suara seperti radio rusak. Di sela-sela itu, terdengar seperti suara yang berbeda namun tipis sekali. Suara itu kalah dengan suara radio rusak. Suara radio rusak hilang. Arjuna mengambil ponselnya, meletakkannya di telinga kembali. "Halo? Halo? Ini siapa?" Terdengar dari seberang sana suara berat. Arjuna sama sekali tidak memahami bahasa yang digunakannya. Arjuna menyalakan loudspeaker, memperdengarkan kepada Adelina dan Anggara. Mereka berdua mengerjap heran, takjub, sekaligus takut. Bahasa apa itu? Kenapa mereka tidak memahaminya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN