"Tan, anter gue pulang, yuk!" pinta Jovanka.
"Elo udah nggak apa-apa?"
"Masih sakit juga sih, tapi mau sampai kapan gue ada di rumah elo? Ibuk gue pasti nyariin."
Tristan akhirnya menuruti kemauan sang kekasih.
Beberapa saat kemudian, setelah Tristan mengantar Jovanka pulang ke rumahnya.
"Gue langsung pulang ya," Tumben banget Tristan nggak mampir terlebih dahulu. Membuat Jovanka sampai terheran-heran.
"Kenapa nggak mampir dulu?"
"Ada urusan bentar, mau ketemu temen." alasannya.
Jovanka hanya mengangguk, terbesit rasa penasaran sebenarnya.
Tristan mulai menstater motornya dan pergi dari kediaman Jovanka. Jovanka sedikit terburu mengambil motor matiknya. Sungguh, ia sangat penasaran kemana Tristan akan pergi.
Hampir saja Jovanka kehilangan jejak Tristan.
"Tristan ngapain pergi ke pantai siang-siang gini? Katanya mau nemuin temennya, teman yang mana yang dia maksud?" gumam Jovanka, bersembunyi. Memakai tudung hody.
Cukup lama Tristan duduk di atas motornya. Sembari memainkan ponsel yang ada di tangan kanannya.
Hingga beberapa saat kemudian, datang dua cewek tengah berboncengan dengan seorang cowok. Berhenti di samping motor Tristan.
Jovanka terperangah kaget, menatap lamat sosok cewek yang kini terlihat tengah bersalaman dengan Tristan, jangan lupakan senyuman keduanya yang terlihat begitu tulus.
Jovanka mencoba sedikit mendekati mereka bertiga. Ingin mendengar percakapan yang mereka bincangkan.
"Hai, akhirnya kita ketemu juga." ucap cewek yang terlihat memiliki tubuh pendek itu. Pandangannya tak berpaling dari wajah Tristan, ketara sekali jika dia terpesona dengan ketampanan pemuda tersebut.
"Iya." singkat Tristan, namun tak mengurangi kadar senyumannya.
Sosok pria lain yang terlihat lebih dewasa, yang tadinya bersama gadis itu berkata. "Kapan kamu dateng ke rumah? Katanya mau lamar adek aku?"
Jovanka tersentak, dadanya berdetak ribut. Apa-apaan ini, siapa sebenarnya mereka?.
Tristan tersenyum. "Kita baru aja ketemu, Bang. Beri waktu buat kita dulu."
Sosok gadis itu tersipu malu. "Iya Mas, biarin Lea, mengenal Mas Tristan dulu." imbuhnya.
Jovanka merepalkan kedua genggaman tangannya. Jadi gini ya? Tristan nggak pernah berubah. Bahkan dia lebih gila sekarang. Jovanka sakit hati, rasa sakit yang pemuda itu berikan padanya masih terasa. Dan kini dengan seenaknya, pemuda itu sudah berpindah ke lain hati. Sialan! b******k!.
Jovanka masih setia mengintip dan mendengar ucapan percakapan mereka, meski dadanya terasa sesak. Tetapi, ia tak peduli. Yang ia inginkan hanya mendengar perbincangan mereka saja.
"Yaudah, Mas pulang ya Dek." Ijin pria itu kemudian.
"Iya Mas, lagian ada Mas Tristan yang nanti bakal anterin aku." ucapnya dengan tak tahu malu.
Tristan mengangguk.
Selepas kepergian pria tersebut. Tristan kembali berbincang dengan gadis pendek tadi.
"Di sini panas Mas, neduh yuk!" ajaknya.
Tristan menurut, meninggalkan motor ninjanya di bawah perumahan kecil. Dan kini mereka berdua menuju ke arah kursi yang sengaja di sediakan untuk para pemuda yang tengah main di pinggiran pantai tersebut.
Jovanka masih mengikuti kepergian mereka berdua.
Sosok gadis yang bernama Lea itu dengan berani membonceng tangan Tristan.
"Mas, katanya beliin aku baju cople, mana?"
"Ada di rumah, maaf ya ... aku lupa bawain tadi. Keburu-buru soalnya."
Jovanka semakin geram, kenapa Tristan bisa bersikap semanis itu pada Lea?.
"Kamu laper nggak?" tanya Tristan kemudian.
"Em, iya."
"Nyari makan dulu, yuk!" ajak Tristan kemudian.
Jovanka ingin menangis rasanya. Enggak! Jovanka nggak boleh menangis buat cowok b******n macam Tristan. Dia kuat, membalas perlakuan pemuda itu yang harus ia lakukan. Dengan cepat ia mendial nomor salah satu teman cowoknya, menyuruhnya untuk datang. Tristan aja bisa jalan sama cewek lain, kenapa dia enggak?.
Tak lama sosok yang Jovanka tunggu akhirnya datang.
"Roy!" panggilnya, pada sosok pemuda tampan yang baru saja datang dengan menaiki motor ninja yang sama seperti milik Tristan.
Cowok yang bernama Roy itu tersenyum. Udah lama banget dia nggak ketemu Jovanka. Dan sekarang tiba-tiba gadis itu menghubunginya untuk datang.
"Kapan kamu pulang? Nggak jadi kerja ke Jepang? Denger-denger kamu udah di LPK."
Jovanka tersenyum. "Elo tau aja."
"Iyalah, cewek kembang desa seperti kamu pasti beritanya bakal cepet nyebar."
"Dah kek artis ya gue," tawa Jovanka, melupakan sedikit sakit hatinya. Sesekali melirik ke arah Tristan yang lagi asik suap-suapan sama ceweknya.
"Iya, artis tercantik yang buat rebutan cowok sekompleks."
"Gombal lo, ah. Jalan bentar yuk!" ajaknya kemudian.
"Panas loh, nanti kulit kamu kebakar. Aduh, mana cuma makek hot pans. Kasihan kulit putih kamu, Babe."
Jovanka geli mendengar penuturan tuh cowok. Nggak ada rasa aneh sama sekali. Biasanya kalau sama Tristan, pasti hatinya udah jedug-jedug ngajak dugem. Lha ini, lempeng banget.
Jovanka sengaja mengajak Roy untuk mendekati Tristan, pura-pura nggak sengaja aja.
"Jov, kamu itu cantik banget loh." puji pemuda itu. Udah kek mantra, setiap kali bertemu Jovanka pasti tuh cowok selalu bilang gitu.
"Aku tau," tawa Jovanka.
Mereka mendudukkan dirinya di bawah perumahan kecil, berdampingan dengan tempat duduk Tristan.
Jovanka membuka tudung hody yang menutupi wajahnya. Menyugar rambut panjangnya, sedikit membuka resleting body yang ia kenakan. Menampakkan belahan d**a yang terlihat putih di sana. Jovanka cuma makek kaos tengtop tanpa baju. Hanya tertutup hody, dan juga celana pendek bawah p****t. Semakin membuat siapa saja akan tergoda.
Pufttt!!
Tristan reflek menyemburkan minumannya, saat melihat sosok cewek yang ia kenal tengah berada di dekatnya. Bahkan sosok cewek itu juga melihat ke arah Tristan. Namun anehnya dia terkesan acuh, kek nggak kenal gitu.
Tristan geram, saat melihat Jovanka meraih tangan cowok di hadapannya.
"Roy, gue denger, elo mau merantau."
"Iya, satu bulan lagi gue berangkat."
"Seriusan! Elo mau merantau kemana?"
"Korea Selatan, gue lolos ujian kamaren. Udah prelim sekarang. Tinggal nunggu berangkat aja."
Jovanka terkejut. "Gue pengen ikut. Kenapa elo nggak ajak gue?" antusiasnya.
"Elo serius? Aku bisa bantuin kamu belajar. Kita bisa kerja bareng di sana. Seneng banget aku Jov!" seru pemuda itu, membayangkan jika ia bisa kerja bareng ama cewek yang ia cintai.
Berbeda dengan Tristan yang justru meradang. Mengabaikan panggilan dari gadis di hadapannya.
"Tan, kamu ngapain sih liatin tuh cewek? Liat deh dandannya dah kek purel." hina Lea. Biasanya orang seneng nyinyir tuh tandanya iri, nggak bisa seperti orang yang dia nyinyirin.
Tristan udah muak dengan semua yang ia lihat, dengan nggak sabaran ia nyamperin Jovanka.
"Jov!" bentaknya.
Jovanka menoleh dengan santainya.
"Ada apa ya? Elo siapa?"
Sial! Jovanka pura-pura nggak kenal lagi, sama Tristan.
"Elo nggak usah pura-pura begok ya Jov!"
"Ni cowok saiko keknya. Dateng-dateng marah. Kenal juga kagak. Dasar gila! Roy, pulang yuk!"
"Dia kenal kamu Jov, masa kamu nggak kenal Ama dia?" tunjuk Roy, pada sosok pemuda yang terlihat emosi di samping Jovanka.
"Ngefans kali sama gue, makanya sok kenal banget."
Tristan semakin tersulut emosi, merepalkan genggaman tangannya. Ingin memukul pemuda yang bersama Jovanka.
"Elo jangan berani-beraninya deketin cewek gue!"
Bugh!! Bugh!!.
Tanpa aba-aba, pemuda itu memberi bogeman pada wajah Roy. Roy sampai terhuyung jatuh.
Jovanka nggak tinggal diam. Tristan berani main pukul sama Roy, dia juga bisa kayak gitu.
Dengan mengambil langkah lebar, Jovanka menghampiri Lea. Menarik gadis itu untuk mendekat ke arah Tristan.
PLAKK!!! Buggh!!!
Jovanka menampar dan menendang cewek pendek itu.
"Impas kan?" Jovanka tersenyum evil.
"b******k! Beraninya elo nampar gue! Siapa elo, hah?!" teriak Lea, ingin membalas perlakuan Jovanka.
Namun Jovanka yang sudah dilingkupi emosi semakin menjadi. Cewek macam Lea bisa ia lenyapkan dengan mudah jika ia mau.
"Berani elo nyentuh gue. Gue buat mati elo sekarang juga!!!"
Bagai kerasukan iblis, Jovanka berkata. Ia benar-benar marah, marah karena penghianatan yang dilakukan Tristan padanya.
Mana janji dia yang katanya nggak bakal ninggalin Jovanka. Ck, bangke! Semua hanya omong kosong. Nyatanya semua cowok sama aja, sama-sama buaya. Abis masuk lubang keluar nggak permisi. Tebar benih di mana-mana. b*****t! Pen cekik modelan cowok kek gitu.
"Udah Lea! Kamu nggak tau apa-apa. Jangan ikut campur urusan gue!" bentak Tristan.
"Kamu kok malah belain dia sih? Aku cewek kamu loh, dan lihat! Dia nampar aku. Harusnya kamu belaian aku!" tak terima gadis pendek itu.
"Kapan gue nganggep elo sebagai cewek gue, hah?"
"Terus apa artinya hubungan kita selama ini? Kamu udah janji bakal nikahin aku. Bahkan sama mas Pram aja kamu juga udah akrab. Sama ibuk aja juga udah sering telponan. Kamu juga bilang sama ibuk, kalau kamu bakal nikahin aku."
Jovanka mendengarkan dengan seksama. Jadi hubungan mereka udah sejauh itu? Dia kalah deket sama Tristan. Hah! Rasanya ia nggak mau deket-deket lagi sama tuh cowok. Anjir, pen ngumpat. Kenapa tadi dia beriin keperawanan nya sama tuh cowok? Ck, udah terlanjur. Jovanka males idup rasanya. Hidupnya hancur, semua udah hilang. Apa yang ia pertahankan selama ini hilang begitu saja. Cowok yang ia percaya ternyata berkhianat.
Jovanka muak, ia sudah mengetahui semua nya. Sekarang udah nggak ada alasan lagi buat dia berada di sini. Semua udah jelas, Tristan bohong jika dia udah jauhin Lea. Nyatanya sekarang mereka kembali bertemu. Palingan bentar lagi mereka juga bakal nikah. Udahlah, Jovanka lelah.
"Pulang yuk, Roy." lirih Jovanka.
"Jov! Tungguin gue! Dengerin penjelasan gue!" Tristan mengejar Jovanka, menarik lengan gadis tersebut.
Jovanka menatap penuh luka ke arah Tristan, melepaskan cengkraman tangan pemuda tersebut dari tangannya.
"Nggak ada lagi yang perlu elo jelasin. Semua udah jelas, gue aja yang bodoh." ucap Jovanka tanpa emosi sedikitpun. Terlampau lelah dengan semua permainan palsu yang dilakukan Tristan.
"Elo dengerin gue--
"Gue lelah, gue mau istirahat Tan. Elo temenin cewek elo aja. Jangan peduliin gue. Gue nggak apa-apa, serius." Senyuman pedih mengiringi kepergian Jovanka.
"Roy, elo duluan aja ya! Gue masih ada urusan bentar."
Roy ingin menolak, tapi Jovanka yang meminta. Akhirnya ia pulang terlebih dahulu.
Jovanka pergi ke apotek terdekat. Membeli obat kontrasepsi, jangan sampai dirinya mengandung benih pemuda itu.
Setelahnya, Jovanka pulang. Pemikirannya tak lagi bisa berpikir jernih. Ia emosi, mengendarai motornya dengan ugal-ugalan. Melampiaskan kesakitan yang baru saja ia dapatkan.
Tanpa senagaja ada truk dari arah depan yang melaju begitu kencang ke arah Jovanka. Jovanka tak bisa mengimbangi motornya, hingga ia terpaksa banting stir ke samping.
BRAKK!!!
Motor Jovanka terpelanting jauh, begitu juga dengan Jovanka yang terlempar di pinggir jalan pembatas. Terguling-guling beberapa kali. Tubuh kecil itu terhempas begitu kerasnya. Darah segar merembes dari kepala Jovanka, seketika gadis itu kelejotan dengan darah mengalir dari mulut dan hidungnya.
Semua orang panik dan menolong Jovanka. Menghubungi ambulans untuk menolong gadis tersebut.