MDU 26

1506 Kata
"Dia siapa Mas?" tanya Lea, yang masih saja mencekal pergelangan tangan Tristan. Tristan frustasi, ia ingin mengejar Jovanka. Ketahuilah satu hal, apa alasan pemuda ini menemui gadis yang bernama Lea itu. Semata-mata hanya ingin memutuskan hubungan mereka secara baik-baik. Karena dia mau memilih Jovanka sebagai pendamping hidupnya. Tak menyangka jika kejadiannya akan seperti ini. Tristan hanya merasa tak enak hati, jika harus pergi begitu saja tanpa adanya perkataan apapun, mengingat hubungan dirinya dengan gadis yang bernama Lea itu cukup serius. Terkesan seperti pengecut, jika Tristan tak ada ucap kata dan main kabur gitu aja. "Lea, dengerin gue. Elo liat gadis yang Dateng tadi?" Lea mengangguk. Tristan menghela napas, dan melanjutkan ucapannya. "Dia calon istri gue yang sebenernya. Kedatangan gue ke sini. Buat ngelurusin hubungan kita. Maaf, gue nggak bisa lanjutin hubungan kita. Gue tahu, gue emang jahat. Tapi, gue nggak mau nyesel di kemudian hari. Gue mencintai Jovanka, bukan elo. Sekali lagi, gue minta maaf. Dan gue harap, elo bisa lupain gue. Gue yakin masih banyak cowok yang antri buat dapetin cinta elo." Lea menunduk, buliran bening mengalir di pelupuk matanya. Sakit, sangat sakit. Walaupun hubungan mereka sebatas virtual, ketahuilah ... cinta itu nyatanya benar-benar ada di dalam hatinya. Dan kini, pertemuan untuk yang pertama kalinya dengan Tristan menjadi pertemuan terakhirnya. Cinta datang dan pergi begitu saja, mempermainkan hati begitu lihai. "Mas, aku cinta sama kamu." isaknya. "Maaf, gue nggak bisa. Gue harus pergi." Tristan abai. Melenggang pergi tak peduli dengan gadis di belakangnya yang kini menangis meraung. Tristan mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Entah mengapa perasaannya tak tenang. Bayang-bayang Jovanka melintas di dalam otaknya. Tatapan kecewa gadis itu, seakan meninggalkan luka di hati Tristan. "Jov, maafin gue, elo salah paham." gumamnya, hanya kata maaf yang terlafal di lidah Tristan. Seolah tak ada hari esok untuk meminta maaf pada gadis tersebut. Di tengah perjalanan, kerumunan orang mengehentikan perjalanan Tristan. Ck, ada apa ini? Apa ada kecelakaan? Gumamnya. Tristan menuruni motornya, dan melihat apa yang sebenarnya terjadi di sana. "Maaf Pak! Ada apa ini?" tanyanya, pada seorang bapak-bapak yang juga ikut berkerumun di sana. "Itu Mas, ada kecelakaan. Kasian banget Mas. Korbannya luka parah, nggak tau masih bisa selamat atau nggak." miris bapak-bapak itu, sembari menggelengkan kepalanya. "Siapa Pak korbannya?" penasaran Tristan. "Gadis, Mas. Kayak nya bukan anak sini. Benar-benar kasihan loh." Tristan menautkan kedua alisnya, ia mencoba melihat bekas kecelakaan itu. Karena memang korban sudah dilarikan ke rumah sakit. Hanya tinggal bekas darah yang kini sedang di bersihkan para penduduk sekitar. Dan juga sepeda motor ringsek yang teronggok di pinggir jalan. Tristan terdiam sesaat, mengamati motor yang kini sudah hancur tak berbentuk di sana. "Mas kenal siapa pemilik motor ini? Dia korbannya Mas, sekarang di bawa ke rumah sakit XXX." Tristan sedikit abai dengan ucapan para penduduk sekitar. Ia fokus menelisik motor di hadapannya. Hingga satu hal membuat pemuda itu syok, menyadari jika motor itu milik Jovanka. Yah, tidak salah lagi. Stiker anime yang pernah ia beli dari Malaysia, yang pertama kali ia berikan pada Jovanka. Terpasang jelas di kepala motor matik berwarna hitam itu. "Jo-Jovanka, nggak ini nggak mungkin." Tristan melemas. Hingga para orang di sekitarnya membantu dia berdiri. "Mas nggak apa-apa, lebih baik Mas sekarang susul gadis itu ke rumah sakit. Kasihan Mas, dia luka parah loh." Tanpa berpikir panjang, Tristan langsung berlari menuju ke motornya. Melaju kencang menuju ke rumah sakit di mana Jovanka dibawa. Sepanjang jalan, Tristan tak henti menangis. Ia merutuki kebodohannya, andai saja ia tak menemui Lea. Andai saja ia menemani Jovanka di rumahnya. Namun semua hanya tinggal perandaian semata. Waktu tak bisa diputar ulang. Semua sudah terjadi, meninggalkan penyesalan tiada henti. "Maafin gue, Jov! Maafin gue. Gue harap elo bisa bertahan." doanya dalam hati. Beberapa saat kemudian, akhirnya Tristan sampai di rumah sakit yang ditunjukan penduduk tadi. Tristan segera melesat masuk ke ruang resepsionis mencari nama pasien yang bernama Jovanka. Bagai di sambar petir, saat mengetahui jika Jovanka sekarang menjalani operasi. Tunggu, jika gadis itu menjalani oprasi. Artinya ada pihak yang sudah datang dan menyetujui tindakan operasi tersebut. Siapa yang sudah mengetahui perihal masalah ini? Daripada banyak berpikir, Tristan melesat masuk ke dalam lorong rumah sakit. Menuju ke ruang operasi. DEGG!!! Langkah Tristan terhenti, saat melihat sosok wanita paruh baya yang kini terlihat tengah menangis, sendirian. Di depan ruang oprasi. Sosok itu tak lain dan tak bukan adalah ibu Jovanka. Berlahan Tristan mendekati tubuh bergetar wanita itu. Rasa takut dan juga bersalah menyelimuti pikiran Tristan. "Buk," sapanya. Namun ibu itu mengangkat telapak tangannya, tanda tak ingin mendengar lagi ucapan dari pemuda itu. Ia belum sanggup mendengar apapun. Ia tak tau apa yang terjadi pada putrinya, sebelum putri kesayangannya bisa selamat. Ibu mana yang tak hancur saat mengetahui putrinya kecelakaan, bahkan nyaris merenggut nyawanya. Tak lama kemudian, sosok dokter terlihat berlari keluar dari ruang operasi tersebut. Menghampiri ibu Jovanka. "Ada apa Dok? Bagaimana keadaan anak saya?" "Kami kehabisan stok darah, adalah diantara kalian yang memiliki golongan darah AB?" Ibu Jovanka yang memang tak mengetahui golongan darahnya kebingungan. "Coba cek golongan darah saya, Dok!" "Ibuk punya riwayat darah rendah atau darah tinggi?" tanyanya kemudian. Ibu Jovanka berkata jika dia mengalami anemia, lumayan parah. Membuat Dokter itu tak berani mengambil tindakan. Tristan teringat, saat medical dulu dia pernah memeriksakan golongan darahnya. Dan kebetulan Ab, sama dengan darah Jovanka. "Ambil darah saya Dok!" "Darah Mas golongan AB?" Memastikan. Tristan mengangguk brutal. Tanpa membuang banyak waktu, Tristan masuk ke dalam ruang oprasi Jovanka. Tatapan matanya menyendu, saat melihat sosok yang ia cintai, sosok gadis ceria yang kemarin masih bercengkrama bersamanya. Masih tertawa dan menghabiskan waktu bersama dengannya. Kini berbaring tak berdaya dengan berbagai peralatan rumah sakit menempel di seluruh tubuhnya. Tristan membaringkan tubuhnya di atas brangkar, samping brangkar pesakitan Jovanka. Tatapan matanya tak henti menatap sosok gadis di sampingnya. "Jov, bertahan buat gue. Gue janji bakal nepatin janji yang pernah gue ucapin ke elo. Kita bakal nikah, bakal punya anak yang banyak. Sesuai dengan cita-cita elo. Gue mohon, bertahanlah. Gue nggak bisa idup tanpa elo." Air mata mengalir membasahi pipi pemuda itu. Selesai mendonorkan darah, Tristan keluar dari ruangan tersebut. "Gimana anak Ibuk?" tanya wanita itu dengan nada datarnya. Tristan tak pernah mendengar kata-kata dingin itu dari sang ibu. Selama ini wanita tersebut selalu berucap lembut kepadanya. Tetapi sekarang kenapa semua terkesan berbeda. Tapi Tristan memaklumi semuanya, ia sadar mungkin ibu ini masih dalam keadaan terpuruk. "Saya belum tahu, Buk." Sang ibu meluruhkan tubuhnya, mendudukan tubuhnya kembali. "Terima kasih, sudah menolong anak saya." ucapnya kemudian. Tristan tersenyum, sudah kewajiban untuknya menolong Jovanka. Sekarang sebagian dari diri Tristan sudah menyatu di dalam tubuh Jovanka. Darah mereka sudah menyatu, hidup Jovanka adalah hidup Tristan juga. Tak lama oprasi yang dilakukan para Dokter di dalam sana sudah selesai. Jovanka dinyatakan selamat dari maut. Beruntung sekali gadis itu bisa bertahan, tanpa mengalami koma ataupun kritis. Padahal luka di tubuhnya lumayan parah. Sepertinya, keinginan untuk hidup gadis itu terlalu tinggi, hingga membuatnya bisa bertahan dari maut. Jovanka sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa. Tristan masuk keruangan tersebut, ditemani ibu dari Jovanka. "Buk, Ibuk pulang dulu aja, istirahat. Ibuk pasti capek, semalaman nungguin Jovanka. Biar saya yang nunggu Jovanka." Sang ibu menggeleng, bagaimana bisa dia pulang jika putrinya saja belum membuka mata. "Ibuk nggak bakal pulang, sebelum Jovanka bangun." Tristan tak bisa berkutik lagi, ia pun sama. Tak akan beranjak pulang, sebelum Jovanka siuman. Beberapa menit kemudian. Jovanka mulai bisa menggerakkan jemari tangannya. Kedua matanya berlahan terbuka. Satu kata yang terucap dari bibir pucat gadis itu. "Ibuk." Sang ibu tersentak dan segera mendekati tubuh putrinya. Mengelus pucuk kepala yang terbalut perban. Air mata tak kuasa menitik. "Iya, Sayang. Ibuk ada di sini." bahagianya. "Aku kangen Ibuk!" entah apa yang membuat gadis itu begitu merindukan sang ibu. Seperti sudah lama tak bertemu dengan ibunya. Jovanka menangis, ia teringat pada mimpinya. Mimpi di mana dirinya bertemu dengan sang ayah. Ia bimbang, ia ingin ikut bersama ayahnya tersebut. Namun ia juga tak ingin meninggalkan ibunya. Rasa rindu yang begitu berat menarik Jovanka pada dunia nyata. Ia tak ingin meninggalkan sang ibu. "Udah, Sayang. Jangan nangis, Ibuk ada di sini. Ibuk nggak akan kemana-mana." Tristan tak kuasa menahan isakan. Ia bersyukur bisa melihat Jovanka kembali. Meski dirinya tak dianggap. Ia tak apa, masih ada hari esok untuk memperjuangkan hatinya. "Buk, aku haus." Tristan yang berada di dekat nakas segera meraih segelas air putih di sana dan memberikan minuman tersebut pada Jovanka. Tak ada percakapan apapun, mungkin Jovanka masih marah pada pemuda tersebut. Sang ibu menyadari ketidak akraban putrinya dengan sang calon mantu. Tapi ia enggan untuk bertanya. Biarkan malah mereka, mereka yang menyelesaikan. Ia tak ingin ikut campur. Dirasa Jovanka sudah baik-baik saja. Sang ibu meminta ijin untuk pulang. Sekedar mandi dan mengambilnya baju untuk Jovanka. Kini hanya tinggal Jovanka dan Tristan saja. Jovanka terlihat membuang muka, tak ingin melihat sosok Tristan di sana. "Jov. Maafin gue." ucap Tristan mengawali. Jovanka tak menjawab ataupun memandang sosok pemuda di sampingnya. "Elo salah paham, Jov." ucapnya lagi, berharap bisa menarik perhatian sang kekasih. "Ngapain elo masih ada di sini? Gue lagi pengen sendiri." Tristan memejamkan mata sejenak. Sulit untuk membuat Jovanka percaya kepada-nya. "Dengerin gue, Jov."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN