Devian menggenggam tangan Syahquita lembut, "Hii, apa kabarmu? Aku sangat merindukanmu."
Devian mencium tangan wanita itu pelan, "Apa kau tak ingin membuka matamu? Apa kau masih marah padaku? Apa kau tidak akan menyiapkan segala kebutuhan pernikahan kita? Bukalah matamu Syah. Please, bukalah matamu."
Devian menundukkan kepalanya, tanpa ia sadari air mata keluar dari mata birunya. Ia tak tahu apakah masih ada kesempatan baginya untuk memperbaiki segala kesalahannya kepada wanita itu. Ia akan melakukan segala hal agar wanitanya bisa kembali kepadanya. Syahquita begitu berharga baginya, berkat wanita itu ia mengerti akan arti kehidupan. Wanita yang dengan tulus mencintainya tanpa peduli seberapa sering ia mengecewakannya. Devian tidak akan mengecewakannya lagi jika ia tersadar. Devian hanya akan memberikan kebahagian untuk Syahquita.
"Dev, sebaiknya kau beristirahat. Biar aku yang menjaganya." kata Martha yang datang bersama dengan Jessie.
Devian mengangkat kepalanya lalu menatap ke arah Jessie dan Martha, "Tidak, aku akan tetap menjaganya."
"Tidak, Dev. Kau sudah terlalu lama di sini. Sebaiknya kau pulang biar kami yang gantikan. Kami akan memberitahumu jika terjadi sesuatu pada Syahquita." ucap Jessie.
Sebenarnya ia tak ingin pergi dari sana tapi ia juga harus memberikan ruang bagi keluarga Syahquita karena bukan hanya dirinya yang ingin menemani Syahquita tetapi seluruh keluarganya juga ingin menemani Syahquita di rumah sakit.
Devian bangkit dari duduknya, ia mencium kening Syahquita dengan hangat "I love you, Syah. Aku pergi dulu."
"Jagalah dia sebaik mungkin dan segera kabari aku jika Syahquita membuka matanya." lanjut Devian.
Jessie dan Martha mengangguk mantap menanggapi yang Devian katakan, "Baiklah, kami akan segera menghubungimu."
Devian mengangguk pelan, ia berjalan keluar dari ruangan Syahquita untuk kembali ke rumahnya. Jika tidak dipaksa ia juga tidak akan meninggalkan wanitanya. Tapi Devian juga harus melakukan berbagai kegiatan seperti biasa agar kesedihannya tidak terus-menerus.
***
Setiap kali ia membuka matanya, ia selalu berada di tempat yang sama berulang-ulang seakan ada yang mengontrol dirinya. Di taman yang di penuh bunga berwarna-warnilah yang selalu menjadi tempat di saat ia membuka matanya. Dan seorang pria misterius yang telah menjadi teman akrabnya, mungkin di dunia nyata mereka saling kenal.
"Hii." sapa seseorang yang suaranya amat khas.
Wanita itu menoleh ke arah orang tersebut, "Devian."
Seseorang yang ia panggil "Devian" itupun tersenyum dengan senyuman jahat, sedangkan wanita itu malah tersenyum gembira ketika melihat pria itu. Wanita itu berlari ke arah pria itu lalu memeluknya sangat erat.
Wanita itu merasa ada yang tak beres dengan pria yang dipeluknya, "Ada apa?"
"Ada apa? Apa kau terkejut melihat ekspresiku?" tanya pria itu menyeringai.
Wanita itu merasa bingung dengan apa yang dikatakan oleh pria itu, ia tak mengerti sama sekali dengan maksud pertanyaan pria itu.
"Inilah wajah asliku, wajah penuh kebencian dan kekejaman terhadap dirimu." kata pria itu.
Wanita itu semakin tak mengerti apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh pria itu, "Wajah aslimu? Aku tak mengerti apa yang kau maksud."
"Apa kau ingin minum?" tanya pria misterius yang belakangan ini menjadi teman akrabnya dari belakangnya.
Wanita itu menoleh ke arah teman akrabnya, ia menatap heran ke arah temannya yang secara tiba-tiba membawakannya minum.
"Hei, mengapa kau hanya diam?" tanya temannya itu.
Wanita itu hanya menggeleng sambil tersenyum kecil, "Tidak aku hanya..." ia menggantungkan perkataanya karena tak bisa menemukan sosok pria yang ia panggil "Devian" setelah melihat tempat pria itu berdiri tadi. Sosok itu menghilang begitu saja.
"Kau mencari siapa?" tanya temannya itu.
Wanita itu kembali menoleh ke arah temannya itu, "Hmm tidak ada."
"Baiklah, ini ambil minuman yang sudah kubuatkan untukmu." temannya itu memberikan satu gelas minuman dingin kepada wanita itu.
Dan dengan senang hati wanita itu menerimanya tanpa merasa takut akan sesuatu yang tidak ia ketahui, mungkin saja racun atau apapun itu yang bisa membahayakan tubuhnya. Wanita itu meminumnya dengan cepat karena yang temannya berikan ialah orange juice yang memang kebetulan itu minuman favoritenya.
Wanita itu memperhatikan gelas temannya itu karena bentuk dan warna dari minumannya sangat aneh dan berbeda dari minuman biasa, "Apa yang kau minum?"
Pria itu melihat ke arah cairan yang ada di dalam gelasnya, "Hanya jus biasa."
"Tapi jus tidak seperti itu." bantah wanita itu.
"Hmm ini minuman khusus untukku. Tapi lupakanlah."
Wanita itu merasa heran dengan jawaban temannya itu tetapi ia tak terlalu memperdulikannya mungkin itu jus dengan kombinasi buah atau apalah itu. Temannya itu mengambil gelas kosong dari tangan wanita itu lalu meletakkanya di atas bangku yang berada di taman itu.
Pria itu secara mendadak memeluk temannya sangat erat. Wanita itu merasa sangat terkejut atas tindakan yang dilakukan oleh temannya itu. Wanita itu berusaha melepaskan pelukkan dari temannya itu namun ia tak bisa karena pelukkan itu membuatnya sangat nyaman. Entah dan bagaimana itu bisa terjadi.
"Close your eyes." kata pria itu menyuruh wanita itu untuk menutup matanya.
"Kini waktumu untuk kembali ke kehidupanmu." bisiknya pelan.
Wanita itu hanya diam di dalam pelukkan pria itu, ia tak sama sekali bergeming seakan-akan memang sudah dikontrol oleh seseorang.
"I love you, My Queen." bisiknya lagi dengan lembut kemudian mencium kening wanita itu sangat lembut.
"Sekarang bukalah matamu. Kita akan segera bertemu." lanjutnya.
Wanita itu merasa ada yang aneh dengan dirinya, tubuhnya seperti terombang-ambing di lautan tapi ia tak merasakan percikan air di wajahnya atau tubuhnya. Ketika ia sudah tak merasakan apapun lagi, ia membuka matanya secara perlahan-lahan.
"Dev." ucapnya dengan suara yang serak. Ia mengamati seluruh ruangan tempat ia berada sekarang, semua ruangan didominasi dengan warna putih. Dan ia mendengar suara alat pendeteksi detak jantung.
Devian yang menyadari keadaan wanitanya langsung terkejut, "Syah. Kau sudah sadar."
"Dokter, suster..." teriak Devian lalu keluar dari ruangan Syahquita untuk memanggil dokter bahwa ada sesuatu dengan Syahquita. Devian kembali lagi dengan wajah paniknya bersama dengan dokter dan suster.
Dokter itu memeriksa dan memastikan keadaan Syahquita dengan ketelitian. Setelah memeriksa keadaan Syahquita, dokter itu tersenyum kepada Devian lalu menjabatkan tangannya ke arah Devian.
Devian heran dengan yang dokter itu lakukan, ia menjabat balik tangan sang dokter "Selamat pak, do'amu terkabulkan. Wanita ini sudah melewati masa kritisnya dan ia akan segera pulih."
Devian terkejut luar biasa saat mendengar apa yang kitakan oleh dokter itu, ia tak menyangka jika Syahquita akan membuka matanya.
"Terima kasih, Dok. Kau telah melakukan tugasmu sebaik mungkin. Sekali lagi terima kasih."
"Iya sama-sama, aku hanya perantara. Do'amu dan keluarga wanita inilah yang membantunya mampu melewati masa kritisnya." kata Dokter itu.
"Biarkanlah nona ini beristrirahat, kondisinya belum stabil. Jangan biarkan dia berpikir terlalu keras." lanjut dokter.
Devian mengangguk mengerti dengan apa yang dikatakan sang dokter, "Baiklah."
"Kalau begitu saya permisi dulu" Dokter dan suster itu pergi keluar dari ruangan Syahquita.
Devian memandangi wanita itu penuh kebahagian, wanita itu sudah sadar. Kini ia bisa bernafas lega karena wanita itu kembali , ia bisa memperbaiki segala kesalahannya dan memilikinya kembali.
Syahquita memandangi kondisi Devian baik-baik, ia tak mengerti apa saja yang dilakukan oleh pria itu hingga ia terlihat sangat kacau, "Dev, kau..."
Devian duduk di tepi kasur tempat Syahquita berbaring lalu menggengam tangan Syahquita erat "Aku tak apa, sayang. Bagaimana denganmu?"
Syahquita berusaha untuk duduk, dengan sigap Devian membantunya untuk duduk. Syahquita kembali memperhatikan kondisi Devian.
"Aku baik-baik saja, mengapa kau terlihat sangat kacau?" tanya Syahquita sambil memegang pipi kiri Devian.
Devian tersenyum kecil, "Tak ada masalah denganku, Syah. Semuanya baik-baik saja."
Terdengar suara deratan pintu ruangan Syahquita terbuka, mendadak mata Syahquita dan Devian tertuju ke arah pintu itu.
"Syahquuitaaa." ucap Jessie setengah berteriak karena terkejut melihat Syahquita yang sudah sadar dari komanya.
"Oh My God!" sahut Martha sama terkejutnya dengan Jessie.
Mereka berlari kecil untuk menghampiri Syahquita, Devian menepi ke pinggir untuk memberikan ruang kepada Jessie dan Martha. Kedua sepupunya itu langsung menyerbunya dengan pelukan erat sangat erat. Syahquita tersenyum bahagia saat dipeluk oleh kedua sepupunya namun di sela-sela kebahagian itu ia merasakan ada sesuatu yang tak beres dengan Jessie.
"Jessie, apa kau menangis? Ada apa?"
Jessie melepaskan pelukannya, ia menatap Syahquita dengan mata yang basah akibat air matanya yang meluncur begitu saja ketika memeluk Syahquita. Jessie tersenyum malu sambil menghapus air matanya, "Bagaimana aku tidak menangis. Aku takut kau tidak akan membuka matamu lagi dan meninggalkan aku dengan Martha."
Syahquita menggeleng pelan sambil tersenyum seakan tidak setuju dengan apa yang Jessie katakan,"Tidak, aku tidak akan meninggalkan kalian berdua. Please, jangan menangis."
Jessie menghapus air matanya, ia tersenyum kepada Syahquita untuk memastikan bahwa ia tak akan menangis lagi. Syahquita membuka kedua tangannya seakan ingin merasakan pelukan hangat dari kedua sepupunya. Apa yang terjadi dengan Syahquita membuat Jessie dan Martha merasa kehilangan sosok saudara sekaligus sahabat mereka. Para gadis itu sudah terbiasa menjalani hari dan kegiatan secara bersama-sama, ketika Syahquita koma serasa ada yang hilang dari mereka bertiga.
Mata Syahquita melihat seseorang yang amat ia rindukan berada di balik pintu, sepertinya orang itu ingin masuk ke dalam ruangan Syahquita. Orang itu terkejut luar biasa saat ia mendapati Syahquita sedang tersenyum kepadanya.
"Alfaz..."
Alfaz segera berlari menuju Syahquita, Jessie dan Martha memberikan ruang untuk pria itu. Alfaz langsung memeluknya sangat erat bahkan lebih erat dari pelukkan Jessie dan Martha tadi. Sama seperti Jessie, Alfaz tidak bisa menyembunyikan air mata kebahagiannya saat melihat Syahquita sudah sadar.
Syahquita melepaskan Alfaz dari pelukkannya, "Mengapa kalian menangis saat melihat aku? Apa kalian tidak bahagia?"
Alfaz tertawa kecil saat Syahquita mengatakan hal yang menurutnya sangat konyol, "Dasar kau, aku menangis karena kau sudah sadar setelah melewati masa kritis dan koma."
Apa yang terjadi kepada Alfaz tidaklah jauh berbeda dengan Devian, mereka selalu menangis saat menjaga Syahquita. Terlebih saat melihat kondisi Syahquita dan alat-alat mengerikan yang berada disekitarnya saat ia masih koma.
"Ada apa dengan kalian semua? Apa aku melewatkan sesuatu sampai kalian menangis ketika melihatku?"
Martha menggelengkan kepalanya greget, "Oh God!! Apa kau tidak mengerti bahwa kami sangat mengkhawatirkan kondisimu. Kau tidak sadarkan diri selama dua minggu lima hari dua jam."
Syahquita terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan oleh Martha, "Apa selama itu aku tidak sadarkan diri?
Martha mengangguk mantap, "Ya, kondisimu membuat kami frustasi. Terlebih dua pria lemah ini, mereka sama kacaunya saat kau tak sadarkan diri. Alfaz sibuk mencari para brandal yang menghajarmu hingga lupa waktu sedangkan Devian ia tidak mau pergi dari ruangan ini walau kami sudah berada di sini untuk menjagamu."
Syahquita menatap Alfaz dan Devian secara bergantian, ia tidak begitu percaya dengan apa yang dikatakan oleh Martha tetapi kondisi dua pria itu sangat kacau seakan membenarkan apa yang dikatakan oleh Martha.
"Kau tak usah pikirkan itu, lebih baik kau beristirahat. Dokter bilang kau harus banyak beristirahat dan jangan memikirkan hal apapun dulu." papar Devian.
"Yaph, Devian betul. Kau tidak boleh terlalu banyak berpikir jika tidak maka kau akan kembali koma lagi." ledek Alfaz.
Syahquita menatap tajam Alfaz, "Jahatnya kau!"
Alfaz tertawa melihat kekesalan adiknya, ia senang karena Syahquita sudah sadar dan wanita itu bisa ia ledeki sepuasnya lagi. Tapi bukan itu alasan utama mengapa Alfaz senang, Syahquita sangat penting baginya dan ia sangat menyayanginya melebih apapun juga. Kasih sayang Alfaz untuk Syahquita sangat besar maka ia rela melakukan apapun demi kebahagian adiknya itu. Dan untuk saat ini ia rela membuang-buang waktunya hanya untuk menemukan brandal k*****t yang sudah menyakiti adiknya.
***
Di dalam ruangan yang cukup luas untuk kamar di rumah sakit membuat Syahquita merasa bosan. Terlebih matanya sudah terbuka lebar sejak pukul 05.00. Entah bagaimana itu bisa terjadi, apakah mungkin itu efek karena terlalu tak sadarkan diri atau apalah ia tak mengerti. Selain itu semua badannya terasa sakit dan pegal karena harus terus berbaring di atas kasur.
Syahquita melihati Devian yang begitu setia menemaninya bahkan ia rela tidur dengan posisi terduduk di atas kursi yang ada di samping tempat tidur Syahquita. Ia mengacak-acak rambut pria yang masih terlelap itu.
"Dev, bangunlah ini sudah pagi."
"Hmm, aku masih mengantuk, sayang."
Devian tak bergeming, hal itu membuat otak jahil Syahquita bekerja dengan sangat baik. Ia terus mengganggu pria itu dengan mengacak-acak rambut, mencubit pipi Devian bahkan mengguncangkan tubuh pria itu.
"Syah, biarkan aku tidur, sayang."
Syahquita tertawa kecil saat Devian mulai terganggu dengan kejahilannya, ia akan sangat senang jika Devian benar-benar terbangun karena ulahnya.
"Ini sudah pagi, Dev." Syahquita terus mengguncang tubuh Devian tetapi tetap saja pria itu tidak juga bangun hingga akhirnya Syahquita kesal ia mencubit pipi Devian sangat kencang dan membuat pria itu kesakitan di area pipinya.
"Aaaaawwwwhhh. Syah." protes Devian.
"Bangun dan mandilah." geram Syahquita.