Devian menatap kesal ke arah Syahquita, ia menuruti apa yang dikatakan oleh Syahquita. Pria itu berjalan bak zombie menuju kamar mandi. Sepertinya setelah ini Devian akan menjadi pria penurut yang selalu menuruti apa perkataan Syahquita.
Tiga puluh menit kemudian, Devian keluar dari kamar mandi dengan wajah yang sangat fresh dan terlihat berbeda dari kemarin saat wajahnya sangat kusut dan kucal seperti cucian kotor.
"Apa yang terjadi padamu saat aku koma? Apa kau tidak pernah mandi?"
"Apa kau bercanda?" Devian menatap Syahquita dengan tatapan yang sangat konyol entah dari mana kekonyolan atas pertanyaan Syahquita.
"Kau terlihat lebih fresh dari kemarin, sungguh wajahmu kemarin seperti cucian kotor sangat kacau."
Devian membasuh mukanya dengan handuk, ia kembali duduk di bangku tempat ia tidur, "Apapun yang terjadi padaku karena kau yang membuatku seperti itu. Aku mau kau tidak perlu memikirkannya karena sekarang aku baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Syahquita tersenyum lembut, ia mengerti seperti apa keadaan Devian saat ia koma. Karena meski tubuhnya tidak bergerak sama sekali tapi indera pendengarannya bisa mendengarkan semua yang orang katakan padanya. Tapi setelah sadar ia tak mengingat apapun yang ia dengar, yang jelas ia hanya tahu bahwa semua orang begitu sedih saat melihat kondisinya.
Mata Syahquita melirik ke arah jam dinding yang ada di dalam ruangan itu, "Apa kau tidak bekerja?"
"Cuti." sahut Devian begitu singkat dan santai.
Syahquita tak percaya jikalau Devian cuti, padahal selama ini tak pernah sekalipun pria itu mengambil cuti karena memang ia bekerja di perusahaan ayahnya dan ia dengan bebas kapanpun ia bisa libur.
"Cuti? Itu tidak mungkin. Selama ini kau tak pernah cuti. Sampai kapan kau cuti?" tanya Syahquita.
"Itukan dulu kalau sekarang beda lagi, sayang. Aku cuti sampai kau benar-benar sembuh." jawab Devian dengan senyuman di akhir.
Syahquita memberi tatapan serius kepada Devian, "Bagaimana jika aku sudah sembuh sekarang? Apa kau akan tetap cuti?"
Devian mempertimbangkan jawaban atas pertanyaan itu, "Hmm tidak."
"Baiklah pergi dan bekerjalah." kecewa Syahquita.
Syahquita memandangi pria itu dengan tatapan horror, apa yang sedang Syahquita pikirkan sampai ia memandangi Devian dengan tatapan seperti itu. Sepertinya Syahquita sedikit geram dengan Devian sebab ia hanya akan cuti sampai Syahquita sembuh dan memang Devian sedang menggoda atau bagaimana, pria itu seakan tidak mengerti maksud dari Syahquita.
"Aku cuti sampai kau keluar dari rumah sakit dan untuk selanjutnya aku akan mengurangi jam kerjaku supaya aku bisa menghabiskan waktu bersamamu lebih lama. Apa kau marah padaku?"
"Please, jangan marah padaku." lanjut Devian.
Syahquita menghela nafas pelan lalu menghembuskannya cepat, "Tidak. Aku tidak marah padamu."
Devian memegang tangan Syahquita lembut sambil menundukkan pandanganya, "Aku minta maaf atas kejadian malam itu. Sungguh aku seperti pria pengecut yang tak mampu menjagamu dari brandal k*****t itu."
Syahquita mengangkat dagu Devian agar pria itu menatapnya, "Tidak perlu minta maaf karena memang kau tak salah dalam hal ini. Apa yang terjadi padaku itu sudah menjadi takdirku. Apa kau tahu aku seakan wonder woman yang mampu mengalahkan brandal itu sendirian bermodalkan sebuah balok."
Devian tertawa kecil, "Apa kau bercanda? Karena kau merasa seperti wonder woman, kau jadi kritis dan tak sadarkan diri."
Syahquita merasa bersalah telah membuat semua keluarganya menjadi frustasi dan stress karena kondisinya yang tak sadarkan diri.
"Tapi lupakanlah masalah itu, yang terpenting kau sudah sadarkan diri dan kembali untukku. Hanya untukku." Devian menarik Syahquita kedalam pelukkannya sangat erat. Wanita itu merasa bahagia karena Tuhan masih memberinya kesempatan kedua untuk menikmati hidupnya begitupun dengan Devian, ia bisa memperbaiki segala kesalahannya dan mulai merencanakan hidupnya bersama Syahquita.
***
"Bagaimana dengan kondisinya?" tanya Alfaz kepada Devian.
Devian melihat ke arah Syahquita yang sedang tertidur pulas, "Semakin membaik, dokter bilang dua atau tiga hari lagi ia sudah boleh pulang. Dan diapun sudah sangat rewel meminta pulang ke rumah."
Alfaz menangguk mengerti dengan jawaban yang Devian berikan, "Ini berkas untuk kasus malam itu. Tiga dari tujuh brandal itu berhasil melarikan diri namun ada hal yang mencengangkan di sini. Ketiga brandal itu di temukan tewas di sekitaran hutan dengan luka seperti gigitan hewan buas."
Devian mengambil alih berkas itu dari tangan Alfaz, ia mulai membaca lembar demi lembar laporan yang Alfaz bawa. Bisa ia lihat dengan sangat jelas gambar dari tiva brandal yang tadi dikatakan oleh Alfaz. Ketiga brandal itu memiliki luka di area yang sama yaitu di leher hanya saja yang membedakan letak luka itu. Dan ada beberapa luka cakaran seperti hewan buas disekujur badan brandal itu.
"Lalu bagaimana dengan keempat brandal lainnya?" tanya Devian tanpa mengalihkan pandangannya dari laporan yang sedang ia baca.
"Mereka berada di penjara tetapi satu per satu di antara brandal itu mulai menunjukkan reaksi-reaksi aneh seakan gangguan jiwa. Polisi pun juga merasa bingung dengan keadaan mereka semua."
Devian langsung mengalihkan pandangannya ke arah Alfaz, apa yang dikatakan Alfaz sangat menarik perhatiannya, "Apa kau sudah memastikan keadaan mereka semua?"
Alfaz mengangguk mantap, "Sebelum ke rumah sakit aku sudah ke sana lebih dahulu untuk memastikan apa yang dikatakan polisi itu benar atau tidak."
Devian menimbang-nimbang apa yang Alfaz katakan, ia harus memeriksanya sendiri karena sejujurnya ia ingin sekali menyiksa brandal itu tetapi Polisi sudah lebih dulu mendapatkan brandal itu.
"Baiklah, aku akan ke sana besok. Aku harus memeriksanya karena apapun yang mereka lakukan harus mendapatkan balasan yang sama." sahut Devian.
Alfaz mengangguk setuju dengan apa yang dikatakan oleh Devian, ia sangat bersyukur karena tigs brandal yang tewas memiliki luka disekujur tubuh mereka sama seperti saat ia menemukan Syahquita di taman waktu itu. Dan ia tak perlu bersusah payah mengotori tangannya karena hewan buas atau orang jahat manakah yang sudah membalaskan dendamnya kepada brandal itu. Alfaz dan Devian sangat bahagia karena brandal itu mendapatkan balasan yang lebih parah dari yang mereka lakukan kepada Syahquita.
Ini menjadi sebuah teka-teki bagi Devian sebab ia yakin bahwa ketiga brandal itu tidak mungkin mendapat serangan dari hewan buas. Jika memang itu hewan buas, hewan buas apakah yang menyerang leher dan menguras habis darah dari ketiga brandal itu. Meski sangat aneh untuk di dengar, Devian tidak terlalu memikirkannya sebab ketiga brandal itu tewas dengannya sendiri. Sehingga ia tidak perlu berbuat dosa dengan menyiksa dan membunuh para brandal itu. Sesungguhnya Devian ingin sekali menghabisi mereka dengan tangannya sendiri tapi takdir berkata lain.
Masih tersisa empat brandal lainnya, Devian mungkin tak akan bisa menyentuh mereka karena mereka berempat berada di pihak yang berwajib dan semua urusan menghakimi berada di bawah mereka. Devian berharap keempat brandal itu juga mengalami hal yang sama seperti ketiga brandal yang tewas, bukan hanya Devian tetapi Alfaz juga berharap hal yang demikian.
***
Syahquita kembali menjalani serangkaian tes kesehatan, dokter sudah mengizinkannya pulang namun sebelum itu ia harus melaksanakan berbagai tes. Sungguh rumit dan berbelit-belit. Padahal Syahquita sudah merasa sangat baik sekarang tapi ntahlah bagaimana sang dokter menanggapi kesehatannya.
Berjam-jam ia harus melaksanakan tes itu, dan menunggu hasilnya pun sangatlah lama. Syahquita sudah lelah dengan semua persyaratan sang dokter.
"Permisi, nona ini hasil tesmu sudah keluar. Dari hasil pemeriksaan kami, kondisimu sudah sangat baik. Tapi setelah kau keluar dari rumah sakit ini tolong jangan melakukan aktivitas berat selama satu bulan. Aktivitas apapun itu yang bisa membuat kondisimu melemah. Dan jaga pola makan dan istirahatlah yang banyak." kata sang Dokter.
"Aku akan pastikan bahwa dia tidak akan melakukan aktivitas berat apapun, dan aku pastikan pola makan dan istirahatnya akan cukup." timpal Devian yang sama menyebalkannya dengan sang dokter menurut Syahquita.
"Baiklah, sekarang kau boleh meninggalkan rumah sakit." lanjut sang dokter.
Syahquita tersenyum bahagia karena ia tidak akan melakukan tes apapun lagi dan ia akan segera bebas dari ruangan yang sangat membosankan ini, "Terima kasih, Dok. Selama aku di sini kau selalu memberikan yang terbaik."
"Sudah menjadi tugasku untuk melakukan itu, Nona. Sekarang aku harap kau akan menjaga kesehatanmu sebaik mungkin. Dan jangan lupa untuk melakukan control 1 bulan sekali selama 6 bulan."
Syahquita mengangguk mantap, ia akan melakukan itu asalkan ia bisa terbebas dari semua hal membosankan ini. Seminggu lebih ia di rumah sakit sudah sangat membosankan, ia hanya melihat ruangan yang dominan berwarna putih, botol infus yang setia menemaninya ke manapun dan obat-obatan yang membuatnya mual karena setiap hari mengkonsumsinya dan jumlahnya yang terlalu banyak.
"Baiklah, kalau begitu aku permisi. Ingat nona jaga kesehatanmu dan jangan membuang obat-obatanmu itu." sahut sang dokter.
"Baiklah, terima kasih, Dokter."
Dokter itu pergi dari ruangan Syahquita. Kini Syahquita bisa bernafas lega karena akhirnya ia bisa keluar dari rumah sakit yang menurutnya seperti sangkar burung sebab ia tak leluasa bergerak ke sana kemari.
Devian membawakan segala barang Syahquita selama ia di rumah sakit, "Ayolah, bukankah kau ingin segera keluar dari sini?" ledek Devian.
Syahquita mengangguk mantap, Devian menggengam tangan Syahquita sangat erat. Mereka berdua berjalan keluar ruangan kemudian melangkahkan kaki mereka hingga ke basemant rumah sakit tempat Devian memakirkan mobilnya.
Tanpa bertele-tele Devian segela menyalakan mesin mobilnya dan menjalankan mobilnya menelusuri jalanan siang Scania. Selama di perjalanan Syahquita hanya melihati jalanan yang ia lalui, wanita itu membuka sedikit jendela mobil di sisinya membiarkan udara masuk ke dalam mobil Devian sebab sudah lama sekali ia tak merasakan udara luar seperti sekarang ini.
Setelah menempuh perjalanan yang cukup jauh dan melelahkan, akhirnya mereka sampai di kediaman Charlie Valdez Campbell. Mobil Devian memasuki halaman rumah Charlie. Devian segera memakirkan mobilnya.
Selepas Devian memakirkan mobilnya Syahquita segera turun dari mobil tak memperdulikan Devian yang masih berada di dalam mobil. Ia berlari menuju pintu rumahnya, Syahquita membuka pintu itu perlahan-lahan.
"I'm homeee." teriak Syahquita begitu bahagia.
Tak ada yang menanggapi teriakan Syahquita, rumahnya terlihat sangat sepi, "Di manakah semua orang? Mom? Dad? Granny? I'm home." teriak Syahquita lagi sambil menelusuri ruangan tamu.
Seakan tidak ada orang di rumah ini, Syahquita melangkahkan kakinya ke ruang makan tetapi di sana juga tidak ada siapapun. Ia masuk ke dalam dapur berharap menemukan Granny atau Sharon, namun hasilnya nihil. Tidak ada siapapun di lantai bawah.
Syahquita mengarahkan kakinya menuju tangga, "Jessie, Martha, Alfaz. Di mana kalian?"teriak Syahquita sembari melihat ke arah atas berharap ada seseorang yang akan menjawab panggilannya.
Syahquita menghela nafas kesal, "Di mana semua orang?" tanyanya pada Devian yang baru saja masuk ke dalam rumah.
Devian mengangkat kedua bahunya tanda tak tahu, "Aku tidak tahu. Aku terus bersamamu sejak kemarin."
Syahquita tak mempermasalahkan jawaban Devian karena memang itu masuk akal. Bagaimana mungkin ia menanyakan keluarganya kepada Devian sedangkan sejak kemarin Devian terus bersamanya.
Syahquita menelusuri setiap ruangan di rumahnya tapi sepertinya tidak ada seorangpun di rumah ini. Ia sudah lelah mencari keluarganya. Hingga akhirnya ia mendengar sedikit keributan dari taman belakang rumahnya, ia berlari kecil menuju taman itu.
DAAARRRRR... Terdengar suara paper boom saat Syahquita berada di taman belakang.
"SURRRRRPRRRIIISEEEEEE." teriak semua orang.
Syahquita sangat terkejut dengan keberadaan keluarganya di taman belakang, ia tersenyum bahagia saat melihat semua keluarganya berkumpul di saat ia kembali ke rumah.
"Welcome home, Nak." sahut Charlie dan Sharon.
Syahquita menghampiri kedua orang tuanya, ia memeluk kedua orang tuanya sangat erat karena tak mampu menyembunyikan perasaannya, "Terima kasih, Dad, Mom. Aku sangat merindukan kalian."
Selama Syahquita di rumah sakit kemarin Sharon dan Charlie tidak bisa menjaganya seharian penuh sebab tugas itu sudah di ambil alih oleh Devian. Sharon dan Charlie hanya mengunjungi Syahquita di saat siang hari karena mereka juga di sibukkan dengan persiapan pernikahan putrinya.
"Kami juga merindukanmu, Nak." jawab Sharon.
Syahquita tak mampu menahan air matanya dari pelupuk matanya, ia meneteskan air matanya dimoment bahagia seperti ini. Charlie menghapus pelan air mata putrinya itu, ia melayangkan kecupan di kening Syahquita.
"Apa kau tidak merindukan kami? Kami sangat merindukan keberadaanmu di rumah." timpal Jessie dan Martha dari belakang Syahquita.
Syahquita segera beralih kedua sepupunya yang amat ia rindukan, selama di rumah sakit waktu Syahquita bertemu dengan mereka sangatlah singkat. Mereka harus kuliah, selesai kuliah barulah mereka mengunjungi Syahquita dan tidak bisa menginap karena lagi-lagi posisi mereka sudah diambil alih oleh Devian.
Syahquita memberika pelukan erat kepada kedua sepupunya itu, "Aku merindukan kalian, guys."
"Kami juga sangat merindukanmu, Syah." jawab Martha dengan meneteskan air mata.
Syahquita melepaskan mereka, ia tertawa saat melihat Jessie dan Martha yang menangis "Mengapa kalian menangis? Please, jangan buat aku ingin menangis lagi."
Jessie dan Martha tertawa kecil, "Kami sangat merindukanmu, Syah. Anggaplah ini sebagai air mata kebahagian karena kau telah kembali ke rumah ini." kata Jessie.
Syahquita tersenyum kecil, ia menghapus air mata Jessie dan Martha secara bergantian, "Setelah ini kita akan kembali bersama-sama lagi okey."
Jessie dan Martha mengangguk mantap menanggapi apa yang dikatakan oleh Syahquita, mereka sudah menantikan semua moment bersama Syahquita.