Usaha

1606 Kata
Sudah berapa banyak teman-teman Dilan yang mati? Irene, Rian, Alin, Sari, Linda, lalu Petra? Meski Dilan masih berharap kalau Petra mampu hidup, nyatanya setengah hatinya berkata lain. Mana mungkin ada manusia yang bertahan hidup dengan luka-luka sayatan dalam seperti itu? Kalaupun mampu bertahan, Dilan yakin tidak akan lama karena tidak mendapat pertolongan medis apapun. Dilan sudah melewati bertahun-tahun hidup sendiri, dan tingkat kewaspadaan miliknya nyaris selalu siaga. Rasa percaya pun nyatanya hampir tidak ada sama sekali kepada orang lain. Meski Dilan sekarang terus mengatakan pada dirinya kalau ia masih bukan apa-apa, tapi mampu menjadi dosen butuh perjuangan yang keras dan melelahkan, dan disana lah Dilan mengalami segala hal yang menipiskan rasa percayanya kepada orang lain. Sekarang, disaat berat seperti ini, Dilan benar-benar merasa curiga dengan seluruh teman-temannya, siapapun, bahkan Alfa. Sungguh, ini semua murni karena Dilan hanya merasa waspada, apalagi setelah ia melihat Petra dan orang misterius yang menyiksanya dengan keji. Dilan yakin sekali tidak ada orang lain selain anggota kelasnya yang masuk kesini. Bahkan di depan sebelum mereka masuk ke gedung sekolah, satpam pun tidak ada. Kecurigaan Dilan semakin menguat saat ia kembali mengingat soal undangan yang tiba-tiba tergeletak di depan pintu apartemennya. Mana mungkin seorang satpam yang bahkan Dilan saja tidak tahu namanya bisa mengirimkan undangan dengan nama lengkapnya. Pasti tersangka itu ada diantara mereka, diantara teman-temannya. Dilan mengusap wajahnya. Entah seperti apa penampakannya sekarang ini, yang pasti Dilan sudah sangat berantakan. Kemejanya terasa begitu lengket karena keringat. Bayangkan saja, meski mala mini begitu dingin tapi Dilan berulang kali lari bolak-balik dari tiap lantai. Sekolah Dilan bukan sekolah orang-orang kaya yang memiliki lift, mereka hanya menyediakan tangga yang tentu saja butuh tenaga untuk memakainya. Dilan mengesampingkan kondisi tubuhnya sendiri dan lebih memilih segera mencari teman-temannya yang lain. Lelah, tentu saja. Hanya berada dalam satu bangunan saja Dilan tidak menemukan teman-temannya. Sampai saat ini pun Dilan masih dilanda kebingungan kenapa selalu dia yang melihat kematian orang lain—sebagian tidak sih, tapi Dilan selalu ada di lokasi kejadian. Apa karena rasa ingin tahu nya yang besar? Lalu apakah sikap itu sebuah kesalahan, dan apa yang Dilan lakukan semuanya adalah kesalahan? “Aaaaargh!!” geram Dilan kesal. Ia memutuskan kembali berjalan, meski tubuhnya terasa ingin tumbang saja. Sial memang. Dilan harus menemukan seseorang, siapapun itu.   *   Sosok dengan jubah hitam itu tersenyum puas. Ia menatap tubuh tak berdaya yang tergeletak di atas meja dengan keadaan yang begitu buruk. Petra. Beberapa bercak darah ikut menempel di jubah sosok itu, namun tak begitu ketara karena ia memakai jubah berwarna hitam. Kedua matanya menatap bangga dengan hasil karya miliknya, dan orang malang yang telah disiksa olehnya dengan begitu keji sudah tak mampu lagi bergerak. Sosok keji itu yakin, tak akan lama lagi dia akan mati. Ia berbalik, setelah sebelumnya meninggalkan belati dan melepas sarung tangan yang digunakannya. “Tung…gu.” Suara serak itu menghentikan langkah si jubah hitam. Ia begitu terkejut manusia yang sudah ia lukai dengan begitu brutal masih sanggup berbicara pada kondisi seperti itu. “Kenapa kau masih hidup?” desisnya kesal. “Si..apa, kau se…be…narnya?” tanya Petra serak. Ia bersusah payah mengatakannya. Seseorang yang menyiksanya memakai masker hitam, dan Petra hanya mampu melihat matanya saja. Si jubah hitam tertawa sinis. “Tidak ada gunanya kau tahu siapa aku, sebentar lagi kau akan mati.” Petra tak mampu bicara lagi. Napasnya sudah tak beraturan, dalam hati ia berharap seseorang akan menemukan sosok ini sebelum kematian lainnya datang. Seluruh tubuh Petra rasanya sakit sekali. Sayatan-sayatan yang di buat oleh nya cukup dalam, dan dari kesemua sayatan itu terus mengucurkan darah. Petra sudah tidak berharap untuk hidup lagi karena memang tidak akan mungkin, ia hanya berharap sisa temannya bisa bertahan hidup dan keluar dari sekolah ini. Sosok berjubah hitam itu memungut belatinya dengan dilapisi sarung tangan. “Aku akan menghentikan rasa sakitmu.” Ujarnya sadis kemudian menusukkan belati itu tepat di jantung Petra. Si jubah hitam tersenyum puas, ia melempar belati dan sarung tangan itu sembarangan, lalu melangkah pergi meninggalkan mayat Petra disana. Saatnya kembali ke kerumunan.   *   Dilan nyaris memukul kepala Andrea kalau saja ia tidak ingat tujuannya menemui teman-temannya. Dari sekian banyak teman-teman sekelasnya, kenapa ia harus berpapasan dengan pria itu. Andrea dan mulutnya adalah perpaduan yang kurang bagus. Mulut Andrea itu seolah tidak memiliki filter, asal ngomong, dan sama sekali tidak memikirkan perasaan lawan bicaranya. Okelah kalau itu Dilan, tapi bagaimana jika Andrea sedang berbicara dengan orang lain? Apa tetap seperti ini. Oh, lupakan. “Jadi, lo mau bunuh gue?” tanya Andrea datar, kedua matanya memicing tajam dengan lengan bersidekap, dan pandangan remeh yang selalu ia tunjukkan pada Dilan. Aneh, rasanya sejak masa sekolah Dilan tidak pernah cari gara-gara padanya. Kenapa dia begitu sensitif dengan Dilan? “Bisakah kamu menghentikan kecurigaan kamu itu?” seru Dilan kesal. “Gimana gue nggak curiga setelah semua kejadian yang ada?” Dilan mendecih. “Kamu nggak tahu apa-apa, Andrea. Kamu nggak bisa langsung menuduh orang lain tanpa bukti!” “Oh ya? Kematian Rian belum cukup untuk bukti? Apa perlu gue mati juga supaya kelakuan keji lo terungkap?” selorohnya. Dilan membuang napas berat. “Andrea, kenapa kamu seperti ini sama aku? Apa aku ada kesalahan yang tak termaafkan di masa lalu?” Andrea terkekeh. “Suasana lagi nggak mendukung untuk bahas masa lalu, Lan. Jangan ngalihin pembicaraan deh.” “Lalu kenapa kamu selalu menuduhku? Aku nggak sendirian disana, An. Ada Kiyan juga, dan kamu sama sekali nggak menuduh dia atau curiga sama Kiyan. Kenapa?” Andrea mengangkat bahu. “Kiyan kelihatan baik-baik daripada lo.” Jawabnya asal. “Jadi kamu menuduhku hanya karena itu? Tidak ada alasan yang lebih spesifik? Kamu jahat, Andrea.” Seru Dilan kesal. Andrea mengerutkan keningnya. Ia mendekat kearah Dilan dan menarik kerah kemeja Dilan, membuat dosen itu harus mendongak paksa dengan kaki berjinjit. Disaat seperti ini, Dilan mengutuk tinggi badannya. “Heh! Dilan! Jangan sembarangan ngatain gue jahat, ya! Kalau gue jahat, lo yang pembunuh itu apa? Biadab?” Dilan tidak tahu lagi harus bagaimana menghadapai kelakuan Andrea yang selalu seperti ini. Sejak sekolah Dilan memang tidak terlalu dekat dengan Andrea, dan Dilan juga tidak cukup tahu bagaimana sikap dan sifat aslinya, Dilan hanya tahu kalau Andrea itu keras dan lumayan egois. “Sudah ku katakan, aku bukan pembunuh.” Seru Dilan. Lehernya terasa sakit karena Andrea mencengkram kerah bajunya dengan erat, membuatnya tercekik. “Bohong!” Dilan meronta-ronta, berusaha lepas dari cengkraman Andrea. Kenapa Andrea bisa sekeras ini, ia bahkan sama sekali tidak punya bukti kalau Dilan pembunuh, dan memang Dilan bukan pembunuhnya. “Aku harus membuktikan dengan cara apa supaya kamu percaya?” tanya Dilan. Andrea melepaskan cengkramannya dengan melempar Dilan. Sementara itu Dilan yang jatuh terduduk terbatuk-batuk seraya memegangi lehernya yang sakit. Sial. “Kamu pembunuh!” seru Andrea keras. Dilan sudah tidak berminat lagi meladeninya, rasanya percuma saja member penjelasan kepada Andrea sementara pria itu tidak mau mendengar apapun dan begitu percaya dengan pemikirannya sendiri. “Terserah kamu, aku mencari teman-teman yang lain karena aku mau memberi tahu sesuatu, tapi aku malah bertemu kamu. Aku ingin kamu tahu informasi yang ku dapatkan, tapi sepertinya padangan mu sudah begitu buruk padaku, jadi percuma saja.” Dilan berdiri, hendak berbalik pergi namun sebuah tangan yang lebih besar darinya menahan. “Apa lagi?” tanya Dilan ketus. “Katakan, ada informasi apa? Apa yang lo dapat?” Dilan berbalik, ia melepaskan tangan Andrea yang memegangi pergelangannya. “Kamu harus berjanji untuk berhenti mencurigai ku.” “Apa?” “Terserah kalau kamu nggak mau, aku masih bisa mencari teman-teman yang lain. Aku yakin mereka bisa bersikap lebih baik dari kamu.” Ujar Dilan tegas. Andrea tampak begitu ragu hanya untuk berhenti menuduh Dilan dan itu cukup menyakiti hati Dilan. Dicurigai sampai seperti ini padahal hanya kebetulan ia ada di tempat yang sama dengan korban. Andrea mengusap wajahnya. “Ck, ya udah deh. Iya.” Dilan sedikit lega karena setidaknya Andrea mau mendengarkannya. Pria itu selalu diliputi emosi sejak kematian Rian, terkhusus kepadanya. Dilan merogoh saku kemeja miliknya dan mengambil secarik kertas kusut dengan tulisan kode-kode yang ia dapatkan bersama Alfa. “Ini.” Dilan menyerahkan kertas kusut itu kepada Andrea. Andrea mengerutkan keningnya bingung. “Ini apa?” tanyanya seraya membuka lipatan kertas kecil itu. “Aku mendapatkan kode-kode itu bersama Alfa. Linda mati dengan tergant—Argh!” Dilan belum selesai berbicara ketika Andrea tiba-tiba menarik kerah kemejanya, membuatnya memekik kaget dan kesakitan untuk yang kedua kalinya. “Lo bunuh Linda!” desis Andrea, kedua bola mata kelam itu berkilat tajam. “Ka..mu sudah berjanji untuk mendengarkan aku, akh… lepas…kan.” Andrea dengan terpaksa melepaskan cengkramannya, kilatan tajam di kedua bola matanya sama sekali tidak hilang meski melihat Dilan yang duduk tak berdaya karena dorongannya. Dilan kembali terbatuk-batuk sembari memegangi lehernya. “Kenapa Linda mati?” tanya Andrea marah. Dilan menatap sengit wajah Andrea. Ia tidak bisa seperti ini terus-terusan, jika memang Andrea sudah tidak memiliki rasa percaya sama sekali untuknya, tidak ada gunanya lagi. “Cukup, kita nggak akan bisa kerja sama untuk mencari jalan keluar. Kamu terlalu sensitif dengan semua hal yang aku katakan. Sudahlah, aku pergi saja.” Kata Dilan akhirnya, ia merebut kertas kecil itu dari Andrea dan memasukkan ke saku kemejanya. “Tunggu! Dilan, lo harus jelasin ke gue!” “Percuma, kamu akan kembali emosi saat aku menceritakan sebuah kematia dan kembali menuduh aku pelakunya. Lalu, apa gunanya?” Andrea mendecih. “Okay, okay, gue akan menahan diri dan berusaha percaya sama lo. Tapi ingat, kalau sampai lo terbukti melakukan semuanya, gue yang akan membunuh lo dengan tangan gue sendiri.” Dilan tersenyum tipis. “Baiklah, sekarang aku akan menceritakan soal kode itu.”   ***          
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN