Bab 9

1062 Kata
Karena di kamar Kinara tidak ditemukan buku ajaib tersebut, maka Arjuna mengusulkan untuk mencari di semua sudut ruangan di rumah Kinara. Kinara mengiyakan. Syukur mamanya sekarang tidak ada di rumah. Hingga satu jam mereka berkutat, tetap tidak ditemukan buku ajaib itu. Hal tersebut membuat Adelina semakin gelisah. Dia benar-benar tidak mau kalau sosok berjubah itu datang menggangunya lagi. Cukup sekali saja. Adelina tidak ingin yang kedua kalinya. “Gimana dong sekarang, Jun?” Adelina sudah mencapai puncaknya gelisah. Bayangan sosok berjubah itu sudah muncul di kepalanya, membuat Adelina merasa takut. “Coba lo telpon aja nyokap lo, Ra. Siapa tahu nyokap lo ada ngeliat. Jangan bilang buku ajaib. Cukup sebutkan ciri-ciri bukunya, terus tanya nyokap lo ada liat atau enggak.” Kinara mengangguk. Dia menelepon mamanya, bertanya apakah ada melihat buku tebal bersampul hitam dengan logo bulan sabit di sampul depannya. Namun, Winda bilang dia tidak ada melihat buku seperti itu. *** Sesuai dengan yang Adelina prediksikan, sosok berjubah itu menghantui mereka. Masih sama, Kinara tidak dapat jatah. Arjuna, Adelina, dan Anggara saja yang diteror. Adelina dan Anggara yang terlihat sekali bekasnya. Mata mereka sudah seperti panda akibat tidak bisa tidur nyenyak karena ketakutan. “Kalo terus begini, gue bisa gila lama-lama. Gue kurang tidur terus!” Adelina menangis. Kinara menepuk-tepuk bahunya. “Ayo, Jun, cari cara. Gue gak mau gini terus.” Arjuna juga tengah memikirkan jalan keluarnya. Akan tetapi kepalanya seperti berhenti bekerja, Tidak muncul apa pun. Jalan keluar itu semakin dicari semakin menjauh rasanya. Soal buku ajaib yang hilang, mereka tidak bisa menyebarkannya di internet atau di sekolah. Buku itu harus tetap bersifat rahasia. Tidak ada siapa pun yang boleh melihatnya. “Gue minta maaf ya teman-teman. Soalnya gara-gara gue lo semua diteror sama sosok berjubah itu,” ungkap Kinara dengan penuh rasa penyesalan. Melihat bagaimana menderitanya ketiga sahabatnya, terutama Anggara dan Adelina membuat Kinara merasa sangat bersalah. Terlebih dia yang mengambil buku itu diam-diam, dia pula yang tidak diteror. Adelina menangis lebih kencang. Dia memeluk Kinara. *** Hari minggu. Kinara bangun cepat pagi ini. Pukul enam pagi dia sudah terbangun. Di hari minggu, Kinara bisa bangun sebegitu paginya adalah salah satu keajaiban. Pasalnya dia biasanya selalu bangun pukul satu siang setiap hari minggu. Kinara berjalan ke kamar mandi. Dia menyikat gigi dan mencuci wajahnya. Setelah itu Kinara keluar kamar mandi. Dia dibuat terkejut. Tiba-tiba kamarnya diselimuti kabut tebal berwarna hitam. Saking tebalnya, Kinara tidak bisa melihat apa-apa. Semuanya gelap. “Kinara.” Suara bisikan seseorang menyebut namanya. Seketika bulu kuduk Kinara berdiri. Dia merinding. “Siapa?” Kinara memberanikan diri untuk bertanya. “Siapa kamu? Tunjukkan diri kalau berani!” tantang Kinara akan tetapi dengan suara bergetar. Kinara memasang posisi bertarung, berjaga-jaga kalau ada yang menyerangnya. “Aku hanya ingin bermain-main denganmu.” Suaranya terdengar semakin jelas. Kinara menelan ludahnya. Dia tidak bisa bohong kalau sekarang Kinara benar-benar takut. Kakinya sampai bergetar. Mungkinkah ini yang tiga sahabatnya rasakan? Mendadak muncul cahaya berwarna keemasan. Terdengar bunyi gelembung air meletus. “Dasar jahil!” Kabut hitam perlahan menghilang. Kinara mengucek matanya sampai tiga kali. Dia nyaris tidak percaya dengan apa yang dia lihat sekarang. Bu Bertha tengah menjewer sosok berjubah hitam. Penutup kepalanya tersampir di belakang badannya alias terbuka. “Selamat pagi, Kinara!” sapa Bu Bertha full senyum. Sosok berjubah hitam lengkap penutup kepala yang ternyata selama ini meneror sahabat-sahabat Kinara adalah remaja perempuan seumuran mereka. Dia bukan jahat, melainkan hanya ingin bermain. Setidaknya begitulah pengakuannya di depan Bu Bertha. Mungkin bagi si sosok berjubah dia ingin bermain, akan tetapi tingkahnya itu justru membuat sahabat-sahabat termasuk Kinara sendiri merasa takut. “Ngomong-ngomong bagaimana bisa Ibu muncul di kamar saya?” tanya Kinara. Dia dan Bu Bertha tengah duduk bersampingan di tempat tidur. Sedangkan si sosok berjubah tengah dihukum oleh Bu Bertha. Berdiri satu kaki sambil menjewer silang telinganya. “Akan Ibu ceritakan segera. Sekarang telepon teman-teman kamu, minta mereka untuk datang ke sini. Ada yang harus ibu ceritakan.” Lima belas menit, semuanya sudah berkumpul di ruang tamu. Bukan hanya Adelina, Anggara, dan juga Arjuna, para orang tua juga ikut datang tanpa diketahui oleh para anak. Ada Winda, Sarah, Gunawan—papa Adelina, Sinta—mama Adelina, Henri—papa Anggara, dan yang terakhir, Bi Ijah—pembantu Anggara. Hal itu membuat para anak merasa heran. Pasalnya mereka sama sekali tidak menduga atau pun terbayangkan barang sedikit kalau orang tua mereka juga akan dikumpulkan oleh Bu Bertha. Mereka berempat saling tatap. Apakah mereka akan dihukum? Atau jangan-jangan soal perpustakaan bawah tanah itu Bu Bertha sudah mengetahuinya dan melaporkannya kepada orang tua mereka? Bu Bertha menyuruh mereka berempat untuk duduk di sofa. Para orang tua semuanya berdiri di belakang mereka. Situasi semacam ini tentu saja membuat mereka semakin berpikir aneh-aneh dan merasa takut. Mereka sudah seperti akan disidang. “Baiklah. Semua sudah berkumpul sekarang. Saya akan mulai membuka pertemuan ini. Sebelumnya maafkan saya karena harus mengumpulkan kalian sepagi ini. Tidak ada waktu lagi. Sahabat kita, penduduk Negeri Voresham harus segera dibantu.” “Negeri Voresham? Aku sudah lama tidak mendengar kabar mereka. Bagaimana keadaan mereka sekarang?” tanya Gunawan. “Benar. Apakah mereka baik-baik saja?” timpal Henri. Sinta ber-stt, menyuruh yang lain untuk diam. Jangan memotong perkataan Bu Bertha. “Negeri Voresham sedang dalam bahaya. Kita harus pergi ke sana untuk menolong mereka. Penyihir Reekturi sudah berhasil menguasi dua per tiga wilayah negeri tersebut. Penyihir jahat itu tidak mengenal kata puas. Sebelum penyihir itu menguasai negeri-negeri lain, kita harus menghentikannya.” “Lalu untuk apa perkumpulan ini, Bertha? Apa anak-anak akan ikut?” sela Winda. Bu Bertha mengangguk. “Usia mereka sudah tujuh belas tahun. Mereka sudah layak untuk mengetahui siapa jati diri mereka yang sebenarnya. Kita tidak selamanya tangguh, Winda. Kita akan padam juga pada akhirnya. Sekuat apa pun kita, usia tetap belum ada obatnya. Usia akan memakan ketangguhan kita dan kekuatan yang kita miliki. Kita sudah harus mengajari mereka sedikit demi sedikit, mempersiapkan mereka untuk menjadi pengganti kita.” Arjuna, Anggara, Kinara, dan Adelina sama sekali tidak mengerti apa yang para para orang tua katakan. Percakapan-percakapan itu sama sekali tidak bisa mereka cerna. “Sebenarnya apa yang kalian katakan? Tidak bisakah kalian menjelaskan sekarang pada kami apa maksud perkacapan kalian?” Adelina berujar. Dia tidak tahan. Berada di satu ruangan, mendengar percakapan para orang tua yang terasa tidak masuk di akal membuat Adelina penasaran dan kesal karena tidak bisa mengerti apa yang sedang para orang tua bicarakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN