7. Friends

1542 Kata
 YUWAN Pagi ini macetnya sudah di luar batas kewarasanku sebagai warga Jakarta. Gila gila gila! Macet banget! Lima menit yang lalu aku memutuskan untuk turun dari miniarta dan memilih berjalan kaki. Cepetan jalan kaki daripada naik bis itu. "Neng geser neng!" Aku menoleh ke belakang dan menemukan pengendara motor yang menggunakam trotoar ingin lewat. "Gigi lo aja sana yang geser, ini trotoar buat jalan kaki bang!" Seruku. "Yaelah lo geser doang gak mau, gue bayar pajak kali!" Katanya. "Lo bayar pajak bukan buat make motor di trotoar bang!" "Tinggal geser, buruan ngapa!" Seru abang itu. "Lha gue gak mau, sono turunin motor lo dari trotoar!" Aku berbalik dan meneruskan jalan di trotoar. Enak aja tuh abang-abang, nyerobot hak orang. Trotoar kan buat pejalan kaki bukan buat pengendara motor. Hampir dua puluh menit berjalan kaki, aku sampai di depan perumahan keluarga Sukarlan. Menyapa satpam yang jaga, aku melanjutkan perjalananku. "Gila, hari ini gue banyak jalan banget dah!" Keluhku pada diri sendiri. Aku mengambil minum dari tasku, meneguknya banyak-banyak agar tidak dehidrasi. "Senidiri aja Neng!" Aku menoleh, melihat mobil Zach sudah berada di sampingku. "Emang mau tawuran rame-rame?" Balasku. "Hahaha naik ayok! Gue sedih banget liat lo jalan pagi-pagi sendirian." Katanya. "Gak kerja emang?" Tanyaku. Melihat pakaiannya yang rapi sih sepertinya ia kerja. "Kerja, ini kan keluar mau otw kerja, tapi nganter lo dulu dah. Sedi gue.." Katanya. "Gak usah, belum telat kok ke jam 9." Kataku, ya ini masih pukul 08.15 dan aku kerja mulai dari jam 9. "Masuk udah! Makin lama kalau lo nolak." Katanya. Aku menyerah dan masuk ke mobil mewah ini. Hampir sebulan sejak peristiwa Zach alergi dan bermalam di tempatku, dia keliatan ramah sekarang, namun aku berusaha menjaga jarak. Ya, gimanapun dia tetep majikan dan aku gak bisa seenaknya nganggep dia temen. Kalau dia anggep aku temen ya bagus, cuma dimataku ia masih boss. Tak sampai 5 menit, kami tiba di rumahnya. "Thank you, Zach." Kataku sambil turun dan Zach langsung puter balik menuju kantornya. Seperti biasa aku berjalan lewat samping, meletakkan tas di dapur, berganti pakaian dan naik ke lantai dua untuk membantu Mbak Leia menyiapkan anak kembarnya untuk ke sekolah. "Harusnya kamu saya gaji double Yu. Kamu jadi supirnya anak-anak, jagain mereka juga. Siangnya masak. Eh triple berarti yaa!" Seru Mbak Leia. "Ah apaan Mbak, kan emang udah kerjaan saya." "Nih kunci mobilnya. Eh iya Yu, kamu beneran gak mau bawa mobil ini balik? Saya kasian kamu tiap hari jalan kaki dari depan ke sini. Lagian mobil ini gak ada yang pake. Rumah ini kebanyakan mobil nganggur." Kata Mbak Leia. "Gak usah mbak, jalan kan sehat. Lagian di luarnya juga sama macet, saya gak mau nambahin populasi mobil di jalanan." Kataku. "Haha bisa aja kamu, udah berangkat sekarang aja biar gak telat. Kamu tungguin mereka aja yaa siang ini yang masak biar saya sama Lilis." Katanya. Demi Tuhan, untuk orang  yang sudah punya segalanya seperti Mbak Leia, ia sangat baik dan rendah hati,kapan lagi nemu majikan yang tajirnya sudah 7 turunan tapi masih mau ikutan kerja di dapur? Aku mengangguk lalu mengajak Si Kembar jalan keluar menuju mobil. "Yuwan, kamu punya pacar gak?" Tanya Nadhira saat mobil berjalan keluar. "Eh? Nada tau kata pacar dari mana?" Tanyaku. "Ya aku kan punya pacar." Jawabnya santai. Anak Paud pacaran?? Dunia macam apa ini? "Bukan pacar sayang, temen." Kataku. "Tapi Timmy bilang kalau dia suka sama aku, aku juga suka sama dia. Berarti kita pacaran kan?" Tanya Nadhira. "Temenan, anak kecil kan ga kada yang pacaran sayang." "Ah Yuwan pasti sirik ya gara-gara gak punya pacar? Sirik sama aku kan?" Tanya Nadhira. "Mbak Yuwan gak sirik, kamunya aja kecentilan kecil-kecil pacaran!" Sahut Nathan. "Aku gak kecentilan, kita sama-sama suka. Gak ada masalah dong!!" Seru Nadhira. "Ya masalah lah! Kamu kan belum punya KTP Nada! Pacaran tuh buat yang udah punya KTP!" Balas Nathan. "Yuwan, kalau punya KTP harus umur berapa?" Tanya Nadhira. "17 tahun sayang." Jawabku. "Gak mau! Kelamaan kalau nunggu punya KTP! Masa mau pacaran aja harus nunggu 13 tahun. Dih!" Seru Nadhira, marah. "Ya sabaaar!" Sahut Nathan. "Udah ah udah, nyampe nih kita. Masuk ayok!" "Aku mau bilang Mama ah mau pindah ke kelas Bulan, biar sekelas nanti sama Timmy." Kata Nadhira saat kami berjalan ke kelasnya. "Gak bisaa!!" Seru Nathan. "Eh, di sekolah gak boleh berantem loh!" Kataku. Mereka berdua diam, lalu masuk ke kelasnya yang sudah ramai dipenuhi anak-anak lain. Aku berbalik, kembali ke mobil. Yaa mending diem di mobil daripada nunggu bareng ibu-ibu sosialita yang ada di sini, pusing gak ngerti mereka bahas apaan. Pukul satu lebih lima belas aku keluar dari mobil, menjemput anak-anak. "Yuwan! Aku mau main dulu ya sama Timmy." Kata Nadhira. "Pulang aja Mbak Yuwan, aku ngantuk." Pinta Nathan. "Nada, pulang aja yu? Kasian adeknya. Main kan bisa besok." Kataku. "Ah Nata sama Yuwan gak asik!" Seru Nadhira sambil berlari ke arah parkiran. Meninggalkan tasnya. Aku memungut tasnya dan menggandeng Nathan menyusul Nadhira. "Aku bilangin loh ke mama kalau kamu pacaran!" Seru Nathan saat kami di jalan pulang ke rumah. "Kalau kamu bilangin, aku robek nanti semua buku cerita kamu!" Ancam Nadhira. Beneran dah, dua anak ini tuh seru banget. Bikin pusing tapi sekaligus jadi hiburan juga. Satu jam kemudian kami sampai di rumah. Anak dua itu langsung lari masuk ke dalam sementara aku membawa tas mereka. "Yu sama anak-anak makan siang ayok!" Ajak mbak Leia. Aku menurut dan masuk ke dapur. Menyiapkan makanan untuk Nadhira dan Natan dan juga untuku sendiri. Selesai makan, aku membawa Nathan dan Nadhira ke kamar mereka. Membacakan buku cerita hingga mereka terlelap. Aku masih duduk di lantai meskipun mereka berdua sudah tertidur. Tiba-tiba saja, pikiranku mengajak untuk membahas masa depan. Yaa, aku tahu kalau aku tak bisa selamanya menjadi babysitter, Nathan dan Nadira akan tumbuh besar, mereka tidak akan membutuhkanku lagi. Setelah ini, apa yang akan kulakukan untuk tetap jadi manusia? Untuk tetap hidup menjadi manusia, lebih tepatnya. Aku gak tahu, aku gak punya rencana. Tapi, tapi aku punya tabungan. Aku bisa bangun usaha kecil-kecilan. Aku tahu caranya berbisnis karena Mamaku dulu adalah pebisnis handal. Ya, sepertinya aku masih punya harapan untuk tetap hidup seperti ini. Aku menarik nafas panjang, lalu bangkit dari lantai. Mengembalikan buku cerita ketempatnya semula lalu turun ke lantai satu, mungkin ada kegiatan yang bisa kulakukan. Saat turun, aku melihat Zach sedang tidur-tiduran di pangkuan Ibu Jane, busetdah diakan udah tua. Masih aja kaya bocah. Aku turun dan menyelinap ke dapur, ada Mbak Lilis di sana. "Lagi ngapain Mbak? Ada yang bisa saya kerjain ga?" Tanyaku. "Lagi siapin bahan masakan buat nanti malem, kamu istirahat dulu aja Yu. Kasian kamu capek kayanya." Sahut Mbak Lilis. Aku tersenyum lalu memilih duduk di kursi pantry. "Yu! Lo udah gak ada kerjaan kan?" Aku menoleh dan menemukan Zach berdiri di dekat lorong masuk dapur. "Iya sih, tapi nanti kalau Nada sama Nata bangun ya ada kerjaan, mandiin mereka." Jawabku. "Gue udah izin ke Leia, lo ikut gue yok! Temenin gue!" Ajaknya. "Eh? Ke mana?" Tanyaku. "Udeh, gak usah banyak cing-cong, ganti baju lo pake baju biasa terus keluar, gue tunggu di depan." Titahnya lalu berbalik menghilang. "Udah Yu, ikutin aja. Mas Zach kalau kemauannya gak diturutin biasanya uring-uringan, lebih rewel nanti daripada Nata sama Nada." Kata Mbak Lilis. Aku mengangguk, lalu menuju counter mengambil tasku. Aku langsung masuk ke kamar mandi dan berganti pakaian. Setelah berganti, aku keluar lewat pintu samping dan menemukan Zach sedang bersandar santai di mobilnya. Yaa dandanannya sore ini juga terlihat santai. Hanya kaus dan celana cargo sedengkul dan dipadukan dengan sneakers sejuta umat: converse. Aku menggampirinya perlahan, ia melihatku. Langsung saja ia masuk ke mobil dan memberi isyarat agar aku masuk juga. Begitu aku masuk, Zach langsung menginjak pedal gasnya tanpa ba-bi-bu. "Mau ke mana ya?" Tanyaku, memberanikan diri memecah keheningan. "Gue lagi stress di kantor, banyak kerjaan. Jadi gue tinggal dulu aja, pulang cepet dan pengen cari sesuatu biar otak tenangan dikit." Jelasnya. Gue nanya apa, dia malah curhat. Gak jelas emang ini orang satu. Bisikku dalam hati. "Lo bisa naik sepeda?" Tanyanya. "Bisa." Jawabku. "Kok lo ngaco sih, lo bisa naik sepeda tapi lo gak bisa bawa motor?" Tanyanya. "Ya emang kalau bisa bawa sepeda otomatis bisa bawa motor?" "Yakan sama aja tjoy!" Serunya, dengan nada sedikit nyolot. "Ya tapi gue gak bisa." Kataku. "Konyol emang lo!" Aku diam, tak membalas seruannya itu. Males juga debat sama majikan sendiri. Aku memerhatikan jalan saat mobil ini masuk ke gerbang Taman Mini Indonesia Indah. Busetdah ngapain ke TMII? Zach memarkirkan mobilnya di parkiran dekat teater keong emas lalu turun tanpa berkata apa-apa. Aku hanya mengikutinya. Ia langsung berjalan meninggalkanku, aku mempercepat langkahku agar tak ketinggalan jauh. "Mau ngapain sih ini?" Tanyaku saat jaraknya sekitar dua langkah dariku. "Tuh!" Serunya, aku mengarah telunjuknya yang menunjuk sesuatu. Tenda rental sepeda. Yaelah Zach!! Kami menghampiri tenda tersebut, Zach langsung menyewa dua sepeda untuk dua jam. "Mas boleh saya bawa keliling kan ini?" Tanya Zach. "Kalau keliling KTP harus ditinggal Mas." Jawab penjaga rental sepeda ini. "Oh, okay!" Zach langsung mengeluarkan KTP dari dompetnya, sekaligus uang untuk membayar sewa sepeda. "KTP mbaknya juga." Kata penjaga itu. Aku meraih cardholder dari saku depan celanaku, lalu mengekuarkan KTP-ku dan menyerahkannya. Setelah transaksi itu, kami memilih sepeda dan langsung saja Zach menggoes sepedanya meninggalkanku. Selalu seperti itu, seenaknya. Dari teater keong emas, belum banyak yang bisa diliat. Lalu kami masuk ke dalam lagi. Menuju rumah-rumah adat. Dan tiba-tiba Zach berhenti. "Kenapa?" Tanyaku. "Lo tau, dalam hidup kita butuh kaya gini. Ngelakuin hal yang gak jelas dan absurd untuk tau tujuan hidup sebenernya tuh apa." Katanya. Aku gak ngerti arah pembicaraan kami ini ke mana. Jadi aku diam saja. "Menurut lo, arti hidup itu apa?" Tanyanya. "Breathe, not die." Jawabku singkat. "Yaelah aki-aki impoten juga tau! Yang bener jawabnya!" Serunya dengan nada kesal. "Apa ya? Hidup ya hidup." Kataku. "Haha susah ya definisiinnya? Kayanya manusia emang gak tahu arti hidup sebenernya itu apa sampe kita mati." Ujarnya. Aku diam, kalau omongan dia benar. Kenapa aku masih gak tahu juga? **** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN