Mencari Arti

1618 Kata
Alfa tampak lebih serius setelah mencatat angka yang di tuliskan oleh Linda dengan darahnya beberapa waktu lalu. Sebelum mereka berdua memutuskan untuk pergi, Alfa langsung merusak coretan Linda dengan sepatunya hingga tak terbaca. Kalau dugaannya benar, maka ada seseorang diantara mereka yang Linda ketahui sebagai orang yang berbahaya. Ini masih sebatas dugaan saja, dan hanya Dilan yang tahu soal ini. Namun, sepertinya Dilan masih begitu sensitif jika menyangkut soal kecurigaan diantara mereka. Yah, Alfa bisa maklum soal itu, menjadi tertuduh saat tidak melakukan apapun sama sekali pasti membuat mental tertekan. Selain mencari jalan keluar, sepertinya mereka juga perlu tahu siapa sebenarnya orang berbahaya itu. “Lan, menurutmu angka yang ditulis Linda berhubungan dengan apa? Benda atau tempat misalnya? Atau malah nomor telepon seseorang?” “Hm, ku kira tidak mungkin kalau nomor telepon. Format angka yang Linda tulis tidak seperti format nomor telepon. Kalau aku benar, mungkin format angka itu seperti pada bagian terbesar, lalu lanjut ke bagian yang lebih kecil dan lebih kecil, sesuai angka nya. Selain itu, ada titik yang memisahkan ketiga angka nya ‘kan? Kau paham maksud ku?” Alfa membenarkan pemikiran Dilan. Kalau soal seperti ini, Dilan memang cerdas. “Sepertinya kau benar.” Dilan mengangkat bahu. “Belum tentu juga, kita nggak tahu mana yang benar. Terlalu banyak kemungkinan saat ini.” “Itu masih lebih baik daripada kita nggak menemukan satu ide sama sekali soal angka ini. Berdoa saja, semoga keberuntungan ada di pihak kita.” Dilan mengangguk, mereka kembali berjalan dengan tujuan yang belum pasti. Di awal, Dilan mengajak Alfa untuk membantunya mencari Kiyan, hanya gadis itu satu-satunya harapan Dilan supaya teman-temannya yang lain percaya bahwa bukan ia pembunuhnya. Tapi sekarang, tujuan itu seolah menguap entah kemana, Dilan jadi lebih tertarik untuk menguak makna dari angka-angka yang dituliskan oleh Linda. Pasti ada rahasia yang besar dibaliknya, dan Dilan begitu penasaran rahasia apa itu. “Alfa?” seru Dilan tiba-tiba. Alfa yang sejak tadi hanya berjalan dengan pikiran melayang memikirkan angka-angka itu reflek berhenti, dan mendapati Dilan yang menatap sekelilingnya dengan kedua bola mata memancarkan aura ketakutan. Alfa mengikuti arah pandang Dilan, seperti yang sudah terjadi sebelumnya, Dilan melihat Linda tergantung dengan banyak luka sayatan di tubuhnya, siapa tahu… “Sudah berapa kali kita melewati lorong ini?” tanya Dilan. Alfa mengamati sekelilingnya. Benar juga, tempat ini adalah tempat mereka berdebat sebelumnya soal Dilan yang hanya berputar-putar dan kembali memeriksa ruangan kelas yang sama. Tapi, kenapa Dilan baru menyadarinya sekarang? “Tujuh? Delapan? Entahlah, kita sudah lewat sini berulang kali. Apalagi saat kamu masih fokus mencari Kiyan tadi. Kita hanya berjalan di sini.” jawab Alfa tenang. Ah, tidak. Sebenarnya Alfa juga tidak merasa setenang itu, hanya saja tidak seperti Dilan, Alfa cukup lihai mengendalikan emosinya hingga bisa tampak tenang di situasi panik semacam ini. “Kamu…serius?” Alfa mengangguk. Dilan berjongkok dan mengacak rambutnya brutal membuat Alfa kaget sampai reflek langsung menghampirinya. “Dilan! Dilan! Kamu kenapa oi?” tanya Alfa bingung. “Aku ini sebenarnya kenapa?” tanya Dilan parau. Alfa bahkan melihat ada setitik air mata di sudut mata Dilan. Oh, astaga… Dilan memang orang yang ekspresif. “Tenanglah, kamu cuma sedang kebingungan makanya nggak sadar kalau kita sejak tadi Cuma muter-muter di tempat yang sama.” Hibur Alfa. “Tapi kamu sadar, Al. Kenapa aku nggak?” Alfa menghela napas. “Kamu hanya terlalu berambisi untuk nyari Kiyan, kita ada di bangunan yang sama, Lan. Nggak seharusnya kamu ngeyel sampai mengabaikan nasihat orang lain, mungkin karena itu kamu tersesat.” Jelas Alfa akhirnya. Alfa terbiasa menahan diri untuk tidak mengatakan kalimat-kalimat yang beresiko menyinggung orang lain, namun kali ini ia kira tidak apa-apa karena itu Dilan. Alfa harap dengan begini Dilan bisa lebih mengerti dengan posisinya. Dilan semakin menunduk, ia membenamkan wajahnya diantara lutut dan mengutuk betapa bodohnya ia. Mungkin sejak awal Dilan memang begitu bodoh sampai menyusahkan teman-temannya, lebih dari itu, mungkin memang benar secara tak langsung Dilan menyebabkan kejadian buruk ini menimpa teman-temannya. Memikirkannya saja membuat kepala Dilan mau meledak. “Dilan, kamu baik-baik saja?” tanya Alfa khawatir. Sejak ia mengeluarkan uneg-uneg nya barusan Dilan jadi tampak semakin tertekan. “Dilan, aku tidak serius menyalahkan mu, okay, kamu baik-baik saja ‘kan?” Alfa semakin panik mengetahui Dilan masih diam dalam posisinya. Bagaimana jika kalimatnya bukannya menyadarkan Dilan dan malah membuat pria itu semakin depresi, ini malah akan menyulitkan mereka sendiri. Dilan mengangkat wajahnya dibarengi dengan helaan napas panjang. Rambut dosen berumur dua puluh tujuh tahun itu semakin kusut saja. Ia tersenyum lemah kearah Alfa, mengisyaratkan kepadanya bahwa ia baik-baik saja (meski sebenarnya tidak). “Sudahlah, mending kita mencari tahu saja apa makna di balik angka-angka yang ditulis sama Linda.” Ujar Dilan akhirnya. Diam-diam Alfa menghela napas lega, sempat terbersit dalam pikirannya kalau Dilan akan tersinggung dan marah, itu bahkan masih lebih baik daripada Dilan merasa semakin tertekan mentalnya. “Okay.”   *   Rasanya sungguh berbeda ketika Alfa harus mencari tahu apa sebenarnya makna dibalik angka-angka yang di tuliskan Linda dengan darahnya. Malam semakin larut, dan rasa kantuk juga mulai menyerang masing-masing dari mereka. Setelah perncarian yang rasanya lama sekali, akhirnya Dilan dan Alfa berhasil menemukan teman-teman mereka yang lain. Hanya satu orang dan sayangnya bukan Kiyan. Dilan menolak dengan keras jika mereka bertemu bertiga, maka dengan sigap Dilan langsung pergi berlawanan arah sebelum hal yang buruk kembali menyerang temannya itu, bisa jadi juga menyerang ia atau Alfa sendiri. Alfa menyuruh Dilan untuk menunggu sementara ia menanyai salah satu teman yang ia temui. Barangkali ia tahu apa kiranya yang berhubungan dekat dengan Linda. Sayang sekali, teman dekat Linda sudah mati duluan dengan keadaan tak jau mengenaskan seperti Linda sendiri. Alin tentunya lebih tahu apa yang berkaitan dekat dengan Linda. “Alfa, kamu sendirian sejak tadi?” Petra—sosok yang Alfa temui itu memandangi sekeliling Alfa. “Iya, ngomong-ngomong yang lain kemana? Kamu juga sendirian?” Petra terlihat seperti orang ketakutan dari raut wajahnya. Ia terus-terusan menoleh kebelakang seolah memeriksa apakah ada yang mengikutinya atau tidak. “Kamu kenapa sih?” tanya Alfa bingung. “Ada yang mengejarku.” Ujar Petra cepat, ia kembali memeriksa kebelakang dan terus seperti itu. “Siapa?” “Aku nggak tahu! Ada seseorang—mungkin, aku akan mati Al, aku takut.” Keluhnya. “Kenapa kamu bicara begitu, tenanglah.” Petra mengusap wajahnya kasar. Napasnya tak beraturan dan ia seolah ingin sekali lari dari tempatnya. “Aku harus pergi, Al. Aku harus berusaha menyelamatkan diriku.” Ujarnya cepat dan hendak berlari pergi. “Tunggu… tunggu.” “Apa lagi?” tanya Petra gusar. “Aku mau tanya sebentar. Kamu tahu kebiasaan atau barang apa yang sangat dekat dengan Linda?” “Ck, mana aku tahu, aku bukan teman dekat Linda, kalau kamu mau tanya-tanya soal Linda sana tanya sama anaknya sendiri, atau tanya sama Alin. Udah, aku mau pergi.” Alfa cuma bisa memandangi kepergian Petra dalam diam. Ia sebenarnya juga bingung dengan kelakukan salah satu teman laki-lakinya itu. Berusaha mengesampingkan soal Petra, buru-buru Alfa menemui Dilan yang menunggunya di balik pintu salah satu kelas tak jauh dari tempat Alfa dan Petra bicara tadi. Saat Alfa membuka pintunya, Dilan tengah duduk sembari memeluk lututnya sendiri. “Dilan?” “Oh, Al, gimana? Kamu udah menemukan informasi?” Alfa menggeleng, ia membantu Dilan berdiri dan mengajaknya keluar dari kelas itu. Alfa selalu merasa tidak nyaman berada dalam ruang kelas pada malam hari. “Akan sangat sulit untuk mencari informasi soal Linda, orang yang paling dekat dengan Linda adalah Alin, dan seperti yang kamu bilang ‘kan, Alin sudah meninggal.” Dilan menghela napas. “Bagaimana ya… oh ya barusan kamu bertemu sama siapa?” “Petra. Ah, Pertra bertingkah aneh barusan.” Dilan mengerutkan keningnya. “Aneh bagaimana?” “Dia terburu-buru, seperti sedang dikejar-kejar sesuatu. Dia bahkan bilang kalau dia harus menyelamatkan diri atau dia akan mati. Aku jadi penasaran sebenarnya apa yang ia alami sebelum bertemu dengan ku tadi.” Pembahasan soal mati di depan Dilan bagaikan hal tabu yang tak patut untuk diperbincangkan. Lihat saja reaksi yang dikeluarkan oleh Dilan setelah mendengar soal Petra melalui Alfa. Kedua bola mata yang baru saja bisa kembali bersinar cerah itu langsung diselimuti ketakutan hebat, bahkan Alfa melihat kedua tangan Dilan mengepal kuat-kuat seolah sedang menahan sesuatu. “Kamu baik-baik saja, Lan?” tanya Alfa memastikan, meski sekali lihat saja sudah kelihatan kalau Dilan tidak baik-baik saja. Dilan mengangguk lemah, tanpa kata, dan ia terus menghindari adu tatap dengan Alfa. “Kamu nggak perlu mikir soal Petra, mungkin dia hanya berhalusinasi sama sepertimu. Sekarang lebih baik kita fokus saja pada kode-kode yang di tinggalkan oleh Linda. Kita harus keluar dari sekolah ini, atau setidakinya kamu.” Dilan mengangguk paham meski setengah hatinya masih memikirkan soal Petra dan apa yang ia alami sebelum bertemu dengan Alfa. Kalau memang benar hanya halusinasi saja, harusnya ia merasa setidaknya seperti Dilan, dan sadar ketika bertemu orang lain. “Bagaimana kalau Petra benar-benar di kejar-kejar sesuatu?” tanya Dilan lirih. Alfa berhenti dan menatap tajam Dilan. Dilan sempat terkejut dengan aura dari kedua bola mata Alfa yang lain dari biasanya. “M—maksudku, yah… kau tahu ‘kan, selalu terjadi hal aneh disini, aku hanya—“ buru-buru Dilan meralat pertanyaannya, karena jujur dalam hatinya ada rasa takut melihat sorot mata tajam itu. “Kamu masih mau keras kepala lagi?” tanya Alfa dingin. Kalau boleh jujur, Dilan merasa tertohok ketika Alfa mengatakannya. Ini bukan kemauan Dilan kalau ia selalu memikirkan orang lain melebihi dirinya sendiri. Ini murni dari dalam hatinya. Apa mungkin Alfa sudah bosan dengan tingkah polahnya sampai mengatakan hal itu? “Kalau kamu memang merasa terganggu sama aku, kita jalan masing-masing saja gimana?” tanya Dilan akhirnya. Ia tersenyum, meski senyum itu sarat akan persaan terluka.   ***    
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN