11 - Pulang

1100 Kata
Nika menyeret kopernya ketika sampai di depan rumah, gerbangnya tidak terkunci, yang artinya ada seseorang yang berada di rumah. Ia kembali mengingat hari ini, adiknya sedang libur sekolah. Sedangkan ayah dan ibunya sudah pasti masih tetap bekerja, Nika membuka pintu gerbang hingga menghasilkan suara berderit. Memang seharusnya ia memberitahu dulu ketika ingin pulang, sedangkan hari ini ia langsung pulang tanpa aba-aba. Ia memasuki rumah dan membuka pintu, benar saja tidak terkunci. Ini lah yang terkadang membuatnya geram setengah mati dengan sang adik, tidak mau mengunci pintu. Jika ada orang jahat yang masuk atau mencuri, maka mereka bisa leluasanya masuk tanpa halangan. Saat baru saja melangkahkan kaki memasuki pintu, ia dikejutkan dengan kedatangan remaja berusia sekitar tujuh belas tahun, senyumannya terlihat mengembang, ciri-ciri ada maunya. Nika menaikkan sebelah alisnya. “Ada apa?” “Kau jadi ke Sirkuit Suarez, mana tanda tangan Jack Roshel?” Redo, sang adik menodongkan tangan, meminta tanda tangan dari Jack Roshel yang dititipkan oleh sang kakak. Nika membuka bibirnya tak percaya, tanda tangan ‘katanya? Bahkan senyuman dari Jack Roshel pun tidak ia dapatkan, justru hal yang merendahkan telah dilakukan Jack padanya. Nika tanpa sadar mendengus kecil, lalu melanjutkan langkahnya yang sempat tertunda. Redo menatap kakaknya dengan membulat, ia ingin menagih tanda tangan Jack Roshel pada Nika. “Kak, tunggu!” Redo mengejar Nika yang mulai menapaki anak tangga. “Kak, woiii.” Redo berteriak agak nyaring, heran dengan kakaknya yang mengabaikannya. “Apa sih, Do?” Akhirnya mau tak mau Nika menghentikan jalannya lagi, menoleh pada adiknya yang berisik. “Mana tanda tangan Jack, jangan bilang kalau gagal.” Redo sudah memasang raut jutek. “Memang.” Balas Nika seadanya. Bahkan ia pun tidak terpikirkan mendapat tanda tangan Jack, setelah tersenggol dan jatuh tanpa ditolong, Nika merasa bersungut-sungut dan terus menyumpah serapahi Jack di dalam hati. Bibir Redo langsung tertekuk masam, ia kecewa. “Kak, bagaimana sih? Katanya mau dibawain tanda tangannya Jack, kok malah mengecewakan.” Mata Redo mulai memerah, entah menahan tangis air mata atau amarah. Redo adalah penggemar berat Jack Roshel, remaja itu ingin sekali menonton langsung balapan, tapi sayang sekali ia masih kecil dan belum bisa menghasilkan uang yang banyak untuk live race. Nika menghela napas kasar, ia mulai malas ditanya-tanya mengenai Jack Roshel. Ia tak bisa berpikir jernih lagi, ingin rasanya menendang adiknya lalu menggelinding ke bawah dengan mengenaskan. Oke, itu hanya ekspektasi, mana berani ia merealisasikannya. “Do, dengar! Aku Cuma ada fotonya Jack, itu pun dia tidak senyum sama sekali. Aku yakin kau pasti menonton race nya kemarin, perhatikan ekspresi wajahnya yang sedang kesal. Jangankan tanda tangan, aku juga tidak mendapat fotonya yang sedang tersenyum!” Nika menambahkan penekanan di setiap kalimatnya. Redo kemudian terdiam, wajah murungnya berubah menjadi ekspresi berpikir. Benar apa yang dikatakan kakaknya, ia sempat melihat adanya cekcok antara Martin dan Jack saat di lintasan, bisa jadi itu pemicu Jack hingga kesal. “Sudah mengerti sekarang?” Nika bersedekap tangan sambil menatap adiknya dengan alis terangkat sebelah. Redo mengangguk pelan. Namun, tetap saja ia kecewa karena gagal mendapat tanda tangan Jack Roshel. “Jika kau ingin menonton race nya langsung, akan ku biayai. Tapi, jangan berekspektasi lebih, Jack tidak seperti yang kau bayangkan.” Tukas Nika final. Gajinya selama bekerjasama dengan La Viore sudah lebih-lebih, jika adiknya ingin menonton balapan secara langsung, Nika akan membiayainya. Akan tetapi, Nika takut jika Redo kecewa akan sifat idolanya yang arogan. Mata Redo langsung berbinar terang saat kakaknya ingin membiayai perjalanannya ke sirkuit. “Kau yakin? Tentu saja aku mau.” Serunya. Tapi ia langsung tersadar akan suatu hal. “Memangnya Jack kenapa? Apa sifatnya berbeda saat di sirkuit langsung.” Nika mengendikkan bahunya pelan, berbalik badan dan menaiki tangga lagi menuju ke kamarnya. “Kak, jawab dong.” Redo mendengus kesal saat kakaknya melenggang pergi begitu saja. Nika melambaikan tangan dengan asal, membuka kamar dan masuk ke dalamnya. Redo berdecak sebal, sebenarnya ada apa dengan kakaknya itu. Tidak biasanya Nika bersikap cuek dan tak bersemangat, apa ada kejadian tidak menyenangkan yang dialami oleh kakaknya? Entahlah! Nika menghirup aroma kamarnya dengan perlahan, merasakan wewangian pengharum ruangan yang aktif disemprotkan oleh sang ibu. Semua orang rumah tahu bahwa Nika hobi menyemprot pewangi di kamar. Jika kamarnya kosong, maka akan ada sukarelawan yang melakukan kegiatan itu. Entah ayah, ibu ataupun Redo. Seketika itu otaknya merasa tenang saat mencium aroma favoritnya, Nika merasa lebih hidup dan menikmati istirahat selepas penat. Ruangan berukuran empat kali empat meter ini sangat sederhana, hanya ada single bed, kipas angin dinding, lemari baju, dan laci. Nika meletakkan kopernya di sudut ruangan, ia melepas pakaian panjangnya dan menggantungnya di dinding. Dinding kamar bercat warna biru muda dicmpur dengan garis-garis putih, hal ini membuat ruang tersebut terlihat segar dan nyaman. Ada pula foto-foto dirinya sendiri beserta keluarga, foto bersama teman kampusnya atau juga hasil jepretan alam yang memukau. Nika sengaja mengoleksi itu semua sebagai kenang-kenangan, melihat hasil potretannya sendiri adalah suatu hal yang menyenangkan. “Hahh… akhirnya bisa tidur di kamar sendiri.” Meskipun kamar hotel berfasilitas lengkap dan mewah, tapi kamar sendiri lebih nyaman dari segalanya. Ia duduk di tepi ranjang, beberapa waktu ini ia belum siap membuka ponsel, takut jika Manager Geo marah karena hasil potretannya belum sempurna. Tapi untuk saat ini, ia tidak bisa terus-terusan menghindar hari kewajiban. Sudah saatnya ia melihat feedback dari seorang Govan Ronald seputar gambar-gambarnya. Nika memberanikan diri mengaktifkan data internet ponsel, menunggu notifikasi masuk. Yap boooom! Manager Geo bahkan miscall hingga tiga kali, Amarta juga melakukan video call tak terjawab, belum lagi grup kuliahnya yang menimbun ratusan obrolan tak penting. Nika mengambil napas dalam-dalam lalu membuangnya, ingin membaca pesan dari Manager Geo seakan-akan hampir ditelan oleh ikan hiu. Nika menekan pesan tersebut, ia membacanya dengan teliti. Pesan berisi tentang masukan-masukan dari Manager Geo, ada satu hal yang membuat Nika tak percaya diri. Bisa-bisanya Manager Geo memuji hasil fotonya, padahal itu belum sempurna. Manager Geo memahami jika foto Jack Roshel belum sempurna, dikarenakan ia juga mengikuti informasi dari MotoRace. Sudah banyak berita rilis mengenai persaingan antara Martin dan Jack, kejadian di lintasan juga menjadi sorotan media. Bahkan parahnya lagi, Manager Geo memberikannya kesempatan untuk menjalin kerjasama dengan La Viore dalam jangka waktu yang panjang. Rencananya Nika akan diletakkan di bagian marketing picture, foto-foto produk dari La Viore dan juga memotret para model. Namun, ia belum bisa memutuskan secara langsung. Nika meminta waktu untuk berpikir, karena ia juga sembari kuliah. Kejutan hari ini begitu luar biasa, ia merasa bersalah dengan Manager Geo karena sempat berpikir yang tidak-tidak tadi. Manager Geo ternyata sosok yang ramah dan murah hati. Tidak salah jika Nika mendapat partner sebaik itu, ia akan berusaha lebih giat dalam pekerjaannya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN