Syahquita tahu alasan ayahnya sangat tepat dan masuk akal tetapi untuk saat ini ia ingin merasakan kebebasan yang belakangan ini sulit ia dapatkan.
Drake memegang pundak Syahquita pelan seakan menyalurkan rasa simpatiknya pada temannya, "Baiklah paman kalau begitu aku permisi dulu. Terima kasih atas waktumu paman."
Charlie mengangguk pelan, "Ya, it's oke. Maaf Drake, paman mengecewakanmu."
"Tidak, Paman. Aku mengerti alasan paman. Sebagai seorang Dad, paman pasti sangat mengkhawatirkan putri paman terlebih Syahquita baru saja melewati kejadian yang cukup parah." kata Drake.
Charlie tersenyum kecil ketika mengetahui bahwa Drake sangatlah mengerti mengapa ia tak mengizinkan Syahquita untuk mengikuti kegiatan itu.
"Baiklah, Paman kalau begitu aku permisi dulu." lanjut Drake lalu berdiri dari duduknya.
Charlie dan Syahquita juga ikut berdiri saat Drake berdiri, "Iya, senang berkenalan dengamu Drake." ucap Charlie begitu ramah mengacungkan tangannya ke arah Drake.
Drake menjabat tangan Charlie dengan erat, "Aku pun begitu paman."
Drake melepaskan tangannya dari jabatan itu, ia memiringkan tubuhnya agar bisa melihat Syahquita "Oke, Syah. Terima kasih atas undanganmu malam ini."
Syahquita mengangguk sambil menunjukkan senyuman manisnya, "Oke, terima kasih juga atas bantuanmu, Drake."
Drake mengangguk mantap menanggapi ucapan Syahquita, Drake dan Syahquita berjalan meninggalkan ruangan tamu. Syahquita akan mengantarkan Drake hingga kehalaman tempat Drake memakirkan mobilnya.
"Syah, apa temanmu tidak ikut makan malam bersama kita?" tanya Sharon saat melihat Syahquita dan Drake berjalan ke arah pintu keluar.
Syahquita menghentikan langkahnya dan menoleh kesisi kanannya tempat Sharon berada lalu menoleh ke arah Drake, "Bagaimana Drake?"
"Hmm tidak perlu repot-repot bibi, aku makan di rumah saja karena masih banyak yang harus aku kerjakan." jawab Drake begitu ramah.
Sharon berjalan menghampiri putrinya dan temannya itu, "Baiklah kalau begitu tapi lain kali jika kau mampir ke sini kau harus ikut makan malam bersama kami."
Drake tersenyum dan menganggukkan kepalanya, "Siap Bibi, kalau begitu aku permisi dulu. Malam bibi."
"Malam juga." sahut Sharon.
"Mom, aku mengantar Drake ke depan sebentar ya." desis Syahquita yang langsung mendapatkan anggukan dari Sharon.
Syahquita dan Drake kembali berjalan keluar dari dalam rumah Syahquita menuju tempat mobil Drake terparkir.
"Please, Syah. Jangan marah kepadaku. Ayahmu memiliki alasan yang memang sangat masuk akal."
Syahquita tersenyum kecil, "It's oke, Drake. Aku tidak marah padamu karena sejak awal aku sudah mengira hal ini."
"Kita akan mencobanya lagi, okey."
"Tidak perlu, Drake. Mungkin aku harus bersabar sampai dokter mengizinkanku untuk melakukan apapun yang aku suka." ujar Syahquita penuh lapang d**a.
Drake menarik nafas dalam, ia tahu bahwa Syahquita pasti kecewa karena ia tak bisa membantu Syahquita dalam hal ini. Tapi apa boleh buat, Charlie tetap kukuh pada pendiriannya. Ia tak mempunyai alasan lagi untuk membantah apa yang sudah Charlie putuskan.
"Baiklah, kalau begitu aku permisi. Bye, Syah."ucap Drake lalu masuk ke dalam mobilnya.
Syahquita melihati Drake yang masuk ke dalam mobilnya. Drake menurunkan kaca mobilnya untuk melihat Syahquita, "Please, jangan bersedih. Tetaplah tersenyum."
Syahquita menangguk dan memberikan senyuman terbaiknya kepada Drake yang telah membantunya walau usahanya tak berbuah manis.
"Terima kasih, Drake. Hati-hati di jalan."
Drake mengacungkan ibu jarinya kepada Syahquita, "Bye, Syah."
"Bye, Drake."
Perlahan namun pasti mobil Drake mulai berjalan keluar dari tempat parkir mobil yang ada dirumah Syahquita hingga mobil itu benar-benar menghilang dari penglihatannya dan tak terdengar suara deru halus dari mobil Drake. Syahquita menutup dan mengunci pintu pagar, ia melangkahkan kakinya untuk masuk kedalam rumahnya karena semua keluarganya pasti sudah menunggu dirinya untuk makan malam bersama.
***
Keinginan Syahquita untuk mengikuti kegiatan jelajah itu sangat kuat. Meski Charlie sudah memberikan keputusannya tetap saja ia masih berusaha agar orang tuanya terutama Charlie mau mengizinkannya. Syahquita terus-menerus mendesak Charlie agar mau mengizinkannya tapi ia hanya akan mendapatkan penolakan dari Charlie. Yang ada dipikiran Syahquita ialah jika Charlie terus memberinya penolakan maka ia akan lebih keras lagi untuk mendesak Charlie.
"Dad, please aku mohon izinkan aku untuk kali ini saja. Aku ingin menghirup udara segar dari alam." pinta Syahquita.
"Jawaban Dad tetap sama, Syah. Tidak aku izinkan."
"Tapi, Dad." rengek Syahquita.
"Jangan pernah memberinya izin, Dad" sahut Alfaz yang baru saja datang ke ruang makan.
Syahquita menatap nanar ke arah pria yang kini sedang meminum s**u hangat miliknya, ia tak mengerti mengapa kakaknya itu selalu saja mengacaukan apa yang sudah menjadi keinginannya.
"Aku janji Dad akan menjaga diriku sebaik mungkin." ucap Syahquita masih memohon kepada Charlie.
"Kau mana pernah menjaga dirimu." ucap Alfaz lagi yang membuat Syahquita naik vital.
"Dan kau! Apa kau lupa dengan janjimu saat aku masih berada di rumah sakit?" geram Syahquita.
Alfaz pernah berjanji pada Syahquita bahwa setelah dirinya keluar dari rumah sakit maka ia akan dibebaskan untuk melakukan apapun yang ia inginkan. Saat itu Syahquita sudah tidak betah sama sekali berada di rumah sakit dan dokter belum mengizinkannya untuk pulang namun karena ia begitu rewel hingga membuat Alfaz mengucapkan janji seperti dan membuat Syahquita sedikit tenang dan menerima kenyataan bahwa ia akan keluar dari rumah sakit sesuai dengan izin dokter. Tidak hanya Alfaz bahkan Devianpun mengucapkan hal yang serupa kepada Syahquita. Kini kakaknya seakan lupa dengan apa yang ia janjikan.
"Aku hanya tidak ingin kau hilang lagi di tengah hutan, Syah." ujar Alfaz mengingat kejadian di mana Syahquita hilang di hutan pada saat masih sekolah dasar.
"Aku sudah 20 tahun. Aku bukan anak kecil lagi. Aku bisa menjaga diriku sendiri." kesal Syahquita.
"Tapi aku tak yakin."
Jawaban Alfaz membuat Syahquita semakin geram saja, "Kau perlu mengerti arti sebuah janji. Jika tak bisa menepatinya makanya jangan pernah membuat janji!" kecam Syahquita yang langsung mendapat tatapan dari semua anggota keluarganya.
Syahquita bangun dari duduknya lalu pergi begitu saja dari ruang makan, ia menaiki tangga sambil berlari kecil sungguh ia tak mengerti bagaimana semua orang begitu khawatir dengan kondisinya padahal ia sudah baik-baik saja. Bahkan ia sudah bisa berlarian kesana kemari tanpa merasakan sakit dikakinya seperti baru pertama kali ia keluar dari rumah sakit, saat itu kaki Syahquita masih terasa linu jika ia berlari.
Syahquita mengunci dirinya di dalam kamar, ia sangat bersyukur karena hari ini ia libur kuliah so ia tidak perlu berada di satu tempat yang sama dengan Alfaz. Jika ia kuliah maka ia harus berada di dalam mobil bersama Alfaz empat puluh lima menit untuk berangkat ke kampus dan empat puluh lima menit pula saat pulang ke rumah. Terhitung sudah 1,5 jam ia akan berada di dalam tempat yang bersama Alfaz.
Syahquita terduduk di bangku meja belajarnya, ia menopang dagunya karena ia bingung harus melakukan apa. Syahquita mengedarkan pandangannya keseluruh sudut di dalam kamarnya namun ia tak menemukan sesuatu yang bisa ia lakukan, hingga akhirnya ia kembali termenung sambil memperhatikan meja belajarnya. Di ujung kiri meja belajar Syahquita terdapat satu buku yang jarang sekali ia pegang setelah ia mengambil buku itu dari perpustakaan beberapa tahun lalu.
Ia meraih buku tebal itu, ia mulai membaca lembar demi lembar dari buku kuno itu. Ketika membaca setengah dari buku itu ia teringat akan khayalannya pada saat masih berusia delapan tahun. Saat itu otak polosnya memikirkan bagaimana sosok yang ada di dalam buku itu. Syahquita mengingat-ingat sebutan apa yang ia gunakan untuk menyebut nama dari sosok yang tertera dalam buku itu.
"Paman Pangeran Vampire." sahutnya sambil tersenyum kecil saat mengingat nama lucu itu.
Ia sendiri bahkan tak mengerti arti kata itu, Paman Pangeran Vampire? Paman dan Pangeran, oh no! Syahquita kembali melanjutkan bacaanya hingga ia benar-benar melupakan kekesalan yang di dapatinya pagi ini.
Semua khayalan masa kecilnya mengenai Vampire kembali bermunculan di pikirannya. Ia kembali mengingat saat dirinya dan kedua sepupunya melakukan berbagai test untuk mengetahui apakah mereka Vampire atau manusia dengan mengikuti apa yang Syahquita ketahui tentang Vampire.
Syahquita tertawa kecil saat mengingat hal konyol itu, sungguh ia tak mengerti bagaimana mungkin ia dan kedua sepupunya bisa melakukan hal konyol semacam itu. Padahal ia tahu bahwa dirinya adalah manusia bukan makhluk immortal seperti Vampire yang ada di dalam buku yang ia baca itu.
***
KNOCK... KNOCK... KNOCK... Terdengar suara ketukan pintu dari depan pintu kamar Syahquita.
Syahquita menghela nafas jenuh, ia menutup buku yang di bacanya dan menggeletakkannya di atas meja belajarnya. Ia beranjak dari duduknya menuju belakang pintu kamarnya. Syahquita membuka kunci pintu dan memutar knop door-nya untuk membuka pintu kamarnya.
"Ada Devian di bawah." ucap Jessie.
Syahquita menghela nafas pelan, sungguh ia tak begitu mengharapkan kehadiran Devian sebab ia ingin menyendiri, "Terima kasih, Jessie."
Jessie mengangguk santai kemudian pergi masuk ke kamarnya yang kebetulan bersebelahan. Syahquita keluar dari kamarnya lalu menutup pintu kamarnya. Ia menuruni tangga dengan langkah malas. Syahquita menghentikan langkahnya ketika mendapati Devian yang terduduk membelakanginya di ruang tamu. Syahquita kembali melangkah memasuki ruang tamu, ia duduk tepat di samping Devian.
"Ada apa?" tanya Syahquita dengan malas.
"Apa? Kau bertanya ada apa? Apa aku tidak boleh datang ke rumahmu untuk menemuimu?"
Syahquita menghela nafas pelan, ia memiringkan tubuhnya sedikit ke kanan untuk bisa melihat wajah Devian dengan jelas. Syahquita menutup kedua mata Devian dengan tangannya, "Aku tidak bermaksud seperti itu. Dan mengapa kau begitu emosional?"
Devian menurunkan tangan Syahquita dari matanya secara perlahan, pria itu tersenyum kepada Syahquita, "Tidak, aku tidak emosional, sayang. Aku hanya terkejut mengapa kau bertanya seperti itu kepadaku? Apa kau tidak mau bertemu denganku?"
Syahquita menggeleng pelan sambil menundukkan pandangannya, "Hmm aku hanya sedang bosan dan ingin menyendiri."
Syahquita yang merasa diperhatikan oleh Devian menjadi canggung karena Devian memberi tatapan yang membuatnya malu. Syahquita kembali menutupi mata Devian dengan tangannya.
"Jangan menatapku seperti itu. Sungguh itu membuatku malu"
Devian tertawa kecil, ia tak menyangka jika Syahquita masih merasa malu jika ia menatapnya dengan tatapan serius kearahnya, "Oh ayolah, sebentar lagi kau akan menjadi istriku dan kau masih merasa malu kepadaku." ledek Devian.
Syahquita menurunkan tangannya dari mata Devian, ia menekuk wajahnya karena Devian mengingatkan padahal yang belakangan ini mengganggunya. Sejujurnya Syahquita belum siap untuk menikah tetapi kedua orang tuanya dan orang tua Devian sudah mendesak ia agar menikah secepat mungkin. Dengan berat hati akhirnya Syahquita menyanggupi permintaan itu agar bisa melihat kebahagian dari kedua orang tua mereka.
"Apa ada sesuatu?" tanya Devian ketika melihat Syahquita menekuk wajahnya. Syahquita hanya menggeleng pelan tanpa menjawab.
Devian menarik tangan Syahquita untuk berdiri, ia menuntun Syahquita keluar dari rumahnya dan berjalan menuju taman belakang yang ada di kediaman Syahquita. Devian mendudukkan Syahquita pada salah satu bangku taman yang berada di sana. Dan Devian pun duduk di samping Syahquita.
Syahquita menyenderkan punggungnya pada punggung bangku taman itu, matanya hanya tertuju pada bunga-bunga cantik nan indah yang di tanam sendiri oleh dirinya dengan dibantu oleh Sharon, granny dan kedua sepupunya.
"Aku dengar kalau Drake berkunjung ke rumahmu beberapa hari yang lalu? Ada apa?" tanya Devian.
Syahquita melirik ke arah Devian, ia membenarkan posisi duduknya "Ya, Drake memang kesini beberapa hari lalu untuk berbincang kepada ayah agar mengizinkan aku untuk mengikuti kegiatan jelajah ke hutan Baggarmossen."
Devian mengangguk-angguk pelan seakan mengerti dengan apa yang Syahquita katakan, "Jelajah? Ke hutan Baggarmossen?" ucap Devian mengulangi kata-kata yang Syahquita ucapkan.
Syahquita mengangguk lesu sambil memandangi Devian dalam diam, "Ya, memangnya ada apa?"
"Mengapa kau tak memberitahuku? Apa tanggapan ayahmu?"
Syahquita menopang dagunya di atas kedua pahanya, pandanganya tertuju pada bunga-bunga di hadapannya "Jika aku memberitahumu apa kau akan mengizinkanku? Aku yakin kau dan ayah berada di keputusan yang sama yaitu tak mengizinkanku."
"Syah, aku tak mau mengambil resiko apapun. Aku hampir saja kehilanganmu dan aku tidak mau kehilanganmu untuk yang kedua kalinya." sahut Devian.
Syahquita mengangkat kepalanya lalu menatap Devian dengan tatapan malas, "Tapi aku ingin sekali kesana, aku hanya ingin menghirup udara segar dan aku ingin merasakan sedikit kebebasan, Dev."
Devian meremas tangan Syahquita pelan, "Apa kau bisa menjamin bahwa kau akan baik-baik saja selama menjalani kegiatan itu."
Syahquita mengangguk pelan, "Ya, di sana ada Drake yang akan menjagaku."
Devian terlihat tidak senang saat Syahquita menyebut-nyebut nama pria yang ia tak suka, "Apa kau yakin pria aneh itu akan menjagamu dengan baik? Bagaimana jika ia sibuk sendiri dengan dirinya?"
"Drake sudah berjanji akan menjagaku maka ia akan menepati janjinya. Kau dan Alfaz mempunyai janji yang sama tapi kalian tidak bisa menepatinya." geram Syahquita melepaskan tangannya dari genggaman Devian.
"Syah, aku hanya menginginkan yang terbaik untukmu. Bagaimana jika terjadi sesuatu padamu saat melakukan kegiatan itu?" desis Devian dengan nada yang sedikit meninggi.
"Aku akan baik-baik saja. Dan akan selalu seperti itu. Baiklah aku rasa ini bukan waktu yang tepat untuk berdebat. Sebaiknya kau pulang dan kembali lagi saat jika kau sudah tak emosi." ujar Syahquita bangkit dari duduknya.
Syahquita berjalan perlahan meninggalkan Devian yang masih terduduk di bangku taman itu. Devian mengatur emosinya agar ia bisa berbicara dengan Syahquita. Devian bangkit dari duduknya, ia berjalan cepat agar langkahnya bisa menyeimbangi langkah Syahquita.