8. Senja di Jakarta

1854 Kata
YUWAN Kami melanjutkan rute kami, mengelilingi rumah-rumah adat. Tak seperti tadi, sekarang Zach banyak diam. Ia berhenti ditiap provinsi, mengamati sekilas lalu lanjut lagi. Akupun mengikutinya dalam diam. Ia berhenti di depan rumah Provinsi Gorontalo, mengamati lebih lama dari tadi. "Yu?" Terdengar ia memanggilku. "Kenapa?" Tanyaku. "Lo punya temen yang bisa diajak ngobrol ini itu gak? Kaya suka duka lo hidup, sakit hati, bahagia, apalah." Tanyanya. "Gak ada, Zach. Gue hidup sendiri. Dulu sih ada temen tapi sekarang gak ada." Jawabku. "Pada ke mana? Ninggalin lo?" Tanyanya. "Nope, gue yang ninggalin mereka. Karena sejatinya, kita emang sendiri kan di dunia." Kataku. Lalu ia menengok ke arahku, menatapku dengan tatapan dalam. "Kenapa?" Tanyaku. "Kenapa lo mutusin buat hidup sendiri?" "Orang tua gue udah gak ada, mau ama siapa lagi?" "Keluarga lo?" Tanyanya. "Keluarga orang tua gue ga ada yang mau nolongin kita pas lagi jatoh, gak mau dibebani lah istilahnya. Jadi bokap gue usaha sendiri lagi dari bawah. Saat itu gue mikir kalau gue gak bisa ngandelin orang. Gue harus mengandalkan diri sendiri. Walau sejatinya manusia itu makhluk sosial dan saling butuh orang lain. Gue memilih untuk hidup soliter dan interaksi sama orang lain seperlunya aja." Kataku. "Wow! Sedih juga jadi lo." Hanya itu yang keluar dari mulutnya. Aku hanya tersenyum. "Banyak-banyak senyum Yu. Lo kalau senyum manis. Kalau biasa aja judes banget." Katanya. Aku tertawa mendengar itu. Lalu ia menggowes sepedanya lagi. Aku mengikutinya, sekarang kami setara karena ia tidak terlalu cepat. "Lo punya pacar gak?" Tanyanya. Aku tertawa lagi. "Kenapa lo?" Tanyanya. Aku hanya menggeleng. "Lo memilih untuk gak punya pacar?" Tanyanya. Aku mengangguk. "Gue menghindari ketergantungan sama orang, dulu pas kuliah gue punya pacar, pas putus gue malah nangis-nangis karena berasa ada yang hilang. Gue gak mau gitu lagi, jadi tindakan preventif dari patah hati ya jangan pacaran." Kataku. "Gue seneng kaya gini, lo jadi lebih lepas gitu. Banyak ngomong, banyak ketawa." Katanya, aku terpaku menatapnya. Yaa, caranya menatapku dan mengatakan kalimat tadi agak beda dan bikin aku sedikit bergidik. "Gue dari tadi banyak cerita, lo cerita dong!" Pintaku. "Belom saatnya!" Serunya, lalu tiba-tiba ia menggowes sepedanya ngebut, meninggalkan aku jauh dibelakang. Aku berusaha mengejarnya, untunglah dia berhenti. Aku menghampirnya dan ia berhenti di depan sebuah benteng. "Gue pengen deh punya rumah kaya gitu bentuknya." Katanya tiba-tiba. "Kenapa?" Tanyaku. "I dont know. Tapi kayanya unik gitu." Jelasnya. Langsung saja Zach mengarahkan sepedanya ke jembatan, dan berhenti di tengah. "Lo tau? Gue pernah patah hati hebat. Sekarang gue gak percaya sama cinta." Katanya saat aku berada di sampingnya. "Kenapa jadi gak percaya? Bukannya tiap orang beda-beda. Lo pernah dibikin patah hati sama si A, bukan berarti si B bakal ngelakuin hal yang sama?" Tanyaku. "Itu omongan buat diri lo sendiri Yu! Lo aja gak mau pacaran lagi kan?!" "Hahaha alesan gue gak mau pacaran bukan cuma takut sakit hati. Semua jenis rasa sakit udah gue rasain kayanya." Kataku. "Maksud lo?" Tanyanya. "Ditinggal pacar, ditinggal nyokap, diabaikan keluarga, ditinggal bokap. Kurang apa lagi?" Jawabku. "Sorry!" Bisiknya. "It's okay." Kataku. Lalu kami kembali diam. "Sebenernya, yang paling sakit itu bukan saat patah hati atau sakit hati." Kataku. Lha, kenapa aku jadi ngobrolin ini? "Apa dong?" Tanyanya. "Sakit itu saat kita terjebak di rasa nyaman. Nyaman sama orang lain, berharap lebih tapi orangnya biasa aja. Kita nyaman sama dia sampe kadang saat dia nyakitin kitapun kita tetep stay karena udah nyaman banget dan gak tahu mau ngapain lagi." Jelasku. "Yaps, gue setuju sama itu." "Mangkanya, itu alesan gue memilih hidup soliter." "But, if you choose to live your life just with yourself, where would you go when you need a home or someone to hold, someone who can keep you sane in this crazy world?" Tanyanya. Aku diam sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu. Menatap matanya yang entah kenapa sore ini jadi terlihat teduh dan meneduhkan. "I just can hold myself, lebih erat dari sebelumnya. Menguatkan diri sendiri." Jawabku. Terlihat ia mengangguk. "Goshh!!" Bisiknya, aku mengikuti arah pandang Zach. Ia memandang matahari yang tenggelam di barat sana. Warna oranye yang menyihir mata. "Bagus yaa." Katanya. Aku diam saja, berusaha menikmati pemandangan ini. "Ini alesannya kenapa gue suka warna jingga, bagus. Bikin tentram gitu liatnya." Katanya tiba-tiba. "Tapi, senja gak selalu jingga. Gue gak suka sama jingga. Dia gak setia." Kataku. "Maksud lo?" "Lo ngerti maksud gue. Tiap senja kan gak selalu bagus kaya gini. Jingga gak pernah berjanji akan selalu ada setiap senja kan?" Tanyaku. "So?" Tanyanya. "Beda sama Abu, dia selalu ada saat mendung. Meskipun mendung tak selalu berarti hujan, tapi Abu-abu selalu ada." Kataku. "I do not understand." Katanya. **** ZACH "Mendung gak pernah selingkuh sama warna lain, dan Abu selalu setia menemani mendung kapanpun ia muncul." Jelas Yuwan. Aku mengangguk, mengerti. Entah kenapa, sore ini dia jauh lebih terbuka dari biasanya. Ia jauh lebih ceria dan terlihat lebih cantik. Btw, aku tadi bohong soal gak percaya sama cinta, gak percaya sama cinta cuma sekadar pembenaran atas hal-hal b******k yang sudah kulakuan. Aku percaya kalau cinta yang tepat akan hadir di saat yang tepat. Tuhan gak pernah salah dalam mengatur rencana, aku percaya itu. Matahari sudah tenggelam sepenuhnya, aku dan Yuwan masih betah di sini. Memandang ke dalam kegelapan yang kosong. Aku tersadar dari lamunanku karena perutku berbunyi. Ya, aku laper. "Balik Yu!" Ajakku, sambil memutar sepeda. Gila, jauh juga kita. Aku ngerasa gak nemu-nemu keong emas dari tadi. Iyalah, kudu keliling Indonesia dulu buat sampe ke depan. Hahaha! Akhirnya, sampai juga di tempat rental sepeda tadi. "Ini mas sepedanya." Kataku. "Kena charge Mas, lebih dari dua jam ini. Dua jam lebih tiga belas menit." Kata si penjaga. Yaelah, lebih tiga belas menit doang. Lagian spesifik amat. Kan tinggal bilang kalau lebih 10 menit atau 15 menit gitu biar enak. "Kena berapa?" Tanyaku. "Dua sepeda jadi 40 ribu." Jawabnya. Busetdah 40 ribu doangan. Aku langsung mengeluarkan dompetku, mengambil selembar uang seratus ribu. "Nih mas, lebihnya buat jajan kuaci." Kataku. "Ledes bibir saya Mas makan kuaci sebanyak itu." Jawab orang ini. Ledes apaan dah? Aku gak ngerti dia ngomong apaan. "Mana KTP saya?" "Namanya siapa ya Mas?" "Zachary sama Yuwan." Kataku. Lalu si penjaga ini membuka laci meja, mencari KTP milikku dan milik Yuwan. "Eh namanya sama yaa kaya saya." Katanya saat menemukan KTP milikku. "Mas namanya Zach juga?" Tanyaku. "Bukan, Pramudya nya yang sama hehhe." "Satu lagi mana?" Tanyaku sambil memasukkan KTP ku di dompet. "Nih, Yuwan Liberty Aswan yaa?" Katanya sambil mengulurkan KTP itu. "Nama teh kaya patung di Amerika eh si eneng mah!" Seru penjaga ini. Aku tertawa mendengarnya. Aku mengambil KTP dari si penjaga lalu memberikannya pada Yuwan. Ia memasukan KTP itu dalam dompet kecil yang ia bawa disakunya. Lalu aku menarik ujung tangan kemejanya untuk balik ke parkiran. "Ini jangan ditarik-tarik laah!" Serunya protes. "Lo tuh lelet tau jalannya. Lama!" Kataku. "Yakan sengaja biar lo duluan. Masa gue yang mimpin jalan." Katanya. "Terus harus gue yang mimpin jalan? Dikata gue tour guide!" Seruku. "Yaudah jangan ditarik-tarik." Pintanya. Aku melepas cengkramanku pada lengan bajunya. Lalu menarik tangannya agar ia sejejer denganku. "Gue nganggep lo temen Yu, gak usah malu-malu atau gak enak kalau sama gue. Oke?" Kataku. Ya, aku butuh temen selain Mirzha. Dan kayanya Yuwan anaknya asik dijadiin temen meskipun dari tadi dia bilang kalau dia memilih hidup sendiri. Peduli amat! Hahaha. Kami sudah sampai di mobilku, langsung saja aku masuk dan Yuwan pun masuk di kursi penumpang. "Yu, lo tau kalau Mirzha suka sama lo?" Tanyaku. "Gak tahu, tapi Kak Mirzha dua mingguan kemaren suka dateng ke kostan." Jawabnya. "Hah? Ngapain?" Tanyaku, agak kaget juga dengernya. "Bawa bahan masak, ngajak masak bareng. Gitudeh. Tapi seminggu ini udah gak dateng. Gak tahu dah itu orang ke mana." Katanya. Aku mengangguk. "Lo suka sama Mirzha?" Tanyaku. "Kak Mirzha baik." Hanya itu jawabannya. Aku melirik ke arahnya, pandangannya kosong sekarang. Aku gak bisa baca apapun di matanya saat ini. Aku melajukan mobilku, siap mengarungi kemacetan Jakarta petang ini. Nyari tempat makan enak buat ngasih makan cacing-cacing di perut. Eh tapi, aku ada ide yang lebih baik. "Yu, ke super market ya? Belanja terus lo masakin gue!" Pintaku. "Masaknya di rumah? Kan tadi Mbak Lilis udah siap-siap masak pas kita keluar." Katanya. "Di tempat lo lah! Gue jadi sekalian nganter lo balik." Kataku. "Yee tapi tas gue masih di rumah, Zach. HP gue juga." Katanya. "Lha? Lo gak bawa HP?" Tanyaku. Ia menggeleng. Gila! Bisa-bisanya dia keluar gak bawa HP. Kalau aku udah uring-uringan kali yaa hahaha. "Lo bisa sehari tanpa HP?" Tanyaku. "Seminggu gak pegang HP juga bisa." Jelasnya. Busetdah! Orang macam apa ini?? "Yaudah masakin gue di tempat lo, gimana?" Tanyaku. "Okay!" Aku langsung mengarahkan mobilku ke supermarket terdekat. Mayan laah, gak harus muter-muter nyari tempat makan saat macet seperti ini. Begitu masuk supermarket, aku langsung mengambil trolley belanjaan. "Ngapain pake trolley? Mau ngeborong mas?" Tanya Yuwan, ia mengambil keranjang kecil. "Seriusan segitu muat?" Tanyaku. Ia mengangguk, jadilah aku mengembalikan trolley yang kudorong. "Mau makan apa?" Tanyanya. "Steak, bisa gak lo masaknya?" Ia menatapku, lalu mengangguk. Kami langsung menuju spot daging-daging dan Yuwan pun sudah sibuk memilih daging yang bagus. Setelah daging, Yuwan berjalan ke arah bumbu-bumbu. Entah lah jenis rempah apa yang ia beli itu. Aku gak ngerti. "Steak doang?" Tanyanya. "Emmmmm lo bisa bikin cookies gak?" Tanyaku. "Bisa tapi di tempat gue gak ada oven. Dan kompornya pun cuma kompor portable yang pakai hi-cook jadi gak bisa masak gituan." Jawabnya. Aku mengangguk. "Yaudah itu aja deh." Kataku. "Gue ada ide lain!" Serunya. Lalu ia beralih ke spot keju, mengambil satu block keju dan pergi ke kasir. "Udah itu doang?" Tanyaku. Ia memgangguk. "Zach!!" Seru sesorang saat kami sedang mengantri. Aku menoleh ke belakang dan melihatnya tersenyum, sedang menggandeng anak kecil, mungkin umurnya 3 tahun. "Hey Sara!" Kataku, berusaha tersenyum. "Ngapain?" Tanyanya. "Belanja, mau main masak-masakan." Kataku. "Wow, bukan kamu banget itu." Katanya, lagi-lagi aku berusaha tersenyum. "Sama siapa?" Tanyanya. Aku menunjuk Yuwan yang ada di belakangku, sedang sibuk mengeluarkan belanjaan dari keranjang. Tak peduli dengan apa yang sedang kulakukan sekarang. "Pacar?" Tanya Sara. Aku mengangguk. WHAT THE HELL ZACH!!! Apa apa apa? Aku baru aja ngaku-ngaku kalau Yuwan itu pacarku. "Namanya siapa?" Tanya Sara. "Yuwan!" Jawabku. "Eh kenapa?" Di belakangku Yuwan menyahut. Mungkin dia kira aku manggil dia kali ya? "Hallo, Yuwan. Aku Sara." Sara menerobos ke dekatku untuk berjabat tangan dengan Yuwan. "Eh iya, Yuwan." Sahut Yuwan kikuk. "Udah Yu?" Tanyaku. "Udah Zach." Jawabnya. "Berapa semua?" Tanyaku. "Udah kok, udah dibayar." Jawab Yuwan. Lha, nape jadi dia yang bayarin? Kan aku yang minta di masakin. Masa iya dia juga yang bayar. "Yaudah, Sar. Duluan yaa." Kataku lalu mengambil alih belanjaan dari tangan Yuwan dan menggandengnya keluar. "Apa-apaan nih?" Tanyanya saat kami sudah di parkiran. "Maksud lo?" "Emang gue gak denger lo mengiyakan pas si cewek itu nanya kalau gue pacar lo!" Serunya sambil memasukan belanjaan ke bagasi. Aku hanya diam, gak tahu harus gimana. Asli bingung sebenernya. Aku gak tahu kalau bakal ketemu Sara di supermarket, bahkan aku sebenernya udah gak mau ketemu dia lagi. Kemudian aku merasa sakit hati yang pernah menyerangku datang lagi. Ya, datang lagi karena melihatnya dan anak kecil yang berada dalam gandengannya. *** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN