Pelaku

1552 Kata
Alfa terkesiap, ia tidak menyangka jika Dilan menawarkan untuk mereka berpisah jalur. Memang sejak awal Alfa lah yang meminta untuk ikut dengan Dilan, dan ia kira juga Dilan lebih menyukainya karena dengan begitu ia tidak sendirian. Lalu kenapa sekarang malah seperti ini? “Kenapa?” tanya Alfa bingung. “Bukannya lebih baik? Aku terlalu keras kepala untuk mu, dan kamu sulit menerimanya, aku akan menyusahkanmu. Lebih baik kita berpencar saja, kita cari sendiri-sendiri maksud kode milik Linda, nanti kalau sudah ketemu, kita bisa komunikasi lagi untuk kelanjutannya.” Dilan tidak bermaksud terlalu perasa, ia hanya sedang sadar diri. Kalau Alfa merasa terganggu, akan makin menyulitkan mereka sendiri, dan mereka akan semakin lama menemukan arti kode-kode milik Linda. Lagipula, tujuan lain Dilan ingin memisahkan diri dengan Alfa karena ia ingin tahu apa yang terjadi dengan Petra. Dilan terlanjur penasaran dengan apa yang Alfa bilang soal Petra beberapa waktu lalu. Sejak kematian-kematian terus menimpa teman-temannya, Dilan tidak bisa menganggap remeh apapun yang terjadi di sekolah ini. Lebih baik ia bergegas sebelum hal buruk kembali terjadi. “Kamu merasa terganggu denganku?” tuduh Alfa tiba-tiba. “Apa? Tidak, tentu saja tidak, aku malah senang kalau kamu mau menemaniku, tapi kita nggak bisa begini terus Al, kita harus bergegas sebelum semuanya semakin memburuk.” “Kau yakin?” Dilan mengangguk mantap. “Nanti kalau aku tahu sesuatu, kamu akan jadi orang pertama yang aku cari, tenang saja.” “Baiklah kalau begitu.” Meski ragu, Alfa akhirnya menyetujui ide Dilan untuk memisah jalan. Sebenarnya mereka hanya berada pada sebuah bangunan sekolah, tapi mereka seolah berada pada hutan luas nan gelap. Ide memisahkan diri ini juga Alfa kira karena Dilan ingin mencari Kiyan. Alfa menyobek selembar kertas di note book nya dan menyerahkan kode-kode yang telah ia tulis di sana, ia juga menempelkan sebuah kertas dengan tanda silang di dinding dekat mereka berdiri saat ini. “Nanti kalau sudah menemukan sesuatu, kamu kembali kesini saja, ponsel kita sama-sama mati, jadi kita akan bertemu disini.” Dilan mengangguk mengerti. “Kalau begitu, aku ke arah sana, ya. Jaga diri, Al.” “Kamu juga.” Dilan berlari pergi sesuai petunjuk yang Alfa katakana tadi. Alfa bilang Petra lari dengan panik ke arah sini, dan mengesampingkan soal kode-kode itu, Dilan harus tahu dulu apa sebenarnya yang terjadi dengan Petra. Penerangan memang temaram sejak awal mereka kesini, dan karena ponsel mereka juga mati, Dilan harus ekstra hati-hati saat berjalan di lorong-lorong ujung dekat gudang atau toilet karena daerah itu jauh lebih gelap lagi daripada lorong-lorong kelas. Beruntung, saat kemari Dilan menggunakan sepatu olahraga yang itu berarti tidak terlalu menimbulkan bunyi seperti sepatu pantofel nya, hanya suara decitan ringan karena bagian bawah sepatu yang terbuat dari karet. Dilan memeriksa dengan seksama keadaan sekitarnya, juga mendongak ke atas barangkali menemukan hal aneh seperti Linda—tapi semoga saja tidak. Terakhir kali ia dan Alfa menemukan Linda, mereka melihat Linda tergantung di balkon lantai tiga, dan Dilan sekarang turun untuk menuju lantai dua. Ngomong-ngomong, Dilan sama sekali belum kembali ke lantai satu sejak kematian Alin, Sari, dan Linda. Akibat pikirannya yang entah terpengaruh oleh apa hingga ia hanya berjalan pada lorong yang sama. Beruntung, akhirnya ia sadar kalau ia hanya terjebak pada jalur yang sama, meski harus dengan bantuan Alfa dan sedikit ujaran sinis darinya. Sekarang Dilan sedang memfokuskan dirinya hanya pada apa yang dialami oleh Petra. Ia harus tahu apa sebenarnya yang dialami olehnya, dengan begitu ia juga bisa tenang untuk mencari makna dari kode-kode yang ditinggalkan oleh Linda. Rasa penasaran Dilan semakin dalam ketika ia menemukan sebuah kelas hampir di ujung lorong dengan penerangan yang lebih terang daripada kelas-kelas yang lain. Ini tampak aneh saja mengingat semua kelas begitu temaram dan bahkan kelas-kelas ujung yang dekat toilet atau gudang selalu lebih gulita di bandingkan kelas-kelas yang lain. Dengan langkah pelan, Dilan berusaha mengintip ruangan itu. Jantung Dilan rasanya mau copot saja hanya karena ingin tahu apa yang ada di dalam ruangan itu. Andai keadaan sedang tidak dalam kekacauan seperti ini, hal sekelas penerangan yang berbeda bukan masalah besar. Dengan harapan semoga tidak ada hal aneh di dalam sana, Dilan melongok lewat jendela. “Ha—ah?” Andai Dilan bisa lari saat ini juga, ia pasti sudah berlari dengan kecepatan penuh, sayangnya kekuatan kakinya seolah sirna, membuatnya membeku pada tempat yang sama dengan tubuh bergetar hebat. Dilan tidak ingin menjelaskan apa yang terjadi di dalam sana, yang pasti apa yang ada di dalam sana bukan sesuatu yang pantas untuk dilihat, dan sosok itu, orang yang sedang di cari Dilan karena rasa penasarannya ada di sana. Petra. Pria itu tergeletak di atas meja bangku sekolah dengan keadaan tak kalah mengerikan dari kematian Sari dan Linda. Pakaiannya sudah koyak nyaris semuanya, dan seluruh tubuhnya di penuhi luka sayatan dalam yang mengalirkan darah. Dilan hanya mampu menatap nanar dari balik jendela. Dilan tahu ada dua orang lain di dalam sana, mereka memegang sebuah belati dan di sayatkan pada tubuh Petra perlahan-lahan. Mulut Petra disumpal dengan sebuah kain serta kedua tangan dan kakinya terikat kuat dengan tambang. Ini mengerikan, Dilan tidak tahan melihatnya namun ia juga tidak mampu menolong Petra. Hanya untuk menggerakkan tubuhnya sendiri saja rasanya sulit, lantas bagaimana caranya ia menolong Petra? Dan Dilan berdoa dalam hati semoga sosok yang tengah melakukan hal keji kepada Petra tidak berbalik dan melihatnya sebelum ia sempat kabur dari sana. ‘Aku harus pergi…’ batin Dilan panik. Ia sudah sejak tadi membatin kalimat itu, sayangnya tubuhnya berkhianat hingga ia hanya bisa mematung dengan tubuh bergetar hebat. Dengan sisa tenaga yang ada, Dilan bersusah payah untuk menggerakkan tubuhnya sendiri, ia tidak berlari, hanya berjalan dengan sepelan mungkin agar siapapun orang keji yang sedang melukai Petra tidak mendengar apalagi sampai melihatnya. Dalam hati Dilan terus-terusan merapalkan doa untuk keselamatannya dan keselamatan teman-temannya, terutama Petra. Dilan mampu bertahan dengan kembali naik ke lantai tiga. Ia tidak berani ketempat dimana mayat Linda dibiarkan tergeletak karena jujur Linda begitu menyeramkan dengan kondisi nya. Teman-temannya yang lain pasti akan berjengit jijik dan ketakutan melihat Linda, apalagi teman-teman perempuannya. Dilan menekuk lutut, dan ia menenggelamkan wajah diantaranya. Jantungnya masih berdegup cepat dan rasanya Dilan semakin lemas saja. Dilan berdoa dalam hati supaya siapa saja yang menemukan Petra, semoga temannya itu baik-baik saja, atau setidaknya masih mampu diselamatkan. Dilan merasa begitu bersalah karena tidak mampu menolong Petra. Kondisi tubuhnya sendiri sudah tidak memungkinkan untuk berjalan, apalagi menghadapai pembunuh keji itu. Yang menjadi pertanyaan saat ini, siapa sebenarnya orang dibalik penyiksaan Petra? Kembali, rasa penasaran itu menggerogoti hatinya, membuat Dilan seolah lupa diri dan ingin kembali ke tempat itu hanya untuk tahu siapa dia. Tidak mudah menjadi diri Dilan, keinginannya untuk selalu ada ketika orang lain membutuhkan kadang-kadang malah merugikannya sendiri. Padahal Dilan tidak berniat mencari muka di depan orang lain, semua ini murni timbul secara reflek dari dasar hatinya sendiri. “Aargh…” Dilan mengacak-acak rambutnya yang kusut hingga semakin kusut. Dilan bangkit dari duduknya dengan was-was, ia harus segera mencari yang lain. Siapa saja asalkan ia tidak sendirian, dia harus mengabarkan soal keadaan Petra kepada yang lain, persetan dengan respon mereka, atau tuduhan yang akan ia terima lagi dan lagi. Pokoknya kali ini, Dilan harus bertemu dengan temannya yang lain. Kalau boleh bilang, Dilan sebenarnya ingin sekali memarahi Alfa yang sudah memaksanya datang dalam keadaan lelah dan malah berakhir seperti ini. Andai saja ia tidak menyanggupi ajakan Alfa, ia pasti tidak akan terjebak dalam tempat dan suasana yang aneh seperti ini. Tapi kembali lagi, hati Dilan tak sebegitu tega untuk menghardik seseorang, apalagi orang itu adalah Alfa. Dilan menghela napas berat, ia berjalan dengan menyeret kakinya sendiri. Berusaha sekuat tenaga untuk keluar dari situasi sulit seperti ini jauh lebih rumit daripada situasi sulitnya sebagai seorang dosen. Satu kelasnya terdiri dari empat puluh orang, dan lingkungan sekolah yang tak ada apa-apanya dibanding universitas tempatnya mengajar seolah terasa lebih besar. Mereka semua menghilang entah kemana, kematian terus datang disaat Dilan mencoba mencari tahu, dank ode yang ditinggalkan Linda sama sekali belum diketahui maknanya. Rasanya kepala Dilan mau pecah saja memikirkan semua itu. ‘Siapapun, tolong…’  batin Dilan pasrah. Ia hanya menyeret-nyeret tubuhnya yang sudah tak bertenaga hanya untuk mencari teman-temannya yang lain, siapapun asalkan ia bisa memberitahu mereka soal keadaan Petra di ruangan itu. Siapapun pelaku nya, Dilan mengutuk habis-habisan apa yang dilakukan olehnya. Meski rasa penasaran akan seseorang dibalik jubah hitam yang menyayat-nyayat tubuh Petra, tapi akal sehat Dilan tetap menuntunnya untuk mencari bantuan terlebih dahulu daripada mengambil resiko dirinya juga bernasib seperti Petra. Setelah ini, Dilan yakin teman-temannya akan kembali menyalahkannya atas apa yang sama sekali tidak ia lakukan. Mungkin menyakitkan, dan menyebalkan disaat bersamaan, tapi Dilan tidak masalah dengan itu. Penyesalan akan muncul pada diri Dilan karena memilih kabur dan tidak segera menolong Petra, tapi pada dasarnya manusia memang egois, meski Dilan memiliki sifat penolong yang kuat, ia masih lebih sayang dengan dirinya sendiri—kadang kala, seperti saat ini. Keinginannya untuk memecahkan maksud dari kode-kode yang ditinggalkan oleh Linda, juga kalimat Alfa yang terus tengiang-ngiang dikepalanya soal menyelamatkan yang hidup lebih penting daripada mengurusi mereka yang sekarat. Terdengar kejam, tapi jika kalian ada di posisi ini, kalian pasti berpikir lebih kejam lagi. Dilan belum tahu siapa pelakunya, dan apakah memang sosok itu yang telah dengan tega membunuh teman-temannya sebelumnya, lalu bagaimana dengan mereka yang mengalami kematian dengan rasa tercekik hebat sampai mati? Dilan masih bingung. Siapa pelaku yang sebenar-benarnya?   ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN