Bab 2

1500 Kata
Bab 2 Adelina mengernyitkan dahi ketika mendengar Arjuna menyelipkan kata ‘anggun’ di nama Bu Bertha. Itu sangat-sangat lari dari kenyataan. Justru Bu Bertha di mata Adelina lebih mirip kuli bangunan daripada guru. Maafkan Adelina ya, teman-teman. Istilah ‘pandangan orang itu berbeda-beda’ memang benar adanya. Lihat saja sekarang. Jika Adelina memandang Bu Bertha mirip kuli bangunan, Arjuna dan Kinara memandang Bu Bertha seperti sosok yang menginspirasi. Mereka berdua menjadikan Bu Bertha guru favorit. Dengan alasan, cara mengajar beliau yang berbeda dari guru lainnya. Meskipun kejam, Bu Bertha sangat bertanggung jawab mengenai paham atau tidaknya murid-murid yang diajarkannya. Merangkap sebagai guru yang menangani keamanan para siswa, menjadikan Bu Bertha lebih memahami para siswa-siswinya. Itu menjadi nilai plus bagi Arjuna dan Kinara dalam memandang sosok Bu Bertha. Lalu yang terakhir. Anggara memandang sosok Bu Bertha seperti seorang satpam. Itu karena dirinya selalu saja dihalangi oleh Bu Bertha saat sedang meluncurkan jurus andalannya menggoda wanita-wanita cantik. Seolah satpam yang menjaga anak majikannya, seperti itulah Bu Bertha. “Ini semua gara-gara lo, Ra!” Adelina memukul punggung belakang Kinara. Pukulan Adelina cukup terasa sakit, Kinara mengelus punggungnya. “Lah kok gue?” tanyanya tidak mengerti. Adelina mengangkat tangan kiri Kinara. “Kalo gak karna cincin murah sialan lo ini, kita gak bakal terlambat.” Kemudian membuang tangannya ke sembarang arah. “Sudah-sudah,” Arjuna menengahi. “Lagian kan ini bisa jadi sejarah buat kita.” “Mulai lagi,” celetuk Anggara malas. “Kalau bukan karena cincin Kinara, kita gak bakal pernah ngerasain yang namanya nerima hukuman bareng-bareng. Iya, gak?” sambung Arjuna. Adelina tidak percaya mendengar apa yang dikatakan Arjuna. “Apa lo bilang? Sekarang gue semakin yakin kalo lo itu emang udah dimabuk cinta sama Kinara.” Anggara tertawa sambil memukul bahu Arjuna. “Lo masih suka sama ni bocah?” Matanya menatap ke arah Kinara. “Jun, gue kasih tahu nih ya. Di dunia ini cewek cantik itu banyak, dan lo milih yang kayak beginian?” Kinara kesal melihat Anggara. Dengan sengaja ia menginjak kaki Anggara. “Lo emang bener-bener, ya!” Anggara meringis kesakitan, menarik jauh kakinya. “Sakit b**o!” “Rasain!” ketus Kinara. Adelina mengakhiri tawanya. “Lagian nih ya, mulut lo itu dari dulu sampe sekarang gak berubah, ya. Nyesel gue dulu gak ikut kursus ngejahit bibir.” “Maksud lo?” “Lo itu sebagai cowok harus bisa dong ngerem, jangan asal ceplos aja. Lo juga harus pikirin tuh gimana perasaan Kinara waktu lo bilang gitu ke dia,” Kemudian berbisik. “Ya walaupun emang bener adanya.” Arjuna tertawa, ia mendengar apa yang dikatakan Adelina. Melihat Anggara sudah mulai terpojok, Arjuna mengambil alih. “Sudah. Lebih baik sekarang kita siap-siap. Kalian udah gak sabar kan nunggu Bu Bertha dateng?” Arjuna memang jagonya menggoda Adelina. “Gue jadi curiga sama lo Jun.” “Curiga? Lo curiga apa sama gue?” Adelina menatap Arjuna dengan tatapan menyelidik. “Jangan-jangan,” Adelina menjeda. “Jangan-jangan apa?” Anggara ikut nimbrung. “Lo suka sama Bu Bertha?” tembak Adelina to the point. Bukan Arjuna yang tertawa pertama kali, melainkan Kinara. Tawanya benar-benar pecah mendengar omongan gila sahabatnya itu. “Lo ini,” Kinara memukul bahu Adelina. “Bu Bertha udah punya suami kali.” “Siapa tau, kan? Lagian nih ya, sekarang itu lagi zamannya ibu-ibu nyari brondong.” Kinara mencubit gemas pipi Adelina. “Adelina, Bu Bertha gak seburuk apa yang kamu pikirkan.” “Posisi siap. Bu Bertha datang.” Anggara memberi kode. “Kinara, Arjuna? Kalian kenapa terlambat?” tanya Bu Bertha sedikit terkejut melihat dua murid kesayangannya itu berada di balik pagar sekolah. “Tolong buka, Pak.” “Baik, Bu.” Bu Bertha menghampiri mereka. “Kalian berdua? Kenapa terlambat?” Matanya bergantian menatap Adelina dan Anggara. “Em, anu, Bu,” jawab Adelina gugup. ‘Kita tunggu lima menit lagi. Kalau tidak ada yang datang, berarti kalian akan mendapat rezeki nomplok hari ini.” Bu Bertha berbalik, duduk di bangku yang disediakan satpam. Adelina mengepalkan tangannya. Lihatlah gaya bicaranya. Bisa-bisanya guru berkacamata tebal, rambut dengan sanggul khatulistiwa, pakaian ketinggalan zaman itu, mengatakan kalau dihukum olehnya ibarat mendapat rezeki nomplok. Anggara menghela napasnya pasrah. Itu artinya jadwal yang telah disusun dengan wanita-wanitanya harus terabaikan begitu saja. Mendengar Bu Bertha mengatakan 'rezeki nomplok’ Anggara langsung berfirasat mereka akan pulang terlambat hari ini. Arjuna dan Kinara sebaliknya. Mereka berdua hanya memahami dari segi bahasa saja, bukan dari segi makna. Mereka merasa hari ini hari yang baik sekaligus menguntungkan bagi mereka karena bisa lebih dekat dengan Bu Bertha. Pandangan Adelina tidak teralihkan dari Bu Bertha. Arjuna bisa melihat kalau Adelina benar-benar kesal dengan Bu Bertha seperti memiliki dendam kesumat. Ia menyenggol kaki Adelina. “Awas copot tu mata.” “Gue gedek sumpah lihat guru kesayangan lo berdua itu.” Kinara mendekati Adelina. “Emang lo pernah diapain sama Bu Bertha sampe lo dendam segitunya?” tanya Kinara sedikit berbisik. “Gak ada,” jawab Adelina sekenanya. “Ha? Gak ada?” Kinara memastikan. “Pokoknya sampe mati pun gue gak bakal maafin tu orang.” Arjuna menggeleng melihat sahabatnya itu. Lima menit masa menanti siswa yang terlambat berakhir. Resmi dinyatakan, hari ini akan menjadi hari apesnya Anggara dan Adelina. Menjadi hari keberuntungan bagi Arjuna dan Kinara. Bu Bertha berdiri, berjalan ke arah mereka. “Sepertinya tidak ada murid lain lagi yang terlambat selain kalian. Arjuna, Kinara, sebenarnya ibu tidak tega untuk menghukum kalian.” Adelina berdecih. “Tapi tidak ada yang bisa ibu lakukan. Ibu harus menaati peraturan dan juga menjaga martabat ibu sebagai seorang guru. Sekarang ikut ibu.” Bu Bertha berjalan memasuki area sekolah. Mereka berempat mengekor di belakang. Adelina menghayal sedang memukul Bu Bertha hingga babak belur. Dan ya, Adelina memang sering berkhayal seperti itu. Anggara menyempatkan diri membuka menu pesan, mengirimi permintaan maaf kepada pacar-pacarnya karena tidak bisa bertemu mereka hari ini. Arjuna dan Kinara diam, tidak melakukan apapun selain berjalan mengekor Bu Bertha. Bu Bertha berhenti tepat di tengah lapangan. Di sampingnya berdiri tegak tiang bendera, dengan bendera berkibar bebas di atas. Bu Bertha berdehem sebelum memulai pembicaraan. “Kalian mengerti apa yang harus dilakukan, bukan?” Ia memasang senyum. Dari kaca mata Adelina, senyuman itu adalah senyuman licik. Arjuna dan Kinara mengangguk antusias, kemudian secara kompak memasang posisi hormat menghadap bendera. “Bagus!” Pandangannya beralih ke Anggara dan Adelina. “Kalian apa lagi?” Adelina dan Anggara tidak mengerti melihat dua sahabatnya itu. Sebegitu cintanya kah mereka berdua dengan kuli bangunan itu sehingga langsung memahami apa yang diinginkannya? “Lakukan ini sampai bel istirahat pertama berbunyi. “Bu Bertha pergi begitu saja meninggalkan mereka. Seketika tubuh Adelina melemas, ia terduduk di atas rumput. Baru sedetik ia duduk, Bu Bertha memutar kepala seakan tahu kalau ada yang curang. Adelina langsung bangun, memasang posisi hormat tanpa berani menoleh ke arah Bu Bertha. “Mampus lo!” Anggara tertawa melihat ekspresi ketakutan Adelina. Pukul 09.25 Cahaya terik matahari sudah menaikkan suhunya. Keringat membasahi dahi dan juga punggung mereka. Adelina tidak tahan, ia tidak mau sinar uv membakar wajahnya. Adelina membuka tas, mengambil buku tulis untuk digunakan sebagai penutup wajahnya. Anggara merasa bosan, tangannya juga tidak lagi dalam posisi hormat. Ia mengeluarkan ponsel dari saku, memutar lagu favoritnya--it’s only me. Arjuna dan Kinara patut dijuluki murid teladan. Mereka berdua masih sangat kuat. Tangan mereka masih dalam posisi yang sama, kepala juga mendongak lantang menghadap bendera. Bahkan kaki mereka pun tidak berpindah barang sedikit pun dari posisi awal berdiri. Adelina kepanasan. Kini buku tulis yang dijadikan penutup wajah sudah beralih fungsi menjadi kipas. Anggara tenggelam mendengarkan lagu favoritnya. Lima menit kemudian bel berbunyi. Mereka berempat serentak duduk di atas rumput, mengipas-ngipas. Tak lama Bu Bertha muncul membawa empat plastik sampah besar berwarna hitam. “Kalian boleh istirahat sekarang. Setelah bel tanda istirahat berakhir, kalian harus menemui ibu, di sini. Oke?” “Baik, Bu.” jawab mereka kompak. Hanya nada yang berbeda. Pasti kalian tahu siapa itu. Adelina dan Anggara tidak akan membiarkan waktu istirahat selama setengah jam ini berlalu begitu saja. Mereka berlari ke kantin meninggalkan Arjuna dan Kinara yang berjalan. Sampai di sana, es adalah yang pertama mereka tuju. Adelina memesan semangkuk bakso dan dua gelas es rasa jeruk. Anggara memesan kolak dingin dan segelas teh manis dingin. Kinara memesan nasi gurih dan es teh manis. Arjuna memesan lontong sayur dan s**u hangat. Nikmat sekali rasanya setelah bekerja mengutip sampah, langsung pergi ke kantin untuk mengisi kembali tenaga mereka. Makanan di kantin sekolah mereka memang tiada tandingannya. Kinara mengakui itu. Kalau disuruh memilih antara makanan yang ada di restoran mahal atau makanan yang ada di kantin, gadis itu bisa dengan lantang mengatakan, makanan kantin lebih juara. Entah itu karena memang pribadinya yang selalu sederhana, atau memang itu adalah hasil review jujur dari lubuk hatinya yang paling dalam. Mereka menikmati pesanan masing-masing. Sesekali Adelina ngedumel, ia sangat-sangat terlihat tidak suka dengan Bu Bertha. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya terjadi kenapa Adelina bisa melakukan itu. Tapi yang pasti, tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Bersambung...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN