Bab 4

1262 Kata
Sambungan telepon terputus. Arjuna mengecek daftar panggilan masuk, ia menghubungi nomor itu kembali. Aneh, nomor itu tidak dapat dihubungi. Kinara mengangkat kepalanya, membuka mata. "Sudah selesai bersih-bersihnya?" tanyanya tanpa berpikir terlebih dahulu. "Selamat pagi tuan putri!" ucap Kinara kesal. Arjuna tampak diam. Dalam pikirannya terus mencari tahu siapa gerangan yang menelponnya. Lalu kenapa bahasa yang digunakan itu justru terdengar bukan seperti makhluk bumi. Arjuna berpikir, untuk sekarang, lebih baik mereka menyelesaikan tugas dari Bu Bertha terlebih dahulu. Berkenaan apa yang terjadi barusan, akan lanjut dipikirkan setelah selesai membersihkan perpustakaan. Arjuna berdiri dari duduknya, mengambil sapu. "Adel, tugas lo nyapu ikut gue. Anggara lo ngepel, dan lo Kinara, bersihkan buku-buku dan juga meja. Ntar kalo kerjaan kami sudah beres, akan kami bantu." Kinara mengorek telinganya. "Baik, Pak." seru Kinara sambil menguap. Anggara membawa pel itu keluar perpustakaan. Di sebelah perpustakaan, ada kamar mandi. Anggara berniat untuk mengambil ember dari dalam kamar mandi terlebih dahulu, baru mengepel. Arjuna dan Adelina membagi luas perpustakaan menjadi dua. Arjuna membersihkan sisi kanan, dan Adelina membersihkan sisi sebelah kiri. Kinara membersihkan meja terlebih dahulu. Ia meletakkan buku-buku yang terletak di atas meja kembali ke tempatnya. Penyakit semacam ini tidak hilang-hilang. Mereka yang membaca suka sekali meninggalkan buku di atas meja, alih-alih mengembalikan ke tempatnya. Setelah semua meja dipastikan bersih, Kinara beranjak membersihkan debu-debu yang menempel di buku-buku yang tersusun rapi berjajar di rak. Anggara masuk sambil menjinjing ember berisi air. "Sudah nyapunya?" ia bertanya kepada Arjuna dan Adelina. Sepertinya ia sudah tidak sabar untuk kerja bakti. Adelina mengambil serokan sampah, memindahkan debu-debu dan sampah kecil ke tong sampah. "Sebentar lagi." Arjuna selesai lebih dulu. Sesuai perkataannya, ia ikut bergabung dengan Kinara membersihkan debu-debu yang ada di buku. Arjuna membenahi buku yang tidak tersusun rapi, sambil memukul-mukulkan sapu tangan yang menggantung di lehernya tadi ke buku. "Sudah. Sekarang lo bisa ngepel." Adelina menyeret tong sampah, membawanya keluar ruangan. Anggara mulai menjalankan tugasnya. Perlahan tapi pasti, lantai keramik perpustakaan yang tadinya kotor, sekarang menjadi kinclong. Anggara ngedumel di dalam hati. Sebenarnya berapa tahun perpustakaan ini tidak dibersihkan. Lihatlah, ia harus menekan ekstra kain pel itu ke lantai agar noda yang membandel hilang. Adelina menepuk-nepuk tangannya, menjatuhkan debu yang lengket. Ia berjalan ke meja tempat tasnya berada, mengeluarkan kaca dan bedak. "Gawat." Adelina buru-buru memoles wajahnya dengan bedak. "Kulit gue bisa iritasi kalau begini terus." Baru setengah lantai yang dipel, tapi air sudah berubah warna menjadi hitam pekat. Anggara membuang air itu di bawah pohon, kemudian menggantinya dengan yang baru, lalu melanjutkan aktivitas pengepelannya. Adelina tidak percaya melihat apa yang dilakukan Anggara. Ternyata pria yang biasanya sok kegantengan itu paham juga dalam urusan mengepel. Kinara batuk, tanpa sengaja hidungnya menghirup debu. Arjuna menghampiri Kinara, "Rak ini memang banyak banget debunya. Atau gini aja. Lo bersihin yang sebelah sana. Tadi gue udah liat, debunya gak sebanyak di sini." Kinara mengangguk, lalu berjalan menuju rak buku di ujung mengikuti arahan Arjuna. Tanpa sengaja lengan Arjuna menyenggol buku-buku yang berada di sebelahnya. Buku-buku itu jatuh ke lantai. Arjuna memungut buku itu, mengembalikan ke tempatnya. Arjuna melihat Adelina duduk santai bermake-up. Lantas ia memanggilnya. "Del, Lo udah selesai, kan? Ayo sini bantuin." Adelina mengeluh. "Tugas gue kan udah selesai." Anggara datang, menjewer telinga Adelina. "Di-la-rang per-hi-tu-ngan. Apa?" Anggara mengode Adelina untung mengulangi perkataannya barusan. "Dilarang perhitungan." ketus Adelian. "Ayo. Biar semuanya cepat selesai, kita bisa cepat pulang." "Iya, iya." Adelina memasukkan bedak dan kaca ke dalam tas. Kemudian menghampiri Arjuna. "Apa yang harus gue kerjain?" "Em," Arjuna menjeda sejenak. Ia melihat sekeliling, mencari pekerjaan yang cocok untuk Adelina. Matanya menangkap Kinara yang sedang mengelap keringat. "Lo ke sana, bantuin Kinara." Adelina menunjuk dirinya. "Gue?" Arjuna mengangguk. "Hilangin sifat perhitungan lo itu. Entar kasian laki-laki yang dapetin lo." celetuk Anggara. "Maksud lo apa?" Anggara mendorong pelan tubuh Adelina agar cepat pergi. "Udah sana, cepetan." Satu jam berlalu. Lantai perpustakaan sudah mengkilap. Buku-buku di rak juga sudah tersusun rapi. Debu-debu di meja dan di buku juga sudah lenyap. Kinara dan Arjuna duduk hadap-hadapan. Adelina memilih duduk sendiri. Sedangkan Anggara memilih tiduran di lantai. Adelina mengeluarkan buku tulis dari dalam tas, menjadikan kipas. Kinara meletakkan kepalanya lagi di atas meja, memejamkan mata. Semenit kemudian, kesadarannya terbang entah kemana. Arjuna menatap lamat-lamat ponselnya. Nomor yang hanya berjumlah satu digit itu mendapatkan perhatian lebih dari Arjuna hari ini. Ia bertanya-tanya, bagaimana bisa nomor yang hanya memiliki satu digit angka menelponnya. Namun saat ditelepon balik, tidak tersambung. Satu hal lagi yang mengganjal di pikirannya. Bahasa. Ya. Bahasa yang digunakan si penelpon membuat teka-teki ini semakin rumit. Sempat terlintas di benak Arjuna kalau yang menelponnya berasal dari luar angkasa. Buru-buru Arjuna menepis pikiran anehnya. Sangat-sangat tidak mungkin dirinya ditelpon alien. Begitu dalam benak Arjuna. Anggara merubah posisinya menjadi duduk. Ia melihat wajah Arjuna yang seperti memikirkan sesuatu. "Lo kepikiran nomor yang tadi?" tanya Anggara. Adelina yang menyahut. "Coba lo telpon lagi, Jun." Arjuna menatap Adelina dan Anggara bergantian. Ia sedikit ragu untuk menelpon nomor itu lagi. Adelina mempercepat kibasan tangannya. Adelina merasa suhu di dalam perpustakaan ini semakin meningkat. Terlihat dari dahinya yang semakin basah oleh keringat. Adelina mulai panik, jangan sampai make-upnya luntur lagi. Ternyata bukan hanya Adelina saja yang kepanasan. Anggara terlihat membuka dua kancing kemejanya membiarkan udara masuk. Arjuna juga melakukan hal yang sama. Kinara, bagaimana dengan anak itu. Syukurlah, ternyata Kinara masih bernyawa. Tubuh bagian belakang Kinara basah karena keringat. Anggara berdiri, berjalan mendekati pintu berniat membuka benda segi empat itu agar udara masuk. Namun saat tangan Anggara menyentuh gagang pintu, ia mendengar suara seperti pintu terkunci. Anggara berusaha membuka pintu itu, sia-sia. Pintu itu benar-benar terkunci. "Kenapa, Gar?" Arjuna bertanya. "Pintunya terkunci." "What? Terkunci?" Adelina berlari panik. Ia menyuruh Anggara menyingkir, lalu mencoba sendiri membuka pintu. Tetap tidak bisa dibuka. Pintu itu terkunci. "Ini gimana?" Adelina beringsut duduk. Wajahnya benar-benar panik. Arjuna membangunkan Kinara terlebih dahulu. Gadis itu bangun. Arjuna ikut bergabung bersama Anggara dan Adelina. Ia mencoba membuka pintu itu perlahan, tidak bisa. Arjuna mendobrak pintu itu, tetap tidak terjadi apa-apa. Pintu itu masih tertutup rapat. Kinara mengucek matanya. Ia menyampirkan tasnya di punggung. Kemudian ikut mendekati pintu. "Beneran kekunci? Kok bisa?" Lagi-lagi Kinara mengakhiri kalimatnya dengan kuapan. "Gue mau pulang." Adelina merengek seperti anak bayi. "Kita harus gimana sekarang, Jun?" Anggara bertanya. Arjuna tidak menjawab pertanyaan Anggara. Tiba-tiba saja ia punya pikiran menautkan kejadian ini dengan nomor asing tadi. Apakah kejadian ini ada hubungannya dengan nomor itu? Jangan ini ulang alien? Dengan cepat Arjuna menyingkirkan pikiran anehnya itu lagi. Kinara mengucek matanya. Ia menatap tajam ke depan. Dari rak yang berada di ujung ruangan yang ia bersihkan tadi seperti ada secarik cahaya yang memancar. Kinara melangkah ke sana untuk memastikan. "Lo mau kemana, Ra?" Anggara menahan tangan Kinara. Tanpa menjawab, Kinara melepaskan tangan Anggara dan melanjutkan langkahnya. Arjuna dan Anggara bertukar pandang. Adelina juga berhenti merengek. Sekarang fokus mereka bertiga ke Kinara. Seolah bisa membaca pikiran Anggara, Arjuna mengangguk. Mereka bertiga berjalan beriringan mengikuti Kinara. Kinara berhenti di rak yang dibersihkannya tadi. Selama satu menit menatap rak itu, Kinara tidak melihat apa-apa. "Kenapa, Ra? Lo lihat sesuatu?" tanya Anggara. "Tadi gue kayak lihat cahaya gitu dari rak ini." jawab Kinara. "Cahaya?" tanya Adelina tidak percaya. "Nanti efek Lo baru bangun tidur?" Kinara menggeleng. "Enggak. Gue yakin banget tadi ngeliat cahaya dari sini." tegas Kinara. "Lo yakin?" Arjuna memastikan. "Yakin. Gue yakin 100% tadi gue liat ada cahaya memancar dari rak ini." Hening. Anggara dan Adelina memfokuskan pandangan mereka ke rak di belakang Kinara. Kinara menyandarkan tubuhnya ke rak itu karena merasa badannya pegal. Tiba-tiba rak itu bergerak ke belakang, menunjukkan ada sebuah ruangan rahasia di balik rak itu. Adelina melompat ke Anggara karena saking terkejutnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN