10. What Happend?

1596 Kata
YUWAN Pukul 11 malam, terdengar ketukan di pintu kamarku. Duhh, pasti Kak Mirzha. Aku udah ngantuk banget ini. Begitu membukanya, kaget juga aku melihat Zach dengan tampang yang berantakan, ada tas ransel pula tersampir di punggungnya. Tumbenan banget dia bawa tas. Begitu melihatku ia langsung memelukku. "Eh kenapa Zach?" Tanyaku saat ia mendekapku erat. Gila! Bajunya bau asap rokok. Ini orang kenapa? Aku berusaha melepas pelukannya dan menariknya masuk. Lalu mendorong tubuhnya agar duduk di sofaku. "Kenapa?" Tanyaku sambil duduk di sampingnya. Ia memelukku lagi, tanpa berkata apa-apa. Aku diam, mencoba membiarkannya tenang dengan mengelus-elus punggungnya. Perlahan, ia melonggarkan pelukannya. "Kamu pernah gak Yu, dibohongin sama orang-orang yang kamu sayang?" Tanyanya pelan, aroma mulutnya astagaaaa bau alkhol. Dan tumben dia kamu-kamuan. Apa pula maksud pertanyaannya? "Belum, kenapa emang Zach?" Untuk ketiga kalinya aku bertanya kenapa. "Kamu tahu kalau Papa ternyata sehat walafiat dan selama 6 bulan ini bohong sama aku?" Tanyanya. "What? Pak Ridwan bohong?" Tanyaku. "Kamu gak tahu?" Tanyanya. Aku menggeleng, aku gak tahu apa-apa soal itu. "Aku benci Yu sama keluarga aku sendiri." Katanya. "Kamu kenapa berantakan gini?" Tanyaku. "Aku kecewa sama keluarga aku, aku pergi. Tadinya mau ke apartment, tapi ngerasa pengen ada temen, yaudah ke sini." "Yaudah, di sini dulu aja. Gak apa-apa." Kataku, ya gak enak kan nyuruh orang yang lagi kacau gini pulang. "Thank you." Bisiknya. "Cuci muka gih, terus ganti baju. Abis itu tidur." Kataku. "Mau langsung tidur aja, gak apa-apa?" Tanyanya. "Berantakan gitu, nyaman tidurnya?" Tanyaku. "It's okay." Aku mengangguk. "Yaudah ke kasur gih sana, aku tidur di sofa." Kataku. "Jangan Yu, aku tidur sofa aja. Anggep aku temen, bukan majikan. Dan makasih mau nampung aku." Katanya. Aku mengangguk lagi. Lalu menuju lemari untuk mengambil selimut. Langsung saja aku membentangkan selimut untuk menutupi tubuh Zach yang sudah rebahan di sofaku. "Zach, sleeptight!" Kataku. Ia sudah tak menyahut, aku meninggalkanya. Naik ke kasurku sendiri dan tidur. Aku masih gak ngerti kenapa Pak Ridwan bohong, bohong untuk apa dan kenapa? Dan kenapa juga Zach sampai berantakan seperti ini? Aku gak ngerti. Udahlah, mungkin emang aku yang gak pantas ngerti. Gak berhak tau akan semua itu. Cukup tahu kalau ada masalah, tapi gak usah tahu apa masalahnya. Akhirnya, aku memutuskan untuk memejamkan mataku. Mungkin pagi nanti Zach mau menceritakan masalahnya padaku, itupun kalau ia sudi berbagi ceritanya. * Pagi ini, ketika aku membuka mata refleksku adalah memundurkan wajahku beberapa senti ke belakang. Yaa, aku shock melihat Zach tepat berada di depanku. Apa-apaan ini? "Hey! Sorry, semalem aku gak bisa tidur terus badan aku pegel-pegel tidur di sofa, jadi aku pindah deh ke sini." Jelasnya saat melihat reaksiku. Aku menggosok mukaku dengan kedua tanganku, lalu mengangkat selimut sedikit untuk mengecek pakaianku, oh oke aman. "Hahahaha! Sumpah aku gak ngapa-ngapain kamu Yu, cuma rebahan di sini doang biar gak pegel." Jelasnya lagi. Aku mengangguk, belum mau mengeluarkan suara. "Makasih yaa, udah bolehin aku di sini." Katanya dan aku mengangguk. "Kamu hari ini ke rumah aku?" Tanyanya. Aku mengangguk lagi. "Ngomong dong!" Pintanya. Ngomong apa? Aku bingung, sumpah aku gak pernah ngalamin pagi sebingung ini, dan aku masih gak percaya ada cowok tidur di kasurku, bersamaku. Gila! Akhirnya aku memilih turun dari kasur, menuju lemari untuk mengambil baju dan masuk ke kamar mandi. Selesai mandi, aku melihat Zach masih di atas kasur. Sibuk dengan ponselnya. Kuputuskan untuk membuat sarapan, seingetku sih di laci masih ada roti tawar sisa kemarin. Saat mengecek laci, ya benar ingatanku. Aku langsung mengeluarkan semuanya dan mengolesinya dengan selai stoberi. Setelah itu aku membuat dua teh manis hangat. "Zach!" Panggilku. "Ya?" "Sini ayok, sarapan dulu." Kataku. Terdengar suara berderit dari kasur, ia sudah turun dan berjalan menghampiriku. Kuulurkan segelas teh hangat untuknya. Ia langsung menerima dan menyesapnya. "Makasih!" Katanya. Aku mengangguk, sambil mengulurkan sepiring roti, ia mengambil setumpuk lalu berjalan dan duduk di sofa. Sementara dia sarapan, aku menyiapkan bekalku untuk di bawa. Minum sih yang penting, karena aku harus berjalan cukup jauh. "Kamu kerja berangkat kapan?" Terdengar suara Zach. "Ini mau berangkat." Sahutku. "Aku di sini dulu gak apa-apa?" "Iya gak apa-apa kok," Kataku, bingung juga kalau nolak mau gimana nolaknya. Semua sudah selesai, aku menyampirkan tasku di pundak. Lalu mengambil setumpuk roti. "Berangkat yaa!" Kataku. "Kamu makan sambil jalan gitu?" Tanyanya saat aku hendak membuka pintu. "So?" "Leia gak bakal marah kalau kamu telat cuma karena sarapan, duduk dulu sini!" Serunya sambil menepuk space kosong di sofa. Yaudah lah, aku lagi males ngomong hari ini. Jadi aku memilih menurut saja, duduk di sebelahnya sambil memakan rotiku. Aku menoleh ke samping, dia masih asik dengan ponselnya. Segera saja kuhabiskan roti ini dan bangkit untuk mengambil minum dari dispenser. "Zach, cabut ya!" Seruku sambil berjalan keluar. *** Seperti hari-hari lainnya, hari ini biasa aja. Capek? Ya jelas capek, kerja mana ada yang gak cape. Dengan sisia tenaga hari ini aku naik ke lantai tiga, ke kamarku. Aku membuka pintu kamar, langsung terlihat Zach sedang menonton TV bersama dengan box pizza ukuran large di pangkuannya. Duh, pizza! Makanan terenak sepanjang masa. "Welcome home!" Serunya, tanpa mengalihkan pandangan dari TV. Ya Tuhan, sudah jutaan tahun rasanya tidak di sambut seperti itu saat pulang. Dan sepertinnya aku sedikit terharu oleh sapaannya itu. "Maaf ya gak ninggalin makanan." Kataku, sambil menunjuk pizza. "Santai Yu, aku cukup tahu diri kok kalau aku numpang." Jawabnya. "Santai, Zach. Kaya ke siapa aja." Sahutku. "Emang ke siapa?" Tanyanya. "Temen, kita temen kan?" Kataku. Ia menoleh, memandangku dengan tatapan yang sulit dijelaskan. Lalu detik berikutnya ia tersenyum. "You are my friend, my best friend!" Serunya. Aku tersenyum. Aku berjalan melintasi ruangan, menuju lemariku untuk mengambil baju, langsung saja aku menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Begitu selesai, aku bergabung dengan Zach menonton acara talkshow di salah satu TV swasta. "Nih! Laperkan?!" Katanya sambil mengulurkan box pizza padaku. Ya, aku memang lapar dan sekalipun aku kenyang, kayanya gak bakal ada ceritanya seorang Yuwan Libery menolak pizza hahaha! "Thank you!" Seruku. "Hmmm!" Jawab Zach disela-sela kunyahannya. "Malem ini main yuk? Ke mana gitu." Ajaknya. "Ke mana?" Tanyaku. "Gak tahu, aku lagi males aja. Males sama segala-galanya." Katanya. Oh iya, aku kan belum tahu ya masalah dia apa. Dia belum cerita dan aku pun merasa gak berhak untuk nanya. Tadi di rumah keluarga Sukarlan, aku gak berhasil curi denger obrolan orang rumah karena aku menghabiskan waktu siangku di sekolah Nada dan Nata. "Ya kalau males gak usah ngapa-ngapain. Ambil jeda buat istirahatin semuanya." "Aku kecewa Yu sama keluarga aku." Katanya. "Kenapa?" Tanyaku. Entah ini pertanyaan keberapa. "Let me tell you my pathetic story! 4 tahun yang pas lulus kuliah S2 dari Columbia University, aku pulang ke Jakarta dan langsung kerja di kantor Papa. Sampe akhirnya aku kenal sama cewek, Sara. Kita deket dan pacaran. Gak tahu kenapa dia bisa bikin aku sayang banget sama dia dan setia. Kamu pasti ngerti lah hidup di New York kaya apa, dan one night stand tuh udah biasa banget." Jelasnya. Aku hanya mengangguk, enggan berkomentar. "Sama Sara, aku beneran serius. Malah aku udah ada rencana buat nikah muda sama dia. Tapi apa? Dia dijodohin sama orang lain pas aku lagi sayang-sayangnya, tau siapa orang yang di jodohin sama dia? Mantan pacarnya. "Aku minggat ke New York pas tau itu, dan Sara sama sekali gak nyari aku. Di situ aku mikir kalau dia emang gak keberatan sama perjodohan itu. Kamu pasti ngerti lah yaa, perjodohan antar orang kaya, biar kekayaannya makin numpuk, kaya Leia dan Julian aja deh contohnya. Aku sempet bersyukur, aku dapet cewek dari kalangan atas tanpa harus dijodohin, eh ternyata, itu malah jadi patah hati terbesarku. “Aku mulai hidup baru lagi di New York, mencoba memahami prinsip kalau cinta gak harus milikin. Tapi ternyata rasa sakit itu muncul lagi, aku nge-push diri aku sejauh mungkin, sedalam mungkin untuk lupain dia dan biarin dia mulai hidup baru sama jodohnya itu. "Aku fokus sama hobby-ku, game. Main game, main game, main game. Sampe akhirnya kepengin coba bikin game. Ketemu sama Royan dan kita kerja bareng. Bangun bisnis dari bawah. Aku banyak kenalan di New York, jadi gampang buat aku masarin game aku. Lagian kan gratis download juga di playstore. "Makin lama, game-game aku makin laku. Aku sama Royan bikin basecamp gitu di gudang rumah orang yang disewain. Mulai dari situ sampe akhirnya punya tempat sendiri. "Di situ aku nemu asiknya aku di mana sampe aku lupa kalau ada rasa sakit yang selama ini aku sembunyikan. Aku balik ke Jakarta, tapi Sara udah nikah. Akhirnya aku merelakan semuanya. Ikhlas sama semuanya, tapi aku gak mau balik ke Indonesia lagi. "Papa marah saat aku mutusin kalau aku bakal menetap di New York. Tapi aku gak peduli, itu satu-satunya cara untuk pergi dan menghilang dari Jakarta yang kejam. Aku pergi lagi, ninggalin keluarga aku. Pulang cuma setahun sekali itupun maksimal satu minggu. "Sampe akhirnya aku dapet kabar dari Leia kalau Papa sakit, kalau Papa gak bisa bangun. Papa minta aku yang ngurus perusahaannya. Papa minta aku gantiin posisi dia. Di situ aku mikir, udah terlalu lama aku ninggalin keluargaku, udah terlalu lama aku lari dari rasa sakit. Yaudah, aku setuju untuk pulang. Aku mau ngabisin waktu berkualitas bareng keluarga. "Dan semalem, setelah 6 bulan aku pulang ke Indonesia. Aku baru tahu kalau Papa nipu aku, Papa cuma mau aku ngurus bisinisnya dan Papa mau jodohin aku sama cewek asing. Aku rasa Papa egois, dia gak izinin aku untuk menekuni apa yang aku suka, dan dia akan maksa aku untuk hidup sama wanita pilihannya. Dan untuk kesekian kalinya, aku pergi. Aku terlalu banyak kecewa sama hidup ini." Ia selesai bercerita. Aku mendengarkannya dengan seksama, tapi entah kenapa. Aku biasa saja. Aku tak merasakan gejolak emosi sedih, ikut kecewa bersamanya ataupun marah pada Sara dan Papanya. Tidak, emosiku datar. Sepertinya monster dalam diriku sedang mengambil alih tubuh ini. "Yu, may I hug you?" Tanyanya. Aku tersadar dari lamunanku, dan melihat matanya berkaca-kaca. Aku berusaha tersenyum, lalu menariknya ke dalam pelukanku. Aku mencoba memahami apa yang ia rasakan sekarang, karena aku tahu, sekalipun kita sudah pernah diterjang badai, bukan berarti hujannya orang lain akan terasa mudah. Semua masalah dan rasa sakit ada takarannya. Mungkin menurutku masalah Zach terdengar sepele. Tapi bagi Zach, bisa jadi ini bencana. "Tidur gih, udah malem." Kataku. "Boleh aku tidur bareng kamu lagi?" Tanyanya. What???? "Cuma tidur, sama-sama merem. Aku janji gak bakal aneh-aneh." Katanya. Mendengar ucapannya itu, akhirnya aku mengangguk setuju. ***** TBC
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN