Nika berjalan dengan gontai menuju ke hotel inapnya, ekspresi wajahnya tampak lesuh seakan tak ada gairah hidup dalam dirinya.
Pintu depan hotel terbuka otomatis saat ada orang yang ingin melewatinya. Nika berjalan tanpa mempedulikan sekitar, ia hanya ingin segera sampai di kamar dan mengistirahatkan tubuh dan pikirannya yang lelah.
Namun, baru saja ia memasuki tempat itu, sebuah suara lebih dulu menghentikannya.
“Nona, apa pekerjaan Anda berjalan dengan baik?” Diandra, si resepsionis gebetan Savier berujar.
Mau tak mau Nika harus menghentikan langkah kakinya, ia harus menjawab pertanyaan Diandra untuk menunjukkan sikap sopan.
Nika mengulas senyumnya yang dipaksakan.
“Semuanya lancar.”
Diandra mengangguk-anggukkan kepalanya, turut bahagia atas kabar itu.
Namun, berbeda dengan Savier yang secara tiba-tiba datang dan memperhatikan rautnya lebih detail.
“Kau ada masalah?” tanyanya.
Hal ini membuat Diandra melebarkan matanya.
Nika buru-buru menggelengkan kepala, ia tidak ingin ada orang lain mengetahui permasalahannya hari ini.
“Aku baik-baik saja.”
“Tapi wajahmu tidak menunjukkan hal itu, justru terlihat sebaliknya.” Jangan dikira Savier tidak tahu beragam bentuk ekspresi orang-orang, ia justru amat paham akan hal ini.
Nika menghela napas kasar, Savier bukan tipe orang yang mudah dibohongi.
Diandra menatap Nika lebih jeli, kini fokusnya berada di benda yang dikalungkan di leher gadis itu.
“Nona, itu kamera Anda memang retak atau mataku yang salah melihat?” Perkataan Diandra mampu menskak Nika.
Gadis itu lupa menaruh kameranya di tas, sejak kejadian buruk tadi, ia langsung melenggang pergi dari sirkuit dan memesan taksi untuk kembali ke hotel.
Saat itu Nika dipenuhi oleh emosi dan kekesalan, tanpa basa-basi langsung pergi begitu saja.
“Ahh ya benar, ini memang retakan.” Savier mendekat pada Nika dan menyentuh bagian lensa yang telah retak.
“Nona, ada apa?” Kini Diandra mulai menaruh simpati, hubungannya dengan Nika cukup baik, mengingat bahwa Nika adalah tamu kategori istimewa.
Savier mendongakkan kepala melihat gadis itu.
“Apa seseorang telah merusaknya?”
Tidak ada alasan lagi menutupi semuanya, Nika hanya mengangguk lemah.
“Siapa?”
Mendengar hal itu mampu membuat Nika terdiam, bukankah Savier adalah teman dari Jack, jika begitu, maka ia tak bisa menjelekkan Jack di depan temannya. Bukan karena ia peduli dengan Jack, tapi Nika tidak ingin melukai hati Savier.
“Lupakan, semuanya sudah terjadi.” Jawab Nika dengan senyuman mengembang di wajah manisnya.
“Aku ke atas dulu, hari ini sangat melelahkan.” Lanjut Nika.
Savier pun mengangguk lemah, tapi dalam hatinya terus menebak-nebak siapa yang telah merusakkan kamera milik gadis itu.
Punggung Nika mulai menjauh memasuki lift, Savier dan Diandra kompak saling bertatapan seolah berpikiran sama.
“Apa mungkin Jack? Nika pernah bilang bahwa Geovan menyuruhnya untuk fokus memotret Jack, tapi melihat Jack yang kalah dari Martin hari ini kemungkinan membuatnya sensi.” Savier mulai berspekulasi.
“Bisa saja, kasihan sekali Nona Adlen.” Balas Diandra.
Sesampainya di kamar, Nika langsung melemparkan tubuhnya di ranjang super lembut. Pakaiannya masih melekat sempurna, ia belum ada niat untuk menggantinya.
Kepalanya mendongak ke atas langi-langit kamar, memorinya berkelana beberapa jam lalu.
Entah kenapa meski dirinya membenci Jack Roshel, tapi Nika terus terbayang-bayang sosok itu. Apakah mereka saling mengenal sebelumnya?
Kemungkinan besar tidak, ia mana punya kenalan seorang pembalap terkenal, lagipula teman-teman sekolahnya dulu lebih mendominasi bekerja sebagai pakar hukum dan karyawan, tidak ada yang menjadi pembalap sama sekali.
Tangannya menggerayangi kamera kesayangan, Nika memperhatikan retakan yang amat kentara tepat di lensa itu. Dirinya masih amat beruntung karena file-file hasil potretannya bisa diselamatkan,
Ia memeriksanya lagi, foto di sana kebanyakan adalah potret Jack Roshel, ada juga foto-foto pembalap lain, hanya saja beberapa.
Nika memilih untuk langsung menyalinnya di ponsel untuk berjaga-jaga, kameranya sudah pernah jatuh, hal ini sangat riskan jika menyimpan file di sana terlalu lama.
***
Sementara itu di tempat lain, seorang pria tengah melempar wearpacknya ke sembarang tempat. Rahangnya mengetat dengan sempurna, gigi-giginya bergemelatuk ringan.
Ia benci dengan hari ini, Jack ingin mematahkan lengan Martin seketika itu juga.
Jack duduk di sofa pinggir ranjang, matanya menyorot ke depan dengan tatapan tajam. Menghembuskan napas kasar, Jack tidak akan melupakan hal ini, harus ada pembalasan nantinya.
Mau bagaimana pun caranya, Leonard harus mendapatkan bukti kecurangan Martin dan melaporkannya ke pihak atasan.
Ketukan pintu terdengar, Jack melirik singkat ke arah sana, tak biasanya orang-orang yang akan masuk mengetuk pintu terlebih dulu.
“Ya, masuk!” Jack berujar.
Pintu tersebut terbuka, memperlihatkan Zenseva yang masuk dengan amat hati-hati. Ia tahu suasana hati Jack sedang buruk, maka dari itu Zenseva sebisa mungkin tidak ingin melakukan kesalahan.
Bahkan dengan amat pelan Zenseva menutup pintu tanpa menimbulkan suara yang mengganggu, ia seperti sedang masuk ke kandang singa saja.
Setelah berhasil masuk, Zenseva mendekat pada Jack. Bisa ia lihat jika wearpack yang dikenakan sang majikan sudah teronggok di lantai dengan menyedihkan, Zenseva paham betul jika Jack amat kesal.
"Ada apa?" Suara dingin Jack langsung memasuki gendang telinga.
Zenseva menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya.
"Jack, aku tahu kalau kau sedang marah saat ini. Tapi, ku mohon padamu untuk mengendalikan emosi, jangan mudah terpancing oleh amarah." ucap Zenseva.
Mendengar hal ini sontak saja membuat Jack terdiam, bahkan deru napasnya sampai terdengar saking sunyinya tempat itu.
Zenseva menggigit bibirnya dalam-dalam, apa ia salah bicara?
Jack teringat dengan gadis tadi, ia menyenggolnya hingga jatuh, bahkan ia sama sekali tidak meminta maaf.
Lama keduanya terdiam, Jack pun akhirnya bersuara.
"Kau benar."
Mata Zenseva agak terbelalak, apa majikannya sudah sadar?
"Bagaimana dengan gadis itu, apa dia terluka?" Entah kenapa tiba-tiba Jack menanyakan hal ini, jarang sekali ia mempedulikan hal-hal kecil.
"Dia terluka, lensa kameranya juga retak." Balas Zenseva.
Refleks Jack langsung menatap Zenseva dengan serius.
"Kau yakin? Apa yang terluka, seharusnya kau langsung mengobati dan mengganti barangnya yang rusak." Jack langsung berujar dengan cepat.
"Aku sudah menawarkannya untuk membahas masalah itu, tapi dia menolak. Bahkan dia berkata kalau membencimu." Zenseva meringis kecil di akhir kalimatnya.
Apa yang dikatakan gadis itu tidak sepenuhnya salah, ini murni kesalahan Jack yang mudah terbawa oleh amarah sehingga mengabaikan sekitarnya.
Sekali lagi Jack merasakan degupan jantungnya yang kian membahana, ia menyentuh bagian itu. Tadi, ia memang merasakan perasaan ini, tapi tersamarkan saat emosi menguasai.
Gadis itu, siapa dia, kenapa saat mendengarkan ceritanya saja sudah mampu membuat Jack keteteran.
"Kau tahu siapa dia? Dari pers mana?" Jack bertanya secara beruntun, ia penasaran.
Zenseva menggeleng. "Sayang sekali aku tidak tahu, dia memakai pakaian bebas, bukan seragam suatu perusahaan."
Kenapa Jack langsung merasa nanar tatkala mendengar jawaban Zenseva. Sebetulnya Jack ingin memastikan, apakah gadis itu adalah orang yang ditunggu-tunggu selama ini?
Bodohnya kau Jack, seharusnya bisa berhenti sejenak untuk menolong gadis tadi dan memeriksanya dengan jeli.
Mulai saat ini Jack akan melatih mengatur emosinya agar stabil. Memang benar, emosi sesaat hanya akan merugikan diri sendiri.